Kompas Kamis 31 Mei 2007, ada judul besar-besaran di kolom Humaniora yaitu “Perguruan Tinggi di Indonesia dinilai mandul“.

Mandul karena dianggap belum mampu memaksimalkan potensi kekayaan intelektual dari para mahasiswa dan dosennya untuk mendorong penerbitan buku-buku berkualitas lainnya. Bukan saja untuk kalangan civitas akademika di lingkungan kampus, melainkan juga untuk masyarakat luas.

Prof Komaruddin Hidayat bahkan mengatakan ‘masih perlu mendorong’ para dosen untuk mulai membudayakan menulis sebagai salah satu bentuk pertanggung-jawaban intelektualitas mereka.

Sedangkan Dr. Rhenal Khasali menyayangkan bahwa penulisan buku-buku ilmiah yang dilakukan dosen-termasuk guru besar- di perguruan tinggi lebih ditujukan untuk mengejar nilai kum.

Bahkan Gun-gun W Gumilar dari penerbit ITB mengakui bahwa mencari naskah-naskah bermutu dari kalangan intern ITB sendiri sulit. Masih banyak yang tidak mampu menulis dengan baik, ditinjau dari materi, bahasa, ataupun penyajiannya. Sebagai contohnya, menurut pak Gun-gun tersebut: Penerbit ITB sudah mengajak dosen untuk menyediakan diktat dari setiap mata kuliah yang diajarkan. Dari 1029 dosen yang disurati untuk menyiapkan diktat, hanya sekitar 30 persen yang merespons. Dari jumlah itu, yang berhasil diterbitkan menjadi buku, baru sepuluh buah.

Wah gimana itu, padahal ITB lagi, bagaimana dengan perguruan tinggi yang lain ?

Moga-moga UPH nggak begitu ya. Biasanya perguruan tinggi yang baru berdiri, masih idealis. Cari nama. Untuk yang sudah punya nama, lalu ngapain (wah indonesia banget ya).

13 tanggapan untuk “produktivitas Perguruan Tinggi kita diragukan !”

  1. arul Avatar

    kebanyakan mikir uang pak… 🙂

    Suka

  2. Donny B Tampubolon Avatar
    Donny B Tampubolon

    Ini akibat Profesi DOSEN yang seringkali dipandang sebagai pelarian karena minimnya lowongan kerja.

    Yang pantas menjadi DOSEN pun kadang tidak mendapatkan tempat diantara rekan-rekan seprofesinya, karena terlalu idealis katanya.

    Kalau boleh saya usul,
    Seharusnya harus ada syarat-syarat yang ketat untuk menjadi DOSEN (mis: sertifikasi dosen, harus menghasilkan karya tulis berupa buku dsb.) Contohnya : Yang TIDAK bersertifikat dan atau TIDAK menghasilkan karya tulis dalam periode tertentu maka Sertifikat dosennya akan dicabut dan tidak diterima di lembaga pendidikan manapun untuk mengajar.

    Sehingga profesi DOSEN itu dipandang sebagai profesi yang bonafit dan tidak bisa main-main.

    Syallom..

    Suka

  3. Donny B Tampubolon Avatar
    Donny B Tampubolon

    Dosen yang berkualitas dapat kita lihat dari banyaknya karya tulis (buku/jurnal) yang berkualitas, penelitian dan sumbangsihnya buat dunia pendidikan.

    Sepertinya harus ada sertifikasi buat calon DOSEN dan persyaratan menghasilkan karya tulis dalam periode waktu tertentu buat para DOSEN. Sehingga bila tidak menghasilkan karya tulis maka sertifikatnya akan dicabut sehingga tidak boleh mengajar di lembaga pendidikan manapun..Profesi Dosen akan menjadi lebih Profesional dan Bonafid.

    Dan yang terakhir, Naikkan penghargaan dan kesejahteraan para DOSEN untuk meningkatkan kualitas pengajarannya, Masyarakat pasti akan menilai Lembaga pendidikan mana yang berkualitas karena lembaga pendidikan tersebut pasti sanggup merekrut DOSEN-DOSEN berkualitas.

