Peristiwa yang kita alami di Jakarta sejak Jumat sampai hari ini tentunya perlu kita lihat maknanya. Jakarta yang katanya ibukota negara besar, lumpuh gara-gara hujan lokal. Apa pula itu, baru hujan sehari atau dua hari, langsung lumpuh dimana-mana, bahkan sekarang jalan akses ke bandara juga tidak bergerak sama sekali.
Tidak hanya itu saja, bahkan busway, suatu solusi yang katanya baru dan ampuh ternyata juga nyerah oleh situasi seperti sekarang ini. Padahal namanya negara katulistiwa, hujan khan suatu yang biasa, bahkan kalau tidak hujan pasti pada bingung.
Coba lihat ini, foto hari Jumat 1/2/08 di depan Bundaran Hotel Indonesia. Perhatikan kendaran yang berwarna merah-merah mengular. Itu namanya busway, transportasi baru andalan ibukota negeri yang katanya kaya raya, Indonesia.
Silahkan bagi para penggagas kebijakan tersebut, apa komentar anda sekarang terhadap kondisi di atas.
Ya, boleh saja anda beri argumentasi selangit, tapi intinya, sistem anda lumpuh khan ! Ok, kita tidak perlu berdebat banyak, jelas faktanya seperti itu. Ini ibarat pepatah “jangan menaruh telur pada keranjang yang sama, sekali jatuh, pecah semua“. Itu khan yang terjadi. Sudah tahu jalannya seperti itu, bikin kebijakan baru tapi tetap mengandalkan infrastruktur yang sama, jadi sekali infrastrukturnya lumpuh, maka sistem baru itupun juga lumpuh, nggak ada bedanya dengan sistem yang lama. Padahal duitnya udah keluar bermilyar-milyar. Nggak ada yang baru.
Jadi kesimpulannya, kebijakan busway tidak bisa dijadikan andalan bagi alternatif pemecahan permasalahan yang sudah numpuk di Jakarta ini. Harus ada suatu solusi baru dan berani agar ibukota ini menjadi kebanggaan negeri ini.
Bapak ini. Koq mengkritik aja sih. Ngomong aja gampang, tapi lalu gimana solusinya. Solusi pak !
Lho aku nggak mengritik !
Lalu, kalau nggak mengritik, apa lagi komentar bapak ini.
Saya sedang melontarkan “sesuatu” untuk menjadi “pemikiran bersama”. Saya melihat sekarang ini usulan yang diberikan adalah karena adanya anggaran, proyek gitu. Jadi kalalu solusinya manjur, khan nggak ada proyek lagi khan. 🙄
Jadi sebagai anak bangsa, saya mencoba memberi suatu pemikiran. Eh, siapa tahu berguna.
Kalau begitu apa pemikiran bapak ?
Terus terang, aku bukan ahli transportasi, bukan ahli hidro, jadi mungkin tidak akan memberi solusi langsung ke masalah kemacetan maupun kebanjiran. Tapi sebagai seorang scholar (he, he, he, ngakunya begitu boleh khan). Kita khan tahu bahwa langkah pertama untuk penyelesaian suatu masalah adalah mencari tahu apa penyebab utama semuanya ini. Khususnya permasalahan yang terjadi di ibukota negeri ini. Apa hayo ? Jika anda sudah bisa mendefinisikan sumber masalah dengan tepat, maka 50% solusi sudah didapat. Iya khan. Itu kata dokter. Tapi mestinya ini juga berlaku.
Ya jelas khan pak, masalahnya banjir atau macet !
Itulah, mengapa dari tahun ke tahun solusinya nggak dapet-dapet. Masalahnya aja nggak tepat. Itu sih juga masalah, tapi bukan yang utama.
Menurut saya yang utama adalah jumlah penduduk atau masyarakat yang di Jakarta ini, sudah melebihi kapasitas. Jika jumlah penduduk yang di Jakarta pada hari kerja bisa dibatasi maka jelas situasi ibukota akan lebih baik. Buktinya khan kalau hari libur, atau lebaran. Jakarta khan jadi enak khan.
O, kalau itu sih ya jelas pak. Tetapi gimana, itu khan ibukota, jadi orang-orang itu khan penting, selain itu khan untuk cari rejeki. Bapak saja dari Yogja mau jauh-jauh ke Jakarta. Saya khan orang betawi asli, bapak-bapak ini yang bikin tambah penduduk. I ya khan ?
Itulah pak, selama ibukota ini masih menjadi tujuan, magnet bagi orang-orang lain, maka jelas, apapun solusinya, pasti kapasitasnya akan terlewati. Jika sudah berkelebihan akhirnya ujung-ujungnya macet. Juga karena jumlah penduduk bertambah, maka tempat-tempat yang dulu jadi tempat parkir air dll, agar tidak banjir jadi hilang. Akhirnya banjir bertambah tiap tahun, lama-lama kalau tidak diatasi bisa timbul anarki lagi lho.
