Aku tahu, mungkin ada mahasiswaku yang kesel karena nilai yang kuberikan. Aku memang tega memberi nilai 0 (nol) pada beberapa mahasiswaku jika kertas jawabannya kosong atau isi tapi nggak ada artinya. Tetapi di sisi lain, aku juga dengan senang hati akan memberi nilai 100 (seratus) jika jawaban yang diberikan sangat memuaskan. Bagiku, jawaban mahasiswa bisa saja berbeda 5 – 10% dan tetap aku beri nilai baik jika secara keseluruhan urut-urutan pengerjaannya telah benar dan memuaskan.

Aku nggak tahu, apakah rekan-rekan dosen yang lain juga sependapat dengan caraku di atas.

Sebagai pengajar mata kuliah Analisa Struktur (I dan III), Struktur Beton Bertulang, Struktur Baja, Pemrograman Komputer, Komputer Rekayasa Struktur aku harus berani bertindak tegas. Mata kuliah yang aku berikan tersebut tidak mentolerir adanya kesalahan.

Dalam mata kuliah pemrograman komputer. Ketika anda salah menempatkan koma dan mengganti menjadi titik maka bisa saja komputer anda akan hang atau nggak jalan.

Sedangkan pada mata kuliah struktur beton bertulang. Anda bisa membayangkan jika ada dua insinyur sama-sama menghitung penulangan untuk struktur balok kantilever, kedua-duanya telah menghitung dengan prosedur yang benar (karena sama-sama hapal di luar kepala) dan memperoleh hasil jumlah tulangan yang diperlukan sama, misalnya 5D25, tetapi ternyata cara pemasangannya berbeda, satu memasang di bawah dan satu memasang di atas. Mana yang benar? Jelas, untuk struktur kantilever dengan momen negatif di tumpuan maka pemasangan tulangan di sisi atas adalah yang benar, sedangkan yang masang di sisi bawah telah membuat kesalahannya fatal. Kalau hal tersebut terjadi di lapangan bisa saja menyebabkan retak bahkan keruntuhan struktur yang mengakibatkan korban jiwa. Masih mending jika yang satu 4D25 dan yang lain 5D22, tapi sama-sama di sisi atas. Hal tersebut tentu masih dapat dipertimbangkan.

Jadi kompetensi dalam memahami materi yang ada dalam perkuliahan-perkuliahan tersebut sangat penting, tidak sekedar tahu tetapi harus paham khususnya menghadapi kasus nyata. Kesalahan dalam kasus nyata tidak hanya merugikan secara finansial tetapi bahkan dapat menimbulkan bencana. Latar belakang itulah yang mendasari cara aku memberi penilaian bagi mahasiswaku di UPH.

Sebenarnya yang aku inginkan dari mahasiswaku adalah BAGAIMANA dan MENGAPA mereka mendapat jawaban tersebut atau tepatnya latar belakang diperoleh jawaban tersebut.

Dalam satu sisi yang lain, aku merasakan bahwa perkuliahan yang aku berikan hanyalah sebagai pembuka wawasan mereka untuk belajar lebih banyak lagi agar menjadi PROFESIONAL. Aku menyadari bahwa 16 x kali tatap muka merupakan waktu yang singkat untuk memahami secara benar suatu permasalahan rekayasa. Oleh karena itu, dalam menentukan nilai akhir aku tidak mengandalkan semata-mata hasil UJIAN saja. Untuk itu aku memberi mereka tugas-tugas yang merangsang mereka untuk giat belajar. Selanjutnya agar mereka bersemangat maka tugas-tugas tersebut juga aku beri nilai dan dipertimbangkan dalam mendukung nilai Akhir.

Untuk mengerjakan tugas-tugas atau PR tsb, aku memberi mereka kebebasan, silahkan bila mereka bekerja sama dengan teman-temannya. Tapi yang penting harus dikerjakan sendiri. Oleh karena itu biasanya tugas yang aku berikan berbeda-beda untuk tiap person atau kelompok (maksimum dua orang). Selanjutnya NILAI TUGAS tersebut secara keseluruhan tidak boleh lebih dari 33.333% dari nilai total akhir. Dari tugas-tugas tersebut yang aku nilai adalah kemauannya, kerajinannya, dan apa-apa yang lain yang mungkin bersifat subyektif. Kalau mengerjakan dengan baik maka nilainya juga baik yaitu antara 70 – 90.

O ya tugas tersebut bisa satu atau lebih, tergantung bobot tugas yang diberikan dan juga waktunya. Bobot nilai yang lain yang sebesar 66.6667% diambil dari nilai UTS dan UAS, Jadi masing-masing 33.3333% . Disini yang aku nilai adalah kompetensinya. Kalau bisa mengerjakan maka nilainya 100 (seratus) dan kalau kosong adalah 0 (nol). Tega ya?.

Dari strategi penilaian yang aku berikan maka bagi mahasiswa rajin dan mampu mendapat nilai bagus minimal pada salah satu ujian yang diberikan yaitu UTS atau UAS saja maka mereka akan LULUS (nilainya C atau lebih). Sedangkan kalau hanya rajin saja maka belum tentu lulus, dan juga kalau hanya cerdas saja maka nilai A nggak bisa diperoleh. Ini penting, karena untuk menjadi insinyur yang baik tidak hanya cerdas juga, tetapi juga rajin dan tanggap.

Selanjutnya untuk menghindari penilaian yang bersifat subyektif, maka biasanya hasil penilaian materi ujian mereka aku kembalikan. Kalau tidak puas bisa dipertanyakan.

Pada prinsipnya penilaian yang aku berikan adalah usaha untuk mendidik mereka lebih baik, tidak jaminan yang ‘dekat’ pasti baik nilainya, hanya saja yang dekat biasanya tidak sungkan untuk bertanya dengan demikian kalau ada kesulitan dapat mudah diatasi dan hasilnya nilainya jadi baik. Ada saja dalam praktek, secara sehari-hari ‘dekat’ tetapi nilai pada mata kuliahku jelek. Karena ya itu belum menguasai. Dalam memberi penilaian maka aku berharap nilainya dapat memicu mereka agar dapat belajar lagi lebih baik daripada mereka menghasilkan kesalahan di lapangan, yang mungkin mengakibatkan kerugian atau bahkan korban jiwa.

Sebagai dosen yang full-time yang setiap hari ada di UPH (kecuali saat ini karena sedang tugas belajar) maka aku lebih suka mahasiswa yang datang bertanya sebelum ujian, dibanding mereka yang datang setelah melihat hasil ujian hanya untuk memohon agar aku mempertimbangkan nilai mereka.

Selain itu, aku juga tidak setuju mengenai pendapat dosen yang lain yang mahasiswanya tidak lulus lalu dapat diganti dengan tugas. Nggak benar itu.

Salam sukses.

42 tanggapan untuk “Caraku memberi NILAI di UPH”

  1. helgeduelbek Avatar

    Sistem penilaian di Universitas itu sebenarnya obyektif gak sih ? Sepertinya tidak ada standar yah, sehingga antar dosen memiliki prinsip penilaian berbeda.

    Dulu saya sempat dapat A untuk filsafat ilmu sewaktu di PPS UNY, ujian saja tidak pernah, hanya mengumpulkan tugas yang saya kerjakan hanya dengan 4 helai kertas kwarto, sementara temen saya membuat makalah segepok tapi dapat B. Itu Profesor yg kasih kuliah dan kasih nilai. Sementara yang lain mesti ketat.

    Bagaimana pak ?

    Suka

  2. wir Avatar
    wir

    Hallo Mas Petruk,

    He, he, he, jawabannya mungkin juga seperti pertanyaan berikut :

    apakah mengambil jurusan yang sama di suatu universitas , katakanlah Universitas A , hasilnya sama jika mengambil di Universitas B ? Yang penting jurusannya sama !

    Jika dipersempit: untuk mata kuliah dengan silabus yang sama, nggak peduli dosennya, pasti hasilnya sama ! Apa benar ?

    Nggak gampang khan !

    Kadang-kadang sangat subyektif. Ada orang yang tidak perduli, yang penting legal-formalnya terpenuhi dan ijasahnya diakui. BERES. Emangnya gue pikirin.

    Tetapi ada yang sangat peduli, siapa yang ngajar, lulusan mana, materinya apa, dsb. Bahkan mereka berani membayar lebih mahal, dan ngotot ingin masuk ke sekolah (universitas) tertentu meskipun harus belajar lebih keras. Mengapa itu bisa terjadi ?

    Adanya fenomena itulah yang menjawab: mengapa UPH didirikan. Meskipun di sekitarnya sudah berjibun banyak perguruan tinggi sejenis.

    Tentu ada suatu yang bernilai untuk dikejar atau dibayar.

    Jadi sangat penting mengetahui motivasi seseorang, untuk apa belajar (murid) atau mengajar (dosen). Termasuk memberi penilaian, bagi dosen: apakah agar mahasiswa senang ? (karena cakep sih) , atau agar ketua jurusannya senang sehingga dipakai terus (gajinya gede sih). Atau apa ? Ini khan sangat subyektif, tidak bisa dipukul rata. Jadi menurut saya, PENILAIAN tidak bisa dilepaskan dari subyektifitas dosen, dan tergantung juga dengan ATTITUDE / KARAKTER dan MORAL dari dosen, untuk itulah perlu dibina (dan dijaga). Tidak hanya kompetensi akademik.