    Untuk para lembaga pendidikan :
    -HENTIKAN komersialisasi pendidikan karena itu akan jadi BUMERANG dan BOM WAKTU buat generasi yang akan datang.
    -Berikan donk kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat miskin untuk mengecap pendidikan yang layak.

    Perubahan harus diawali dari kita sendiri, karena kapan lagi??

    Syallom..

    Suka

  4. wir Avatar
    wir

    menghasilkan karya tulis dalam periode waktu tertentu buat para DOSEN

    Kelihatannya ideal, tapi kalau budaya membacanya di masyarakatnya belum ada. Lalu siapa yang mau membeli buku karyanya. Jika tidak ada yang membelinya, duit untuk menerbitkannya darimana. Mahal lho mas biayanya.
    Sebagai gambaran, buku saya yang baru terbit tsb dijual seharga 78 rb. Anggap modal awal 25%-nya jadi biaya yang diperlukan untuk menerbitkannya adalah 20rb (ini kayaknya sulit, halamannya aja 400 lembar). Itu akan dicetak sebanyak 2500 exp. Coba berapa itu : 50 juta lho mas. Iya kalau laku, ada yang beli. Jika tidak, gimana . Apalagi dosen, yang nggak pernah mproyek lagi, duit seperti itu khan baiknya untuk kredit rumah.

    O ya, ada juga dosen yang idealis, nulis maunya ilmiah-ilmiah, bahasa matematis. Engineer-pun kalau mbaca mengernyitkan dahi. Materi seperti itu biasanya dihindari penerbit, kecuali biaya sendiri. Ada saja yang ngotot, ya, udah, nggak usah nerbitin aja. Ada lho mas yang seperti itu.

    Kalau saya khan beda, kalau perlu sedikit dipopulerkan. Jadi karya populer. Tapi ada yang sinis lho : bahwa karya tulis populer kayak buku-buku saya itu dianggap kurang ilmiah. Gitu lho, gimana itu.

    Naikkan penghargaan dan kesejahteraan para DOSEN

    Kalau ini saya setuju, saya dulu sebelum di UPH nggak mbayangin bisa hidup dari dosen. Ini penting lho, jika perut masih lapar, badan kedinginan, tidur kehujanan, pergi berjejal-jejalan di bis kota (kecopetan lagi). Gimana bisa kesana-kemari bawa laptop agar kalau punya ide bisa dituliskan langsung. Ini perlu mas. Selain kasih penghargaan kasih juga sangsi, kalau nggak disiplin gimana gitu lho. Di UPH dulu ada profesor senior, mau ngatur waktunya seenaknya sendiri, akhir OUT.

    komersialisasi pendidikan

    wah ini agak kabur lho mas, apa yang dimaksud dengan hal tersebut. Terus terang di UPH bayaran sekolahnya mahal lho, saya besok saja kalau nggak ada diskon (karena dosen) pasti mikir koq kalau nyekolahin anak di sini (bisa tekor). Tetapi itu semua kembali ke anak-anaknya lagi koq. Bagi kita, mahasiswa adalah client yang ‘membeli’ produk kita. Kita ini melayani mereka, melayani tapi bukan pelayan lho.

    Untuk rakyat miskin ?

    Mestinya ini tanggung jawab negara lho, khan ada di undang-undang : kesejahteraan sosial . Jadi nggak bisa seenaknya dibebankan ke lembaga pendidikan swasta. Kalau gratis bagaimana bisa membayar karyawan dan dosen dengan baik, sehingga mereka mau bekerja di situ. Meskipun demikian, di UPH ada juga kebijaksanaan beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi. Tapi menurutku ini kebijaksanaan win-win juga, misalnya jika lulus harus kerja dulu beberapa tahun di dalam jaringan UPH dsb. Kalau untuk swasta, yang cari duit juga harus sendiri (nggak ada bantuan pemerintah) : nggak ada makan siang gratis tuh mas.

    Harus dimulai dari diri sendiri.

    Itu betul sekali, dari pada saya juga berkoar-koar seperti yang ditulis mas di atas, karena saya termasuk golongan yang diomongin tersebut, meskipun juga sudah nyoba nulis, tapi belum tentu juga dianggap bermutu oleh orang lain. Maka ya itu tetap terus belajar agar dapat lebih baik lagi dari yang dulu dan tetap menulis juga untuk anda-anda yang masih mau membacanya.

