Ada yang memberitahu : “Pak Wir, mahasiswanya ada yang complaint lho !

Ha, tentang apa. Saya ? Baik-baik, ini perlu ditindak-lanjuti dengan baik. Bagaimanapun di UPH, mahasiswa itu adalah asset, akan menjadi buah yang menunjukkan siapa pohonnya. Jadi kalau ada complaint harus ditindak lanjuti dengan baik.

Namanya mahasiswa, kalau tentang complaint nilai jelek, wah itu sudah biasa diterima. Saya sudah sering menyatakan, “jika nilai belum keluar, saya persilahkan untuk bertanya apa saja dalam usaha agar nanti nilai akhir bisa baik“. Memang itu salah satu tugas dosen yaitu membimbing mahasiswa untuk mencapai suatu kompetensi tertentu yang pada akhirnya ditunjukkan dalam bentuk nilai. Tapi kalau nilai sudah fix keluar, kecuali ada kesalahan teknis, jelas complaint seperti itu tinggal dijawab dengan senyum, “ya besok semester depannya lagi saya bantu agar baik ya.” 😀

Tentang penilaian bagi mahasiswa, aku juga memberi strategi khusus, ada kesempatan-kesempatan penilaian yang dapat memperhitungkan kerajinan (ketekunan) dan pamahaman (kompetensi), masing-masing aku beri bobot 1/3 dan 2/3. Aku mencoba melihat bahwa mahasiswa itu bukan mesin. Gitu lho. Mau tahu strategiku. Klik ini aja kalau tertarik.

Bukan nilai koq pak!

Lho apa lagi, apa mungkin kemarin ketika kuliah Analisis Struktur 1, dimana aku mensyaratkan para mahasiswa untuk membawa laptop. Lalu ketika ada yang tidak membawa, aku terlihat kecewa gitu. 😐

Yah, gimana lagi, karena institusi UPH sudah cukup lama mencanangkan diri sebagai kampus berlaptop maka materi perkuliahan juga aku sesuaikan. Sekarang di mata kuliah analisa struktur 1 aku ajarkan lagi materi Cremona. He, he, pernah dapet nggak. Itul lho yang menghitung gaya-gaya pada rangka batang dengan cara grafik. Saya yakin deh, jaman sekarang, sudah nggak banyak dosen struktur yang mengajarkan itu. Paling-paling hanya intro, menyelesaikan soal yang sederhana. Gitu khan.

Mata kuliah Cremona aku ungkapkan lagi secara detail di Jurusan Teknik Sipil UPH, saya jadikan materi pokok sebelum UTS. Pemahaman cara grafis dapat dengan cepat memberikan feeling kepada kita bagaimana gaya bekerja, tidak hanya besarnya gaya saja tetapi juga arahnya. Kalau analitis, khan nggak bisa serta merta.

Tentang ketelitian, jaman sekarang, jaman pemakaian teknologi komputer, dimana program-program CAD jauh lebih unggul dari sepasang penggaris segitiga, maka itu tentunya tidak menjadi masalah lagi. Juga karena anak-anak di JTS UPH semuanya sudah familiar dengan pemakaian AutoCAD. Jadi mata kuliah yang aku bawakan ini juga sekaligus untuk menguji kompetensi anak-anak terhadap pemakaian AutoCAD. Karena aku memakai AutoCAD juga sudah di luar kepala, maka aku langsung gunakan itu untuk mendemokan bagaimana penyelesaian Cremona dengan AutoCAD. He, he, he, jelek-jelek gini, kalau menggambar CAD dibanding drafter juga nggak kalah. 😀

Oleh karena itu, persyaratan kuliah dengan laptop di kelasku adalah wajib. Untuk menghindari problem nantinya, kemarin waktu perkuliahan tersebut aku tanya “Ada masalah nggak dengan permintaanku untuk membawa laptop di sini”. Nggak ada yang jawab sih. Jadi aku anggap nggak ada masalah gitu. Ya, bagaimanapun prasyarat membawa laptop hanya aku sampaikan ke anak-anak UPH, kalau di tempat lain pasti nggak begitu. Maklum lah.

Memang bukan tentang laptop pak ! Emangnya bapak pernah meminta anak-anak mahasiswa mengharuskan membeli buku Bapak ya ?

