Pagi pk 6.30 bersama-sama keluarga sudah ikut misa di Gereja Katolik Bartolomeus, Bekasi. Beribadah minggu, sekaligus merasakan kebersamaan bersama dengan anak istri untuk mensyukuri nikmat yang telah diterima minggu ini, sekaligus mohon berkat dan perlindungan untuk minggu esok.

Tentang acara tersebut, aku jadi ingat ketika si bungsu Harry (kelas 2 SD) ketika pk 6.00 pagi udah ke atas (lt.3 kamarku) : “Pa pagi ini, kata mama ke gerejanya ya !. Mandi ! Aku tunggu ya.” . He, he, syukurlah, kebaktian minggu sudah menjadi suatu habit bagi anak-anakku. Jadi ngantuk nggak ngantuk, semangat nggak semangat, maka berangkatlah kami.

Tentang habit misa Minggu, aku bukanlah tipe orang tua yang mendisiplinkan ke anak-anak dengan menyatakan “kamu sekaliyan anak-anak HARUS ikut misa minggu, jika tidak maka kamu sekaliyan tidak akan masuk sorga“. Bahkan jika karena satu dua hal, katakanlah ada acara yang terpaksa berlangsung pada hari yang sama dan kami kelelahan (juga anak-anak) maka kami beristirahat di rumah dan tidak kemana-mana (tidak ke gereja). Wah mungkin ini tipe orang tua yang ndak boleh ditiru ya.

Ke Gereja bersama-sama istri dan anak-anakku bukanlah suatu kewajiban. Terus terang aku tidak pernah mengatakan itu secara lugas ke anak-anak bahwa “Misa Minggu adalah KEWAJIBAN“. Kenapa ? Karena aku menganggapnya sebagai HAK, suatu kesadaran bahwa kami berhak datang kesana. Memindahkan kata Kewajiban menjadi Hak membuat acara mingguan tadi bukan suatu beban, tetapi menjadi kesukaan. Itu buktinya, anakku yang mengajak, dan bukannya orang tuanya yang teriak-teriak membangunkan si anak.

Aku bilang ke anak-anak, bahwa setiap minggu kita punya hak untuk berkumpul bersama, dalam hal ini ke gereja, untuk bersama-sama mengucapkan syukur akan adanya kebersamaan ini (dalam keluargaku ini). Dalam menyukuri tersebut dari keluargaku bermacam-macam, misalnya kadang-kadang istriku minta ijin jadi petugas lektor (pembaca injil di depan), kalau kondisi seperti itu maka anakku yang pertama gantian tinggal nemenin aku, karena kadang-kandang yang gede ikutan juga jadi putri altar. Si kecil juga nemenin. Tapi kalau yang putri-putri nggak ada acara (duduk nemenin aku) maka yang kecil biasanya minta ijin keluar ruang misa mau main. Aku ijinin lho, hanya syarat nanti kalau terima komuni harus masuk dan ikut, selain itu kalau romo memberi berkat dia harus ada.

Ngasih ijin si anak untuk main di luar saat misa ?

He, he, he iya. Jelek ya. Jangan ditiru ya kalau jelek.

Bagiku hal tersebut tidak jelek (sekali lagi bagiku, ini tanggung jawab pribadi). Menurutku untuk anak kelas 2 SD keinginan main di luar gereja pada waktu misa menurut saya wajar saja. Karena penting bagiku bahwa di dalam gereja adalah hening tidak boleh bermain, jadi kalau main ya harus keluar. Pada umur sekian keinginan bermain adalah wajar. Yang penting saat sekarang ini adalah menumbuhkan rasa suka mereka (anak-anak) ke gereja. Bahwa dengan ke gereja mereka mendapat kesukaan.

Karena unsur suka tadi maka menurutku wajarlah bahwa setelah pulang tersebut biasanya mereka boleh jajan sesuatu yang menurut mereka baik.

