Suatu pesan atau pepatah atau kata-kata mutiara yang cukup banyak dikenal, khususnya bagi para penulis termasuk blogger. Tidak percaya, Google-kan aja.
Sedangkan di sisi lain, anak-anak kita yang sedang ke sekolah, kita katakan sedang menuntut ilmu. Apa betul ya. Mungkin yang benar, sedang menuntut ijazah kelulusan ya. Itu buktinya dengan UN, yang penting khan lulus dan dapat ijazah, sedangkan nanti di level perguruan tinggi adalah gelar.
Pantes, di Indonesia, sudah banyak yang bergelar, tapi masih seperti ini saja, bahkan omongan peramal yang jadi panutan, omongan orang yang ngaku ahli di cuekin (banyak yang salah sih, sedangkan kalau peramal yg salah, ah itu khan biasa). Menurut ehm-ehm tahun ini akan ehm-ehm !??!!! Percaya nggak ?! **ah nggak mau komentar ah**
Sekarang aku bertanya: ijazah / gelar apakah itu identik dengan berilmu.
Anda-anda, coba bertanya pada diri anda, benar nggak ? Jelas dong pak, khan bergelar ! Negeri lho.
Ok, jawabnya saya kira bisa berbeda-beda. Tapi yang jelas (ini buat yg cari kerja) kalau nggak punya ijazah mungkin kurang PD nglamar kerja, nggak ada buktinya. Sedangkan yang punya ijazah tapi nggak berilmu, tetap PD nglamar sana, nglamar sini, bahkan mungkin udah berhasil nglamar anak gadis orang. (Catatan : dulu ilmu andalannya nyontek, dan selalu berhasil, tapi ilmu yang sesuai gelar : apa ya ? , udah lupa).
**koq nglantur jauh dari judul**
Ok kembali ke pepatah “Ikatlah Ilmu dengan menuliskannya”, bukankah petunjuk itu juga berguna tidak hanya bagi blogger atau penulis tetapi juga kepada pengajar atau guru bukan.
Tujuan anak-anak (murid) kita bersekolah adalah agar berilmu. Oleh karena itu, mengapa strategi itu tidak kita gunakan juga dalam bidang pembelajaran.
Kurang jelas, maksudnya ? **masih bingung ya**
Ok, bagi orang tua yang punya anak-anak di SD atau SMP, coba lihat buku-bukunya, coba angkat tas mereka. Aku nyoba angkat tas anakku yang SD, berat sekali. Apa isinya ? Ternyata tas-nya banyak diisi oleh buku-buku cetak (terbitan penerbit) yang digunakan sebagai buku ajar. Disitu memang ada pertanyaan-pertanyaan atau gambar dan ada kolom atau spasi kosong tempat jawaban sehingga anak langsung menjawab dengan menulis tanda silang atau jawabannya saja. Praktis ya ? Nggak perlu nulis di buku lagi khan.
Itu khan pemborosan bukan, pantas kita sebagai orang tua disibukkan setiap semester (tahun) beli buku baru. Pantas buku yang lama (dari kakaknya) tidak dipakai lagi (karena sudah penuh coretan tulisan , yaitu jawabannya).
Kata orang-orang birokrasi, ya biar praktis, atau sebagainya. Tapi itu khan salah besar ! Dengan cara seperti itu, proses atau kesempatan menulis bagi anak-anak jadi direduksi, berkurang. Meskipun tahap menulis seperti itu mungkin bersifat pasif ya, terbatas menjawab soal, atau meniru ibu/pak guru, tapi yang jelas : yang pasif saja direduksi, bagaimana yang aktif (mengarang).
Jadi gembar-gembor di tingkat atas (yg sudah sekolah) agar ramai-ramai ‘ikat ilmu dng menulis’ tetapi di level dasar secara terstruktur diberikan konsep ‘praktis – pilih jawaban yang benar mana, tanpa perlu banyak kegiatan menulis‘.
Jika benar-benar kita (guru dan birokrasi) memahami judul di atas tsb “ikatlah ilmu dengan menuliskannya” , maka tentu tidak diperlukan buku-buku baru tiap tahun ajaran baru, buku-buku kakak kelas-nya tentu masih dapat dipakai oleh adik kelas-nya, orang tua juga dapat berhemat, dan akhirnya anak-anak banyak diberi tugas menulis, baik pasif maupun aktif (mengarang) .
Mengapa itu dapat terjadi, karena buku cetak (penerbit) adalah memang buku yang hanya dibaca dan dijadikan sumber inspirasi atau acuan, sedang proses belajar dan menulis pakai buku tulis yang lain yang memang kosong yang memang dikhususkan untuk nulis. Persis jaman dulu.
Itu juga mendidik anak-anak untuk cinta buku, menyimpan dan merawat. Dengan demikian secara tidak langsung memaksa anak-anak banyak menulis.
Jika di SD – saja tidak diajarkan secara intensif tentang tulis-menulis, kapan lagi. **kesel** Jadi di level atas nggak perlu gembor-gembor berslogan “Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya”. Itu khan menunjukkan kalau pada level tersebut, mereka baru menyadarinya, mungkin setelah malang melintang di blog atau apa gitu.
Harusnya sejak level SD , anak-anak harus sudah tahu itu, dan sudah mempraktekkannya (tentu dibimbing guru-nya). Tidak harus menunggu kalau mau jadi penulis saja, tapi bagi semua orang yang MAU mengikat ILMU untuk kompetensi pribadinya. Akhirnya khan akan berimbas pada bangsa, sehingga orang-orang tidak menyebut kita lagi sbg bangsa TEMPE dng konotasi buruk, tetapi memang TEMPE, lauk yang enak, kegemaranku itu.
**waduh bau gorengan TEMPE bacem-nya udah sampai sini, makan dulu ya**
Tinggalkan komentar