Kalau hujan deras semalam suntuk seperti ini, paginya ketika akan berangkat kerja jadi ingat lagu “Nenek moyangku seorang pelaut“.
Kenapa ya ?
Ya gimana lagi, berita pagi di detik.com, di tv sudah memberita banjir, beberapa jalan di ibu kota sudah ada yang digenangi air setinggi 40 cm, sedang dari berita tv, jika kemarin Pasuruan, pagi ini, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan juga Demak sudah diperlihatkan air setinggi lutut orang dewasa menyerbu perumahan. Nggak mau kalah di Madiun, Gorontalo dan Bandung. Dimana-mana air, banjir, jadi kayak lautan. Bener-bener negeri maritim !
Tidak hanya orangnya yang membanjiri dengan lautan massa untuk menuntut, mungkin sekarang air juga nggak mau kalah, membanjiri untuk ‘protes sesuatu’. Nggak alam, nggak manusianya, koq kayaknya sudah mulai ‘anarki‘. Gimana ini.
Katanya pada nyalahin pembalakan liar, tapi yang di Jawa, yang hutannya nggak kelihatan terlalu rimbun seperti yang di luar Jawa, juga kebanjiran.
Panen lebih awal di Desa Kemiri di Sidoarjo, Jawatimur (31/1/08)
Banjir, banjir, banjir !
Kita ini jadi negeri maritim beneran lho kalau menjelang musim hujan (desember – februari), baru setelah itu, berubah kekeringan, jadi seperti negeri timur tengah. Itu lho kalau musim kemarau. Lengkap khan.
Hebat, negeri kita ini memang ‘kaya’.
**up-dated berita Sabtu 2/2/08**
Suasana negeri maritim masih terasa, berita radio Sonora masih diwarnai dengan pemberitahuan jalur-jalur alternatif menuju bandara Soekarno -Hatta. Jalur tol jelas sudah terputus ada genangan sampai 1 m tinggi. Masih banyak pengendara yang dari kemarin terjebak di jalan, maju kena, mundurpun kena. Bisanya hanya pasrah. Itulah ibukota negeri ini. Jangankan yang biasa-biasa orang nomer satupun pasrah terpaksa berganti jemputan.
Meskipun sudah merdeka lebih dari 1/2 abad, sudah banyak anak negeri ini yang bergelar Ph.D maupun guru-besar tentang hidro atau keairan atau gimana, ternyata menghadapi banjir hanya bisa mengeluarkan air mata. Saya nggak tahu, apa karena ini memang alam diluar kekuasaan manusia, atau sebenarnya para ahli bisa, hanya karena kita sekarang fokusnya khan bukan banjir, mana ada anggaran menghadapi situasi seperti ini. Sekarang ada anggaran sebanyak Rp 200 trilyun lebih penting ke pilkada dulu, itu khan lebih penting. Mau jadi negara demokrasi je, toh banjir sebentar lagi surut. Sabar ya mas yang kebanjiran, anda setuju khan demokrasi, memang perlu pengorbanan gitu lho.
He, he dingin ini di Cileduk (1/2/08)
Kasihan moto-nya aja dari HP, jadi kecil.
Ini jalan ke Bandara (1/2/08)
Tinggalkan komentar