Jadi meskipun aku tidak menanamkan ke gereja sebagai KEWAJIBAN tetapi waktulah yang membuktikan bahwa karena kami punya HAK untuk ke Gereja tersebut maka hampir setiap minggu kami menikmatinya.

Semoga nantipun kami bisa menikmati kebahagiaan Natal yang semakin dekat ini.

di gereja Santo Bartolomeus lagi ya pak ?

O bukan, kalau natal nanti kami berencana merayakannya bersama orang tua , nenek anak-anak kami sehingga kami akan merayakannya di gereja Santo Antonius Kotabaru, Yogyakarta.

Salam sejahtera semoga Natal juga memberi kebahagiaan kita bersama. Amin.

2 tanggapan untuk “renungan pagi menyambut Natal #2”

  1. Martin T Teiseran Avatar
    Martin T Teiseran

    Rasanya harus memperkaya renungan Natal 2007 di kolom Mas Wir.

    Sudah 2 tahun ini, hanya kami berdua pasutri yang ke Gereja. Semua anak-anak, suami isteri punya acara sendiri. Ke gereja sendiri-sendiri. Saya sih menikmati saja. Sudah sering pada minggu-minggu biasa, seperti kemarin Adven 3, isteri menghadiri misa sendiri di aula gereja, sedang saya bersama prodiakon lainnya duduk di bangku deret pertama. Ini perubahan terakhir di Katedral Randusaru Semarang. Kalau dulu saya masih duduk di samping isteri saya sampai doa umat. Sekarang karena prodiakon keluar dari sakristi berama rama, lektor dan ajudan maka isteri menjadi sendiri duduk di deretan bersama sesama umat.

    Sebulan sekali saya mendapat tugas, dibagi setiap minggu dengan teman lainnya, untuk membagikan sakramen mahakudus (SMK) kepada para sepuh, maka setelah misa bersama isteri, kami keliling Pekunden mengantar SMK kepada 7 orang tua yang usianya rata-rata 80 tahun. 6 orang ibu dan seorang bapak 86 tahun. Sungguh menggetarkan hati saya ketika menyaksikan para janda dan duda ini, dalam kesendirian hanya satu dua ditemani oleh anaknya. Saya dan isteri saya belum apa apa ….

    Pak Wir, terima kasih. Anda mengilhami saya untuk menulis di blog saya http://www.st-tarsisius.blogspot.com tentang kesaksian iman untuk memperkaya sesama umat Katolik. Terima kasih atas ilhamnya.

    Berkat Dalem

    Suka

  2. wir Avatar
    wir

    Yth. pak Martin

    Senang sekali tulisan di atas dapat menginspirasi Bapak untuk terus produktif dalam menulis.

    Bagaimanapun menulis adalah salah satu kegiatan yang tidak mengenal usia, bahkan semakin dewasa semakin matang apa-apa yang dapat kita tuliskan.

    Saya jadi ingat, orang tua saya di Yogya yang tahun depan udah berusia 70-an, sedang Bapak mertua juga sudah 77. Semuanya masih aktif dan sehat, syukur kepada Tuhan atas semua berkat yang diberikan.

    Dengan orang-orang tua yang sudah berusia tersebut maka saya usahakan bahwa setiap ada kesempatan / waktu maka bersama-sama keluarga akan pergi menyempatkan menengok mereka di Yogyakarta. Kata orang tua, yang diharapkan dari anak-anak saat ini hanya perhatian aja, gitu katanya.

    Tentang diakon, orang tua saya (yang 70-an) tersebut juga menjadi diakon awam di gereja Pringwulung yogya, beliau menikmati juga kegiatan tersebut. Itu juga menunjukkan bahwa beliau dan juga pak Martin di hari tuanya masih bisa memberikan buahnya kepada Tuhan.

    Saya berharap dihari tua saya nanti juga demikian adanya, minimal dapat menginspirasi dari tulisan-tulisan yang dibuat.

    Salam sejahtera

    Wiryanto Dewobroto

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com