Ini merupakan rangkaian cerita dari artikel saya terdahulu tentang “pekerjaan tiang bor”, hasil presentasi mahasiswa teknik sipil UPH (selama 15 menit) pada ujian sidang kerja praktek kemarin. Proyek yang diamati adalah pelaksanaan pondasi tiang bor di daerah Bogor. Dari penjelasan mahasiswa tersebut dan juga foto-foto dokumentasinya, saya coba merangkai menjadi artikel ini.
He, he, he, “cerita mahasiswa yang 15 menit tersebut” seakan-akan berfungsi sebagai tombol untuk mengaktifkan memori di otak saya yang mungkin sudah sangat lama tidak terungkapkan. Seperti kakek yang dengan senang menceritakan pengalaman lama kepada cucunya. Begitu pula aku dengan adanya blog ini. Jadi kalau nanti ada yang sudah nggak sesuai, mohon maklum ya. Ngakunya aja kakek. 🙂
Seperti diketahui, pekerjaan pondasi, seperti halnya pekerjaan tanah lainnya, adalah menyangkut parameter-parameter yang mempunyai variasi yang cukup besar. Sehingga untuk mendapatkan kepastian atau keberhasilannya maka perlu diantisipasi, misalnya dengan memberi suatu safety factor yang cukup besar. Mengapa seperti itu ? Ya jelas, bahwa sebagaimana produk natural lainnya, yang mencakup suatu yang sifatnya random. Jadi meskipun sudah dilakukan pengamatan dengan penyelidikan tanah sekalipun, tetapi karena itupun hanya berupa sample kecil dari suatu keseluruhan, maka masih memerlukan interprestasi yang tepat dari seseorang ahli.
Anggap saja seperti orang buta memegang gajah, kadang-kadang interprestasinya bisa berbeda. Sangat subyektif, tergantung dari orang. Ya betul, tergantung dari orang yang memegangnya. Oleh karena itu diperlukan istilah ahli. Meskipun secara teoritis dia dibekali pengetahuan tetapi kalau belum pernah mempraktekkannya maka bisa saja hasilnya beda dibanding dengan orang lain dengan pengetahuan sama tetapi berpengalaman. Belajarnya sama, tetapi pengalaman beda. Hasilnya bisa lain. Pengalaman membentuk mental tersebut.
Untuk permasalahan tanah, maka tidak cukup hanya mengandalkan kelihaian memahami literatur, tetapi sekali lagi, praktek ! Pengalaman. Ini aku dengar sering khususnya jika bertemu dengan Prof. Paulus Rahardjo yang menyatakan bahwa untuk menjelaskan perilaku tanah di Jawa misalnya maka literatur atau referensi yang tersedia sudah tidak up-to-dated lagi. Perlu penjelasan lain. Itu pula yang menjawab mengapa pada proyek-proyek beliau, banyak sekali keputusan-keputusan yang berkesan ‘berani’, yang berbeda dengan keputusan-keputusan ahli tanah lainnya, dan nyatanya keputusan tersebut tidak menjadi masalah (sukses). 😀
Faktor subyektifitas masih berperan. Jadi jika ada komentar pada artikel saya sebelumnya yang meragukan pernyataan tentang peranan feeling bagi engineer, dan berharap adanya suatu ketentuan baku sehingga semua ‘pasti’, adalah menunjukkan sempitnya wawasan tentang engineering itu sendiri. Bahkan Prof. Wilson pembuat program SAP2000 sendiri yang notabene mencipta tool canggih bagi dunia structural engineering masih menghormati apa yang disebut sebagai engineering judgement. (baca manual SAP90)
Jadi penyelesaian permasalahan di dunia engineering itu perlu seni, yang sifatnya khas dan personal. Jika anda merasa bahwa prosedur standar yang anda gunakan telah sukses menyelesaikan masalah-masalah anda maka ingat itu, bahwa pekerjaan anda sebenarnya masih dalam tahap sebagai tukang, sebagai operator yang tinggal mengikuti petunjuk-petunjuk (buku, code atau lainnya). Nggak salah memang, tapi intinya saya mau menyatakan bahwa kadang-kadang pada diri seorang engineer hebat bisa saja dia tidak berpedoman pada code, berani melawan code. Jika hasilnya benar maka orang menyebutkan sebagai inovasi, sedang yang gagal, maka orang menyebutnya sebagai tidak kompeten. Code atau peraturan umumnya ditujukan bagi yang terakhir tersebut.
Jadi bagi para tukang dan operator yang menyandang gelar formal sarjana teknik mohon dimaklumi. Gelar formal pendidikan anda itu baru tiket masuk untuk menjadi engineer ! Jadi bisa saja didunia ini ada engineer tanpa tiket masuk tersebut. Memang istimewa sih yang namanya engineer. Kenapa ? Istilah engineer saat ini, mungkin sama dengan istilah empu pada masa lalu.
Jangan bilang engineer kalau belum pernah ke lapangan. Karena kadang-kadang ada-ada saja pertanyaan dari lapangan yang demikian ini.
“Pak Wir, saya memahami penjelasan panjang lebar Bapak. Hanya saja, sekarang saya mau bertanya, boleh atau tidak perancah ini dicopot. Kalau sekarang tidak boleh, kapan ? Crane yang saya sewa dari Singapore ini, sewanya per hari, dan sangat mahal. Mohon keputusannya segera“.
Bayangin, setiap keputusan ada resiko, dan harus berani mempertanggung-jawabkan. Mungkin kira-kira demikian juga yang terjadi dengan permasalahan di tanah. Bahkan resikonya sangat besar karena unsur ketidak-tahuannya lebih besar. Bahkan ketahuan kalau masalah, setelah beberapa waktu berlalu, setelah kita tidak fokus pada hal-hal tersebut. Sehingga terhadap complaint tersebut, mental kita tidak siap. Akhirnya ‘kena’ deh. 😦
Suatu keberanian untuk mengambil suatu resiko terhadap suatu keputusan, dimana resiko tersebut diyakini : “tidak terjadi”, berdasarkan pemahaman, rasio, pikiran maupun suatu tindakan nyata yang mewarnai pengambilan keputusan tersebut. Tindakan nyata yang dimaksud adalah semacam test atau pengujian untuk melihat fakta natural yang sebenarnya. Dimana itu diharpakan dapat menjelaskan atau membuktikan bahwa keputusan / solusi yang ditawarkan akan memberi hasil yang memuaskan.
Kembali ke sistem pondasi tiang bor.
Bukti bahwa pondasi tiang bor yang direncanakan dan dilaksanakan dapat bekerja seperti yang diharapkan maka dilakukan loading test. Dengan demikian semua keraguan, ini dan itu, dari orang-orang yang tidak memahami jalan pemikiran si engineer puas adanya. Juga merupakan petunjuk seberapa besar kompetensi si engineer tersebut.
Mega (inset), mahasiswi JTS UPH berpose di areal Loading Test
Jadi mula-mula dari denah pondasi dipilih satu titik tiang bor untuk di uji. Pemilihan ini tidak bisa bebas, karena ada kendala ruang akses dan peralatan berat.
<<belum selesai masih berlanjut dengan foto-foto yang menarik dan original>>
Tinggalkan komentar