Jadi gimana pak, kita cegah orang masuk Jakarta ?
Ya, ekstrimnya gitu, tapi kalau solusi ini adalah demi baiknya masyarakat. Maka jelas nggak bisa seperti itu, orang-orang itu khan juga anggota masyarakat. Jadi strategi utama bagi pembuat kebijakan ibukota ini, juga Indonesia mulai memikirkan bagaimana kepadatan penduduk Jakarta di siang hari bisa dikurangi dikendalikan (kalau malam khan memang kurang, sebagaian besar khan tinggallnya di pinggiran Jakarta).
Untuk itu saya mengusulkan yaitu memanfaatkan kota-kota satelit di pinggiran Jakarta, misalnya BSD atau Lippo Karawaci atau Lippo Cikarang sebagai bagian dari ibukota itu sendiri. Itu bisa jika tersedia sarana transportasi yang berdiri sendiri dari infrastruktur yang ada sekarang ini. Transportasi tadi harus andal, cepat dan murah. Jika itu semua ada, saya yakin penghuni Jakarta bisa secara bertahap berpindah ke bagian-bagian tersebut. Transportasi yang dimaksud adalah kereta api.
ini kereta api jarak pendek di Jerman
Tentang ide tersebut, mungkin banyak dari teman-teman akan menyangsikan, dan berkomentar “wah itu jauh pak“. Iya khan. He, he, he, jaman sekarang, kita jangan berpikir jauh atau deket, tapi waktu tempuhnya itu lho yang penting. Anda belum tahu sih, itu kampus Stuttgart yang di Vahingen itu di luar kota, tapi kalau naik kereta nggak lebih 10 menit udah nyampai dalam kota. Nggak kerasa kalau itu di luar kota. Percaya deh.
Sekarang ini fokus kebijakan tentang ibukota khan berpusat pada bagaimana agar tidak banjir dan bagaimana agar tidak macet. Itu khan. intinya nyoba bikin terobosan agar merasa nyaman di Jakarta.
Lha, itu khan seperti pepatah “ada gula ada semut“, semakin nyaman jakarta, semakin banyak orang berdatangan ke jakarta. Se top-top-nya kebijakan tersebut pasti ada batasnya.
O ya, kembali ke kota satelit tersebut. Jika transportasi cepat, andal dan murah sudah tersedia maka langkah kedua adalah mulai mengidentifikasi perusahaan-perusahaan atau institusi yang bisa dipindahkan ke pinggiran. Carilah institusi atau perusahaan yang besar, yang banyak mempunyai karyawan. Bikin kebijakan yang win-win sehingga mereka mau memindahkan kantor pusatnya ke pinggiran. Ini sudah dilakukan oleh bank Lippo yaitu ke Lippo Karawaci. Ternyata nggak masalah. Jika katakanlah institusi tersebut karyawannya 2000 orang, lalu berhasil memindahkan sekitar 5 institusi. Itu khan efektif mengurangi penduduk Jakarta siang hari sekitar 10000 orang khan.
Saya kira usulan ini pasti akan disetujui oleh wapres kita bapak J.Kalla, yang tempo hari mengusulkan kantor Iptek di Thamrin pindah ke serpong. Itu ide bagus lho. Memang sih, karyawan yang rumahnya Bekasi akan mencak-mencak , tapi saya kira ide pak Kalla realistis.
Lalu setelah bisnis dan hal-hal lain yang membuat orang berbondong-bondong masuk Jakarta siang hari sudah dapat dialihkan ke tepi maka saya yakin, jangka panjang penduduk jakarta bisa dikendalikan. Daerah aliran sungai bisa ditata ulang lagi, termasuk hulu.
Jadi sekali lagi, bahwa solusinya adalah memberdayakan kota satelit di pinggiran jakarta, jadikan sebagai sarana penyangga kegiatan bisnis dan yang lain, hubungkan kota-kota satelit dengan alat transportasi baru yang andal dan mandiri tidak menjadi bagian infrastruktur yang ada. Dalam hal ini adalah kereta api cepat. Jangan kita terlalu terfokus pada busway karena jelas dengan fakta seperti kemarin saja itu sudah lumpuh. Pertahankan boleh tapi jangan terlalu jadi tumpuan. Jika tetap ngotot, saya yakin pasti tiap tahun akan kecewa.
Semoga ada yang berani dan inovatif untuk berpikir ke depan. Semoga.
Tinggalkan komentar