Suatu pernyataan yang ekstrim. Idenya aku baca dari tanggapan para netter terhadap opiniku tentang “Cara penilaianku di UPH”, baik di blog ini, maupun blog lain yang juga memberi komentar.
Aku jadi bingung, koq jadi ada kata-kata Tuhan. Wong ini semata-mata hanya masalah mata kuliah dan evaluasi kelulusan mahasiswa.
Di sisi lain timbul topik baru : “pak wir keji karena memberi nilai nol !”
Hebat ya, bilangan nol dan bilangan seratus menjadi suatu hal yang mengagetkan sehingga perlu diperbincangkan. 0 = keji ; 100 = Tuhan.
Lalu, apa sih bedanya dosen yang memberi nilai 0 atau 20 atau 30 , toh ke tiga-tiga-nya sama-sama nggak lulus. Mungkin yang satu ngulang dengan tenang, yang satunya lagi ngulang dengan tidak tenang (nggrundel) 😦 .
Kekagetan tentang nilai 100 seperti di atas, mungkin didasarkan pemikiran seperti guru pencak-silat (yang aku baca di cersil lho, dan mestinya nggak semua ya), yang nggak berani menurunkan semua ilmunya ke muridnya karena takut suatu saat nanti si murid ini akan berbalik melawan.
Apa memang seperti itu. Kalau mengenai ilmu kebaikan : “kasih” misalnya, apa juga setengah-setengah.
Yah, tapi itu boleh-boleh aja, alam demokrasi katanya. Tergantung gurunya, kalau si murid mau, ya apa lagi. Yang bodo murid atau yang pinter gurunya.
**bingung**
Toh sekarang semua, khan mandiri, bebas, kalau murid nggak suka dan punya potensi, ya cari guru yang lain. Ingat guru yang nggak punya murid juga pusing. Guru nggak punya murid apa bisa disebut guru ya ?
**bingung lagi**
Sekarang, sudah banyak orang yang pintar- pintar. (orang HRD bilang, yang melamar mau menjadi dosen sipil setumpuk tingginya, siapa keluar siap diganti, tidak dalam hitungan hari, tapi udah detik, hebat bukan, hiiii ). Jadi nggak bisa itu guru juga seenak-enaknya sendiri seakan-akan seperti jamannya dulu kuliah (arena balas dendam ya ?, ada dosen seperti itu di kampus kamu –> Quit).
Jadi dosen itu gampang-gampang susah. Tapi menurutku : “memang penilaian dari dosen adalah mutlak“, kalau sampai bisa di-intervensi yah dosen itu sudah bukan apa-apa lagi. Tidak ada eksistensinya lagi !
Catatan : orang di dunia itu khan mau cari eksistensinya aja bukan, bahkan kalau perlu beli mobil seharga satu komplek rumah, mungkin aja.
Karena menurutku pada saat pembelajaran, yang ada hanya guru dan murid, jadi guru mengajar dan murid di diajar, guru menilai dan murid di nilai. Kalau sampai kebalikannya wah jadi repot.
Lho koq berlawanan dengan statement terdahulu !
Yang mana ?
Itu lho, yang katanya di uph ada kuisioner murid tentangg dosennya.
O itu, kalau itu sih masukan ke institusinya. Ya jelas, aku berpendapat di atas dengan asumsi bahwa gurunya itu memang “guru”. Tahu khan maksudku.
Nggak tahu.
**bingung**
Yah, guru yang memang sesuai dengan namanya: GURU, yaitu “digugu dan ditiru” (didengar dan diteladani), kalau nggak seperti itu ya nggak boleh ngaku guru. (lho lalu makanku pakai apa, gajiku hanya guru je, he, he )
Wah ngomong nglantur, pakai bahasa tidak benar , muridku pasti marahin aku lagi nih 🙂 .
Kembali ke angka 100.
Bagiku nggak masalah, bahkan karena muridku nggak banyak, aku nggak pakai statistik, aku nggak pakai itu lho yang namanya distribusi normal. Pokoknya yang bisa lulus (mungkin dapat 100 lagi) dan yang nggak bisa , bisa saja dapat nilai 0. Umumnya kertas penilaian atau jawaban ujian aku kembalikan lagi ke mhs-nya.
Lalu bagaimana dengan o dan 100 itu. Pada prinsipnya, pinginnya aku mau ngasih 100 semua (kalau ngikutin distribusi normal khan nggak bisa), dan sedih kalau harus ngasih 0. Kadang aku juga bertanya ke mahasiswa, kenapa koq jelek. Jawabnya : iya pak, kemarin dari baru pulang dari Singpore.
Lho koq gitu, mau ujian koq jalan-jalan, karena kalau mau jawab nggak belajar, malu ! Tengsin.
Bagiku kalau muridnya lebih pinter dari gurunya, nggak apa-apa itu. Bahkan aku selalu mendorong mereka.
Ketika kelompok bimbinganku jadi juara berturut-turut pada lomba mahasiswa antar perguruan tinggi, aku juga tidak ikut-ikutan maju kemimbar ingin ikut di foto (ada fotonya sih tapi itu bukan dimimbar lho), biarlah mereka (murid-muridku) yang tampil.
Juga aku selalu mendorong murid-muridku agar ‘pd’ juga dalam kemampuan mempresentasikan seminar. Bisa dilihat laporan di blog ku ini juga. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu di lihat bahwa aku mencantumkan namaku di belakang mereka, bukan aku duluan. Aku mencantumkan untuk menunjukkan bahwa aku mendukung mereka, kalau sampai materi itu tidak bermutu, wiryanto jugalah yang akan menerima akibatnya. Jadi bukan karena aku ingin tampil. Aku menghormati kerja keras mereka. Kenapa, aku ngrasain dulu ketika aku kuliah, aku yang bikin makalah (bahkan ide dosenku rasanya minim) tetapi ketika dimasukkan paper, dosennya minta jadi penulis pertama, padahal yg presentasi maju juga muridnya. Tahu nggak, kenapa, karena penulis pertama kum-nya lebih tinggi dibanding yg ke-2. Jadi motivasi permintaan penulisan paper dan presentasi itu bukan untuk mentranformasi mhs, tapi untuk keperluan kum dosen-nya aja 🙂 .
Kalau aku sih, nggak berpikiran seperti itu. Murid-murid ku silahkan jadi setinggi langit, toh pada akhirnya akan ada pertanyaan, siapa sih gurunya.
Kalaupun memang nggak ada yang tanya, juga nggak apa-apa, toh aku masih berpikiran:
Keinginan orang benar mendatangkan bahagia semata-mata, …
Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum.
Siapa mengejar kebaikan, berusaha untuk dikenan orang, tetapi siapa mengejar kejahatan akan ditimpa kejahatan.
Hasil orang benar adalah pohon kehidupan, dan siapa bijak, mengambil hati orang.
Amsal 11:23-31
Lho koq akhirnya ada hubungannya dng kata pada judul di atas .
Tinggalkan komentar