    Hendaklah kalian mengerjakannya dengan sepenuh hati, seolah-olah Tuhanlah yang kalian layani, dan bukan hanya manusia
    (Kolose 3:23)

    Perlu juga ditekankan bahwa materi uji yang dinilai adalah essay, jadi subyektifitas penilai turut berperan. Isinya sama, tapi yang satu rapi dan tertata rapi, sedanglah yang lain banyak coretan, urut-urutannya kurang jelas, tahu-tahu hasilnya sama. Tentu nilainya nggak sama khan ? Wah nggak objektif ya ? Wah memang susah.

    Mungkin itu juga yang menjawab mengapa di pendidikan tingkat dasar sering digunakan soal-soal multiple-choice. (gurunya nggak mau pusing sih).

    O ya, selama aku mengajar di PT, rasanya aku belum pernah menguji dengan cara multiple-choice. Itu kayaknya hanya cocok untuk orang-orang SOS, yang suka hapalan aja. Nggak bisa diterapkan di teknik (??!!). O ya itu rasanya cara tersebut tidak bisa mengekplore kemampuan murid lebih dalam, ya paling-paling mengeksplore kemampuan kerlingan mata (jadi penari bali). Apa iya ya ?

    Selanjutnya tentang sistem nilai untuk maksud administrasi, mungkin bisa sama antara satu dengan yang lain, misalnya pemberian nilai dari A (sangat baik) sampai E (tidak lulus), yang ditetapkan oleh DIKTI untuk mendapat keseragaman dalam suatu wilayah kerja (negara). Selanjutnya aku nggak bicara yang administrasi ya.

    Jadi sebenarnya dalam proses belajar mengajar di Universitas, baik mahasiswa dan dosen sebenarnya saling belajar. Mahasiswa belajar bagaimana memahami mata kuliah yang diberikan dosen, dan dosen juga belajar untuk bagaimana memberikan mata kuliah tersebut benar-benar agar dapat dipahami oleh mahasiswa, Bahkan dosen juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa mata kuliah yang diberikan adalah yang terbaik untuk bidang tersebut. Ingat, ilmu selalu berkembang. Untuk itulah mengapa di perguruan tinggi kita mengenal apa yang disebut sebagai tri-dharma-perguruan tinggi, yaitu pengajaran, pengabdian pada masyarakat dan penelitian (termasuk publikasinya tentu saja).

    Seorang dosen tidak boleh hanya mengajar saja, harus seimbang. Di Indonesia ini mungkin agak beda, seorang dosen yang bekerja mengajar dimana-mana (diberbagai PT) dianggap sebagai dosen yang laris. Padahal mungkin kalau ditanya mana penelitiannya atau publikasinya. Jawabannya : mana sempat ! Padahal mengajar dimana-mana itu karena tuntutan dapur (??)

    Dalam konteks riset keilmuan, senioritas dosen tidak harus selalu diartikan dari kepangkatannya, melainkan dari produktivitasnya dalam karya ilmiah
    Dedi Supriadi (1997)

    Jadi sekali lagi, di perguruan tinggi khususnya (di pendidikan dasar aku nggak ngerti), pengajaran dan penilaian suatu mata kuliah memang tidak bisa lepas dari subyektifitas pengajar (dosen). Hal tersebut sangat tergantung kompetensi dosen. Oleh karena itu penyelenggara harus berani dan tegas untuk mengevaluasi kerja dosen tersebut.

    Dosen-dosen di UPH harus dipilih yang mempunyai kredibilitas berdasarkan pendidikannya (ijasah minimum S2, jika mungkin harus S3 sekalian), pengalaman sebelumnya yang mendukung , ada rekomendasi (lebih diperhatikan), sedangkan silabus mata kuliah ditetapkan bersama oleh ketua jurusan dan team dosen senior, juga SAP (satuan acara perkuliahan). Dalam pelaksanaannya, ada kuisioner tentang perkuliahan yang diberikan dosen tersebut. Jika ada indikasi hal-hal yang tidak baik harus segera di ambil tindakan.

    Kami selaku dosen tetap di UPH juga tidak bisa seenaknya, pada setiap tahunnya, kami harus menuliskan kegiatan-kegiatan apa yang kami kerjakan, khususnya yang berkaitan dengan tri-dharma perguruan tinggi tersebut. Kita juga di evaluasi tiap semester oleh mahasiswa kita tentang perkuliahan yang kita berikan. Nggak ada itu di tempat kita yang disebut dosen killer tanpa alasan. Memang ada dosen killer, tapi itu karena mahasiswanya yang kebangetan (males).

    Perlu juga diketahui bahwa dosen tetap di UPH mempunyai jadwal kegiatan yang jelas setiap minggunya, yaitu dari jam 7.00 (pagi) sampai jam 15.30 (sore) dari Senin – Jumat, pasti dapat di cari di kampus. Jadi dosen di UPH adalah benar-benar suatu profesi dan bukan sebagai sambilan (sampingan) saja.

    O ya, menanggapi profesor anda yang memberi nilai A, walau pekerjaan anda hanya beberapa lembar kertas dan nilai B untuk teman anda yang pekerjaannya segepok. Saya bisa memaklumi.

    Kualitas itu bisa berbeda dengan kuantitas. Meskipun kuantitasnya sedikit, tetapi buktinya profesor anda menilai lebih.

    Logika berpikir dan tertib berpikir seseorang dapat dengan mudah dilihat dari bahasa yang digunakan, bukan dalam bahasa lisan, melainkan dalam bentuk tulisan.
    Dedi Supriadi (1997)

    Seperti mengevaluasi tugas akhir. Itu gampang-gampang susah lho. Waktu ngajar pertama kali dulu, saya belum bisa ngotot: bahwa tulisan ini baik dan yang itu tidak. Paling-paling check tata bahasa, kalau ada yang salah, ya baru berani disalahin. Tetapi setelah berjalannya waktu (dengan pengalaman banyak meneliti, menulis dan presentasi seminar), sekarang bisa ngotot : tugas akhir ini tidak bermutu sehingga harus diperbaiki atau tidak lulus, selanjutnya bahkan mampu menilai bahwa tugas akhir ini sudah baik dan ngotot agar dapat di presentasikan di ”luar” (seminar nasional).

    Kenapa bisa ya. Mungkin cara berpikirnya sudah seperti profesor anda tadi ya. He, he, he 🙂

    Suka

  3. Kang Kombor Avatar

    Pak Wir, saya setuju dengan cara penilaian Pak Wir. Akan tetapi, untungnya saya dulu bukan mahasiswa Pak Wir. Saya mahasiswanya Pak Michael Elias, ambil FE-Manajemen Angkatan 94.

    Mengomentari Pak Guru Urip, saya kira cara penilaian di PT nggak ada standardnya, yang ada adalah standard nilainya, misalnya dari A, B, C, D dan E dan standard range untuk masing-masing nilai itu. Misalnya 0 – 4,49 nilainya E, 4,5 – 5,99 nilainya D, dst. Mengenai cara penilaian, subyektivitas pengajar terkadang tidak dapat dihindarkan. Akan tetapi, untuk mata kuliah eksakta saya kira subyektivitas sangat kecil perannya dalam menentukan nilai. Berbeda dengan mata kuliah ilmu sosial/ekonomi atau mata kuliah lain di luar eksakta, jarak antara obyektivitas dan subyektivitas sangat tipis. Satu persoalan bisa mendatangkan seribu jawaban. Kalau soal eksakta, satu persoalan ketemu satu jawaban, dan itu eksak.

    Lebih jauh, nilai A di suatu PT bisa jadi sebanding dengan nilai C di PT yang lain bergantung pada kualitas PT tersebut. Bahkan sesama PT yang terakreditasi pada level yang sama, kualitasnya bisa berbeda.

    Suka

  4. preaxz Avatar

    Cara dan motivasi yang bagus untuk menilai. Tidak ada toleransi untuk hal-hal eksak. Malah kalau perlu, lulus hanya dan hanya jika bernilai 100 !

    *kepikiran sama ipar yang akhirnya lulus sipil setelah “nembak”, tuh gedung yang dia bangun sekarang, bertahan berapa lama ya ? apalagi gedung negara kan …. “

    Suka

  5. tempe goreng Avatar

    Inilah situasi yang menjadi dilema sebagai pengajar :
    tega kasih nilai jelek, citra sebagai pengajar menjadi jelek karena dijelek-jelekan dan terus terbawa sampai sekian angkatan kebawahnya.
    Giliran terlalu baik, bisa-bisa malah menurunkan mutu lulusan…..ckckck……

    Suka

  6. Oddie Avatar
    Oddie

    Duh, Nggak berani masuk UPH

    Suka

  7. Alex Budiyanto Avatar

    Bagus sekali pak, seandainya saya punya dosen seperti bapak 🙂

    Suka

  8. wir Avatar
    wir

    Apalagi kalau anda mempunyai hobby merokok dan merokok di UPH, pasti ditegur satpamnya.

