Ada berapakah dari kita yang sadar, bahwa kemajuan suatu bangsa bukan ditentukan oleh berlimpahnya sumber daya alam, tetapi oleh kemampuan bangsa tersebut mempersiapkan sumber daya manusianya.
Sumber daya manusia yang berkualitas hanya bisa dihasilkan apabila mereka mendapatkan pendidikan yang berkualitas pula, yang mana sejak awal telah diajarkan untuk selalu berpikir bebas dan mencari sesuatu yang baru. Sebab tidaklah mungkin bisa lahir sebuah karya asli yang original jika orang selalu dibatasi cara berpikirnya. Dengan itu semua maka dapatlah diharapkan suatu pemikiran yang kreatif. Pemikiran yang mampu menghasilkan sesuatu dari hal-hal yang sederhana dan ada disekitar kita.
Jadi sumber daya manusia yang berkualitas jika daripadanya dapat berpikir kreatif. Segala sesuatu karya besar bisa dihasilkan ketika kita mampu berpikir kreatif dan tidak pernah berhenti untuk menemukan inovasi. Tentu saja inovasi-inovasi yang dimaksud adalah untuk kesejahteraaan manusia. itu sendiri.
Pemikiran seperti diatas aku dapatkan setelah membaca artikel sdr. Suryopratomo di Kompas, Minggu, 10 Juni 2007, yang berjudul “Berpikir Sederhana, Berkarya Besar”. Pada artikel tersebut diceritakan perjalanan wakil presiden kita bapak Jusuf Kalla ke China. Pak Suryopratomo mungkin termasuk wartawan yang ada di rombongan kepresidenan tersebut.
Di China mereka melihat kreatifitas masyarakatnya, bagaimana memanfaat teknologi tenaga air untuk listriknya dan bukan teknologi nuklir. Juga ke Universitas Tsinghua yang mampu mencukupi anggaran pendidikannya karena memiliki bisnis usaha yang tercatat di bursa saham dan mampu menaguk laba dengan teknologi yang dijualnya. Oleh karena itu di Universitas Tsinghua, biaya kuliahnya hanya 5000 RMB per tahun atau sekitar Rp. 5 juta, perguruan tinggi murah. Tetapi mereka membuktikan diri bukan sebagai perguruan tinggi murahan.
Jika perjalanan presiden tersebut bukan jalan-jalan maka diharapkan bahwa kenyataan itu semua dapat menjadi pencerahan bagi beliau sehingga cita-cita anggaran pendidikan 20% dari APBN benar-benar dapat terwujudkan.
Selanjutnya jika dianggap bahwa dana tersebut terbebas dari korupsi yang tidak perlu maka bagaimana penggunaannya. Yah, saya rasa bagi orang Indonesia kebanyakan maka dana tersebut mayoritas akan terserap pada fasilitas pendidikan, misal laboratorium, gedung, dan lain-lainnya. Benar begitu ? Sedangkan peningkatan kesejahteraan karyawan atau gaji orang-orang nggak terlalu penting. Bagi mereka yang penting jumlah karyawan yang ditingkatkan, prinsipnya agar merata. Betul bukan.
Kalau seperti itu, konsepnya seperti pegawai negeri. Betul bukan.
Jika mau maju maka ada baiknya menerapkan strategi perusahaan swasta. Seperti jumlah pegawai sedikit, tetapi berkualitas, meskipun untuk itu perlu dibayar mahal. Tetapi jelas.
Kondisi tersebut sudah diterapkan di Universitas Pelita Harapan (UPH) sejak awal. Para pendiri UPH tidak hanya berkonsentrasi pada infrastruktur kampus tetapi juga pada sumber daya manusianya. Mereka mau membayar tinggi jika memang berkualitas. Anda pernah dengar jurusan teknik sipil UPH, meskipun jurusan tersebut masih muda (kira-kira 13 tahun) tetapi sudah ada profesornya, sudah mempunyai dosen tetap bergelar doktor, dan semua dosennya minimal S2. Total dosen tetapnya nggak lebih dari 6 orang. Tetapi meski begitu produktivasnya lebih banyak dari jurusan lain yang mempunyai lebih banyak dosen tetap. Mengapa, karena UPH mau membayar / menggaji dengan baik sehingga yang 6 orang tersebut dapat berfokus pada pendidikan (tri-dharma perguruan tinggi).
Bayangkan Dr.-Ing. Harianto H. sebelum full-time sebagai dosen tetap di UPH adalah seorang pemilik perusahaan konsultan, direktur teknik kontraktor, manager di PT. W&A dan dosen tidak tetap USAKTI, tentu untuk itu maka UPH harus memberi daya tarik khusus sehingga pak Harianto mau mencurahkan waktunya membesarkan UPH. Sekarang beliau adalah Prof., karena jaringan beliau pula maka UPH mampu melakukan kolaborasi dengan Uni-Stuttgart, Jerman. Karena beliau jugalah maka jurusan teknik sipil UPH merasa tidak rendah diri untuk dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan rekan-rekan perguruan tinggi terkenal lainnya (misal ITB, UI, UGM, UK-Petra dsb).
Jadi jika didukung dana yang baik, serta investasi yang seimbang antara infrastruktur dan s.d.m yang baik (berkualitas) sajalah maka keinginan menjadikan pendidikan sebagai pendorong kemajuan bangsa baru akan terwujud dengan baik.
Tinggalkan komentar