Setelah direnungi ternyata cukup asing juga memakai kata “kepatutan”, mungkin tepatnya adalah berkaitan dengan dapat diterima atau tidaknya oleh audience. Jika cukup patut maka audience akan merasa senang melihat atau mendengar hal yang patut tersebut, jika tidak patut, maka bisa saja audience merasa nggak enak, jengah, malu, bahkan jika keterlaluan akan menimbulkan protes. Bisa pada tingkat wacana tulis, bahkan sampai pada kerumunan massa, dan jika emosi tidak dijaga bisa sampai berdarah-darah. 😦

Patut tidaknya sesuatu atau bahkan menyinggung perasaan tentunya relatif, artinya tidak setiap orang merasakan hal yang sama.

Seperti contohnya kemarin, ketika melihat acara televisi pada hari valentine, ada sepasang suami istri artis mencoba mengungkapkan kasihnya kepada sesama yaitu dengan cara membagi-bagi sembako kalau tidak salah sampai 500 kepala keluarga. Itu semua diungkapkan suami artis tersebut sebagai bentuk perhatian kasih dan syukurnya selama ini. Dari tayangan tersebut terlihat sekali shoot kamera video mengabadikan event tersebut. Terlihat sedikit sorotan ketika mereka membagikan sembako, tetapi sebagian besar yang diperlihatkan adalah kegiatan mereka berdua. Yah, memang di acara infotainment sih.

Lalu belum lama ini, ada suatu majalah yang mencoba mengabadikan suatu lukisan terkenal, yang orang banyak mengidentifikasikan sebagai sosok sembahannya, untuk dijadikan inspirasi menggambarkan tokoh kontraversi suatu negeri. Peristiwa yang ini bahkan menyulut kritik pedas banyak kalangan, bahkan ada organisasi pemuda berkunjung ke redaksi majalah tersebut minta penjelasan. Untung organisasi pemuda yang datang tidak bersimbol pedang. Bisa ramai itu kalau begitu.

Berkaitan dengan kepatutan, maka masalah hubungan negeri ini dengan negara Malaysia saya kira sering kita dengar. Mulai dari TKI kita yang dikejar-kejar, tarian reog, nyanyian dan yang belum lama ini adalah keikut sertaan wni jadi tentara sipil bayaran.

Bagaimana tanggapan pak Wir terhadap issue-issue seperti itu.

Yah kalau saya, maka langkah pertama adalah mencoba mengendapkannya terlebih dahulu, selanjutnya mencoba melihat dari sisi lain. Bagaimana issue tersebut. Masih patutkah, atau tidak. Baru setelah itu saya coba komentari. Tentu saja komentar itu saya kembalikan ke diri sendiri dan mungkin orang-orang disekitarku, agar peristiwa yang menjadi issue dapat menjadi pengalaman dan diambil hikmatnya.

Seperti artis yang berbagi-bagi sembako dan hal tersebut dieksposed habis-habisan. Bagi sebagian orang memang terkesan tidak patut, karena memberi kesan terlalu dibuat-buat agar bisa dikatakan dermawan . Apalagi kalau mengingat ini

Tetapi jika engkau memberi sedekah janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihatnya yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
[Matius 6:3-4]

Tetapi kalau aku, maka kucoba berpikir lagi. Wir bisakah kamu memberi sembako sebanyak itu, seperti si artis itu. Waduh, guru koq begitu, ya keberatan gitu pak. Ya kalau begitu, mengapa kamu mencela si artis tersebut.  Masalah patut atau tidak, itu bukan urusanmu Wir, itu yang di atas yang berhak mengevaluasi. Itu merupakan cara yang di atas, dengan sedikit mengipasi ego si artis maka menjadi berbagi untuk sesama.

Ya, ya benar-benar. Syukurlah, si artis dengan berbagi dan dieksposed mereka merasa lega, senang, bangga. Biarlah itu punya mereka. Nggak patut aku menilai, kecuali aku bisa memberi sembako lebih banyak dari si artis tersebut. 🙂

Tentang sampul halaman.