    “UPH bebas rokok” itu bukan hanya sekedar slogan lho, seperti yang tempo hari digembar-gemborkan di tempat lain. Di kampus kami, di Lippo Karawaci itu sudah menjadi tindakan. Mahasiswa merokok di toilet pun pasti di tegur, satpamnya selalu keliling, banyak lagi.

    Saya kira hal tersebut tidak hanya bagi mahasiswa saja, dosennyapun kalau ketahuan pasti dikasih peringatan. Nggak peduli, master, doktor atau bahkan profesor-pun jika tetap ngrokok –> go out dari UPH.

    Yah, ternyata yang punya prinsip tidak populer ada juga ya. Tidak hanya dosen, universitas / lembaga-nya pun nggak mau ketinggalan.

    Memang sih, UPH nggak untuk sembarang orang.

    Suka

  9. Priyadi Avatar

    Dalam mata kuliah pemrograman komputer. Ketika anda salah menempatkan koma dan mengganti menjadi titik maka bisa saja komputer anda akan hang atau nggak jalan.

    yang ini kayanya kurang realistis. di dunia nyata, tanpa alat bantu, jarang sekali kita bisa misalnya menulis program 200-300 baris dan waktu dicoba langsung jalan sempurna tanpa cacat. kalau bisa gitu kitanya malah heran, “eh, beneran nih?” 🙂

    kemudian, di dunia nyata biasanya kita dibantu dengan IDE atau editor yang bisa mencek syntax sekaligus meng-highlight. jadi kalau ada kesalahan penulisan misalnya koma jadi titik bakalan langsung ketahuan dan bisa diperbaiki saat itu juga. kondisi ini gak ada dalam ujian tertulis. eh, ujian yang dimaksud tertulis kan? 🙂

    Suka

  10. wir Avatar
    wir

    Yak, pendapat mas Priyadi betul, karena latar belakang anda adalah dunia teknologi (TI).

    Sedangkan saya mungkin lain, latar belakang engineering memang berbeda dalam menyikapi tool atau alat yang digunakan. Tool dalam hal ini adalah komputer, bagaimanapun komputer hanya sekedar alat, bagus tidaknya yang tergantung dari pemakai (engineer). Jadi fokus dari penilaian di atas adalah memberdayakan siswa (calon engineer) / pemakai alat / tool.

    Di dunia TI khan lain ya mas, untuk pemakaian alat aja bisa menjadi dua kutub perdebatan, “pakai ini aja, yang lain jelek dsb”. Contohnya tentang UNIX (Linux) dan Windows. Karena “alat” itu merupakan identitas mereka. Coba saja, mereka tidak dibekali “alat” yang dimaksud : mereka bukan apa-apa. Maksudnya tidak bisa apa-apa dengan profesi mereka.

    Sebagai engineer yang sejati, keberadaan “alat” memang membantu, tapi bukan segala-galanya. Sebagai contohnya : anda pernah mendengar ttg “program padat karya” , ya ! , itu adalah suatu strategi di dunia konstruksi untuk mengganti fungsi traktor pengeruk (excavator) dengan manusia. Konsep itu pernah dipakai dan berhasil untuk membikin saluran-saluran irigasi dan lain-lain pekerjaan konstruksi. Tanpa alat yang canggihpun para engineer bisa menghasilkan sesuatu yang canggih.

    Kembali ke alat dan manusianya lagi (engineer). Dalam hal ini, di dunia rekayasa tidak ada tuh, engineer yang dapat beralasan bahwa yang bikin kacau adalah karena alatnya ngaco (karena belum di kalibrasi tetapi karena nggak tahu tetap aja dipakai).

    Bila konsep tersebut kita pakai untuk kasus lapindo : engineer-nya bisa aja bikin alasan : karena alat ngebornya sih yang nggak bener, ngebornya bikin rusak yang lain . Padahal aku khan nggak ngebor yang “lainnya”. Itu misalnya, khan nggak bisa !. Jadi fokusnya adalah manusianya.

    Selaku dosen, saya mempunyai idealisme: mahasiswa (teknik) jadilah engineer sejati.

    Saya akan lebih salut pada manusia (engineer) yang dapat membikin sesuatu (jembatan panjang misalnya) dengan sumber daya yang ada, dengan cara desain yang mungkin sangat tradisionil (tanpa komputer) tetapi ada hasilnya dan dapat dinikmati, dibanding pada manusia lain (yang mengaku engineer) yang hanya bisa menampilkan rencana muluk-muluk yang dihasilkan oleh teknologi komputer tercanggih. Tapi tidak bisa mewujudkan karena untuk itu perlu alat lain (teknologi) yang diperlukan (harus import khusus dan harga khusus pula, misalnya).

    Wah koq jadi nglantur bicara tentang teknologi dan engineering. Memang beda sih.

    Ok, kembali ke “titik” dan “koma”.

    Ada pemisalan, ada dua engineer dari dua konsultan rekayasa yang berbeda, yang membaca hasil keluaran suatu program komputer engineering (mis SAP2000, ABAQUS dll) terhadap suatu permasalahan yang sama, yaitu reaksi dari hitungan struktur yang akan dibebankan pada suatu lantai ruangan, misalnya hasilnya adalah 100,000 kg.

    Apa yang terjadi, yang satu menganggap bahwa ” , ” adalah koma yang biasa dia terima sewaktu belajar hitung berhitung (di kampungnya di Indonesia). Jadinya nilai 100,000 kg adalah sama dengan 100 kg. Wah kalau begitu beres nih bisa diteruskan. Struktur tadi bisa ditempatkan di lantai tsb.

    Sedangkan engineer yang lain dengan angka tersebut terkejut, koq besar sekali. Karena dia berpikiran ” , ” di atas bukan sama seperti persepsi sehari-hari di Indonesia. Enginer ini tahu, karena koma dan titik beda (engineer ini pernah menjumpai kasus yang sama sewaktu ujian pemrograman dan disalahkan oleh pak Wir, jadi selalu ingat terus: “bahwa koma dan titik beda”, meskipun dari kampung juga). Data output 100,000 kg = 100 ton. Yah besar sekali dong. Kalau begitu lantai tersebut harus di check dulu jika diberi beban sebesar tersebut apakah kuat atau tidak.

    Satu data sama, tetapi tindakan yang menyertainya beda.

    Jika itu benar-benar dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, bisa menghasilkan sesuatu yang dahyat bukan !. Bayangkan lantai anda dikasih beban sebesar itu 100 kg dan 100 ton khan beda.

    Tanggapan orang terhadap titik dan koma ternyata lain-lain ya mas. Rambut sama-sama hitam tetapi pendapat bisa lain-lain. He, he, he. :->

    Dengan demikian kalimat di atas (yang mas Priyadi sitir) tentunya masih relevan dalam konteks berpikir saya bukan, khususnya pengajar pemrograman komputer di dunia rekayasa (teknik sipil).

    o ya saya jadi ingat : dalam perkuliahan pemrograman saya selalu bilang ke mahasiswa saya. Bahwa tentang pemrograman di dunia rekayasa teknik sipil beda. Tidak jaminan pakar TI (doktor sekalipun) juga menguasai permasalahan tersebut. Pemrograman di dunia teknik sipil harus dilakukan oleh orang teknik pula. Jadi agar ada program teknik sipil yang hebat maka orang teknik sipil sendiri harus belajar dan tidak bisa mengandalkan orang TI (pakar maksudnya). Gimana pendapat mas? (ganti bertanya).

    Trim mas ya, salam untuk keluarga.

    Suka

  11. galih Avatar

    Setuju ama Priyadi: Jika itu adalah ujian tulis, aku bilang dosen ini: kolot dan kejam. Dalam ujian tulis tak ada proses kompilasi, padahal kebanyakan nulis program itu adalah try and error. Mungkin jauh lebih baik jika ujian pemrograman adalah langsung praktik dengan komputer dan didemokan.

    Suka

  12. wir Avatar
    wir

    Mas Galih tentu belum membaca tanggapan saya thd mas Priyadi di atas ya. Eh sedang up-load tanggapan mas Galih muncul. Pasti belum baca. Tapi nggak apa-apa, latar belakang anda mungkin sama dengan mas Priyadi, bidang teknologi. Saya bidang rekayasa – beda !

    Silahkan dibaca dulu ya.

    Untuk informasi, di UPH sejak dua tahun ini, setiap mahasiswa baru sudah mendapat tablet PC. Hebat, dosennya sendiri nggak dikasih, ini laptopnya yang dipakai utk ngajar aja udah butut, bahkan komputer pc di kantornya aja masih pakai win98 (jadi nggak pernah disentuh, sudah nggak kompatilble lagi datanya dan juga udah nggak sabaran pakai win lama, lebih baik bengong – cari ide ).

    Jadi untuk mata kuliah pemrograman dan aplikasi komputer rekayasa : ujiannya langsung dengan komputer. Nyata gitu lho. Karena menurut saya, nguji pemrograman pakai nulis di kertas (multiple choce lag). Nggak lha! Kuno.

    Suka

  13. ricorea Avatar

    Maaf ikut nimbrung.

    Gw dulu waktu masih ikutan mata kuliah programming emang ujiannya adalah tertulis. Bukan dosennya yg kolot seperti kata Mas Galih. Tapi ada alesannya dan ga jauh beda ama alesan Mas Wir.