    Penting lho mas, bahwa menulis tersebut bisa bersemangat jika ada yang membaca dan menanggapi tulisan tersebut. Yah kayak mas Donny ini. Jadi kita-kita disini, baik yang menulis maupun membaca, sebenarnya saling bertumbuh menjadi lebih baik, dapat berbagi info dan pengetahuan. Begitu bukan.

    Suka

  5. Donny B Tampubolon Avatar
    Donny B Tampubolon

    Mungkin benar sekali Pa Wir, proses budaya membaca di Indonesia sangat lambat pertumbuhannya dibandingkan animo masyarakat untuk menonton Film/Sinetron yang tidak bermutu di semua stasiun TV.

    Hanya yang saya khawatirkan adalah Profesi apapun itu sepertinya harus sudah mulai berbenah diri, seperti Profesi DOSEN, sertifikasi DOSEN/tenaga pengajar harus ada untuk mengahadapi Era Perdagangan Bebas sekarang ini.

    Sertifikasi itu sangat penting karena :

    1. Standard/kualitas minimum yang harus dicapai.
    2. Meningkatkan kualitas DOSEN/GURU.
    3. Pengakuan terhadap DOSEN/GURU Indonesia khusunya bertaraf Nasional atau juga bisa bertaraf Internasional.
    4. Melindungi hak dan kewajiban DOSEN/GURU Indonesia tentunya.
    5. Mempertahankan nilai-nilai luhur Profesi DOSEN/GURU.
    6. Menahan laju pertumbuhan DOSEN/GURU Expatriat.
    7. Dsb.

    Bayangkan sekarang saja sudah menjamur tenaga pengajar Expatriat di sekolah-sekolah International maupun ditempat les/private yang sepertinya semakin bertambah banyak, harusnya para DOSEN/GURU jangan lengah, harus bersatu.

    Karena Komersialisasi pendidikan dengan mendatangkan Tenaga Pengajar Expatriat akan merugikan masa depan pendidikan Negeri ini juga menimbulkan opini bahwa Lembaga pendidikan yang tidak ada DOSEN/GURU Expatriatnya adalah tidak berkualitas (ini berbahaya). Apakah DOSEN/GURU Indonesia itu bodoh-bodoh?

    Saya sangat yakin sekali bahwa banyak DOSEN/GURU di Indonesia yang sangat berkualitas, hanya saja kurang diberi fasilitas dan keleluasaan untuk berkarya.

    Tapi Pa Wir, omong-omong sudah ada belum ya Organisasi DOSEN/GURU ??

    Untuk DOSEN/GURU se Indonesia, saya mohon maaf jika ada kata-kata saya yang tidak berkenan.

    Syallom..

    Suka

  6. wir Avatar
    wir

    Mungkin organisasi Guru yang lebih perlu diperjuangkan, kenapa, karena profesi guru masih dianggap pelengkap saja. Mereka tidak dikenal secara pribadi, yang penting institusinya. Guru tanpa institusi sekolah, jadi tidak berdaya. Mau buka kursus, lepas dari sekolah susah juga, kecuali punya jiwa wiraswasta. Padahal biasanya kalau guru punya jiwa wiraswasta kuat, mereka nggak mau jadi guru, gitu khan.

    Kalau dosen, cenderung lebih mandiri. Organisasi dosen apa perlu ?. Dosen dapat sejajar bahkan bisa lebih tinggi dari institusinya, kenapa. Karena ada falsafah “tridarma perguruan tinggi” : yaitu pengajaran, penelitian-publikasi-karya-tulis dan pengabdian pada masyarakat. Jadi tidak terkungkung pada soal pengajaran saja. Dua hal yang terahir itu yang melambungkan dosen untuk menjadi apa saja, pembantu menteri (bahkan menteri itu sendiri), ketua mpr, konsultan ahli bahkan penulis. Mereka bisa dengan tetap sebagai dosen, karena mereka punya gelar bekal yang lebih lengkap.

