Wisata kuliner di Jogja
Akhirnya misa natal di gereja Antonius Kotabaru selesai juga. Dua jam lebih misa natal yang kami ikuti, cukup lama ! Padahal umumnya hanya sekitar satu jam lho. Mungkin ini dikarenakan misa khusus untuk anak-anak, jadi selain kebaktian rutin, cukup banyak juga diselipkan adegan operet. Bagus sih bagus, tapi kalau ditata lebih baik maka diyakini akan lebih khusuk.
Pada misa natal kali ini kelihatan sekali kalau mbak-mbak pengarah acara untuk anak-anak terlihat lebih dominan mengatur acara dibanding romo-nya. Mungkin karena volume mic yang dipakai terlalu keras, sedangkan punya romo-nya kurang kencang. Sayang, jadinya kelihatan nggak serius, romo-nya hanya terlihat sebagai obyek pelengkap.
By the way, saya kira itu hanya pendapat pribadi, semoga orang-orang lain yang ikut misa saat itu tidak berpikiran sama.
“Eyang, setelah misa, kita mau kemana ? “, seorang cucu dengan nada lugu bertanya.
Pertanyaan tersebut kelihatan sederhana tapi mengandung harapan besar, karena didukung pengalaman sebelumnya bahwa setelah pulang gereja umumnya anak-anak tersebut mendapat suka cita lagi. Anak-anakku juga demikian setiap mengikuti misa hari minggu, ada ceritanya lho, di sini.
Sejenak aku teringat masa kecilku, seperti biasa, setiap hari minggu, orang tuaku telah membiasakan mengajak kami, anak-anaknya pergi bersama-sama ke gereja. Kecuali ada acara khusus, jarang kami ke gereja sendiri-sendiri. Meskipun kami merasa bukan tipe keluarga yang religius, tapi akan merasa heran jika ada orang yang telah diketahui berkeluarga terlihat sendirian di misa hari minggu. Selanjutnya setelah selesai misa, maka kami bersama-sama makan di luar, di restoran atau rumah makan. Waktu itu yang paling favorit adalah makan soto Kadipiro (sekarang masih ada, dan makin ramai meskipun itu sudah lebih dari 15 tahun yang lalu).
Setelah lama berkeluarga sendiri, aku jadi mengetahui bahwa kebiasaan seperti itu, yaitu setelah ke gereja juga ramai-ramai makan bersama di luar, tidak setiap keluarga melakukannya. Setelah tua, dan menjadi bapak dari dua anak ini merasakan bahwa suasana seperti itu ternyata mengenang bagi anak-anaknya, jadi kebiasaan tersebut terus kulakukan bersama anak-anakku.
Jadi pertanyaan di atas menggugah kembali memory lama, yang ternyata sampai hari inipun masih menjadi sesuatu yang rutin. Syukurlah, eyangnya anak-anakku masih dikaruniai kesehatan dan kesanggupan untuk melakukan itu semua. Sekarang aku juga menunggu, mau kemana ini. Apa masih ke Kadipiro lagi, atau mau kemana ?
**mode penasaran on**
“Yuk ke mak Angkin !“, eyang putri berkata.
“Wonten pundi menika bu” (dimana itu ibu), kataku dalam bahasa jawa sedikit halus.
“Ya, nanti ikuti aja mobil adikmu“, ibuku dan juga eyang putri anak-anakku menjawab.
O ternyata adik-adik dan ibuku sudah merencanakan untuk melewatkan acara setelah pulang misa natal ini untuk pergi makan-makan di restoran mak Angkin. Katanya itu menjadi restoran favorit orang Jogja saat ini.
Wah, sudah lama di Jakarta, jadi ketinggalan. Menurut adik-adik, ini restoran dengan menu favoritnya : ikan dan udang . Wah menarik ini.
Singkat cerita, pergilah keluarga besar kami, Srihardjanan ( nama orang tua kami Sri Hardjono) bersama-sama dengan empat kendaraan, maklum anaknya empat, semuanya sudah berkeluarga, jadi satu kendaraan tidak cukup.
Restoran mak Angkin terletak di sebelah barat Jogja, melalui jalan ke arah Godean. Dari pasar Godean masih terus ke barat, lalu ada lampu merah pertama di kecamatan Minggiran Sayegan (kalau nggak salah lho) belok ke kanan (ke utara). Daerah di situ masih sawah-sawah, natural sekali. Wah ini namanya wisata, dan karena tujuannya adalah untuk mencari makan maka sebut saja wisata kuliner.
“Ada pertanyaan pak Wir ?“, seorang pembaca blog bertanya. “Pak Wir ini jawa tulen ya ?”
Lha iya dong, ada apa ?
Itu pak, orang jawa khan terkenal dengan filosofi-nya yang terkenal yaitu “MANGAN ora MANGAN sing penting KUMPUL !“. (bahasa indonesianya adalah : makan tidak makan yang penting dapat berkumpul bersama). Jadi ketika bapak berbicara banyak tentang kebersamaan dan kelihatannya menjunjungnya maka saya bisa merasakan bahwa bapak ini memang orang jawa ndesit (udik). Saya percaya itu. Tapi ketika sudah kumpul, koq rame-rame berbicara tentang makan bersama, itu koq kelihatan tidak cocok dengan filosofi jawa di atas tersebut.