Mengharuskan !  Emangnya saya ini polisi !

Pertama saya mau menyatakan bahwa buku saya tersebut memang dipakai sebagai salah satu materi dalam perkuliahan saya yaitu pada mata kuliah “Komputer Rekayasa Struktur” salah satu mata kuliah unggulanku, dan mungkin juga unggulan UPH, nggak nyombong lho, tapi ditempat lain kayaknya nggak ada lho, kalaupun ada maka materinya belum pernah dibukukan dan dipublikasi secara nasional, iya khan.

Kedua, kecuali untuk perkuliahan maka karena ujiannya sifatnya closed books kecuali buku tersebut. Maka saya sarankan untuk mengusahakan, bisa membeli atau meminjam dari kakak kelasnya. Karena aku memang tidak senang jika di foto copy, kecuali jika buku aslinya udah nggak ada dipasaran. Apa karena itu ya ?

Apa salahnya sih kalau membeli buku tersebut, toh harganya nggak lebih dari pulsa hp yang biasa mereka habiskan nggak lebih dari seminggu. Padahal kalau mereka beli buku tersebut, saya yakin itu akan berguna lebih dari seminggu, minimal satu semester sampai selesai ujian. Bahkan jika mau, sampai bekerjapun masih tetap kepakai (itu kalau dengan asumsi masih bekerja pada bidangnya). Juga menghormati kerja keras yang menulisnya yang kebetulan dosennya langsung. Mahasiswa di tempat lain aja mau bela-belain pesen dari luar kota. Mahasiswaku sendiri koq gitu. 😦

Jika memang tidak mau keluar duit untuk buku tersebut, dan masih menghargai hak cipta karya orang, khan bisa aja minjem teman kakak kelasnya khan. Ngapain ngeluarin duit untuk foto copy, masih ngeluarin duit, masih ada yang nggak seneng pula. Rugi khan.

Apa itu berlebihan ? 

Pak Wir sensi ya ?

Wah apa-apaan ini. Saya kurang jelas maksudnya. Saya ini profesional, dibayar oleh UPH untuk bekerja sebagai dosen. Salah satu tugas dosen adalah mengajar dan mendidik mereka untuk mencapai suatu nilai tertentu. Termasuk juga memberi contoh atau teladan. Selain itu juga harus menyadari bahwa saya ini hanyalah satu dari sekian banyak dosen di UPH, dengan demikian harus memaklumi bahwa setiap anak-anak punya pendapat dan selera yang berbeda-beda. Maksudnya bisa saja anak-anak tersebut mempunyai pendapat yang tidak sama dengan saya, bisa juga sama atau bahkan tidak suka. Jadi oleh karena itu, agar netral, saya mencoba mengambil jarak. Tapi bagi mahasiswa yang sependapat, yang mempunyai ketertarikan sama, dan ingin sharing pengetahuan. Lha ini, saya sangat bergembira, saya akan memperhatikan lebih. win-win gitu. Kalau bisa, maunya menurunkan ilmu, yang meskipun sedikit tetapi mungkin bisa berguna.

Jadi jangan harap, saya yang pro aktif ke anak-anak. Untuk menghindari kecewa gitu, dan bisa sakit hati. Kalau sudah gitu khan nggak netral lagi. Emosi masuk. Terbukti, ada beberapa sih yang kelihatan tertarik untuk ambil TA datang ke aku, untung aku tanggapi netral aja, nggak terlalu GR, dan ternyata betul, akhirnya nggak jadi ambil TA dariku. Coba kalau aku terlalu berharap khan bisa kecewa.

Apa itu mungkin yang menyebabkan aku dibilang sensi.

Ya, gimana lagi, rambut sama-sama hitam, pendapat bisa berbeda.

Untuk mengatasi itu semua, aku berusaha mengambil keputusan yang terbaik menurutku sendiri, tidak tergantung orang lain. Tanggung jawabku ke atas. Jika masih di dunia ini, ya jelas atas itu maksudnya pimpinan institusi (UPH), tetapi atas itu juga berarti Tuhan Yang maha Esa. Ini yang paling penting. Jadi harus punya PRINSIP gitu lho, meskipun ada yang nggak senang. Koq pusing amat. Itu khan hak mereka untuk tidak senang, hak saya adalah cuekin aja.

