Pak Wir, saya mau nanya : “buat apa sih mahasiswa bikin skripsi pakai standar-standar penulisan, pengujian di depan reviewer dsb. Kalau toh akhirnya skripsinya cuma jadi tempat hinggapnya debu di perpustakaan“.
Gimana kalau syarat jadi sarjana itu hasil penelitiannya bisa dipakai oleh masyarakat. Nah ketika outputnya ke masyarakat sudah jelas, tim penguji tanyain aja tuh yang make, kalau yang make puas, lulus deh, kalau nggak puas, perbaikan lagi !
He, saya nggak becanda kog pak, hasil penelitian saya udah banyak yang pake selama 2 tahun, tapi saya masih terkendala skripsi cuma masalah-masalah penulisan dan urusan administrasi dengan penguji dan instansi.
Syukur deh akhirnya saya selamat jadi sarjana, dan jatuh ke lembah pekerja dan perjuangan saya mulai dari nol lagi (dosen nggak tanggung jawab saya dapat kerja atau nggak), dosen yang dulu nuntut saya ini itu sekarang ganti nuntut adik-adik kelas saya.
Saya ini yang udah lulus dari kampus, sama sekali nggak pernah pake yang namanya “standar penulisan bla bla bla“, saya kerja di bidang saya lo pak, yang terpakai justeru filosofi-filosofi ilmu yang saya pelajari autodidak (kuliah dosen kan cuma tutorial doank), dan proses penulisan skripsi yang menyandera saya 2 tahun di kampus hanya tinggal kenangan.
Untuk menulis laporan kerja, saya punya sekretaris pinter, dan saya cukup buatkan skema di kertas, dia langsung ngetik… jadi deh laporan, mungkin dosen-dosen sebaiknya belajar juga kalau dunia kerja itu bukan hanya kampus dimana dosen-dosen hidup dengan individualismenya, tapi ada pabrik, kantor, toko, pasar, dll.
Pertanyaan dan pernyataan di atas tentu mendapat banyak dukungan dari teman-teman yang pernah merasakan bahwa keberadaan skripsi merupakan ganjalan terbesar dalam meraih gelar kesarjanaannya. Skripsi hanyalah beban dan tidak melihat manfaatnya.
Penulis pernah mendengar sendiri, ada ide dari seseorang pejabat birokrasi perguruan tinggi yang merencanakan akan menghapus skripsi dengan alasan bahwa lulusannya perlu waktu lama dan kebanyakan penyebabnya adalah skripsi. Orang tersebut bergelar doktor lho. Jadi, agar dapat mencetak sarjana sebanyak-banyaknya secara cepat maka dia mengusulkan “skripsi dihapuskan saja“.
Skripsi merupakan beban yang dapat menghambat bahkan menggagalkan rencana untuk mendapat gelar kesarjanaan, itu memang diakui penulis. Pengalaman pribadi : sewaktu S1 di UGM teori selesai tahun ke-4, tapi lulusnya sendiri baru tahun ke-5 (menjelang 6) itu juga gara-gara skripsi. Lalu sewaktu S2 di UI, teorinya on-time (tidak ada mengulang), harusnya 2 tahun sudah selesai, tapi apa dikata, baru tahun ke-3 lulus, itu juga gara-gara thesis. Lalu ada teman, yang teori sudah selesai tapi karena nggak sanggup menyelesaikan skripsi (males ketemu dosen) sampai sekarang belum menjadi sarjana, karena di DO.
Adanya pengalaman itu semua, penulis mengakui bahwa ide doktor tersebut di atas “untuk menghapus skripsi agar dapat mencetak banyak sarjana secara cepat” adalah tepat sekali.
Tetapi apakah dengan demikian saya mendukung skripsi dihapus ?
Untuk menjawab hal tersebut, ada baiknya saya bertanya terlebih dahulu tujuan pendidikan sarjana. Selama ini ada dua golongan cara berpikir untuk bersekolah. Pertama adalah asal lulus dan mendapat gelar. Kedua adalah mendapatkan aura mental sarjana sekaligus gelar formal.