Ha, ha, ha, ini sudah banyak yang membahas. Kalau aku sih nggak mau menanggapi, karena ini menyangku intereprestasi seseorang terhadap suatu simbol, yang bagi sebagian besar dikonotasikan dengan sesembahannya, sedang bagi sebagian orang baru mengerti dengan jelas ketika membaca opini yang tersinggung tersebut. Mungkin aku yang terakhir tersebut.

Banyak orang yang menganggap bahwa suatu simbol adalah milik eksklusif sebagian orang, jadi jika ada orang tidak termasuk yang eksklusif tersebut memakainya maka orang tersebut tersinggung. Seperti ketersinggungan orang melihat di film bagaimana seorang penjahat memperlihatkan tatto bergambar salib. Mungkin ada yang tersinggung, tapi mungkin ada yang nggak. Aku termasuk yang terahir.

Jadi selama wacananya dalam interprestasi kita, dan selama bisa dialihkan dalam kaca mata lain. Nggak ada masalah, gitu aja koq pusing.

Lha sekarang itu pak Wir, tentang katanya UPH dipilih sebagai PTS no.1 di Indonesia. Gimana hayo pak. Banyak yang protes lho.

Ah yang bener ?

Iya pak, ini yang milih, dan ini yang protes. Gimana itu pak.

Lho mana, yang aku tahu tulisan protesnya, yang di Globe Asia ya. Tapi aku ubek-ubek koq nggak ketemu artikel yang dimaksud. Ini benar nggak sih.

Bener koq pak. UPH yang no.1 baru yang PETRA terakhir. Ngalahin ITS lagi.

Bener gitu. Tapi aku koq nggak ketemu artikel aslinya ya. Nggak jadi ngebahas ah, nggak ada buktinya. Tapi kalau benar seneng dong, teman-teman di sini (di UPH) bisa naik gaji gitu khan.

Ha, ha, ha, … 😆

Tapi ada juga lho, tanggapanku sebelumnya, baca ya .

20 tanggapan untuk “suatu kepatutan”

  1. Robby Permata Avatar
    Robby Permata

    hehe.. artikel p wir yang satu ini cukup aneh, di awal2 rasanya kok seperti topiknya ngambang, ternyata di akhir baru ketemu masalah utamanya.. ibarat pantun, sampirannya lumayan panjang sebelum ke inti.. hehehe.. memang sengaja di set begitu ya pak? 🙂

    UPH dinilai terbaik?
    hehehe… banyak yg komplain ya?

    kalo saya sih melihatnya justru kalo UPH gak bisa jadi yg terbaik maka ada yang salah di pengelolaannya… lha wong semuanya ada : dana (meskipun banyak yg bilang ini bukan yg utama, tapi jelas ini sangat penting), fasilitas super OK.
    Ibaratnya lomba balap F1, udah punya mobil bagus, team OK, ban OK, kalo masih kalah ya si pembalapnya yang salah.. 🙂

    saya rasa UPH itu cuma tinggal nunggu waktu untuk nyalip PT yang lain, kalo sekarang terlihat belum terlalu menonjol lebih karena masih baru alias telat start. (sekedar info : kakak saya ada yg lulusan UI, ada jg yg S2 nya di UPH, sementara saya sendiri S1 dan sekarang S2 di ITB, jadi dari ngobrol2 kami bersaudara saya bisa dikit2 bikin perbandingan lah).

    kalo di ITB sih, ya begitulah.. hehehe.. kadang2 keterbatasannya masih banyak.. cuma itulah hebatnya ITB, di tengah berbagai keterbatasan masih bisa tampil menonjol, paling gak di bidang sipil.. hehehehe…

    -Rp-

    Suka

  2. wir Avatar
    wir

    Ha, ha, ha, mas Robby ternyata tahu aja. :mrgreen:

    Kalau PTN hebat, ya memang sepantasnya, dana dari negara, dari pajak masyarakat. Jadi wajarlah kalau biayanya bisa lebih murah.

    Kenyataan khan sekarang nggak begitu, kemarin keponakanku sekolah di PTN, juga harus ngeluarin puluhan juta, itupun test pertama.