Nasehat :

o ya, saya juga pernah membaca mahasiswa yang complaint, tidak hanya kepada saya, tetapi juga kepada dosen-dosen yang lain. Saya jadi kasihan lho, bukan kepada dosen yang dicomplaint itu, tapi kepada mahasiswanya sendiri.

Mahasiswa tersebut ke sini khan membayar mahal, jika masih awal cepet-cepetlah dipikirkan lagi. Kalau tidak yakin dengan suasananya, ya sebaiknya jangan diteruskan lagi. Toh itu duit-duit anda, masih bertebaran tempat lain yang mungkin sesuai dengan selera anda. Prinsipnya, kita tidak mengemis mahasiswa ke sini. Itu sepenuhnya keputusan mereka, bahwa ada sesuatu yang berharga bagi masa depan mereka.

Sedangkan dari kita juga yakin dan seyakin-yakinnya bahwa suasana yang kita ciptakan ini dapat mengantar mahasiswa maupun dosennya untuk dapat mengembangkan talentanya menjadi terbaik. Karena hanya dengan keyakinan itu pula, kita bisa menjadi terang dan garam dalam kehidupan ini.

Tanpa ada keyakinan positip tersebut. Rasanya mustahil.

Ingat, mengeluh tidak menyelesaikan masalah. Silahkan bicarakan baik-baik, siapa tahu itu dapat menjadi masukan yang berharga. UPH bukan hanya milik dosennya, tetapi merupakan milik ‘bersama’, untuk saling mengembangkan diri dan akhirnya dengan itu semua dapatlah kita semua di sini memuliakan Tuhannya.

13 tanggapan untuk “pak, mahasiswa complaint lho !”

  1. Robby Permata Avatar
    Robby Permata

    Mahasiswa di tempat lain aja mau bela-belain pesen dari luar kota. Mahasiswaku sendiri koq gitu.

    hehehe, saya jadi ingat pengalaman sendiri kalo baca kalimat P wir yang saya kutip di atas.

    Saya waktu kuliah S1 dulu juga kurang mengapresiasi dosen2 di teknik sipil ITB. Mungkin karena saya setiap hari bertemu mereka, jadinya ya seolah2 tidak ada yang istimewa.

    Ketika saya kuliah S2, dan bergabung dengan mahasiswa lainnya yang S1 nya dari berbagai universitas lain, baru saya sadar kalo dosen2 saya itu adalah orang2 yang kemampuannya diakui secara nasional. dari sharing pengalaman dengan teman2 tersebut, saya baru sadar kalo kuliah yang saya terima waktu S1 ternyata memang lebih baik dari standar rata2 universitas lain (rata2 loh).

    Jadi kadang2 kita memang baru sadar sesuatu yang dekat dengan kita itu ternyata berharga, setelah ada pembandingnya… 🙂 meskipun rada konyol, tapi itu manusiawi loh pak, apalagi untuk ukuran mahasiswa yang secara usia baru lulus ABG. hehehe..

    paling2 nanti pas udah kerja baru nyadar : “wah, ini kan ada di ajarin dulu, kok dulu saya gak mau belajar ya ?” 🙂

    -Rp-

    Suka

  2. ranywaisya Avatar

    Wah…kalau saya sih nggak pernah complaint dg dosen apapun.
    Mahasiswi yg baik 🙂

    Suka

  3. Achmad Basuki Avatar
    Achmad Basuki

    wah, pokoknya saya jadi ketagihan baca ‘alur pikiran’ P Wiryanto – yang liar menjelajah kemana-mana dengan gaya ‘khas’ P Wiryanto tentunya.

    Sebagai ‘dosen yunior’ boleh juga kan – mengidolakan —- dalam arti positif. Terutama sharing P Wiryanto tentang pengalaman mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswa.

    Saya pun kadang juga mendapat complaint dari mahasiswa……hingga kadang kertas ujian mereka tetap saya simpan, sebagai bukti kalo…saya sebagai dosen juga nggak sembarang memberi nilai…………..

    habis kadang mahasiswa kalau complaint selalu bilang “perasaan saya bisa mengerjakan, pak“…..sehingga kadang saya menjawabnya ya…”makanya kalau mengerjakan ujian jangan pakai perasaan…..dikerjakan pakai otak“….(kasar sekali ya……????)…baru setelah kertas ujiannya diberikan, mereka baru manggut-manggut.