Mungkin pak Wir ini termasuk orang jawa (fisik) tapi tidak menjiwai budaya jawa ya pak ?
Lho adik dari mana ? Kelihatannya juga dari jawa, tapi mempertanyakan ke-jawa-an saya. Lucu juga ya. Baiklah saya mencoba menjelaskan sedikit tentang filosofi tersebut. Ini memang kebiasaan budaya jawa, apa yang tersurat belum tentu tersirat. Ngono ya ngono tapi aja ngono. Saya tahu itu, untuk memahami budaya jawa secara tepat tidaklah mudah, meskipun orang tersebut tinggal di Jogja juga.
Ah, masa ?
Ya benar, saya merasa prihatin tentang hal tersebut. Banyak anak-anak muda sekarang ini sudah tidak bisa lagi secara aktif memakai bahasa jawa. Kalau itu saya jumpai di Jakarta, ya di maklum saja, tapi ini saya temui di Jogja sendiri yang notabene adalah pusat kebudayaan Jawa. Saya bilang Jogja dan bukan Solo. Kenapa ? Yah, nanti aja, itu cerita lain. Ok. Memang sih, kita bisa melihat anak-anak muda memakai bahasa jawa, tapi itu bahasa jawa pasaran, saya yakin sudah jarang sekarang anak-anak muda memakai bahasa jawa halus (kromo inggil). Padahal dalam pemakaian bahasa jawa halus tersebut teselip suatu prosedur tata krama, tatanan pergaulan antara lawan bicara masing-masing. Jadi seiring dengan berkurangnya pemakai bahasa jawa kromo inggil maka pemahaman tata krama dalam pergaulan juga ikut berkurang. Jadi fungsi bahasa hanya sekedar alat komunikasi lugas saja.
Eh pak, mangan ora mangan -nya pak, jangan lupa !
Eh sorry, kembali ke falsafah tadi.
Istilah “mangan ora mangan sing penting kumpul” itu bukan bermakna bahwa mangan (makan) itu tidak penting. Itu bahkan menunjukkan hakekat bahwa makan itu sangat penting, sesuatu yang berharga sehingga dapat dibandingkan dengan sesuatu lain yang berharga yaitu kumpul. Prioritas gitu. Jadi bagi orang jawa, setelah kumpul lalu apa, yaitu pasti makan. Jadi jangan diartikan karena sudah kumpul maka nggak perlu itu dibagi makanan.
Untuk menunjukkan bahwa budaya kumpul lalu makan itu ada di pesta kenduri, selamatan, setelah ada ramai-ramai berkumpul maka pasti dilanjutkan dengan makan-makan, bahkan setelah pulang membawa besekan (kotak dari produk bambu beriisi makanan).
Jadi kesimpulannya bahwa setelah ramai-ramai dari gereja lalu dilanjutin makan-makan itu berarti Jawa benget. Gitu lho. Ok.
Eh, wisata kulinernya koq jadi terabaikan. Dilanjutkan ya, karena di sana saya membawa Canon digital IXUS 850 IS maka ada baiknya disajikan bergambar aja ya. Lebih menarik.
Suasananya memang mak nyusss. Jadi wajar khan kalau disebut wisata. Kalau ke Jogja dan tidak mampir, rugi lho. Jogja itu nggak sekedar Kraton atau Prambanan, tapi juga KULINER. Iya khan.
Ternyata gubuk-gubuk tempat makannya ini berada ditengah-tengah sawah yang sangat luas. Kita sedang berjalan ke bagian ujung. Pengin tahu.
Suasana alam, besar lho, tiga bis aja juga muat lho restoran ini. Jadi nanti yang minta wisata ke Jogja, minta di antar ke sini juga ya. Itu gubuk-gubuk sejauh mata memandang itu punya restoran mang Angkin lho. Gueedeee !
Itu kelihatan yang pada makan.
Wah makanannya datang, tangan yang nyelontang itu tangan anakku yang sudah kelaparan.
Lho koq sudah pada nari-nari itu anak-anak, dari kiri-ke-kanan Iwa (kaos hijau ), Emma (baju pink), ibu Shanti K. (adikku no.3 yang tinggalnya di Jakarta), Kanya (kaos kuning), Harry (kaos merah ber-krah putih) anakku no.2, lalu Aga (kaos merah), juga ibunya Esti Ch. (adikku no.2 yang tinggalnya di Jogja).
Wah jelas, kalau ini pasti mereka sudah pada kenyang.
Makanannya nggak usah terlalu di eksposed ya, pokoknya enak. Bayangin aja kaya mak-yuss-nya bapak Bondan Winarno gitu lho.
Suasana ketika akan pulang. Ternyata yang pengin wisata kuliner seperti kami banyak juga ya, itu mobil-mobil semuanya ke mak Angkin. Padahal di tengah sawah lho. Untung tidak hujan.
Ternyata Jogja lengkap juga.
Tinggalkan komentar