    Tentang ITB no.1 di bidang teknik sipil, ya jelas. Itu aku akui secara pribadi, sebagai lulusan UGM dan UI tentu aku tahu. Hanya sayang, ketika mendaftar S3 dulu aku diminta menunjuk promotor, khan nggak tahu. Tapi tangan Tuhan berbicara, melalui UNPAR aku masih diberi kesempatan untuk mencicipi nama besar ITB. Tahu sendiri khan, promotorku khan Prof. Sahari Besari, mahaguru dari ITB, juga penguji-pengujiku nanti kayaknya lulusan ITB semua. Jadi secara tidak langsung, pengaruh ITB khan ada juga. Ha, ha, ha. Nanti kalau udah lulus khan aku bisa cerita, almamaternya ada empat yaitu UGM, UI, UNPAR dan ITB. Jangan ngiri lho mas Robby, khan baru ITB aja khan. 😀

    Kembali ngomongin PTS.

    Tapi kalau PTS, duit dari mana, sebagian besar khan dari siswa. Lalu dibandingan sama yang PTN, selanjutnya karena dianggap ‘besar’ lalu dibilangin ‘meres’ gitu. Ini khan aneh.

    Jika biaya sebagian besar dari siswa, berarti PTS tersebut harus bisa memberikan sesuatu yang memang pantas dengan biaya yang dikeluarkan siswa tersebut bukan. Nggak sedikit lho.

    Golongan yang bisa membayar tersebut khan bukan dari golongan sembarangan, mereka khan tahu nilai tiap rupiah. Tentu sudah diperhitungkan untung ruginya.

    Ya, itu memang resiko hidup di negeri ini. Apalagi kesan orang luar, bahwa PTS yang dimaksud ibarat “naik Mercy terbaru, sedangkan yang lain naik Kijang, kemewahan gitu”. Itu khan hanya melihat gebyarnya aja. Melihat dari satu sisi aja.

    Cobalah masuk lebih ke dalam. PTS yang dimaksud merupakan sebagian kecil dari tujuan mulia pendirinya yang “berkeinginan sekali menjadi berkat bagi bangsa ini”.

    Jangan sinis. Saya dulu juga berpikiran seperti itu. Tetapi setelah melihat sepak terjang pendiri PTS tersebut, maka pada saat ini dibawah payungnya juga sedang dikembangkan beberapa pendidikan dasar di Nias dan satu lagi saya lupa. Saat ini total muridnya udah 1500. Saya salut lho. Bahkan isunya akan membuat 1000 institusi pendidikan lagi. Dimana biayanya adalah juga subsidi silang dng PTS yang dianggap kontroversi tersebut.

    Mestinya hal tersebut khan harus disyukuri, ada orang punya duti berlebih mau investasi duitnya untuk pendidikan di negeri. Kalau mau sekedar cari duit khan lebih mudah bikin pabrik di RRC, gitu khan. Sedangkan yang lain, yang seharusnya mengurus negeri ini sekarang pada sibuk berurusan dengan KPK.

    Tapi ya begitula, Indonesia, nggak bawah, nggak atas, bagi-bagi sembako dibilang apa kek gitu, sehingga pada akhirnya kisruh.

    Memang sih, motivasi utama tidak sekedar cinta negeri, tapi memang lebih tinggi dari itu, yaitu sebagai bagian dalam rangka memuliakan Tuhan. Yah, seperti visi dan misiku begitu. Oleh karena itu pula aku bergabung dan sudah hampir 10 tahun berjalan sejak krisis.

    Jadi krisi itu ada hikmaknya juga. Coba kalau nggak, aku masih berkutat di industri, dan mungkin blog ini nggak pernah ada.

    Jadi kalau PTS yang dimaksud nggak punya keistimewaan, atau apa begitu, untuk apa berlama-lama di situ. Dunia khan nggak sempit. Begitu kan.

    Terlepas dari pendapat miring orang, yang jelas kami memberi pendidikan di PTS tersebut nggak sembarangan. Kita juga mengikuti tata nilai yang umum diberlakukan pada bidang akademis, sama seperti PTS-PTS lain.

