Teringat masa lalu ketika masih mahasiswa S1, sewaktu masih sering lalu lalang di sekitar Laboratorium Konstruksi Kayu di Pogung di sebelah utara selokan Mataram, Yogyakarta. Salah satu kegiatanku pada waktu itu adalah membantu bapak Ir. R.J.B Soehendradjati sebagai asisten tugas pada mata kuliah Konstruksi Bangunan Gedung.
Laboratorium tersebut merupakan satu komplek bangunan terpisah, berlokasi di timur gedung perkuliahan jurusan teknik sipil UGM (yang lama). Laboratorium yang mengkhususkan diri pada permasalahan konstruksi kayu. Saat itu aku merasa komplek tersebut cukup bagus, di samping laboratorium terlihat oven tempat tempat pengeringan kayu.
Pada tiap-tiap dinding di dalam laboratorium ditampillkan alat-alat sambung kayu seperti kokot buldog dll. Kalau tidak salah itu merupakan peninggalan Ir. Suwarno dosen konstruksi kayu UGM pada waktu itu. Karena pak Suwarno jugalah maka konstruksi kayu di UGM pada waktu itu cukup dikenal. Saya tahu beliau dari buku-bukunya. Menurut informasi seseorang, beliau meninggal ketika menjelang ujian disertasi doktornya. Benar atau tidak, saya kurang tahu tepatnya.
Dari itu semua sewaktu lulus S1, saya punya persepsi bahwa kayu merupakan salah satu bahan material bangunan yang cukup penting, sejajar dengan baja dan beton. Laboratoriumnya saja cukup bagus.
Tapi setelah lulus dan juga masih berkutat di dunia teknik sipil, sehingga pada setiap kesempatan memperhatikan juga struktur-struktur yang ada di Indonesia. Saya koq tidak melihat keberadaan kayu sebagai bahan konstruksi utama. Atau mungkin saya ‘kuper’ ya. Juga belum pernah mendesain suatu konstruksi kayu yang cukup besar, misalnya kuda-kuda atap bentang > 24 m. Paling-paling 10 – 12 m aja udah dianggap bentang besar.
Sekali-sekali terkesan juga dengan bangunan kayu yang cukup besar, yaitu pasar Besar di kota Solo, yaitu sebelum kebakaran. Waktu itu melihat kuda-kuda kayunya cukup besar. Dari kayu jati kelihatannya. Lalu juga di gereja Katolik di daerah Bendungan Hilir Jakarta Pusat, kecil sih, tapi atapnya dari kayu.
Yang lain koq nggak pernah lihat ya.
Kalaupun ada pasti peninggalan lama, peninggalan jamannya pak Warno kali.
Mengamati buku-buku tentang kayu yang beredar dan membandingkan dengan buku-buku konstruksi kayu dari jamannya pak Suwarno atau pak Felix, kelihatannya konstruksi kayu di Indonesia berjalan di tempat (?!). Benar nggak sih ?
O ya, aku ingat itu pak Heinz Frick, dosen arsitek Unika Soegijapranata, buku-bukunya menarik dan cukup istimewa. Kalau pun ada pengarang buku-buku lain, umumnya sekedar kompilasi dari buku-buku sebelumnya. Yah, kayaknya saat ini pak Frick yang cukup signifikan dengan buku-buku karyanya. Lainnya siapa ya , maksudku yang setaraf pak Frick tersebut. Padahal kelihatannya doktor-insinyur-nya banyak lho. Mana buahnya ?
Pak Wir, sekarang peraturan kayu udah ganti lho pak.
Ganti, mengapa. Akibat pengalaman di lapangan dimana peraturan kayu yang lama tidak aman atau tidak ekonomis lagi, atau berdasarkan riset, atau karena nge-trend aja dan dari hasil nerjemahin ?
Ada nggak sih ahli konstruksi kayu di Indonesia ini, atau adakah yang pernah merencanakan suatu konstrusi kayu dengan bentang besar (misalnya 24 m atau lebih) di Indonesia.
“Ada pak ? Saya pernah yaitu sewaktu merencanakan aula sekolah BPK”. Itu jawaban pak Dirgo (Kajur Sipil UNTAR waktu itu, sekarang sudah ganti). O ya, gimana pak ? Saya tertarik waktu itu, detailnya gimana. Beliau menjawab jika desainnya pakai kayu buatan. Waktu ditanya lagi secara detail. Beliau menjawab lagi, ya dikerjakan kontrator dari Jerman.
O ooooo ?!. Maklum.
Jadi intinya, kalau saya boleh berpendapat bahwa meskipun negara kita kaya akan hasil hutan, dan dikenal mengekspor kayu ke negara-negara lain. Tapi di kalangan ahli struktur, penguasaan kita terhadap kayu sebagai bahan konstruksi adalah LEMAH. Kalah dengan bangsa lain. Sebagai gambaran juga, umumnya mata kuliah tersebut di tingkat S1 hanya diberikan dengan bobot 2 sks.
Konstruksi kayu yang pak Wir maksud, seperti apa sih ?
Baiklah saya tampilkan konstruksi kayu dari http://www.utsdesign.com/ .
Itu semua di luar Indonesia lho. Kalau di sini, emang sih ada yang kelihatannya kayu, eh ternyata hanya bungkusnya aja, di dalamnya pakai baja. Kalau itu sih, aku memang sering bikin.
Jadi kalau begitu, kita ini nggak berkembang ya ilmu konstruksi kayunya. Benar nggak sih ?
Peluang untuk mengembangkan industri konstruksi dengan memanfaatkan kayu di Indonesia masih terbuka luas. Langkah sederhana dan saya kira tidak perlu malu untuk melakukannya adalah meniru konstruksi kayu di luar negeri, siapa tahu bisa diterapkan di sini. Cukup banyak sumber-sumber pembelajaran yang dapat diserap a.l :
Tinggalkan komentar