    Dosen gw itu dulunya produk keluaran lama. Mrk dulu programming masih pake punch card. Jd klo programming jgn sering-sering salah krn card saat itu mahal dan langka pula. Mental teliti yg ingin beliau bangun saat itu ke kita-kita muridnya.

    Makanya waktu ujian doi ga segan-segan ngasih salah dan nilai tidak “100” sekalipun tuh program (padahal waktu ujian pun bukan program jadi beneran, hanya pseudo-code) cuman salah “;” doang.

    Gw dulu pernah brantem ama salah seorang supervisor lain divisi gara-gara salah seorang programmernya yg menulis ulang function yg udah built-in. Gw cuman negur dgn bilang, “Ga apalah dia buat function lagi sekalipun tuh program jadi nambah 10 baris. Loe kasi tau aje klo tuh function dah built-in. Ga perlu ampe bawa-bawa RAPID development segala.” Ehh… ndilalah… dianya malah marah sambil bilang, “Ehh… loe ngurusin garis ama titik (pemetaan) aja gih. Jgn ikut-ikut urusan gw.” Hehehehee…

    Maksud gw, dia kok ga seneng sih ada orang yg ga tergantung banget ama tools. Klo dia bisa ngerjain tanpa tools, emang kenapa? Hahahaha…

    Mental programmer jaman sekarang agak-agak manja. Banyakan lebih suka yg praktis a.k.a “trial and error”. Cuman lebih kreatif dgn “copy and paste” nya. Hahahaha…

    Kembali ke topik mengenai “Nilai Nol (0)”.
    Saat ini kan kebanyakan orang mengambil pendidikan tinggi itu hanya sekadar keperluan mempunyai titel buat modal kerja. Jadi, jangan heran klo banyak sarjana pertanian tp ga tuneng (tune-in) dengan bidangnya.

    Salah seorang temen gw yg akhirnya mesti KO (drop out) dgn marahnya bilang klo ilmu yg dia dapat itu ga bisa dipake buat kerja. Kenapa ga dimudahkan aja dia sekolah dgn lulus aja dan nanti berkompetisi sendiri di jalanan ?

    Lha ? Trus klo menang sih ga papa. Klo banyakan kalahnya yang dikasih lulus model begitu, trus tanggung jawab institusi pendidikannya bagaimana? Gw juga ogah nyekolahin anak gw disitu.

    Jadi Mas Wir, biasanya yg marah-marah dikasih nilai nol biasanya mereka yg masuk Sipil karena terpaksa mesti punya titel S1. Klo dia emang mo jadi tukang insiyur, nilai itu hanyalah “tools” untuk mengukur sejauh mana dia paham akan ilmu yg telah menjadi daya pikatnya selama ini.

    Nilai itu hanyalah alat komunikasi antara dosen dgn muridnya. Ada 2 sisi. Untuk muridnya sebagai ukuran pemahamannya akan bidang yg dia tekuni, utk gurunya, aahh… ga perlu gw kasi tauhlah. Hahahaha… Dan juga jangan jadi kayak dosen gw juga. “Nilai 10 itu Tuhan. Nilai 9 itu saya. Nilai 8 itu Einstein. Sisanya buat kamu prebutin. Artinya ga ada dari antara kalian semua yang bakalan ace mata kuliah saya.” Hahahahahaha…

    Gw jadi inget salah satu dosen pernah ngomong gini. “Biarlah kamu goblok dalam 4 soal yg saya berikan. Itu hanya alat untuk tau kamu udah sampe dimana.” Walaupun akhirnya ini selalu menjadi excuse temen-temen yg dpt nilai 30 ke bawah termasuk gw. Hahahahaahahhaa…

    Salam. Selamat mengajar dan maaf jadi panjang.

    Suka

  14. Roby Avatar

    Kalau saya cenderung membuat soal dengan gradasi kesulitan. Jadi ada soal yang pasti bisa dijawab oleh mereka yang paling sedikit pernah datang kuliah dan membaca bahan kuliah (misal pertanyaannya tentang definisi/konsep dasar). Dan ada pula soal yang hanya bisa dijawab oleh mahasiswa terbaik.

    Suka

  15. wir Avatar
    wir

    Utk saudara Roby trim atas idenya.

    Utk saudara Ricorea, saya setuju. Nilai memang sekedar tool utk menginformasikan sejauh mana pembelajaran telah dimengerti oleh siswa. Jadi bukan suatu pernyataan bahwa mhs ini bodoh atau pintar. Saya kira itu terlalu menyepelekan manusia. Mungkin nilainya jelek karena dia belum fokus pada materi-materi yang akan diuji. (sedang patah hati mungkin) dan sebagainya. Namanya orang, dulu nggak ‘dianggap’ , eh, tahu-tahu ketemu bbrp tahun lagi ternyata telah ‘jadi orang’.

    Jadi sebagai pengajar, harus pintar-pintar memberi motivasi sehingga mahasiswa tertarik terlebih dahulu. Efek tertarik itu hebat sekali, mereka akan betah ngulik materi yang diterima, sampai bisa.

    Ini kejadian sebenarnya, sebelum liburan aku didatengin bekas mhs-ku, sekarang udah jadi alumni . Lulus belum ada satu tahun ini. Dia mau pamitan mau ke Dubai, bukan jadi tki lho, dia ternyata diterima disalah satu konsultan teknik asing dan ditempatkan di Dubai. Konsultan teknik. Percaya nggak, waktu kuliah dulu ini, mhs ini sering ngulang mata kuliahku, studi jg udah limit. Jadi waktu lulus, pasti orang-orang pada mikir, ini orang pasti nggak mungkin ke sipil lagi (kapok, kebanyakan ngulang –> sipil berat, paling-paling jadi sales, wirausaha atau lainnya pokoknya nggak ke teknik) .

    Eh ternyata dia bercerita : setelah lulus dia tetap nyari pekerjaan bidang konstruksi, sayang kata dia. Wong sekolahnya aja lama kenapa nggak memanfaatin sekalian. Akhirnya dia diterima di salah satu perusahaan konstruksi asing, dia lulus waktu itu karena wawancaranya di test langsung ilmu mekanika yang kebetulan dia mengerti (hapal, karena kebanyakan ngulang sih).

    Selama waktu itu (belum satu tahun) dia dipercaya oleh bos-nya untuk bantu supervisi ke lapangan, jadi dianya udah keliling indonesia supervisi perencanaannya membantu bosnya (orang jerman), dia serap ilmu banyak dan jadi PD lho sekarang kalau ngomong soal jembatan, atau struktur gede lainnya. (catatan : sebelumnya memang orangnya PD, nggak lulus juga tetap PD, ketemu adik kelas yang sama-sama ngambil mt kuliah ya tetap PD, pokoknya PD-lha dan selalu optimis)

    Akhirnya ketika ada kans ke LN (dubai) dia iseng-iseng kirim email. Eh langsung didatangi wakil dari dubai dan gol-lah. (karena udah tambah PD belajar dari bos jerman-nya itu).

    Aku salut dengan mhs itu.

    Tapi yang paling aku ingat adalah walaupun dia pernah merasai : “aku beri nilai jelek /nggak lulus” tapi dia tetap respek ke aku dan terus konsisten. Akhirnya berbuahlah hasilnya.

    Omong-omong di Dubai gaji-nya bersih aja udah lebih gede dari aku, dapet apartemen lagi, kalau masuk kerja : makan di jamin. Hebatlah.

    Kebanggaanku, ya buah itu tadi, dulu aku ikut menyiangi dan menyiraminya. Jadi, kalau tumbuh dan berbuah banyak, itu berarti cara merawatnya udah di jalan yang benar. Amin.

    Suka

  16. kunderemp Avatar

    Sebagai mahasiswa yang gak lulus-lulus,
    kadang-kadang sedih karena hal-hal seperti ini seringkali tidak dimengerti oleh orang.

    Orang-orang di kampus pada bertanya, “kapan lulus?”.
    Semua langsung cemberut kalau aku bilang “aku belum siap mental”.

    Lalu orang-orang di sekitar bertanya, “dapat berapa?”
    Semua pada heran bilang ketika aku menjawab murung, “cuma dapat A minus”.

    Lalu jatahku semakin berkurang (maklum.. UI) dan orang-orang pada berkata, “sudah lah.. yang penting lulus”. Padahal, aku sebenarnya lebih suka menjatuhkan nilaiku tidak lulus sekalian agar bisa mengulang daripada lulus mendapat nilai C.

    Bagaimana yah menjelaskan pada orang-orang bahwa.. aku mungkin memang tidak layak lulus di jurusan ini.

    Suka

  17. Rachmat Avatar
    Rachmat

    Pak Wir,
    Background saya juga engineering dan saya termasuk yang suka membuat ‘tool’ sederhana untuk memudahkan saya melakukan kalkulasi dengan analisis numerik (Newton Rapson, FEM, dll).
    Dulu saya pernah jadi asisten Komputer dan Pemrograman. Saya lebih setuju dengan Priyadi: Kalau SYNTAX ERROR maka saya hanya mengurangi nilainya sedikit saja (10%-20%) dari bobotnya. Sekedar “hukuman” atas kekurangtelitian mereka. Soalnya saat di-compile akan ketahuan salahnya. Seperti tidak adanya “;” pada akhir statement atau kurangnya tanda “}”. Tapi kalo LOGIC/ALGORITHM ERROR saya gak akan kompromi lagi. Soalnya pas di-execute sukses tapi output-nya tidak seperti yang diharapkan.
    Tapi ya anda kan dosennya. Keputusan dosen adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Hehehehe…. Siapalah saya berani-beraninya komen 🙂

    Suka

  18. Rachmat Avatar
    Rachmat

    Komen lagi:

    Ok, kembali ke “titik” dan “koma”.

