Setelah direnungi ternyata cukup asing juga memakai kata “kepatutan”, mungkin tepatnya adalah berkaitan dengan dapat diterima atau tidaknya oleh audience. Jika cukup patut maka audience akan merasa senang melihat atau mendengar hal yang patut tersebut, jika tidak patut, maka bisa saja audience merasa nggak enak, jengah, malu, bahkan jika keterlaluan akan menimbulkan protes. Bisa pada tingkat wacana tulis, bahkan sampai pada kerumunan massa, dan jika emosi tidak dijaga bisa sampai berdarah-darah. 😦
Patut tidaknya sesuatu atau bahkan menyinggung perasaan tentunya relatif, artinya tidak setiap orang merasakan hal yang sama.
Seperti contohnya kemarin, ketika melihat acara televisi pada hari valentine, ada sepasang suami istri artis mencoba mengungkapkan kasihnya kepada sesama yaitu dengan cara membagi-bagi sembako kalau tidak salah sampai 500 kepala keluarga. Itu semua diungkapkan suami artis tersebut sebagai bentuk perhatian kasih dan syukurnya selama ini. Dari tayangan tersebut terlihat sekali shoot kamera video mengabadikan event tersebut. Terlihat sedikit sorotan ketika mereka membagikan sembako, tetapi sebagian besar yang diperlihatkan adalah kegiatan mereka berdua. Yah, memang di acara infotainment sih.
Lalu belum lama ini, ada suatu majalah yang mencoba mengabadikan suatu lukisan terkenal, yang orang banyak mengidentifikasikan sebagai sosok sembahannya, untuk dijadikan inspirasi menggambarkan tokoh kontraversi suatu negeri. Peristiwa yang ini bahkan menyulut kritik pedas banyak kalangan, bahkan ada organisasi pemuda berkunjung ke redaksi majalah tersebut minta penjelasan. Untung organisasi pemuda yang datang tidak bersimbol pedang. Bisa ramai itu kalau begitu.
Berkaitan dengan kepatutan, maka masalah hubungan negeri ini dengan negara Malaysia saya kira sering kita dengar. Mulai dari TKI kita yang dikejar-kejar, tarian reog, nyanyian dan yang belum lama ini adalah keikut sertaan wni jadi tentara sipil bayaran.
Bagaimana tanggapan pak Wir terhadap issue-issue seperti itu.
Yah kalau saya, maka langkah pertama adalah mencoba mengendapkannya terlebih dahulu, selanjutnya mencoba melihat dari sisi lain. Bagaimana issue tersebut. Masih patutkah, atau tidak. Baru setelah itu saya coba komentari. Tentu saja komentar itu saya kembalikan ke diri sendiri dan mungkin orang-orang disekitarku, agar peristiwa yang menjadi issue dapat menjadi pengalaman dan diambil hikmatnya.
Seperti artis yang berbagi-bagi sembako dan hal tersebut dieksposed habis-habisan. Bagi sebagian orang memang terkesan tidak patut, karena memberi kesan terlalu dibuat-buat agar bisa dikatakan dermawan . Apalagi kalau mengingat ini
Tetapi jika engkau memberi sedekah janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihatnya yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
[Matius 6:3-4]
Tetapi kalau aku, maka kucoba berpikir lagi. Wir bisakah kamu memberi sembako sebanyak itu, seperti si artis itu. Waduh, guru koq begitu, ya keberatan gitu pak. Ya kalau begitu, mengapa kamu mencela si artis tersebut. Masalah patut atau tidak, itu bukan urusanmu Wir, itu yang di atas yang berhak mengevaluasi. Itu merupakan cara yang di atas, dengan sedikit mengipasi ego si artis maka menjadi berbagi untuk sesama.
Ya, ya benar-benar. Syukurlah, si artis dengan berbagi dan dieksposed mereka merasa lega, senang, bangga. Biarlah itu punya mereka. Nggak patut aku menilai, kecuali aku bisa memberi sembako lebih banyak dari si artis tersebut. 🙂
Tentang sampul halaman.
Ha, ha, ha, ini sudah banyak yang membahas. Kalau aku sih nggak mau menanggapi, karena ini menyangku intereprestasi seseorang terhadap suatu simbol, yang bagi sebagian besar dikonotasikan dengan sesembahannya, sedang bagi sebagian orang baru mengerti dengan jelas ketika membaca opini yang tersinggung tersebut. Mungkin aku yang terakhir tersebut.
Banyak orang yang menganggap bahwa suatu simbol adalah milik eksklusif sebagian orang, jadi jika ada orang tidak termasuk yang eksklusif tersebut memakainya maka orang tersebut tersinggung. Seperti ketersinggungan orang melihat di film bagaimana seorang penjahat memperlihatkan tatto bergambar salib. Mungkin ada yang tersinggung, tapi mungkin ada yang nggak. Aku termasuk yang terahir.
Jadi selama wacananya dalam interprestasi kita, dan selama bisa dialihkan dalam kaca mata lain. Nggak ada masalah, gitu aja koq pusing.
Lha sekarang itu pak Wir, tentang katanya UPH dipilih sebagai PTS no.1 di Indonesia. Gimana hayo pak. Banyak yang protes lho.
Ah yang bener ?
Iya pak, ini yang milih, dan ini yang protes. Gimana itu pak.
Lho mana, yang aku tahu tulisan protesnya, yang di Globe Asia ya. Tapi aku ubek-ubek koq nggak ketemu artikel yang dimaksud. Ini benar nggak sih.
Bener koq pak. UPH yang no.1 baru yang PETRA terakhir. Ngalahin ITS lagi.
Bener gitu. Tapi aku koq nggak ketemu artikel aslinya ya. Nggak jadi ngebahas ah, nggak ada buktinya. Tapi kalau benar seneng dong, teman-teman di sini (di UPH) bisa naik gaji gitu khan.
Ha, ha, ha, … 😆
Tapi ada juga lho, tanggapanku sebelumnya, baca ya .
-
Menanggapi pak Hartanto W di blog ini
-
Menanggapi artikelnya Arul di blognya.
Tinggalkan Balasan ke Santanu Batalkan balasan