Catatan : jika punya aura mental sarjana yang benar maka dianya akan bangga jika prestasi yang dihasilkan ini adalah hasil kerja kerasnya sendiri tidak sekedar karena disuapi. Jika demikian tentu tidak ada komentar mengapa dosennya yang menguji itu tidak mencarikan pekerjaan dsb-nya.
Jika yang pertama yang menjadi tujuan pendidikan, maka tidak ada masalah, apakah skripsinya di hapus atau tidak. Jika ternyata dihapus dapat cepat lulus maka tentunya golongan ini yang paling mendukung.
Sedangkan yang kedua ini, tentu lebih memilih-milih pendidikan yang akan ditempuh. Waktu studi yang cepat sekaligus mendapat gelar formal tentulah menjadi dambaannya, tetapi disana pada waktu lulus tersebut mereka juga harus merasakan adanya perbedaan dalam cara berpikir, diharapkan mereka lebih PD. Tidak hanya karena punya gelar baru, tetapi juga karena adanya wawasan baru bahwa ia ternyata mampu menyampaikan idenya dan mampu menyakinkan penguji-pengujinya. Yang terakhir ini akan dia dapatkan jika dalam kurikulum tersebut ada skripsi.
Lho koq gitu.
Bagaimana jika skripsi diganti menjadi tugas akhir pak. Apa itu menjadi masalah.
O ya, memang kata skripsi cukup banyak menimbulkan ketakutan, oleh karena itu ada yang mengganti dengan kata “tugas akhir” dsb, tetapi jika essensinya adalah tulisan ilmiah dalam format yang telah ditetapkan oleh penyelenggara maka pada prinsipnya tidak ada perbedaan.
Jadi untuk mengakhiri atau menuntaskan gelar sarjana, maka mahasiswa yang bersangkutan harus dapat membuktikan kemampuannya dalam membuat karya tulis tersebut, dan mampu mempresentasikan secara benar ke sidang penguji, termasuk menjawab hal-hal yang terkait dengan bidang yang ditelaah tersebut. Tentu saja dalam membuat karya tulis tersebut si mahasiswa tidak dilepas sendirian, tetapi diberi pembimbing, sehingga terjadi interaktif / diskusi ilmiah satu sama lain sehingga dapat dihasilkan karya ilmiah yang pantas untuk dipresentasikan dalam sidang ujian.
Karena saya termasuk dosen yang mempunyai pendapat di atas maka saya cenderung untuk mempertahankan adanya skripsi tersebut. Karena satu-satunya mata kuliah di tingkat sarjana yang mewajibkan mahasiswa untuk membuat karya ilmiah dalam suatu format tertentu, yang arahnya diawasi / dibimbing secara individu, serta di uji dalam suatu sidang penguji maka hanya skripsi atau tugas akhir itu. Jadi jika itu dihapus maka tidak ada bukti tertulis bahwa mahasiswa yang bersangkutan mampu membuat karya tulis yang dimaksud.
Catatan : saya di Jurusan Teknik Sipil UPH menjadikan pembuatan laporan kerja praktek, mempunyai pola kerja penulisan mirip skripsi. Tapi tentu saja bobotnya belum bisa dianggap sama. Saya jadikan itu sebagai wahana pemanasan bagi mahasiswa untuk mengambil skripsi nanti. Itu dengan asumsi skripsinya bimbingan saya juga, karena kebetulan semua laporan kerja praktek adalah melalui saya. Maklum mahasiswanya masih sedikit, kalau banyak, angkat tangan aja deh. Jadi punya mahasiswa sedikit setiap angkatan itu ada untungnya juga ya, kontrol mutu dapat dengan mudah dilaksanakan.
Jadi kemampuan mahasiswa untuk menuliskan itu yang menjadi fokus utama kenapa skripsi dipertahankan.