    Ada pemisalan, ada dua engineer dari dua konsultan rekayasa yang berbeda, yang membaca hasil keluaran suatu program komputer engineering (mis SAP2000, ABAQUS dll) terhadap suatu permasalahan yang sama, yaitu reaksi dari hitungan struktur yang akan dibebankan pada suatu lantai ruangan, misalnya hasilnya adalah 100,000 kg.

    Kalo di lapangan yang saya alami gak akan terjadi seperti ini sich. Pas kita masuk sistemnya kan kita belajar standar yang digunakan, british atau metric, dll. Kalo ada yang seperti di atas ya paling gampang di-klarifikasi kalo memang kita sangsi. Karena itu, biasanya digunakan 2 atau 4 angka dibelakang titik (kalo di kampung koma ya? kampung mana? hehe) untuk pecahan (jadi kalaupun lupa ya tidak ketuker dengan ribuan).

    Suka

  19. wir Avatar
    wir

    Yah betul mas.

    Aku memang mau mendidik mahasiswa-mahasiswaku di UPH menjadi engineer seperti mas Rachmat ini.

    Kalau sudah di lapangan nggak seperti mas Rahmat tersebut, bisa-bisa nanti ada Lapindo-Lapindo yang lain lagi, he, he, he ….

    Suka

  20. Lieyanto Avatar
    Lieyanto

    Dengan hormat Pak Dewobroto,

    Anda masih ingat kepada saya, bekas mahasiswa Anda di Universitas Pelita Harapan?

    Membaca website Anda, ada satu hal yang ingin saya sarankan yakni penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena tulisan Anda dapat dibaca oleh banyak orang, dan Anda selaku pakar di bidang Tehnik Sipil, adalah sangat disayangkan jika penggunaan dan penataan bahasa Indonesia Anda kacau, dan cenderung menggunakan bahasa dialek Jakarta.

    Mengenai masalah bagaimana Anda memberikan nilai di UPH, saya sangat setuju dengan tujuan Anda untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, dapat berpikir secara cerdas dan cermat.

    Dulu semasa saya masih menjadi mahasiswa di UPH, interaksi antarmahasiswa dengan dosen adalah kurang, karena dosen tidak memberikan waktu diskusi selain dari masa perkuliahan efektif. Apakah itu masih berlaku sampai sekarang? Jika keadaan ini masih saja berlangsung, saya hanya ingin menambahkan bahwa sistem penilaian yang Anda terapkan tidak sepenuhnya dapat diandalkan.

    Menilik dari sistem penilaian Anda, Anda ingin menuntut supaya mahasiswa dapat mengerjakan tugas dengan baik dan tidak saling mencontoh, tetapi bagaimana ini dapat diwujudkan jika mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Bimbingan ke arah penyelesaian sangat penting untuk dihadirkan, supaya mereka tidak salah melangkah dan benar dalam menerapkan hasil yang didapatkan. Memang pertemuan 16 kali di kelas adalah sangat kurang. Saya dapat memberikan gambaran; bagaimana mahasiswa dapat mengerti prinsip dasar perancangan – katakanlah perencanaan beton bertulang – hanya dalam waktu 16 kali pertemuan. Jika ada mahasiswa yang rajin, saya yakin mereka hanya dapat mengerti sedikit saja, apalagi mahasiswa yang tidak rajin. Ditambah lagi dengan masa perkuliahan yang benar-benar “efektif” – yang bertujuan menghasilkan lulusan cepat-jadi yang pengetahuannya kurang – dalam masa 3,5 tahun sampai 4 tahun – dikurangi dengan masa libur 3 bulan dalam waktu setahun. Anda dapat membayangkan betapa singkatnya waktu kuliah di kampus, sementara Anda menuntut mahasiswa dengan penilaian Anda yang rumit.

    Adalah hal yang berbeda jika dosen menyediakan waktu untuk mahasiswa untuk berdiskusi di luar masa perkuliahan, supaya mahasiswa dapat mengerti dengan benar apa yang harus dikaji dan dikerjakan.

    MSc. (TU Darmstadt) Lieyanto

    Suka

  21. wir Avatar
    wir

    Yak Sdr. Liyanto,

    Tentu aku masih ingat, termasuk saat nguji anda saat tugas akhir, lalu ada diskusi ttg adanya perbedaan cara pandang dengan pembimbing anda berkaitan dengan materi yang kamu bawakan. Eh bukannya solusi ya waktu itu, dosen pembimbingmu jadi tersinggung. Ngotot minta pembenaran, tanpa saya mendapatkan logika ilmiah dibelakangnya. Lalu sejak itu aku merasakan agak renggang dng dia, agaknya dengan kamu juga ya. Padahal sebelumnya aku nggak merasa seperti itu.

    Ya tapi itu resiko dari suatu prinsip.

    Terima kasih atas kritik kamu terhadap bahasaku, he, he, he. Jelek ya. ha, ha,ha. Lho koq ada ha, ha,ha , bahasa apa ini, mana kepakarannya (pakar apa ya ?). I ya deh. Jadi aku harus berbahasa yang resmi ya.

    Aku barusan bangun tidur pk 4 pagi, Blog ini aku tulis karena aku anggap sebagai semacam buku harian, aku memang memakai bahasa sehari-hari yang aku anggap cukup santun aja, yah melepaskan diri dari suatu tatanan yang kaku. Tapi hebat juga kamu Lieyanto, masih ingat bahasa Indonesia dengan benar, kamu khan sudah lama di Jerman sejak lulus dan sekarang masih di sana ? Kalau begitu coba deh baca makalah-makalah resmiku yang aku publikasikan secara resmi (bukan blog), lihat di “karya tulisku” . Apakah bahasa masih ngaco ? Jadi mumpung buku edisi ke-2 belum naik cetak maka bila ada yang kurang , dapat aku perbaiki.

    Interaksi dosen – mahasiswa.
    Yah saya kira itu relatif, tetapi yang jelas kamu khan tahu sendiri bhw dosen-dosen tetap uph adalah full-time. keberadaannya ada dan tidak kemana-mana. Siap menampung / menerima kedatangan mhs, tapi kalau mhs nggak datang ya dosennya ya tetap nggak ke mhs (datang-datangin). Yah, mungkin yang kamu maksud itu yang terakhir ya, kenapa dosen nggak datangin mhs, jadi nggak dekat, ya?

    Anda ingin menuntut supaya mahasiswa dapat mengerjakan tugas dengan baik dan tidak saling mencontoh

    Rasanya nggak persis seperti itu. Mengerjakan Tugas dengan baik sih ok. Mohon dibaca lagi tulisan saya yg pertama di atas ! Ok.

    Anda dapat membayangkan betapa singkatnya waktu kuliah di kampus, sementara Anda menuntut mahasiswa dengan penilaian Anda yang rumit.

    rumit ya.
    inti penilaian saya khan begini:

    1/3 nilai dari tugas / pr / dan semacamnya, dinilai berdasarkan keaktifan, kerajinan, kerapian. Boleh bekerja sama tetapi harus ditulis sendiri. Jadi intinya dipaksa membaca, dan menulis, dan kalau bisa berpikir (mengerjakan sendiri).

    2/3 yang lain dari uts dan uas. Minimal salah satu harus baik jika mau lulus

    Jadi katakanlah hanya lulus uts aja (karena msh gampang materinya) maka total dia dapat 2/3 –> itu sudah di atas C, bahkan mungkin bisa B. Lho khan nggak rumit bukan.

    Tapi ok lah, aku menyadari waktu km msh mhs di uph, sy juga belum lama mengajar di uph. Masih mencari bentuk, dan tentu saja pemikiran di atas belum ada. Jadi ego sebagai pengajar yg seakan-akan punya pengalaman lapangan yang mendominasi, sedang ego sbg pendidik masih minor. Dan yang paling penting itu khan sebelum tahun 2002 , tahun dimana aku mengalami pencerahan intelektual. Lihat kronologi karya tulisku, meledak stlh tahun 2002, saat itu khan kamu nggak kenal : siapa sih si wir itu, koq berani-beraninya beda pendapat dengan dsn pembimbing yang kamu anggap sudah senior itu. Gitu khan.

    Suka

  22. rahmat Avatar
    rahmat

    Pak Wir/Mas Lieyanto,
    Saya pribadi setuju dengan gaya bahasa Pak Wir saat ini (beda boleh kan?). Kalau Pak Wir pake gaya bahasa yang baku dan membosankan di blog ya membacanya juga jadi males banged (pake ‘D’).

    Tapi kalo dalam Journal Ilmiah digunakan bahasa2 prokem/gaul/gak baku, saya juga akan meragukan kepakaran Pak Wir 🙂 Hehehe….

    Kalo dengan gaya bahasa yang sekarang bisa lebih banyak yang mengerti ide yang ingin di sampaikan Pak Wir, so what gitu lho?

