Duduk ngobrol-ngobrol di antara kami (saya dan istri) dengan ibu pemilik kios sarung jok ternyata cukup menarik. Mula-mula adalah ngomongin usaha sarung jok-nya yang laris manis, dimana sejak pukul 7.00 pagi tadi, katanya sudah antri pembeli yang memasangkan sarung joknya. Jadi beruntung bagi kami katanya, bahwa mobilnya bisa langsung masuk dan dapat ditangani segera (dipasangkan sarung joknya).
Topik lalu berpindah ke merk mobil yang datang paling banyak ke kiosnya, yang disebutnya mobil sejuta umat, alasannya karena sejak tadi pagi juga kemarin malam mobil-mobil yang ditangani merknya adalah sama, seperti mobil istriku, avansa. Itulah kenapa merk mobil itu yang membuatnya tertarik dan timbul rencananya untuk membeli mobil merk tersebut. Saat ini mereka katanya belum punya mobil karena sedang fokus membesarkan usahanya (memang kelihatan sih kemajuannya, karena rumahnya yang juga tokonya ini berlantai dua dan permanen, serta pegawainya yang banyak).
Bercerita tentang suka duka perjalanan bisnisnya, yaitu membuat sarung jok mobil yang ternyata udah lama, lebih dari lima belas tahun. Mereka mulai dari bawah, dia dan suaminya satu kampung dari Padang. Suaminya mula-mula merantau ke jakarta hanya sebagai sopir, lalu nyoba-nyoba wiraswasta dan ini termasuk yang bertahan cukup lama.
Mengenai strateginya agar sukses, yaitu kerja keras, dia usahakan pekerjaannya yang rapi, juga tidak mengambil untung yang berlebihan, secukupnya. Bahkan dia kadang-kadang perlu melihat siapa yang beli. Pemiliknya atau hanya suruhan, kadang-kadang memerlukan pelayanan yang berbeda.
Lho berbeda gimana bu ? Lebih murah mana bu, pemiliknya langsung atau suruhan ?
Iya yang pemilik dong !
Koq bisa begitu ?
I ya pak, kita sering terima pesanan jok, kelihatannya yang pesen itu bukan pemiliknya.
Koq bisa tahu itu bukan pemiliknya, dari tampangnya ya bu ?
Bukan, wah nggak bisa dilihat pak, kadang-kadang tampang cantik itu bukan pemiliknya, bahkan kadang-kadang yang sudah tua, bungkuk badannya, pakaiannya sembarangan, eh ternyata itu pemiliknya. 😛
Lho kalau bukan dari tampang atau tampilan luarnya, lalu bagaimana ibu dapat menentukan itu pemilik atau suruhannya.
Gampang pak. Waktu orang itu minta bon kwitansinya. Atau minta keringanan atau korting, dia bilang tanpa tedeng-tedeng aling-aling, misalnya “untuk yang kulit asli, dia (suruhan) minta insentif 500 rb, dari harga yang ditawarkan kita, yang sampai 6 juta itu”. Jadi nanti maksudnya meskipun di bonnya tertulis 6 juta, tetapi yang dibayarkan aktual adalah 5.5 jt aja. Yg 0.5 jt untuk yang bawa (yg minta bon).
O gitu, bu. Ibu nggak masalah.
Wah yang nggak lah. win-win gitu. Yang penting kita nggak rugi koq. Harga segitu kita udah perhitungkan.
O gitu ya bu, kalau kita suruhan sopir itu berarti sebagian di tilep dengan resmi ya.
Itu nggak terbatas pada sopir aja koq pak. Kadang-kadang istri minta bon yang lebih untuk ditunjukkan kesuaminya. Juga bisa aja itu anaknya yang punya mobil.
Intinya mereka minta formalitas harga yang lebih tinggi dari yang dibutuhkan, mungkin sebagai pertanggung-jawaban kepada yang punya duit, lalu “uang sisa” tersebut masuk kantong pribadi (yang disuruh).
weleh-weleh itu khan kayak korupsi, ternyata udah biasa ditemui dimana-mana dan kelihatannya telah menjadi budaya. Jadi maklum kalau para pejabatnya juga begitu. Sudah jadi budaya sehari-hari gitu lho. 😛
Tinggalkan komentar