Apa yang ada dalam benak kalau mendengar kata lisensi, tentu akan dikaitkan dengan hak memakai, jadi tepatnya jika kita mempunyai lisensi suatu software berarti kita punya hak legal untuk memakainya. Legal dalam arti kata tidak melakukan pelanggaran hak cipta yang sudah ada undang-undangnya.
Berkaitan dengan hak cipta, itu tentu lebih diarahkan kepada royalty bagi penemunya, jadi tidak sekedar memberi respek dengan mencantumkan namanya, seperti yang biasa dipakai pada tulisan ilmiah. Jadi sebenarnya undang-undang tersebut berguna untuk melindungi para penemu agar mempunyai hak mendapatkan benefit materi dari jerih payahnya, sehingga diharapkan penemu tersebut terpacu untuk menemukan yang lain-lain lagi. Ujung-ujungnya antara penemu dan pemakai dapat saling win-win, pemakai mendapat keuntungan dari hasil penemuannya, sedangkan si penemu mendapat uang dari hasil penemuannya juga.
Keuntungan pemakai pada umumnya dikaitkan dengan proyek yang dapat dihasilkan / dikerjakan jika memakai temuan (software), dimana jika dikaitkan dengan harga lisensi dan keuntungan yang dapat diraih adalah tidak seberapa (relatif). Jadi pemakai disini dikaitkan dengan industri tentunya.
Bagaimana dengan pemakainya adalah dari kalangan pendidikan, yang keuntungan langsung-nya tidak dapat segera dikorelasikan.
Saya pernah berkonsultasi soal tersebut kepada salah satu vendor. Jawabannya: “Bagi UPH itu khan nggak seberapa pak Wir. Itu tergantung bapak, mau apa nggak ? ”
Nggak salah juga sih. Tapi karena tahu sebenarnya ada versi student, maka saya mencoba mengarahkan ke versi student.
Si vendor tersebut, yang asli-asli penduduk Indonesia menyatakan dengan tegas: “Versi student tidak berlaku untuk Indonesia, Bapak harus beli ! “. Jawabnya ketus. Waduh sok amat sih, saya yakin banyak teman-teman yang tahu siapa orang yang saya maksudkan.
Saya tidak bilang orangnya salah, tapi caranya itu. Sombong sekali. Ya udah selama orang itu hidup, ngapain beli lisensi dari orang itu. Coba kalau orang itu sedikit respect, saya juga akan respect juga. O ya, tentang omongan ketusnya, saya juga masih menyimpan pendapat tertulisnya tentang kebijakan dia tentang software yang dia vendori. Wah negatif sekali,Β dia merasa yang pertama kali bawa software tersebut ke indo, tetapi dianya kecewa karena merasa tidak dianggap. Dia menyatakan bahwa semua pelatihan tentang itu yang ada di indonesia adalah illegal dan hanya dari pihak dia yang legal. Itu yang saya tangkep. PD sekali dia, seakan-akan sumber tentang software tersebut adalah dari dia, padahal sama sekali nggak ada tuh pengaruhnya padaku selama ini.
Eh koq jadi ngeluarin uneg-uneg ttg orang yang sebenarnya nggak perlu dibicarakan. Sudah lama aku menganggapnya nggak ada, tapi karena ada kata lisensi maka jadi ingat dia. Memang sih, dia dikenal atau terpaksa aku kenal karena memang punya legalitas tentang lisensi tersebut.
Kembali ke konsep tersebut, saya maju ke pimpinan. Apa jawabnya, “koq banyak pak duitnya, mahasiswa kita berapa sih ? Apa ada jaminan kalau udah beli itu lalu mahasiswa kita banyak ?” Wah susah kalau jawabannya seperti itu, saya juga nggak bisa ngejamin. “Yah kalau begitu mohon pak Wir pikirkan lagi ya. Tolong dibantu pak !“, begitu kata pimpinanku, susah juga khan. Yah, gimana lagi, semuanya masih diukur dengan keuntungan materi jangka pendek. Jadi kenapa aku suka ngulik, itu hanya didasarkan hobby saja, jadi terpaksa uang pribadi. Jangan bayangkan itu dari institusi, meskipun kelihatannya megah sekalipun.
Apalagi ketika mengajukan program ABAQUS. Jawabannya juga lebih sederhana. Apa hayo ? “Apa software se canggih tersebut juga perlu untuk level S1“.Β ya sudah titik.
Eh omong-omong tentang lisensi ABAQUS di Indonesia, apa ada yang tahu ?
Kemarin baru saja berdiskusi dengan Prof. Paulus Rahardjo, beliau ternyata salah satu yang mendukung digunakannya software berlisensi dan bahkan menyatakan bahwa sebaiknya menghubungi langsung vendor karena mereka umumnya tahu bahwa jika software tersebut dipakai ditingkat perguruan tinggi maka umumnya memberi kemudahan. Karena dengan dipakainya di pt maka itu sudah merupakan suatu keuntungan mereka yaitu sosialisasi. Jika pada tahap awal, mahasiswa, mereka sudah dikenalkan pada software tersebut dan mendapatkan keuntungan, maka nanti diharapkan pada saat jadi profesional yaitu jika menemui masalah-masalah maka diharapkan dapat menggunakan software yang dikenalnya dulu dan bukan yang lain. Beliau sudah membuktikan yaitu dengan lisensi PLAXIS untuk kegiatannya mengajar di UNPAR, dan setelah sekian lama terbukti bahwa program tersebut menjadi populer dan banyak perusahaan membelinya. Memang hebat visi beliau, risetnya banyak, kesibukannya luar biasa juga dengan perhatiannya ke mahasiswanya. Terus terang saya ambil S3 di UNPAR karena ada beliau.
Kembali ke lisensi software.
Jikapun ngotot pihak developer utk lisensi, ya boleh-boleh aja. Tapi berikan versi student yang mungkin terbatas tapi harganya terjangkau.
Jika itu semua masih ngotot, tetap harus beli yang mahal.
Ya gimana lagi, maksud hati ingin berbuat legal, tapi apa daya doku nggak punya, masih lebih penting beli kedelai. Toh kalau hanya ingin makai, nggak ada masalah, semua ada koq. π
Tinggalkan komentar