    Peace….

    Suka

  23. wir Avatar
    wir

    Peace …

    Yah, beda pendapat itu biasa, tetapi dapat mengkomunikasikan tentang perbedaan tersebut, mengapa terjadi, dan bagaimana solusinya dengan kalem dan tidak emosi, itu yang nggak biasa. Khususnya di Indonesia. yah banyak dilihat lha.

    Saya juga pernah mendapat kritikan serupa saat minta pendapat tentang buku saya. Misalnya, gambar : Pak Wir ‘biasanya’ untuk tulisan ilmiah gambar itu harus dirujuk.

    Yah, suatu kritikan yang simple dan bagus, serta sering kita dengar. Tapi apa harus begitu ?

    Kita tidak bisa telan mentah-mentah pernyataan tersebut sebagai suatu dogma dalam suatu penulisan ilmiah. Mengapa ? Itu tergantung dimana tulisan ilmiah anda mau dipublikasikan.

    Jika di jurnal ilmiah tertentu, maka jawabannya adalah jelas : YA. Semua gambar, semua pustaka harus dirujuk. Mengapa, ya itu untuk mendapatkan keseragaman. Ingat jurnal ilmiah menerima artikel dari siapa aja, artinya orang-orang yang berminat ‘tampil’ ingin mengkomunikasikan pendapat mereka.

    Latar belakang keinginan tampil tersebut bisa bermacam-macam, termasuk juga latar belakang kemampuan mengkomunikasikan pendapat mereka. Nggak seragam, ada yang sudah ahli dan ada yang belum (tapi ngakunya udah senior –> tua maksudnya).

    Jadi jika kapasitas tulisannya tidak seragam khan yang pusing editornya. Suatu strategi agar apa-apa yang ditampilkan dalam tulisan tersebut efektif . Ya itu tadi, memberi persyaratan-persyaratan khusus.

    Selain itu, dengan adanya aturan-aturan yang ditetapkan tiap jurnal (bisa beda-beda) maka format jurnal tersebut dapat konsisten tampilannya. Itu penting bagi suatu jurnal.

    Jadi intinya jangan samakan aturan-aturan pada jurnal dengan suatu persyaratan penulisan ilmiah, atau untuk mengukur kepakaran seseorang. Nggak benar itu. Emangnya kalau orang bicara “ndakik-ndakik –> bertele-tele penuh formalitas, itu berarti orangnya pakar ?
    Ahli gitu ?
    **mengambil nafas dalam-dalam**

    Pengalaman lain, tentang paper dengan maksud nampang (punya jurnal banyak, atau telah membaca jurnal-jurnal yang hebat), yaitu :

    Saya pernah menjumpai (selaku ketua redaksi jurnal di uph) ada rekan yg mau menampilkan tulisannya yang berisi daftar pustaka yang jumlah halamannya saja lebih banyak dari materi tulisannya.

    Lho koq banyak banget ? Ini memang dipakai sebagai rujukan dalam tulisanmu ya ?

    Jawabnya jujur : nggak pak wir, itu jurnal yang aku punya, susah lho dapetnya !
    **tanpa dosa**

    Pak wir mau, saya ada pdf-nya koq pak.
    ** wajah bangga**

    Jadi yang dirujuk mana?

    Itu dua yang pertama, pak !
    **masih tanpa dosa**

    wir : ?????
    **bengong**

    Jadi aturan-aturan penulisan ilmiah untuk jurnal ilmiah memang benar harus dituruti dan saya setuju 100% (karena aku juga redaksi jurnal), jika nggak dituruti —> gampang : redaksinya akan membuang paper ke tong sampah ! Alasannya : tidak ilmiah !

    **ttg penulisan untuk sebuah buku mandiri**

    Tapi kalau kasus lain, misalnya untuk buku. Aturan-aturan tersebut jangan terlalu diambil pusinglah.

    Menurutku, pengarang sebuah buku (ilmiah / non-fiksi) sebenarnya boleh bebas berekspresi. Gambar tidak harus dirujuk ! tapi kalau dirujuk dapat lebih jelas maka rujuklah, jika sudah cukup ‘jelas’ ya nggak perlu lah dipakai rujuk-rujukan.

    Tujuaan utama buku adalah bisa mengkomunikasikan ide penulis kepada pembaca secara jelas (tidak ambigu) atau menimbulkan salah interprestasi, sedemikian sehingga pembaca setuju atau memaklumi ide, atau minimal mau membaca (dan membeli) buku dari penulis. Hal yang itu adalah sangat penting. Tidak terikat dengan aturan-aturan ttg menulis.

    Tentu saja tulisan anda tidak melanggar norma-norma masyarakat atau negara yang berlaku. Itu soal lain.

    Eh koq jadi nglantur , awalnya berbicara tentang NILAI, belok ke perbedaan pendapat, lalu menghujam ke PENULISAN ILMIAH.

    Suka

  24. melly Avatar

    Sama pisan, sama pisan ! Akhirnya, seringkali, distribusi nilai menjadi “tidak biasa”. Ada yang bernilai ekstrim sih, Nol dan 100.

    Suka

  25. wargabiasa Avatar
    wargabiasa

    he..he..he.. aku suka mendengar cerita dosen yang kayak ginian…

    andai saja dosen-dosen indonesia kayak gini semua… bakal cepat maju ini negara…

    tapi kalau dosen indonesia kayak gini.. aku pilih jurusan sastra aja… kagak ribet ngitung-ngitung

    he..he..he.. untung aja kuliah sampai semester 2..

    oke.. bos… gue dukung… lanjut.. merdeka

    Suka

  26. wir Avatar
    wir

    Trims dukungannya …. Merdeka !

    Suka

  27. andrias ekoyuono Avatar

    saya setuju dengan #rachmat. Saya sendiri emang lulusan computer science, but being in love with marketing. Menurut saya pribadi asal logikanya benar, maka kesalahan syntax hanyalah mengurangi bobot nilainya saja.

    Tentang “tool” dan “engineer sejati”, saya rasa kok terlalu konvensional. Masalah memakai tool sih saya kira wajar ya, sekarang memang jamannya seperti itu, kalau ada tool yang bisa dimanfaatkan kok repot 🙂 Analoginya sih seperti ketergantungan kita akan listrik

    Suka

  28. wir Avatar
    wir

    Saya memahami pendapat anda, karena latar belakang anda adalah dunia marketing meskipun pendidikan formal eksak.

    Setiap profesi mempunyai resiko dari pekerjaan yang digelutinya, dan setiap resiko berbeda cara melunasinya.

    Marketer, tentu tahu bagaimana jika target penjualan tidak tercapai (tapi paling-paling hanya di pecat aja). Tetapi kalau berhasil wah bonusnya gede (sisi finansial hebat). Ini mungkin yang menyebabkan mas Andrias in love with them.

    Itu marketer, bagaimana dengan tentara. Jika dia lengah di medan perang, yah mungkin dia nggak sempat cerita ke kita-kita ttg kelengahannya itu. **udah ketembak dulu –> almarhum**.

    Bagaimana dengan pilot. yah peristiwa yang barusan terjadi (adam air) tentu dapat dijadikan contoh. **koq nyalahin pilot! aduh sorry , bukan pilot koq, tapi musibah**

    Lalu bagaimana dengan engineer?
    Engineer apa dulu, mesin, yang kalau mesin mobil, kalau nggak bener ya mogok, tetapi bagaimana kalau engineer pesawat ? **pikir sendiri deh**.

    Lalu gimana tentang structural engineer ?

    Lho apa itu ? Belum tahu ya ? O pasti itu struktur (data), apa kayak itu?

    Bukan ! bukan struktur data seperti yang dipemrograman komputer.

    Structural engineer adalah salah satu cabang di bidang teknik sipil yang mengkhususkan diri dalam perencanaan struktur. Mereka ini yang menciptakan gambar-gambar teknik yg nantinya siap dilaksanakan oleh kontraktor.

    Structural engineer bertanggung jawab pada kekuatan dan kekakuan dari struktur yg direncanakan. Kuat dan nyaman ditempati, tidak terjadi lendutan yang mengganggu kenyamanan, baik yang diakibatkan beban-beban rencana maupun beban-beban atau faktor luar yang mungkin dapat mengganggu/ merusak bangunan tersebut, contoh gempa, tsunami (ini hal baru bagi structural engineer di Indonesia untuk dipertimbangkan) dan sebagainya.

    Bagaimana mereka bisa menjamin bahwa konstruksi yang dibangun itu kuat dan kaku (nyaman). Ya itu didasarkan pada ilmu-ilmu rekayasa yang mereka pelajari ditambah dengan pengalaman, atau dari keduanya sehingga dikenal istilah engineering judgement, saya nggak tahu apa di marketing ada istilah marketing judgement

    Berkaitan dengan kekuatan konstruksi, apakah bisa dipastikan bahwa apa yang telah direncanakan dan dihitung oleh structural engineer tsb PASTI berhasil. Kalau pasti sih, rasanya itu pekerjaan yg di **atas**, tetapi setidak-tidaknya resiko utk terjadinya kegagalan adalah sangat kecil sekali.

