Tadi pagi baru saja selesai rapat dosen di Jurusan Teknik Sipil UPH. Ada informasi dari Kajur bahwa berkaitan dengan kurikulum baru maka muatan wajib, mata kuliah Bahasa Indonesia dinaikkan, dari 2 sks menjadi 3 sks, perintah DIKTI katanya.
Bagi pecinta negeri ini pasti bersyukur: “Hiduplah Indonesia Raya !”. Sebagian besar pasti setuju mendukung hal tersebut, meskipun untuk itu maka ada mata kuliah rekayasa tertentu yang harus menjadi korban. Kenapa ? Ya untuk mempertahankan jumlah SKS yang totalnya 144 atau 146 sks itu. Yah, namanya aja cinta negeri, jadi harus berkorbanlah !
Pak Wir setuju khan ? Demikian seorang teman dosen bertanya.
Ya gimana lagi, khan DIKTI. Negara gitu. 😐
Tetapi dalam hati sebenarnya prihatin, ada dua alasan utama, yaitu :
- Content bidang engineering yang mestinya dapat diberikan ke mahasiswa berkurang, padahal ini penting agar lulusan siap pakai.
- Peningkatan jumlah sks dari dulunya 2 sks menjadi 3 sks menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia yang telah diberikan sejak SD, jadi tepatnya selama 12 tahun telah gagal. Buktinya masih minta jatah lagi di pendidikan lanjut. Iya khan.
Jadi timbul pertanyaan di dalam hati ini, untuk apa sih sebenarnya pelajaran bahasa Indonesia tersebut diberikan di tingkat pendidikan tinggi, yang notabene adalah pendidikan lanjut untuk mendapatkan kompetensi untuk menunjang kehidupan profesionalnya nanti.
Bapak nggak cinta negeri ya ?
Hush, kamu ini. Tahu nggak sih apa yang kamu tanya tadi. Cinta negeri ? Tahu nggak artinya itu. Jangan sedikit-sedikit kalau mengandung istilah Indonesia pasti itu cinta negeri. Juga kalau dimasukin ke mata kuliah utama pasti itu menunjukkan cinta negeri. Nggak seperti itu, nggak sesederhana itu. Kalau itu untuk menampung guru-guru bahasa agar ada lapangan pekerjaan. Lha itu jelas. Jadi cinta rakyat gitu, agar tetap dapat pekerjaan. Ok lah. Kalau itu tujuannya, kita bisa aturlah win-win gitu. Tapi kalau mata pelajaran itu diberikan dengan keyakin, agar orang dapat memakai bahasa Indonesia dengan baik. Wah saya meragukan itu.
Dengan memasukkan mata kuliah pelajaran bahasa Indonesia ke mata kuliah inti maka jelas content mutu ke bidang engineering berkurang. Padahal itu penting agar lulusan lokal kita bisa bersaing dengan engineer-engineer asing yang datang ke negeri kita yaitu dengan adanya kebijakan AFTA. Alih-alih meningkatkan kompetensi, tapi koq ditambahin muatan non-engineer. Bisa-bisa nanti lulusan engineering kita nggak kerja dibidang engineering tapi jadi tukang ketik surat.
Lho tapi bahasa Indonesia khan penting pak ?
Penting bagaimana ? Agar bisa berbahasa Indonesia yang baik ?
Iya pak.
Tandanya ?
Ya lulus mata kuliah itu !
Itulah yang aku tidak setuju. Pelajaran bahasa koq dievaluasi dengan ujian kelas, apalagi kalau soalnya multiple-choice. Wah gawat itu ! Pantes dari dulu dikasih pelajaran bahasa Indonesia sampai mahasiswa ya nggak bisa-bisa. Kalau memang tujuan diberikan mata kuliah tersebut adalah agar mahasiswa dapat berbahasa Indonesia yang baik, maka banyak cara dapat diberikan.
Gimana pak ? Bapak ini koq tahu aja, itu khan bahasa Indonesia bukan bidang engineering. Bapak khan bukan ahli bahasa khan !
Eh koq mengecilkan gitu ya. Jelek-jelek gini, saya ini juga belajar bahasa juga lho, tidak hanya komputer atau struktur baja atau beton. Meskipun formalnya saya ini engineer, tapi pengalaman berbahasa dengan bahasa Indonesia cukup matang lho.
Maksudnya pak ?
Kamu lihat aja, si Wir ini penulis lho, bukunya aja sudah empat yang diterbitkan, belum tentu yang sehari-harinya mengajar bahasa Indonesia di perguruan tinggi mampu mempraktekkan keahlian berbahasanya sampai menjadi buku. Iya khan.
Ok, ok deh pak. Lalu saran Bapak apa ?
Ya gitu deh. Usulan saya dengan tujuan “agar mahasiswa level S1 mampu berbahasa Indonesia yang baik”, tetapi tidak mengurangi jatah content kompetensi level S1 yang seharusnya diterima, maka sebaiknya :
- Kemampuan berbahasa Indonesia tidak dimasukkan dalam kurikulum wajib, tetapi dijadikan materi lepas yang di support oleh departemen bahasa. Kayak kursus gitu lho. Jadi calon mahasiswa diwajibkan untuk mencapai suatu kompetensi tertentu tentang berbahasa Indonesia, itu lho kaya TOEFL untuk yang berbahasa Inggris.
- Selanjutnya agar dapat terintegrasi dalam pembelajaran maka mata kuliah tertentu (Tugas Akhir atau Kerja Praktek) yang memerlukan bahasa secara intensif dilakukan pembinaan. Misalnya dalam hal ini dosen-dosen yang diberi hak untuk membimbing harus mempunyai sertifikat tertentu. Jadi intinya dalam hal ini dosen-dosen tersebut akan berfungsi sebagai evaluator dari tulisan mahasiswa apakah sudah berbahasa Indonesia yang baik atau belum.
- Atau bisa juga disyaratkan bahwa si mahasiswa sebelum lulus harus sudah pernah bikin makalah ilmiah yang dipublikasikan. Jadi kalau si mahasiswa mampu menunjukkan bahwa mereka telah mempublikasikan karangan ke majalah atau jurnal, berarti bahasanya lumayan khan.
Ada lagi nggak ya sarannya ?
Jelaslah kalau usulan ini diterapkan maka saya yakin mereka (para mahasiswa) pasti akan lebih PD memakai bahasa Indonesia. Langsung ke implementasi gitu lho.
Tinggalkan komentar