Kemampuan seseorang dalam menuangkan gagasan secara tertulis merupakan representasi dari kualitas intelektualitas seseorang, karena melalui tulisan atau karya tulis seseorang mewujudkan pikirannya. Dari tulisan memang akan kelihatan logika berpikir seseorang. Apakah subjek, predikat dan objeknya jelas, atau kalimatnya kacau. Dengan menulis, seorang belajar berpikir secara eksak dan padat. Ia harus tahu sistematikanya. Ia harus sadar akan fokus yang dibicarakannya, yaitu hal-hal yang penting atau yang bermakna, tidak “ngalor-ngidul”. Ia harus dapat memilih kata-kata atau kalimat (diksi) yang baik, pantas dan dapat dipahami oleh orang yang diproyeksikan akan membacanya. Jadi, ia harus sadar betul untuk siapa laporan tersebut dibuat.
Kemudian dengan modal karya tulisnya tersebut, si mahasiswa pada sidang ujian skripsi mampu menyakinkan dewan penguji bahwa ide-ide yang dituangkan dalam karya tulisnya itu memang pantas untuk dianggap sebagai sarjana (atau magister atau doktornya).
Jadi keberadaan skripsi lebih diutamakan bagi pengembangan intelektual dari mahasiswa tersebut. Bukan untuk membuat penelitian yang berguna bagi masyarakat, bukan untuk penemuan yang langsung dapat diterapkan dan bukan untuk penemuan yang dipatentkan. Tetapi apabila itu memang ada, itu adalah suatu keistimewaan. Disarankan tetapi tidak diwajibkan, karena kalau diwajibkan nanti nggak ada yang lulus sarjana, kalaupun ada, sedikit sekali. 🙂
Catatan : sebenarnya tingkat karya tulis yang disyaratkan untuk S1, S2 atau S3 sudah diarahkan sedemikian rupa, hanya tingkat S3 yang harus orisinil dan menambah perbendaharaan keilmuan, dan kalau bisa berguna bagi dunia nyata.
Dengan cara berpikir seperti itu, akan diketahui bahwa tugas utama skripsi adalah mengantar mahasiswa untuk lulus sidang ujian kesarjanaannya. Titik. Selanjutnya skripsi tersebut disimpan di perpustakaan dengan maksud sebagai bukti otentik tertulis bahwa mahasiswa bersangkutan telah menempuh evaluasi intelektualitas yang dimaksud untuk tingkat kesarjanaannya.
Penulis tidak setuju bahwa yang penting adalah bahwa hasilnya sudah dipakai masyarakat, dll-nya. Jika itu yang dipakai sebagai patokan maka yang dievaluasi adalah ketrampilan atau inovasinya atau kegigihannya tetapi tidak mencerminkan intelektualitasnya.
Saya selaku dosen, ingin agar selama pendidikannya bahwa mahasiswa mampu menunjukkan tingkat penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yaitu dengan lulus ujian mata kuliah-mata kuliah yang telah disusun dalam kurikulum tertentu. Juga mampu menunjukkan intelektulitasnya dalam menuangkan gagasan dalam karya tulis serta mampu mempresentasikan secara baik dihadapan dewan penguji yang umumnya lebih berpengalaman.
Catatan : intelektualitas kadang-kadang tidak berhubungan dengan kekayaan materiil, ini perlu ditekankan. Banyak dijumpai (khususnya di sini) karena ada aji mumpung, ada istilah tempat basah dan kering dan juga karena “pinter ngladeni” maka kekayaannya jauh-jauh lebih hebat dari orang yang secara formal disebut intelek, misalnya profesor. Memang ada sih profesor yang kaya raya, tetapi apa yang terjadi, ternyata karena penyalah-gunaan jabatan.
Intelek disini lebih dikaitkan dengan kemampuan seseorang, baik lesan maupun tertulis yang mempengaruhi pikiran orang lain. Jika lesan maka pengaruhnya terbatas pada orang yang dijumpainya (sekarang bisa meluas karena ada bantuan audio-visual) tetapi jika tertulis akan lebih luas dan sifat lebih abadi.
Berkaitan dengan standar penulisan nggak ada kaitannya dengan dunia kerja.
Lha iya itu. Pada tingkat sarjana, kita tidak mendidik seperti tukang, bukan ketrampilan tetapi lebih kepada cara berpikir, pada intelektual. Tidak mesti apa yang didapat di perguruan tinggi langsung dapat langsung diterapkan, kalaupun bisa itu adalah nilai tambah.