    Kalau gagal gimana, wah ya gawat. Tidak hanya sekedar kerugian finansial, tidak hanya sekedar komputer-nya jebol shg harus ganti baru, bisa lebih dari itu. Bayangkan kejadian gempa kemarin di bantul, akibat rumah-rumah yang roboh, apa cukup diganti dengan duit. Itu contoh, bagaimana rumah-rumah yg tidak dihitung dengan benar oleh structural engineer , karena memang nggak dihitung : yg diistilahkan sbg non-engineering building.

    Memang ada juga tuh rumah atau kantor atau gedung gede yang roboh. Itu mungkin perencananya atau struktural engineer yang waktu kuliahnya dulu minta excuse **hanya salah nempatin titik pak, koq tega sih bapak dosen ini** . Yg menganggap sepele hal-hal kecil, merasa pinter sendiri, misalnya udah pengalaman membangun gedung di yogya bertahun-tahun dan tidak ada masalah sehingga tidak merasa perlu belajar teknik gempa misalnya.

    Jadi kegagalan dalam menggunakan ilmu-ilmu teknik sipil dapat mempunyai dampak yang luar biasa. Kegagalan tsb tentunya dapat dikurangi bila calon engineer sejak awal harus dikenalkan ttg ketelitian, kedisplinan dan tidak ceroboh, selalu bertindak hati-hati, tidak merasa pinter sendiri (sehingga selalu siap menerima info atau pendapat luar, selalu belajar, dsb).

    Kebetulan saya megang mata kuliah pemrograman komputer sejak awal (di semester I), karena pernah merasakan jadi structural engineer

    (tidak sekedar karena punya gelar S1 atau S2 teknik sipil saja, tetapi pernah merasakan bagaimana tuntutan di lapangan, misalnya : pak wir penyangganya bisa dilepas ? Sudah kuat atau belum ? Itu pihak kontraktor sudah menunggu keputusan bapak. Kalau ditunda sampai besok, sewa alat beratnya harus sudah mulai dibayar lho.
    ** Semua keputusan ada resiko **.
    Ingat utk memutuskan itu, belum tentu anak muda yang bergelar S2 mampu menjawabnya, tetapi S1 dengan jam terbang yg cukup mungkin dapat dengan mudah ngotot utk mengambil keputusan “ya” atau “tidak”, dan ngotot dengan sikap itu apapun resikonya).

    maka tidak ada salahnya khan kalau media pembelajaran tersebut saya gunakan untuk menyampaikan ‘pesan-pesan tersebut’ sejak dini.

    Kalau ternyata jiwanya nggak sanggup / cocok, maka sejak awal dia bisa pindah ke jurusan lain yg sesuai bidangnya misal marketing 🙂 , sayang khan kalau menghabiskan waktu dibidang yang ternyata tidak digelutinya nanti, hanya sekedar untuk mendapatkan ijazah.
    **karena ijazah-nya keren sih, mudah cari kerja (pacar), bapak koq nggak tahu aja**

    Suka

  29. nazeh Avatar
    nazeh

    waaaahhhhhh hmmmmm bener juga siiiii ngasi nilai kemahsiswa harus tegas….buktinya…..gue korban ketegasan dosennnnnn…tapi males ujiannya…..kalkulatooorrr aja…..

    Suka

  30. nazeh Avatar
    nazeh

    tapiiiii bentar bentar……di itb…tak jarang nilai 60 sudah A….55 B…50 C…yang disesalin…kenapa dikelaslain dengan matakuliah sama…..nilai 55 itu C….nah parah nya lagi……ada mahasiswa (TERMASUK SAYA) yang dapat 50….dapet D deh….dan terpaksa harus ngulang tahun depan…….apa itu adil….coba gue ada dikelas sebelah….mungkin setidaknya dapat C dan ip gak jeblok…….jadiiiiiii……apanya dong….setega itu pak??????!!!!yah mungkin harus tega siiiiii

    Suka

  31. wir Avatar
    wir

    O gitu ya. **jadi paham**

    Kami di UPH mungkin lain situasinya.

    Mahasiswa/i di UPH merupakan client dan hal tersebut kami (karyawan edukatif atau non-edukatif) paham benar. Tanpa mereka maka keberadaan kami juga dipertanyakan. Mereka butuh kita dan kita juga butuh mereka. SALING.

    Mereka di uph karena mereka ingin mendapatkan sesuatu, ingat sesuatu itu tidak sekedar ijazah tetapi sesuatu hal yang bernilai, yang juga mereka pahami sehingga mereka mau membayarnya.

    Jadi pada prinsipnya, penilaian yang saya lakukan di atas adalah untuk mendukung ‘sesuatu’ itu. Untuk itu kami perlu mengkomunikasikan ke mereka (mhs) bahwa yang kami lakukan itu adalah bagian dari ‘sesuatu’ yang mereka ingin dapatkan tersebut. Jadi diharapkan mereka juga punya strategi bagaimana mencapai hal tsb.

    Mahasiswa dan dosen sama-sama puas.

    Nilai hanya merupakan indikator proses yang mereka lakukan sudah baik atau belum, dan bukan men-judgement bhw si A bodoh atau si B pinter. Bisa aja nilai jelek karena blm fokus (karena nge-kost, kesepian atau kangen atau yang lain).

    Suka

  32. Nofie Iman Avatar

    Kalau hal tersebut terjadi di lapangan bisa saja menyebabkan retak bahkan keruntuhan struktur yang mengakibatkan korban jiwa.

    Saya kenal dengan dosen UAJY yang punya prinsip sama seperti Anda. Alasan Anda (dan alasan beliau juga) sebenarnya masuk akal. Tapi coba kita lihat dari perspektif lain.

    Di dunia nyata, mahasiswa freshgraduate tak mungkin langsung diminta menghitung atau membangun (misal) struktur jembatan tanpa ada supervisi. Artinya, kesalahan kecil yang mungkin ia lakukan pasti akan segera bisa diketahui dan diperbaiki. Cepat atau lambat, mahasiswa akan bisa belajar membuat perhitungan yang akurat berdasar pengalamannya.

    Lagipula, saya pribadi lebih suka memberikan keleluasaan/kebebasan dan fleksibilitas buat mahasiswa. Kalau memang mahasiswa menunjukkan niat baik, keseriusan, dan kerja keras, kesalahan kecil seharusnya bisa ditolerir dan diluluskan saja. Tak jarang, dari mahasiswa yang kita “tolong” tadi, kita malah sering mendapatkan tawaran proyek, kerjasama, penelitian, dan sebagainya.

    Toh kalau kita tidak mempersulit orang lain, Tuhan pun juga tidak akan mempersulit urusan kita, bukan?

    Suka

  33. wir Avatar
    wir

    Di dunia nyata, mahasiswa freshgraduate tak mungkin langsung diminta menghitung atau membangun (misal) struktur jembatan tanpa ada supervisi.

    Koq anda pesimis sih dengan kapasitas freshgraduate yang anda hasilkan, saya di UPH lain, saya optimis, bahkan kalau langsung bekerja maka mereka juga mampu. Menurut survey yang kami lakukan, sebagian besar mahasiswa kami mengambil jurusan teknik sipil di UPH dengan harapan akan melanjutkan bisnis keluarga, artinya mereka berpotensi menjadi pimpinan dari perusahaan tersebut, jadi kemungkinan untuk bekerja mandiri sangat besar. Itu mungkin yang berbeda ya, dengan yang lain. Kita menyiapkan mereka untuk tidak hanya jadi bawahan yang baik, yang perlu supervisi, tetapi juga bos yang baik yang dapat secara mandiri mengambil suatu keputusan. Kuliah leadership menjadi salah satu kuliah universitas yang ‘wajib’ hukumnya karena dikelola oleh universitas dan diberikan oleh orang-orang yg senior yang memotivasi mhs utk punya mental pemimpin dan tidak puas hanya jadi bawahan **he, he, he punya idealisme khan boleh khan, wong namanya dosen**

    ..saya pribadi lebih suka memberikan keleluasaan/kebebasan dan fleksibilitas buat mahasiswa. Kalau memang mahasiswa menunjukkan niat baik, keseriusan, dan kerja keras, kesalahan kecil seharusnya bisa ditolerir dan diluluskan saja. Tak jarang, dari mahasiswa yang kita “tolong” tadi, kita malah sering mendapatkan tawaran proyek, kerjasama, penelitian, dan sebagainya.

    Betul sekali, mohon dibaca lebih tulisan saya, karena niat baik dll yg bersifat subyektifitas sudah dialokasikan dalam bentuk tugas, PR, quis dll yang dibatasi tidak boleh lebih 30% dari total nilai. Karena kebetulan materi yang saya ajarkan adalah bidang eksak. Jadi saya menekankan pada kompetensi. Cara anda bisa sangat subyektif **apalagi kalau mhs-nya bawa proyek**.

    **Tentang proyek** Pada saat penilaian tersebut, saya hanya berfokus pada pembelajaran yang diberikan. Terus terang nilai yang saya berikan tidak berpamrih sama sekali. Saya tidak mengharapkan mereka untuk membalas budi sama sekali tidak **tetapi kalau ada yang ingat, itulah kebanggaan atau kebahagiaan seorang guru**. Saya hanya berupaya memberikan yang terbaik bagi mereka.