    Kalaupun ada satu dua yang tidak sesuai, saya kira itu manusiawi. Bagaimanapun, saya hanya satu dari ratusan dosen tetap yang ada di PTS tersebut.

    Meskipun kecil tapi saya berharap bahwa ini dapat menjadi suatu kesaksian. Bahwa adanya harapan seperti yang diungkapkan oleh mas Robby ada benarnya juga. Saya di dalam juga sedang berupaya mewujudkan harapan tersebut. Kalau berhasil, itu juga untuk bangsa ini, bukan untuk siapa-siapa.

    Terima kasih mas Robby atas dukungan yang diberikan. Adalah suatu kehormatan untuk mewujudkannya.

    Semoga Tuhan memberkati kita semua, juga bangsa dan negeri ini. Merdeka !

    Suka

  3. Santanu Avatar
    Santanu

    Apakah semua sudah menjadi industri ? ( industri pendidikan ? ).

    Maaf Pak Wir, pendidikan sekarang kok seperti orang jualan ya, (semua bilang no 1), Maaf saya tidak bermaksud membahas rangking PT. Kalau sudah demikian ya … , menangislah pendiri bangsa ini. Saya bolak-balik baca buku lama tentang Ki Hajar Dewantoro, Soekarno,Hatta. Hampir semua gagasan lama menjadi usang atau sudah tidak mau dipakai. Semua sudah berlari dalam koridor industrialisasi (skala produksi).

    Kalau begitu “kepatutan” untuk dunia pendidikan seperti apa ya? (“pendidikan untuk semua”, mungkin sudah tidak cocok ya). Karena kalau sudah demikian hanya diperlukan keberuntungan dan finansial, baru sisanya kepandaian untuk belajar di PT (PT semakin mahal).

    Atau mungkin saya yang kelamaan dihutan?.

    Suka

  4. wir Avatar
    wir

    mas Santanu,
    Industri nobel gitu lho mas. Untuk berbicara hal tersebut rasanya saya belum level. Silahkan Bapak mengikuti link-link yang saya kumpulkan di sini , Bapak rektor Jonathan L. Parapak nanti yang akan menjelaskannya.

    Tentang “pendidikan untuk semua”, memang ideal sekali. Tapi jika itu diharapkan dari sebuah PTS maka rasanya tidak adil. PTS khan tidak seperti PTN yang disubsidi. Nggak bener dong jika konsep seperti itu juga dituntut kepadanya. Jika demikian maka ujung-ujungnya orang di dalam PTS tersebut khan yang sengsara. Jika demikian, bagaimana orang-orang seperti saya bisa bertahan hampir 10 tahun ini. Meskipun demikian, jelek-jelek, beasiswa dari PTS tempat saya ada lho, dulu banyak diberikan kepada adik-adik di Papua, ya kira-kira 1/4 kapasitas bangku adalah beasiswa. Memang sih, prestasi juga dituntut.

    Dalam sekala kecil, konsep pendidikan untuk semua juga ingin diterapkan oleh pendiri PTS kami. Itu lho tentang 1000 institusi pendidikan dasar yang saya ungkap di atas. Luar biasa itu. Terus terang saya sendiirian nggak kepikir bisa seperti itu. Jika kami tangkap, itu semua berkat pencerahan dari ‘atas’ kepada beliau-beliau tersebut. Intinya carilah dulu kerajaan sorga maka semua akan ditambahkan. Terus terang, beliau-beliau tersebut memang begitu percaya diri, sehingga sayapun ikut terimbas. Intinya, jika Tuhan memang berkenan, maka apapun dapat terjadi.

    O ya, untuk menjadi kelas dunia, salah satu strategi di PTS kami adalah merekrut dosen-dosen asing. Jadi sebagian besar banyak yang lulusan luar, yang dalam negeri termasuk minoritas, salah satunya saya ini (hik, hik, … agak semu merah) 😐

    Suka

  5. Santanu Avatar
    Santanu

    Sebelumnya sudah saya baca. Ya baik sekali UPH menjadi maju atau PTS lain juga menjadi maju. Tentunya Republik ini, juga maju. Cuma “Pendidikan Murah” rasanya akan semakin jauh dari harapan. Trims ya.