Jadi standar penulisan yang dimaksud adalah untuk menentukan kesamaan / keseragaman bagaimana bentuk karya tulis yang perlu disiapkan agar ada kesamaan antara dosen pembimbing skripsi, dosen penguji skripsi dan mahasiswa pembuat skripsi itu sendiri.
Satu perguruan tinggi, bisa sama atau bahkan bisa berbeda satu sama lain. Tapi antar jurusan dalam suatu perguruan tinggi pasti ada hal-hal utama yang menjadi ciri khasnya. Jadi bisa nanti setelah bekerja maka standar penulisan tersebut tidak berguna sama sekali. Menurut saya sah-sah saja.
Menurut saya, persyaratan skripsi pada suatu perguruan tinggi yang berorientasi pada pengembangan intelektual adalah mutlak dan ideal.
Coba kita kutip kata-kata prof Dedi Supriadi (alm).
Orang banyak menulis karya ilmiah, pastilah banyak membaca. Sebaliknya, orang banyak membaca, belum tentu banyak menulis.
Sepandai-pandainya seseorang, sekaya-kayanya gagasan yang ada dalam pikirannya, tanpa ia mampu mengungkapkan khususnya dalam bentuk karya tulis belumlah cukup dan belum terbukti kepandaiannya.
Dari perkataan saja, seseorang belum dapat membuktikan reputasi keilmuannya, karena apa yang dikatakannya seringkali berubah, tidak sistematis dan spontan.
Dengan adanya mata kuliah skripsi maka minimal seorang sarjana pernah membuktikan kepandaiannya minimal sekali seumur hidupnya. Coba anda teliti, pasti tidak semua yang bergelar mampu menulis lagi setelah mereka lulus.
Lalu mengapa skripsi menjadi momok ?
Menurut pengamatan, belum semua yang disebut dosen pembimbing skripsi mampu menjabarkan apa sebenarnya yang disebut menulis skripsi. Belum tentu para dosen pembimbing tersebut bila dipindah posisikan juga mampu secara tuntas menyelesaikan tugas skripsi tersebut. Ingat mengevaluasi itu lebih mudah daripada dievaluasi. Ketidak mampuan mengevaluasi tetapi merasa punya hak untuk mengevaluasi itu yang membuat ada kesan dosennya sok, dsb.
Bagaimana dosen tersebut mempunyai indikasi “mampu” atau “tidak mampu”. Yah, simpel saja, lihat aja karya tulisnya.
Lho tapi khan dosennya udah S2, pak ?
S1 atau S2 wah nggak ngejamin itu mas. Anda tahu, saya waktu lulus S2, udah punya pengalaman lapangan segudang, udah jadi dosen lima tahun. Apa yang terjadi. Kalau saya diminta periksa skripsi maka pertama-tama yang saya lihat tanda baca. Kecuali ada hitungan yang jelas-jelas salah, saya cenderung nggak berani koreksi keseluruhan. Cenderung masih susah melihat skripsi secara keseluruhan bermutu atau nggak. Tetapi setelah banyak menulis, baru tahu, apa yang dimaksud latar belakang permasalahan, batasan, studi literatur, metoda penelitian, kesimpulan, abstrak, apa gunanya masing-masing itu untuk mendukung ide-ide kita dan untuk membebaskan kita dari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi ketika presentasi atau ingkar dari pertanyaan dosen. Banyak menulis itu nggak ada hubungannya memang dengan S1 dan S2.
Dan faktor “banyak menulis” ini pula yang saat ini menjadi kendala terbesar dari dosen-dosen, banyak yang mengaku bekerja sebagai dosen tetapi nggak punya tulisan.
Saya yakin jika dosen pembimbingnya senang menulis, dan dapat mengajak mahasiswa menyenanginya pula, maka saya yakin skripsi tidak beda dengan pekerjaan-pekerjaan menulis lainnya. Gampang !
Semoga skripsi atau karya ilmiah lain menjadi bentuk aktualitas seorang mahasiswa untuk pantas disebut sarjana dan tidak sekedar mengandalkan ijazah formalitas belaka.
Amin.
Note : ada tip-tip menulis skripsi versi Wiryanto. Pasti mak nyuss lho.
Tinggalkan komentar