Komentar dari sdr agus di postingku di sini :
hahahahaha… Drs kok jadi Professor… Kalo di ITB/UGM/UI, Drs itu jadi tukang fotocopy (hardcopy admin)… serius ini, Pak….
sdr Agus,
Pernyataan anda bahwa Drs hanya jadi “tukang fotocopy” adalah jelas joke. Omong kosong saudara belaka. Apalagi kalau gelar Drs tersebut juga diperoleh dari PT itu sendiri. Jikapun ada, maka jelas itu adalah produk gagal.
Tentang Drs menjadi Profesor, saya kira itu dimungkinkan, lihat saja mengenai prof Eko Budiharjo di Undip, juga Prof Sardono W Kusumo, Prof Drs Wiyoso Yudoseputro di IKJ, itu juga tidak doktor.
Begini mas Agus, juga teman-teman yang lain yang mungkin juga punya keraguan seperti mas Agus.
Pada prinsipnya peraturan DIKTI sampai tahun kemarin (kalau tidak salah) memungkinkan untuk mengajukan profesor bagi kandidat non-S3 dengan ‘alasan khusus’.
Jadi tentunya kalau anda memahami, tidak sekedar apriori kepada UPH maka pertanyaannya tentu ke arah : Apa alasan khusus yang mendasari bukan S3 bisa diangkat profesor ? Saya kira itu pertanyaan bagus, yang mana perlu saya jelaskan di sini.
Note : ada beberapa komentar sdr. Agus yang terkesan apriori, sekedar caci-maki dan tidak mengarah ke diskusi yang membangun maka komentar tersebut telah saya delete tanpa pemberitahuan, karena dianggap sebagai sampah. Sorry blog ini bukan tempat caci-maki seperti yang lain, anda tidak suka silahkan pergi, anda ingin diskusi dengan maksud saling bertumbuh, mari silahkan saya terima dengan lapang. Ini juga serius.
Prof Yongki memang tidak bergelar S3, karena memang bidang kompetensi yang dipunyainya termasuk baru dan belum banyak ada di Indonesia. Berkaitan dengan bidang yang ditekuninya dan juga jam terbang dalam bidang pembuatan karya dan pengajaran menyebabkan terkumpulnya KUM yang sudah mencukupi untuk posisi tersebut. Bahkan berlebih kalau tidak salah, hanya memang secara prosedural tidak ada gelar S3 yang umumnya memang diperlukan untuk bidang-bidang yang lain.
Bidang keahlian yang menjadi kompetensi beliau memang masih jarang atau masih baru, dalam hal ini beliau adalah termasuk pioner dibidangnya, yaitu tentang DKV (desain komunikasi visual) yang mana yang di PT negeri hanya ada di ITB, sedang di UGM dan UI belum ada. Beliau termasuk pendiri atau tepatnya pioner yaitu ketika beliau ikut mendirikan jurusan tersebut di Trisakti. Banyak insan-insan di dunia advertising adalah murid beliau, karena beliau memang lama di Trisakti sebelum ditarik ke UPH.
Melihat buah yang dihasilkan, pengalamannya (beliau secara khusus kadang diminta mengajar di Binus, juga di sekolah Ciputra Surabaya) dan juga jaringan-jaringannya yang kuat sehingga dapat membesarkan jurusan DKV di UPH maka institusi berinisiatip untuk mengusahakan gelar formal pemerintah yaitu profesor tersebut. Prosesnya memang lama, itu sudah dimulai beberapa tahun yang lalu, ya masalahnya yaitu bagaimana meyakinkan pemerintah dalam hal ini DIKTI tentang “kekhususan” tersebut.
Soal kekhususan tersebut juga cukup menarik, karena bisa juga itu dipandang sebagai suatu keistimewaan UPH dibanding PT yang lain.
Karena adanya proses yang cukup panjang tersebut, dan juga bahwa itu perlu pengakuan dari profesor lain yang diberi kuasa untuk menilai maka perayaan tersebut juga terbuka. Seperti diketahui bahwa pada waktu pengukuhan Guru Besar tersebut, profesor dari ITB untuk bidang yang serumpun juga berkenan hadir.
Jadi jika DIKTI mengakui, juga rekan-rekan ITB juga datang menghadiri pengukuhan tersebut maka saya kira semuanya itu adalah SERIUS adanya.
Itu sedikit informasi yang diketahui dari rekan dosen yang satu institusi dengannya. Cukup jelas.
Tinggalkan komentar