    Saya mau bertanya ke anda : apakah seorang guru yang memberi nilai A atau 100 kesemua murid, hanya karena tidak tega, atau kasihan, atau alasan lain yg bersifat subyektif (muridnya menyenangkan koq, cantik koq, rajin koq, selalu senyum koq) itu merupakan alasan bahwa dosen itu mempermudah (lawan dari menyulitkan) mahasiswa.

    Tanya lagi : esensi belajar itu apa sih, nilainya aja, dapat ijazah aja, peduli dengan materi yang diberikan, toh yang dilihat pada waktu kerja khan hanya ijazah ?

    Berkaitan dengan materi yang dinilai, bahkan sering kali (tidak selalu) soal ujian yang udah dinilai saya kembalikan ke mereka agar tahu mengapa nilainya jelek atau baik, kalau baik (dapat 100) aku promosikan juga koq, biar temen-temen pada niru. Bahkan semester kemarin dua orang yang dapat 100 aku minta jadi asisten agar dapet mbantu temen yang lain. Asisten kami bayar.

    Toh kalau kita tidak mempersulit orang lain, Tuhan pun juga tidak akan mempersulit urusan kita, bukan?

    Betul sekali, dalam memberi penilaian tersebut terus terang tidak terbesit sama sekali keinginan untuk mempersulit mahasiswa. Kami menganggap bahwa mahasiswa adalah asset atau client kami, sebagai anak-anak kami yg telah mempercayakan untuk mendapat didikan dan ajaran di sini. Jadi semata-mata penilaian yang kami berikan itu adalah bagian tanggung jawab kami selaku dosen yang mempunyai kewajiban selain mengajar juga memberi penilaian (mengevaluasi proses belajar / mengajar). Tidak terbersit juga dalam pikiran kami, bahwa mumpung saat ini saya jadi dosen dan mereka jadi murid maka mentang-mentang bisa seenaknya saja. Dosen seperti itu tidak ada tempatnya di UPH.

    Kalaupun ada nilai yang jelek, maka kami menganggap bahwa interaksi belajar dosen-mhs belum maksimal (baik). Jadi harus dicari penyebabnya. Kami selaku dosen akan siap berdialog, membantu mahasiswa, asalkan itu dilakukan sebelum proses ujian. Setelah ujian dan nilai keluar, rasanya dialog seperti itu sudah tidak relevan lagi. Jadi tidak ada (kecuali bila ada kesalahan-kesalahan teknis).

    Suka

  34. B Anton S, CEED GMU Yk Avatar
    B Anton S, CEED GMU Yk

    Setuju dengan cara penilaian bapak.

    Meskipun tegas tapi masih fair, ada reward and punishment, yang bagus di promosikan, yang ga bagus punishment-nya ya otomatis=ngulang, serta ada verifikasi kenapa nilainya jelek.

    Memang dosen itu bermacam-macam, sering-seringnya sih aneh, ujian bisa dapet jelek, ujian gak bisa (soalnya jawabannya dikasih setelah ujian, dan jawaban saya jauuh) eh malah dapat bagus.

    Memang ketegasan harus ditegakkan, harus

    Kenapa harus, untuk kebaikan negara kita di masa datang (sudah males liat aturan dilanggar, ga ikut nglanggar salah, ikut juga salah). Wong sudah ditegakkan cara penilaian seperti itu aja masih sering belok, apalagi klo dari saat dididik sudah diajari yang gak-gak.

    Klo masalah metode, ataupun yang lain menurut saya beda gak apa-apa asal konsisten dan alasannya benar.

    Tapi Klo jadi mahasiswa bapak takut juga…hehehehehe….,

    Suka

  35. pak, mahasiswa complaint lho ! « The works of Wiryanto Dewobroto Avatar

    […] 1/3 dan 2/3. Aku mencoba melihat bahwa mahasiswa itu bukan mesin. Gitu lho. Mau tahu strategiku. Klik ini aja kalau […]

    Suka

  36. Saesario Indrawan Avatar

    Salam Pak Wir dan sedulur2 yang lain…

    Mungkin teman teman yang pernah menjadi mahasiswa Pak Wir, pernah anyel (kesal), karena dosen yang satu ini tidak pernah mau menerima karya yang LESS THAN PERFECT… Tetapi, ya itu bisa sangat dimaklumi karena setelah bergelut di dunia konstruksi memang taruhannya NYAWA. Celakanya lagi nyawa orang lain yang jadi taruhan… Lha kalau mendesain sebuah bangunan atau melaksanakan pembangunan dengan sembrono, masih bagus kalo si perancangnya atau konstruktornya yang modar?! Lha kalo orang lain yang enggak ngerti apa apa yang jadi korban terus piye? Nggih napa nggih?

    Anyway, saya sangat bisa memahami posisi Pak Wir, karena saya akhirnya juga pernah jadi asisten dosen, dus tahu benar bagaimana perasaan saat TU meminta daftar penilaian. ‘Mau dilulusin kok hasilnya ancuur…, enggak dilulusin kok kesian, wong tiap hari hadir di kelas..??’

    Itulah sebabnya saya ndak mau jadi dosen… hehehe… biar orang orang yang penuh INTEGRITAS seperti Pak Wir saja yang melakoninya, saya mah jadi usernya aja.

    Maju terus Pak Wir, jangan takut kalo ada yang macem macem gara-gara gak dilulusin sama Pak Wir, nanti saya yang ngadepin… kekekeke (mentang mentang badan ane gede…)

    Semanten rumiyin atur kawula, mugi Gusti tansah paring kawilujengan lan karahayon dumateng panjenengan lan kulawarga ageng UPH. Amin

    -Caesar-

    Wir’s responds: Ini Saesar, mahasiswa jurusan Teknik Sipil UPH angkatan 1999, apa kabar ? Terima kasih atas kesaksiannya. Semoga Tuhan memberkati.

    O ya, ini ada kabar tentang alumni Sipil UPH yang lain.

    Suka

  37. pendampingan anak « The works of Wiryanto Dewobroto Avatar

    […] Caraku memberi NILAI di UPH – 10 Agustus 2006 […]

    Suka

  38. Petrus Ambarita Avatar

    Nilai dalam ilmu sosial adalah sebuah konsep abstrak dalam diri manusia (mahasiswa) mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, indah atau tidak indah, dan benar atau salah.

    Saya melihat diskusi ini sungguh menarik, ada yang menjadi pertanyaan yang mendasar. Jika satuan Ilmu kita berkiblat terhadap Teknik, sudah barang pasti ada nilai pastinya cth: 2 + 2 = 4, akan tetapi jika satuan ilmu kita adalah disekitar ilmu sosial apa parameter kita untuk memberi nilai 100…?

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      pak Petrus
      “parameter kita memberi nilai”

      Apa ya ?
      Wah saya kira itu bisa berbeda-beda tergantung argumentasi yang mendasarinya. Nilai bagiku hanyalah suatu petunjuk bahwa apa-apa yang dikerjakan oleh mahasiswa sudah sesuai dengan apa yang dosen harapkan.

      Jika demikian halnya, maka saya kira tidak ada masalah apakah ilmu sosial atau ilmu pasti. Nilai 100 adalah indikasi maksimum yang diberikan dosen bahwa apa yang disampaikan mahasiswa sesuai atau melebihi ekspetasi yang diharapkan dosen, sedangkan nilai nol jika dosen melihat bahwa mahasiswa tidak memberi respond terhadap apa yang disampaikan dosen.

      Konsep di atas saya kira hanya cocok jika diterapkan pada level perguruan tinggi, yang mana mahasiswa sudah dapat dianggap mandiri. Selain itu hanya cocok jika bentuk ujiannya adalah essai. Jadi dari sisi bagaimana mahasiswa membuat argumentasi jawaban maka dapat diketahui pola pikir mahasiswa tersebut.

      Sedangkan jika bentuk soal berupa multiple choice maka hasilnya lebih seperti 1 + 1 = 2. Gitu lho.

      Suka

  39. dosen yang tidak berdedikasi « The works of Wiryanto Dewobroto Avatar

    […] Caraku memberi NILAI di UPH – 10 Agustus 2006 […]

    Suka

  40. kikih_S2UGM Avatar
    kikih_S2UGM

    Selamat pagi pak wir…
    Secara obyektif saya menilai dari diskusi diatas…
    bahwa sebagai manusia, kita tidak luput dari kesalahan…
    begitu juga dengan dosen atau mahasiswa sekalipun…
    seandainya mahasiswa mempunyai daya juang, integritas dan kepribadian UNGGUL, maka sya dengan yakin dan HAQUL yakin, akan bersyukur karenanya…
    baik dan tidaknya tergantung dari cara kita memandang, agar kita selalu bersyukur dengan apa yang kita dapat…
    Dosen juga manusia teman2….
    harusnya kita lebih banyak berterimakasih, karena beliaulah akhirnya kita jadi lebih banyak tau, bukannya setelah tau terus kita seoleh2 menyalahkan…
    selamat belajar dan berkarya untuk Dosen dan Mahasiswa Indonesia (yang hilang daya kritis dan juangnya)…

    Suka

  41. Naskah akademik tulisan tangan | The works of Wiryanto Dewobroto Avatar

    […] Caraku memberi NILAI di UPH – 10 Agustus 2006 […]

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com