    Ok,….tapi tetap semangat untuk terus belajar…..dan namanya belajar…ya kadang ada yang mudah dan kadang ada sulit…………….

    Matur nuwun P Wiryanto………jangan bosan baca comment saya ya..

    Suka

  4. rasyidridh Avatar
    rasyidridh

    Kalau Saya suka baca karena ingin jadi dosen Pak, jadi ngintip2 dulu kira2 jadi dosen seperti apa rasanya 🙂

    Suka

  5. Sandy Kosnatha Avatar
    Sandy Kosnatha

    Wah2, kalo buku bahasa Indonesia dengan harga segitu sih ga ada apa-apanya. Masih termasuk murah dibandingkan dengan ilmu yang didapat. Coba kalo liat buku karangan Paulay tentang Reinforced Concrete, berapa tuh harganya…. Lagipula buku tentang SAP2000 kan sudah aplikatif bukan cuman teoritis.

    Nb : waktu S1 di Indonesia dulu saya juga berpikir bahwa membeli buku itu mahal, tapi baru sekarang saya menyadari bahwa itu salah. kalo memang membeli buku dan dibaca sepenuhnya (bukan cuman membeli aja loh), kita tidak akan merasa rugi.
    trust me..

    Suka

  6. Butterfly And Wind Avatar
    Butterfly And Wind

    sebelumnya saya mohon maaf dulu ya..

    ini mungkin bisa mewakili opini dari bbrp mahasiswa yang komplain & negatif thinking itu..

    dia mungkin berpikir kalo Bapak sengaja berusaha menjual buku bapak agar target omzet penjualannya naik. dan yang menjadi “masalah” ialah Bapak memainkan nilai thd mereka yang membeli atau tidak.

    ps: saya bukan membela mahasiswanya lho, saya rasa mahasiswanya yang salah.. toh kan bapak juga dah tulis.. bisa meminjam dr kakak kelasnya.. cuma mungkin ini yang ada dipikiran yang complain.. saya bukan anak UPH sih =p cuma temen saya yang di untar ada yang cerita ttg hal ini. just a guess about ‘inside the complaining student’s mind’ =)

    Suka

  7. progoharbowo Avatar

    Seburuk apapun complaint …. kita bisa mengambil pelajaran dari hal tsb.
    complaint adalah sebuah anugrah ….

    Suka

  8. kanghawi Avatar
    kanghawi

    Sering di komplain karena telat bayar SPP

    Suka

  9. yanti Avatar
    yanti

    sabar aja pak wir.. biasa, kadang kadang mahasiswa masih belum bisa melihat betapa beruntungnya mereka mempunyai dosen yang ‘berada di jalan lurus’ 😀

    salam

    Wir’s responds: trim bu, Padang banjir nggak. Untung ya, yang katanya mau ada gempa bumi dahyat tempo hari nggak jadi. 😛

    Suka

  10. yanti Avatar
    yanti

    wah.. banjir juga sebagian, pak wir. kapan nih main ke padang..? kita ada planning agustus mau ngadain lagi seminar internasional tentang disaster mitigation. gempa dan tsunami.. 🙂

    Wir’s responds: pengin juga sih, tapi yah maklum, jauh juga sih. Kapan-kapan kalau diberi tugas ke sana. 😛

    Suka

  11. Indra TIF UPH 2007 Avatar

    wah jarang-jarang ada dosen yang aktif gini pak, saya salut ada dosen yang mau terbuka, saya lagi iseng cari map uph eh nyasar ke blog bapak….

    Semangat pak, memang menjual buku itu agak susah ke mahasiswa, tapi melihat kasus buku yang juga “mau nggak mau” harus dibeli sih, harga memang urusan belakang, yang penting esensinya bagus… apalagi kalo buku yang saya beli kebanyakan 200ribu++ T.T

    salam dari anak UPH 😀

    Suka

  12. DICKI Avatar
    DICKI

    kami dari untirta : ingin bertanya adakah akademisi dari UPH yang ahli dalam mitigasi bencana. thx

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      di Jurusan Teknik Sipil UPH belum ada.

      Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com