    Suka

  6. wir Avatar
    wir

    Cuma “Pendidikan Murah” rasanya akan semakin jauh dari harapan.

    Mas Santanu, saya menyadari keprihatinannya, yaitu dengan kalimat “pendidikan murah”. Mungkin sekarang bukan saatnya lagi mempertahankan jargon seperti itu, apalagi itu diterapkan didepan seorang guru, atau dosen. Kesan yang ditangkap bahwa kalau bisa guru atau dosen gratisan gitu, atau kerjanya dibayar murah begitu.

    Itu kan yang terjadi selama ini. Diharapkan dengan sekedar ucapan terima kasih sekedarnya, guru juga sudah seneng. Padahal susu untuk anaknya, minyak tanah untuk kompornya, harganya sama saja. Akhirnya bukannya seneng tapi senep.

    Sekali dua kali, mungkin tidak apa-apa, tetapi kalau berkali-kali, lama-lama nggak punya harga diri. Nggak PD, apalagi kalau ke kantor harus bergelantungan bis, padahal teman-temannya waktu kecil dulu ternyata sudah pakai roda empat semua, bahkan bersopir.

    Jargon dari “pendidikan murah” harusnya diganti dengan “pendidikan bermutu untuk semua orang“, saya kira itu lebih win-win. Guru dihargai secara profesi sehingga dia juga mempunyai kebanggaan yang sama dengan yang bekerja bukan sebagai profesi guru, muridnya juga seneng. Untuk itulah mengapa “negara itu perlu“. Untuk itulah mengapa “kita harus membayar pajak“.

    Mas Santanu tentunya mengenal dengan baik Singapore dan Malaysia, apa guru atau dosennya juga dibayar murah ? Rasanya tidak khan.

    Sebagai seorang yang terlempar ke dunia pendidikan karena adanya krisis, dan sekarang sudah berlalu selama sepuluh tahun. Jika yang ditemui adalah “pendidikan murah” pasti deh sudah lama saya lari ke industri lagi. Ngapain berkutat pada bidang yang dianggap orang lain mulia, padahal anaknya sendiri kelaparan, istrinya gali lubang-tutup lubang sekedar mengepulkan asap dapur. Itu namanya tidak realistis.

    Suka

  7. Santanu Avatar
    Santanu

    Maaf pak Wir, saya mengerti pendidikan adalah mahal, guru,dosen juga harus berkecukupan bukan ? Sehingga semua dapat berkembang.

    Pendidikan memang mahal, seharusnya negara menyubsidi agar pendidikan terjangkau oleh orang kebanyakan. Bukan pendidikannya murah, kemudian guru atau dosen dibayar murah, tak begitu lha. Yang saya maksud subsidinya, semakin jauh dari harapan.

    Sangat setuju “pendidikan bermutu untuk semua orang”, tapi mutu menuntut komitmen dan konsistensi bukan (iso)? (lebih susah ya).

    Memang perjalanan kita masih panjang, Pemerintah 2 kita kebanyakan tidur ya?.

    Salam untuk semua. Trims

    Suka

  8. det Avatar

    semoga laporan globe asia yang masih satu grup usaha sama uph itu bener2 valid, bukan sekedar untuk promosi aja.

    semoga kesejahteraan dosennya juga jauh melampaui dosen negri dan semoga ini berbanding lurus dengan kualitas intelektualitas dan kepatutan mahasiswa.

    salam kenal, pak

    Suka

  9. aRuL Avatar

    @ Pak wir : ada beberapa tanggapan atas komentar anda di blog saya (artikel buble information)

    Suka

  10. wir Avatar
    wir

    @Santanu
    Betul pak, pendidikan memang kunci kemajuan bangsa. Jika kita mau maju, maka tentunya pendidikan dulu yang dinomer-satukan atau diprioritaskan, bukan yang berkaitan dengan politik. Itu juga perlu, tapi kalau tingkat pemahamannya masih seperti sekarang, saya kira gontok-gontokan akan lebih sering terjadi.

