Dua hari terakhir ada dua artikel di harian Kompas yang menyitir tentang “sarjana nganggur”. Untuk itu perlu saya kutip sebagian artikel tersebut sebagai berikut.
. . .
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal, mengutip data Badan Pusat Statistik, mengatakan, hingga Februari 2007, jumlah sarjana yang menganggur sebanyak 409.890 orang. Belum lagi lulusan diploma III yang belum mendapatkan pekerjaan sebanyak 179.231 orang serta diploma I dan diploma II yang menganggur berjumlah 151.085 orang. Total penganggur keluaran institusi pendidikan tinggi berjumlah 740.206 orang.
[Sumber Kompas – Rabu, 6 Februari 2008]
Sebagai respons dari informasi di atas, maka ada artikel lain yang menanggapi, yang intinya adalah
. . .
Darmaningtyas melakukan studi kasus pada iklan lowongan kerja di harian Kompas Minggu, 6 Januari 2008. Ada 405 lowongan pekerjaan, 4,19 persen mensyaratkan indeks prestasi minimum, lainnya menekankan pada kemampuan kerja individu dan tim, kemampuan berbahasa asing, terutama Inggris, kemampuan mengoperasikan program komputer, kemampuan berkomunikasi, dan pengalaman kerja.”Itu justru tak diperoleh secara formal di bangku sekolah, sebaliknya didapat dari inisiatif dan kreativitas individu. Individu kreatif cenderung memiliki tingkat keberhasilan tinggi,” ujarnya. Lembaga pendidikan cenderung mengajarkan hafalan, kurang melihat konteks.
Hal-hal seperti membangun jaringan, kreativitas, dan komunikasi kurang didapat dari sekolah.
[Sumber Kompas – Sabtu, 9 Februari 2008]
Sebagai orang yang hidupnya berkutat untuk menghasilkan sarjana, dan melihat bagaimana mereka sewaktu belajarnya, juga setelah lulusnya, maka jelas ke dua artikel tersebut menarik. Menjadi guru atau dosen yang memang makannya dari situ, juga hanya berkutat pada satu kampus saja, yaitu UPH. Maka pengamatannya tentang “anak muda culun” lalu menjadi “orang mandiri” tentulah lebih banyak dan mendalam daripada yang lain.
Tidak terasa, tahun ini adalah tahunku ke sepuluh di UPH, lama juga ya. Jika pertama-tama, saat jadi dosen dulu, aku masih tidak PD ketemu teman dosen dari lain institusi. Tetapi semakin lama, ketika semakin banyak alumni yang diluluskan, tidak terasa bahwa mentalku sebagai dosen menjadi semakin kuat. Itu semua juga disebabkan oleh anak-anak mahasiswaku, yang ternyata banyak yang membanggakan. Mungkin sebagian sudah banyak yang aku ungkapkan di blog ini.
Pohon dikenal dari buah yang dihasilkannya. Buah ara tidak akan tumbuh pada pokok duri, atau buah anggur pada semak duri.
Lukas 6:44 [FAYH]
Berkaitan dengan melamar pekerjaan, ada satu mahasiswaku (ini sungguh-sungguh terjadi ) katakanlah si A. Lulusnya bisa dikatakan molor, tujuh tahun kalau tidak salah. Bayangkan itu. Saya ingat sekali dia, karena di mata kuliahku, si A sampai harus mengulang 3X. Mestinya, aku baginya adalah dosen killer, iya khan. Tapi kesannya dia kepadaku tidak seperti itu, mungkin juga karena mengulang bagi dia adalah suatu yang ‘biasa’.
Ada hal yang menarik yang aku ingat, orangnya relatif ekstrovet, ramah, kalau ketemu pasti aktif menyapa lebih dulu, kesan yang aku terima adalah Percaya Diri. Akhirnya dia bisa lulus ! Berapa lama setelah wisuda, dia mengirim surat via email. Intinya ‘to say thank you‘, sambil memperlihatkan gambar jembatan yang sedang dia supervisi. Ya benar, jembatan. Saya sebenarnya nggak percaya, tetapi benar dia bekerja di kantor konsultan teknik asing, yang kalau tidak salah managernya orang German gitu.
Bayangkan, si A, yang di kampus terkenal sebagai kelompok ‘sepuh’ , karena banyak mengulang, sehingga setelah lulus pasti dibayangkan kalau kerja mestinya di bidang yang relatif umum, sales atau sebagainya. Eh, nyatanya tetap di bidang teknik, yang selama kuliahnya terlihat susah payah untuk diselesaikan.
Waktu mampir ke kampus tempo hari karena ada suatu urusan dan ketemu saya, apa yang dia katakan:”Ya pak, boss saya orang German , tapi bisa bahasa Inggris. Waktu masuk dulu, saya di test langsung secara lesan. Kalau bahasa Inggris-nya saya, lumayanlah pak! Khan dari UPH, sudah biasa, jadi bisalah. Masalahnya waktu soal yang dia berikan ternyata tentang analisa struktur. Ketika dibaca, wah mirip dengan soal yang Bapak biasa berikan di ujian. Jadi, ya begitulah. Saya khan sudah ngulang banyak, ya bisa juga. Trim ya pak, akhirnya saya diterima dan sekarang bekerja di sana.” Katanya dengan bangga.
Percakapan pendek tapi mengesan bagiku. Memang sih, bekas mahasiswaku si A ada yang menonjol sifatnya, yaitu :
- percaya diri,
- selalu berpikir positip,
- ulet dan tidak gampang menyerah meskipun harus mengulang beberapa kali,
- mampu berkomunikasi dengan baik (bahasa Indonesia dan Inggris).
Bayangkan meskipun pernah menjadi mahasiswa abadi, tetapi itu semua tidak membuatnya minder. Bahkan si A sangat bersemangat menceritakan kepadaku, pengalamannya. Padahal aku khan dosennya yang pernah “nggak nglulusin” sampai 3X. Bayangkan itu.
O, mungkin karena itulah maka si A tersebut ngganggurnya nggak lama, yang jelas sebelum wisuda dia sudah mendapat status yunior engineer di perusahaan konsultan teknik asing. Hebat khan.
Hal-hal kecil seperti itulah yang membuatku lama-lama jadi PD untuk hidup sebagai dosen atau guru, karena dapat menjadi bagian yang dapat mengantarkan manusia untuk menjadi “orang”.
Saya yakin, kalau para sarjana kita yang lulus dengan lancar (nggak perlu ngulang seperti muridku tersebut) dan mempunyai sifat-sifat yang aku jelaskan di atas maka pastilah angka pengangguran akan berkurang. Semoga.
O ya, untuk yang masih pengin dapet kerja atau pindah kerja, ini ada link-link menarik untuk dibaca.
Tinggalkan komentar