    Rasanya dosen yang benar-benar menghayati falsafah tersebut (tridarma pt) nggak perlu takut, apalagi ditambah falsafah bahwa belajar tidak mengenal usia. Sudah sip itu. Hanya saja jika melihat kutipan berita di kompas tersebut maka kelihatannya dosen di Indonesia lebih fokus pada bidang pengajaran aja.

    Lihat aja, jika fokusnya hanya ngajar, nanti kalau pensiun dan sudah tidak mengajar lagi, namanya udah hilang dari peredaran. Selain itu, dosen seperti itu hanya dikenal dikalangan murid-murid yang diajarkannya saja. Orang lain tidak mengenalnya.

    Jadi menurut saya kemampuan untuk membuat publikasi tersebut yang membedakan antara guru dan dosen. O ya selain itu, karena dosen punya gelar yang lebih banyak, maka meskipun keduanya punya kemampuan publikasi yang sama baiknya maka masyarakat kita cenderung lebih percaya / yakin jika yang mempublikasikannya itu bergelar.

    Apalagi ada kesan dari luar negeri. Wah kacau juga masyarakat kita ini, he, he, he …

    O ya, sbg info sekarang di UPH sudah banyak tuh dosen-dosen asingnya, yang dari Filipina kulitnya sama itemnya lho dengan kita, tapi asing. Jadi tidak hanya sekolah-sekolah internasional aja, di UPH juga sudah di mulai.

    Jadi kegiatanku yang kelihatannya banyak di blog ini, dibuat dengan maksud agar jangan tergusur, gitu lho mas Donny. Kalau nggak, ya gawat. Jadi sebenarnya perjuangan seperti yang mas Donny maksud sudah di mulai. 😦

    Suka

  7. Ary Avatar

    Menurut saya ada 4 type dosen.
    Dosen peneliti,dosen pengajar, dan dosen Admin, dan dosen freelance.

    Dosen peneliti ini mempunyai waktu lebih di bidang penelitian, cenderung lebih banyak di lab, daripada mengajar. Untuk penelitian tentunya butuh Grant.

    Apa maksudnya “Mandul karena dianggap belum mampu memaksimalkan potensi kekayaan intelektual dari para mahasiswa”?
    Memaksimalkan untuk penelitian dosennya atau untuk kepentingan mahasiswa itu sendiri.Masih belum ngerti saya, karena saya ndak langganan kompas.

    Dosen pengajar lebih banyak waktu mengajar di kelas, asistensi murid, daripada daripada penelitian.

    Dosen Admin yang mempunyai tugas di administrasi entah itu sebagai kepala jurusan, dekan,wadek, rektor,purek.

    Dosen freelance sering bermain/mencari duit dengan mempraktekkan ilmunya di lapangan seiring mengajar di kelas.

    Masing masing mempunyai prosentase waktu sendiri sendiri.

    Grant untuk peneliti di indonesia nggak banyak.
    Jadi menurut saya lebih baik untuk menghasilkan buku buku baik mestinya Dosen peneliti dan Dosen “freelance” bekerja sama dengan industri “konstruksi” di indonesia untuk mencari solusi / bidang penelitian entah itu consumable to public berupa buku atau tidak

    Suka

  8. wir Avatar
    wir

    “dosen pengajar” : kalau hanya ngajar di kelas, bertahun-tahun, belum pernah ke lapangan, nggak mau penelitian lalu nulis makalah. Lalu apa ya, yang diajarkan ke mahasiswa.

    Dari mbaca buku — > kalau gitu kasih aja mahasiswa bukunya, suruh belajar sendiri, soalnya mirip yang di contoh. Selesai. 😀

    Nggak perlu bayar SPP mahal-mahal !

    Kalau gitu yang hebat, dosen yang banyak proyek. Bawaannya BMW, keren ! Kata orang dosen seperti itu banyak pengalaman. Jadi ilmunya pasti hebat.

    Apa iya ya. Itu om Liem juga pengusaha hebat, tidak hanya mroyek, tapi proyek-nya kepunyaannya sendiri. Lebih hebat. Tapi sekolahnya nggak perlu tinggi-tinggi. Gimana itu.