    Bayangkan utk pilkada bisa 300 trilyun, untuk pendidikan berapa ???

    Keprihatinan seperti itulah yang kadang-kadang memotivasi saya untuk memanage blog ini dengan baik, saya usahakan tidak ada ada emosi dan berusaha berpikir jernis, eh, siapa tahu berguna. Hanya sayang, yang menikmati hanya dari kalangan melek internet.

    Terus terang saya mensyukuri bahwa saya bisa hidup dengan menulis dan mengajar saja, tidak harus berpanas-panas dan berkeringat. Oleh karena itu saya juga ingin berbagi, apa-apa yang telah saya terima, meskipun itu semua bukan berupa materi. Ya begitulah pak, manusia berusaha, Tuhanlah yang menentukan.

    @ sdr Det,
    saya mencoba masuk ke blog anda, anonim. Tetapi selama santun dan positip saya juga akan menanggapi.

    Tentang kontroversi seperti di atas, jika tidak berkenan, anggap aja seperti dengerin orang jualan kecap. Jika memang dirugikan , lha disitulah masalahnya. Deskripsikan aja itu. Kita, saya berharap kata “kita” bisa digunakan, adalah menjunjung tinggi cara berpikir logis atas bukti-bukti jelas, dan tentunya bermoral.

    Sampai saat ini keyakinan saya cukup positip, thd institusi tersebut. Mumpung masih diberi waktu yang semakin pendek ini, saya juga berusaha keras untuk mewujudkan visi dan misi mereka yang kebetulan tidak berbeda jauh dengan visi dan misi saya.

    Tapi ya akhirnya, itu semua berpulang kepada Nya. Siapa sih saya ini, tanpa dukungan sesama maupun Tuhan, saya kira itu muskil akan terjadi.

    @ aRul
    saya sudah memberi koment lagi juga. Tapi kelihatannya sudah mulai banyak komen yang tidak berdasar, kesannya pokoknya seperti apriori atau iri atau apa gitu, jadi kalau nanti tidak komen lagi, mohon maklum. Ya demi baik semuanya.

    Bagaimanapun dengan rektor anda, saya mengenal dan menghormati. Lha wong sama-sama civil engineer, juga bidang structure. Khan sama habitatnya. :mrgreen:

    Suka

  11. donaldessenst Avatar
    donaldessenst

    ITB Sipilnya No.1 ?!? apa kriterianya nih ? Kalau liat jurnal-jurnal di HAKI koq gak kedengaran kayanya nih lulusan ITB. Malah ada yang disuruh nulis paper ama pembimbingnya eh malah kabur karena udah kerja alias males sih he, he, he. 😛

    Wir’s respond: bos-bosku, sejak lulus S1 dulu, sampai sekarang mau di uji S3, orang lulusan ITB semua. Jadi harus baik-baik dong. :mrgreen:

    Suka

  12. Hartanto W. Avatar
    Hartanto W.

    Wah, jadi seru juga ya…
    Tapi anggaplah pemeringkatan itu menjadi warna dalam dunia pendidikan kita.
    Dengan demikian, kita dapat menambah wawasan kita mengenai universitas2 di negeri ini berdasar kriteria yang ada.

    Salam,
    Hartanto W.

    Suka

  13. dion Avatar
    dion

    Ini menarik, masalah renking2-an. Mirip jaman saya SD. Tiap caturwulan ada yang diranking.
    Menurut saya, sah-sah aja orang memberi penilaian dalam bentuk ranking dan merilis infonya ke media, asalkan tidak terjadi ‘masking’.

    Kalau saya pribadi, setiap melihat kriteria penilaian, maka yg saya lihat pertama : 1) kriteria yg dinilai, 2) weighting factors pada tiap2 kriteria, 3) rentang waktu penilaian, dan 4) relevansi antara ketiga hal di atas dengan prinsip penilaian (kesimpulan akhir).

