Menghadapi tahun baru, harus selalu optimis agar selain bertambah umur, juga harus semakin sejahtera. Karena jika ‘merasa‘ sudah sejahtera maka kemudian ada keinginan untuk dapat berbagi ke yang lain, dengan berbagi ke yang lain maka rejeki bertambah banyak. Itulah rahasia mengapa banyak orang kaya bertambah kaya saja, juga orang pintar tambah semakin pintar. Hukum ketertarikan dari the Secret-nya Rhonda Byrne katanya.
Pak Wir gimana ?
Ya jelas dong, saya sudah ‘merasa‘ sejahtera dengan ilmu saya, meskipun hanya sedikit tetapi saya berusaha untuk membagikan juga ke orang lain yang memerlukan.
Caranya ?
Kalau namanya berbagi, itu banyak cara, banyak sarana dan banyak jalan. Pada tingkat kecil, menjadi guru adalah sudah berbagi. Tentu saja ini dengan catatan dapat mengantar anak didiknya untuk bertransformasi menjadi seorang yang berkompetensi. Saya bilang pada tingkat kecil, ya karena selain itu terbatas pada kelas, juga karena memang itu kerjanya. Dia dibayar untuk itu. Jadi kalau saya sebagai guru berbangga dapat mentransformasi seorang anak sehingga ‘mampu’. Ya itulah memang kerjanya, kalau nggak bisa mentransformasi, berarti nggak pantas menyebut diri sebagai guru, yah cukup aja staf edukatif. Iya khan.
Sorry, saya tidak mengecilkan arti guru, bahkan ingin menaikkan derajatnya. Jadi hanya orang yang memang berkompetensi sebagai guru-lah yang wajar menyebut diri guru. Bukan karena gajinya dari institusi sekolah atau universitas karena mengajar maka sudah berbangga menyebut dirinya adalah guru.
Guru itu apa sih ? Guru itu bukan sekedar hanya mengajar, tetapi diguGU lan di tiRU (bhs indonesia-nya : orang yang omongannya diikuti dan tindakannya dijadikan teladan). Nggak gampang khan. Kalau hanya sekedar mengajar, itu gampang, cari aja murid, udah deh bisa mengajar. Iya khan.
Pak Wir gimana ?
Waduh nggak tahu, yang bisa menyebut itu khan orang lain, yang jelas saya berusaha dengan keras untuk menjadi seperti itu.
Kembali kepada berbagi itu tadi ya.
Guru di kelas adalah tingkat kecil / lokal. Agar dapat menjadi guru di tingkat lebih besar / global maka memerlukan kompetensi yang lebih. Apa itu ? Menulis dan berbahasa. Tanpa itu, saya kira susah dan menjadi terbatas, khususnya oleh tempat dan waktu.
Itulah rahasia untuk menjadi seorang guru yang ‘besar‘. Dengan kemampuan menuliskan ide-idenya atau kompetensi yang dikuasainya dalam berbagai bahasa, saya yakin itu dapat menjadi guru bagi banyak orang, tanpa dibatasi waktu maupun tempat. Apalagi didukung oleh teknologi yang semakin memudahkan orang menemukan materi tulisan tersebut melalui internet seperti di blog ini.
dengan menguasai bahasa maka dia akan menguasai pengetahuan
Jujun S. Suriasumantri
Hanya sayang, bahasa yang aku kuasai baru bahasa Indonesia. 😦
Itu sudah untung, daripada tidak sama sekali. **tampang jawa ndesit mode on**
Dengan berbagi dalam blog ini, ternyata aku bertumbuh luar biasa. Dapat memaknai setiap peristiwa dengan sudut pandang lain, yang mana ketika hal tersebut aku sharing-kan ke yang lain via blog ini ternyata banyak juga yang sependapat. 😀
Sharing dengan berbagai macam orang, berbagai latar belakang budaya, usia, pendidikan dan lain-lain, sampai menemui komentar seseorang yang ternyata merupakan rahasia jalan karirku ini. Bahkan sebelumnya aku nggak tahu, kalaupun tahu itupun hanya sekedar berandai-andai.
Komentar seseorang yang mana pak Wir ?
Ini lho, komentar tertulisnya saudara Robby Permata :
Bapak saya (yg kebetulan adalah seorang dosen alias guru ekonomi di Unand Padang), pernah ngasih cerita waktu saya masih kecil :
Ketika Jepang hancur lebur setelah Perang Dunia 2, maka konon Kaisar Jepang terlibat diskusi dengan salah seorang staf nya. Si staf melaporkan bahwa bangsa Jepang telah kehilangan harga diri, kehilangan ribuan nyawa warga dan tentaranya, kehilangan ratusan warship yang dibanggakan sebelumnya (termasuk kapal Yamato yg sangat dibanggakan), kehilangan ribuan pesawat tempur, industrinya hancur, singkatnya hampir bisa dikatakan kehilangan segala-galanya ..
Namun mendengar itu, sang kaisar bertanya : “Bagaimana nasib warga negara yang berprofesi sebagai guru ? Kita boleh kalah perang dan negara hancur, namun jika para guru kita masih banyak, maka Jepang pasti akan bangkit lagi !”
Saya ndak tau cerita itu benar atau nggak, hehe.. namun moral of the story-nya jelas : pendidikan adalah syarat mutlak untuk suatu negara yg mau maju …
Dalam kaca mata pribadiku, saya melihat cerita di atas ada keselarasan dengan perjalanan karirku. Seperti diketahui bahwa sejak lulus sampai terjadinya krisis negeri ini, aku adalah engineer aktif pada proyek-proyek rekayasa. Meskipun di satu sisi dalam hidupku, waktu itu juga menikmati mengajar di salah satu universitas di Jakarta, tetapi tidak ada dalam benakku untuk hidup sebagai pengajar (dosen). Maunya adalah seperti Prof. Wiratman, sebagai seorang engineer terkenal yang membuat proyek-proyek hebat.
Ternyata, kenyataan berkata lain. Apa yang seharusnya diharapkan oleh seorang engineer bahwa 1 + 1 = 2 adalah tidak seperti itu hasilnya, bahkan harus menerima kenyataan kalau 1 + 1 = 11.
Apa maksudnya ?
Bahwa perusahaan konsultan yang diharapkan mengantar diriku menjadi engineer terkenal ternyata terkena imbas , krisis moneter. Mobil dinas baru yang belum genap setahun dipakai harus dikembalikan karena perusahaan bangkrupt. Apa tidak kecewa itu. Meskipun sebenarnya masih juga mensyukuri, bahwa investasi dari segi pendidikan yang dipunyainya (S1-UGM; S2-UI) serta kompetensi praktisnya masih bisa dijual untuk menjadi guru.
Mula-mula pemahamannya adalah ‘daripada tidak‘, tetapi dengan melihat cerita sdr. Robby di atas, ternyata baru aku pahami, bahwa menjadi GURU adalah juga MULIA, karena dapat berperan aktif memajukan BANGSA.
Perhatikanlah ajaran gurumu dan belajarlah sebanyak mungkin.
Amsal 23:12
Syukurlah, dengan demikian di tahun 2008 ini aku akan lebih berbangga menjadi seorang Guru. Itu adalah jalan Tuhan bagiku.
Amin.
Tinggalkan komentar