    Apalagi di sini, yang dapat proyek itu bukan yang berilmu sesuai bidang yang penting koneksi. Engineer cenderung bekerja sebagai tukang. Bangunan-bangunan yang ada juga cenderung secara engineering nggak terlalu rumit, itu-itu terus. Nggak perlu ilmu tinggi-tinggi. Bahkan sekarang ada kecenderungan arsitek yang nangani aja merasa ilmu strength and stiffness nggak perlu dipelajari. Lebih ditekankan pada ilmu presentasi (tampilan) gitu.

    Sedangkan dosen peneliti, kayaknya di sini jarang tuh. Beban pekerjaan dosen ditandai dengan jumlah sks mata kuliah yang dipegang. Itu juga di UPH. Jadi mengajar itu wajib, sedangkan penelitian hanya optional. Jadi jelas dosen peneliti yang benar-benar peneliti koq rasanya koq nggak ada. Kalau peneliti aja sih memang ada, itu yang di lembaga-lembaga penelitian.

    Dosen admin, mungkin itu kalau di negeri atau ditempat-tempat tertentu sangat penting. Punya jabatan admin identik dengan tunjangan yang hebat, dapat kendaraan dan sebagainya. Jadi lebih nyata hasilnya dibanding dosen peneliti atau pengajar, atau juga mroyek tapi nggak kontinyu.

    Suka

  9. Ary Avatar

    Ilmu akan tidak tertular jika “dosen freelance” tidak menularkan pengalamannya ke anak didik dan dosen dosen “pengajar” yang miskin pengalaman untuk diajarkan, dan tidak bekerjasama dengan “dosen peneliti” untuk memberikan solving yang lebih bermutu untuk dibuat ke buku/journal.

    Apa iya ya. Itu om Liem juga pengusaha hebat, tidak hanya mroyek, tapi proyek-nya kepunyaannya sendiri. Lebih hebat. Tapi sekolahnya nggak perlu tinggi-tinggi. Gimana itu.

    Yang dipunyai om Liem dan tidak dipunyai orang lain adalah Semangat kerja, Visi dan Kepercayaan dan baru kemudian modal dari apa yang telah dia peroleh selama ini.

    Tidak perlu pintar menguasai apa itu, break even point, untung nggak, cukup men-“sub”/bekerja sama dengan orang yang pintar di bidangnya jika lebih menguntungkan. 😀 Beres..

    Visi / Arah pembangunan Indonesia sekarang di tangan orang orang berduit, negara nggak punya duit.

    Sedangkan dosen peneliti, kayaknya di sini jarang tuh. Beban pekerjaan dosen ditandai dengan jumlah sks mata kuliah yang dipegang.

    Makanya karena slot waktu meneliti kurang, untuk menchek pekerjaan rumah mahasiswa aja/ buat soal saja, bisa menyita waktu di rumah. Bagaimana bisa meneliti, membuat buku, membuat jurnal ?

    Suka

  10. Ary Avatar

    Bangunan-bangunan yang ada juga cenderung secara engineering nggak terlalu rumit, itu-itu terus

    Ilmu sipil kan nggak melulu gedung..banyak yang lain..ada suramadu.

    Gedung emang gitu-gitu, tapi emang lebih banyak masalah kalo arsitek nggak mau mundur untuk megastruktur. 😀

    Jika arsitek nekat memaksakan kehendaknya, jadinya gedung menjadi overreinforced / sangat mahal akibat gempa.

    Yang menjadi masalah mungkin adalah standar bill of rate BAPPENAS engineer teknik sipil cenderung lebih rendah daripada beberapa profesi lain, yang notabene mungkin sama-sama teknik, kerja keras untuk mencapai gelar, jadi ya gitu tukang….

    Suka

  11. arah kebijaksanaan berbahasa kita ? « The works of Wiryanto Dewobroto Avatar

    […] dan orang lain untuk mempraktekkan kemampuan berbahasa tadi dengan sering menulis, misal ini, ini, ini juga setiap hari diusahakan untuk mempunyai kebiasaan menulis di blog ini. Ya seperti […]

    Suka

  12. Rio handoko Avatar
    Rio handoko

    emang dosen2 sekarang banyak proyek lain,dari pada d kelas

    Suka

  13. membuat tulisan ilmiah | The works of Wiryanto Dewobroto Avatar

    […] produktivitas Perguruan Tinggi kita diragukan ! – 1 JUNI 2007 […]

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com