    Mungkin yg dipertanyakan orang adalah kesimpulan ‘terbaik’ berdasarkan point2 kriterianya. Terus terang saya tidak bisa komen lebih jauh soal hasil penilaian Globe Asia, soalnya ga tau jelas kriteria2nya dan bobot2nya ( digoogle2 ga ketemu artikelnya, mungkin Pak Wir punya?) info saya hanya dari tulisan rektor ITS.

    Wir’s responds: memang betul, saya cari di internet juga nggak dapet. Jadi tulisan saya di atas, nggak diteruskan ngebahas rangking secara detail karena nggak ketemu artikel asli yang dimaksud. Jadi cuma kepancing komentar rektor ITS aja. Mungkin adanya versi hardcopy, hanya saya nggak nemu.

    Satu point lagi, perankingan bisa dibuat siapa saja, selama yang bersangkutan bisa mempertanggungjawabkan sistemnya. Terserah masyarakat mau percaya atau tidak.

    Saya yakin UPH satu saat nanti rankingnya tinggi, soalnya punya modal awal yg bagus yg tidak dimiliki univ lain e.g. fasilitas, dan keseriusan menggaet dosen bermutu (ini yg saya denger dari rekan2 yg pernah bilang soal peluang ngajar di UPH ke saya, mohon konfirmasinya Pak Wir, hehe).

    Wir’s responds: tentang rekruitmen dosen lulusan sekolah-sekolah kelas dunia, memang benar koq. Banyak lho muka-muka baru yang saya juga tidak kenal, mulai banyak sih, lulusan luar. Biasanya yang punya “nilai lebih” langsung kirim ‘bla-bla’ ke rektor, intinya ya visi-misi selaras dengan UPH dan tertarik utk bersama-sama menjadikan institusi pendidikan terbaik, ya ‘bla-bla’ gitulah. Jika ok, biasanya lamaran tersebut disampaikan ke dekan, jika memang kursinya memungkinkan atau memberi harapan baru, maka akan ditindak lanjuti dengan mengundang tatap-muka. Siapa tahu jodoh. Hanya terus terang, jurusan sipil di sini nggak banyak-banyak amat muridnya, sekarang fokusnya adalah ekonomi, kedokteran, komunikasi dan dkv. Tapi kalau ada minat, dicoba bagus juga lho. Siapa tahu.

    Sekarang sedang ngetren universitas di dunia fast-track meningkatkan kualitas rangkingnya dgn membajak dosen2 potensial dan digaji tinggi. (mis : di Universitas Tokyo, gaji prof2 ilmu science-nya berlipatkali gaji rektor, biar ga braindrain ke US)

    Wir’s responds: yang jelas presiden uph sudah orang asing (bule), juga di manajemen (ekonomi) sudah banyak ekspat dari singapore dan filipine bergelar Ph.D. Jangka panjang memang ke arah global gitu mas Dion. Ini dosen-dosennya (yg lokal) udah ditest toefl min 550, ternyata ada beberapa yang belum nyampai jadi diwajibkan untuk kursus lagi. Biasanya yang tua-tua, dosen-dosen muda, bahkan yang lulusan internal sendiri (uph) ternyata banyak yang mendekati 600. Satu sisi menarik juga itu konsep global, tetapi disisi lain ada beberap dosen yang stress juga (yang tadi itu).

    Kalau soal sipil ITB, ya rankingnya memang no satu indonesia (kriteria: jumlah mahasiswa jomblo hehehe, rentang waktunya: sekitar angkatan saya, ga tau kalau sekarang Robby and Donald?)

    hehe

    *sekali2 canda ya Pak Wir*

    Suka

  14. donaldessent Avatar
    donaldessent

    To Bos Dion

    Wah bos Dion ini tau aja..tapi syukurlah saya sudah melewati masa-masa jomblo hehehe. Tapi mengingat kata2 pak Bambud..kalo masih jomblo stress pengen punya pacar, punya pacar mau buru2 kawin, udah kawin pengen poligami, tapi beliau malah salah satu yang anti poligami, “kalo bisa 1/2 mau deh 1/2” katanya :p

    Sekarang rasanya ITB sudah lebih gaul mungkin sejak otonomi kampus diberlakukan, jadi kriteria mahasiswa jomblo udah gak berlaku lagi rasanya tapi untuk turnover lulusannya di dunia kerja kayanya masih no.1 nih hehe.

    Btw sekalian nanya2 nih ama pakar vibrasi..
    kalo buku tentang dimstruk dengan moving vehicle apa ya pak?

    Suka

  15. Robby Permata Avatar
    Robby Permata

    bos dion, masalah perjombloan itu gak usah di ekspose laah.. cukup kita2 aja yang tau.. hehehe… 🙂

    -Rp-

    Suka

  16. dion Avatar
    dion

    Terima kasih atas info-nya Pak Wir. 🙂

    Donald : More spesific please? Maksudnya interaksi moving vehicle dengan struktur? Kalau mau baca yang klasik ada : “Vibration of solids and structures under moving loads” nya Ladislav Fryba. Tapi ini lebih ke teori. Kalau yang baru mending ikuti perkembangan di Journal Sound & Vibration. Kebetulan saya juga sedang riset bagian ini.

    Suka

  17. donaldessenst Avatar
    donaldessenst

    Bos Dion

    Iya saya lagi cari buku itu karangan Fryba kayanya bagus dan basic justru. Kalo di jurnal sound and vibration mesti doktor dulu kayanya pak baru ngerti bacanya:p.

    Wah kebetulan kalau specific sih sebetulnya saya mau tau untuk kasus2 umum saja terutama untuk vibrasi di Jembatan. Kemarin kerjaan di kantor ngitung respon footbridge kalo ada orang jalan. Baca2 di jurnal gitu ada untuk kasus jembatan Milenium itu ternyata orang jalan juga bisa memberikan respon ke arah lateral kalau gak salah ya?!. Tapi waktu nurunin solusinya pusink saya gak paham hehe.

    Ada rencana saya mau lanjutin topik tesis saya ke S3 nanti untuk dynamic stiffness method dengan metoda Wittrick-Williams.. cuma waktu itu sidang ada pukulan telak buat saya dari pak Made bagaimana dynamic stiffness method dikombinasikan dengan beban statik? bagaimana ya pak? nantinya mau lanjut S3 kalo udah mantap vibrasinya..kayanya jalur bos Dion nanti sama2 kaya saya he, he.

    Suka

  18. donaldessenst Avatar
    donaldessenst

    Tambahan:

    Maksudnya dikombinasikan itu kalau dalam program pak. Jadi apa kita harus merakit matrik 2 kali dalam satu buah struktur satunya matrik kekakuan dinamik, satunya lagi ya matrik kekakuan statik. Apa bagusnya saya main di elemennya saja pak?, kmrn saya pake balok Bernoully dan konsentrasinya justru dinumeriknya.

    Suka

  19. Robby Permata Avatar
    Robby Permata

    whoa, mantap kali donald ni.. baru kelar S2 udah langsung membayangkan nyambung ke S3.. 🙂 hehehe. gak sia2 waktu jadi mahasiswa S2 nilainya straight A.. 😀

    kalo ndak salah waktu tesis dulu, topik dynamic stiffness method juga adalah usulan sendiri ya Nal? bukan topik yg disarankan dosen, sehingga bisa dibilang Donald ini pelopor mahasiswa yang membahas dynamic stiffness method di sipil itb. (dan sepertinya belum ada yg ‘berani’ utk melanjutkan.. 🙂 ). hehehe

    semoga sy juga bisa cepet kelar tesis nya, Nal.. Amieen.

    -Rp-

    NB : maaf p wir, kebiasaan ngobrol di blog ini muncul lagi.. 🙂

    Suka

  20. donaldessenst Avatar
    donaldessenst

    G bukan pelopor rob tapi salah topik bener2 gak nyangka bakalan bahas2tuh DSM dan sampe sekarang juga g gak tau fungsinya apa buat kerja hehe. Kayanya DSM itu dipake untuk org yang belajar exact vibration yang FEM juga terbatas aplikasinya (kali ya). Kalo jembatan sama gedung mah modelin pake FEM udah cukup.

    Kebut lah rob asongannya berhenti dulu. Jadinya l ama pak Amrinsyah kan?

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com