Judulnya koq kelihatan tendensius sekali ya, jika ada yang benar maka tentu ada yang salah. Betulkan. Bagi yang dianggap benar, tentu akan merasa berbunga-bunga, sedangkan yang yang dianggap tidak benar (salah) maka bisa tersinggung, sakit hati, atau bahkan bisa marah-marah.
Biasanya bagi masyarakat di sini, yang merasa berbunga-bunga umumnya relatif pasif (diam saja, paling hanya senyum-senyum), tapi yang merasa sakit hati, wah gawat itu, tidak hanya marah-marah saja lho, bahkan bisa terjadi “amok”. Itulah Indonesia, meskipun mungkin prosentasinya relatif kecil tetapi bisa mewarnai secara keseluruhan.
Jadi menyuarakan suatu kebenaran adalah tidak gampang. Beresiko tinggi. Bagi orang tertentu ketika menerima suatu kebenaran, maka ada yang dapat menyukurinya dan menindak lanjuti untuk keputusan yang diambil. Mengubah / menyesuaikan begitu lho. Tapi bagi orang tertentu, maka hal tersebut dianggap sebagai sebilah pedang yang menusuk hati. Jadi harus ditangkis dan dihancurkan balik. 😦
Jadi, bisa saja di awal maksudnya baik, tatapi hasilnya bukanlah kebaikan tetapi bahkan kehancuran diri sendiri. Akhirnya, ya lebih baik diam saja. 😦
Untuk menghindari sikap seperti dugaanku di atas, maka akhirnya aku hanya berbicara tentang kebenaran dari sudut pandang ilmiah, sebutlah sebagai kebenaran ilmiah.
Mengapa aku peduli dengan itu, ya karena latar belakang hidupku ini adalah dosen, guru, yang sehari-harinya mengajarkan teori tentang hal-hal yang ilmiah kepada murid-muridku, juga yang lain via publikasiku. Ilmiah di sini adalah dapat dibuktikan secara nalar, logis dan bersifat empiris (dapat ditangkap indera) dan berlaku universal. Dalam hal tersebut maka cukup jelas, bahwa agama adalah tidak termasuk hal ilmiah tersebut, meskipun saya yakin masih ada saja yang menganggap bahwa itu juga suatu bagian yang ilmiah.
Jika kebenaran tersebut tidak disuarakan, maka kadang-kadang itu menghasilkan dampak sosial yang besar. Blue Energy itu merupakan salah satunya. Karena tidak ada yang berani menyatakan pendapat, dan orang-orang kita masih berbudaya “sendiko dawuh” atau “menurut petunjuk Bapak Presiden”, maka sekali orang nomer satu salah maka yang lain hanya bisa mengamini saja. Jika yang atas salah, apakah kesalahan tersebut akan ditanggung sendiri ? Ya kalau memang demikian sih, ya ok-ok saja, tetapi kenyataan maka yang akan menanggung akibatnya adalah bukan yang diatas tetapi yang di bawah, yaitu rakyat sendiri.
lho pak Wir, nanti bapak Presiden marah lho ?
Ah enggak, saya yakin tidak. Beliau khan cukup bijaksana. Ini hanya mencoba sedikit menyuarakan kebenaran. Minimal ini dapat menjadi bahan pemikiran lebih lanjut untuk menghindari terjadinya blunder lagi.
Blunder lagi gimana sih pak ?
Itu lho, tentang Blue Energy. Itu khan blunder menurutku, khususnya bagi yang PRO-Blue Energy.
Ah, koq bapak bisa bilang begitu. Ini khan “masih dalam tahap penelitian”.
Itulah, orang koq terjebak dengan pernyataan “masih dalam tahap penelitian”, sampai kapan itu. Sampai duit rakyat habis, atau sampai rakyat tidak tahan sehingga terjadi “amok”, atau sampai rakyat lupa. Kita ini khan bangsa pelupa, bangsa lesan.
Kenapa begitu, karena tadi pagi saya membaca artikelnya bapak Dr.Ir. Robert Manurung, M.Eng. , pakar energi dari ITB. Saya kutip ini :
Pada saat pelaporan ekspedisi kendaraan berbahan bakar nabati di Istana Negara satu tahun yang lalu, atas pertanyaan keabsahan bahan bakar air, Menneg Ristek Kusmayanto Kadiman merespons dengan guyonan bahwa bahan bakar air mungkin benar bila diminum orang yang kehausan dan memulihkan tenaga untuk kemudian mendorong mobil hingga bergerak.
Saya yang berdiri di samping Menneg Ristek berbisik untuk menggunakan kesempatan tersebut memberi penjelasan rinci, yang ditanggapinya bahwa yang hadir saat itu tahu bahwa air tidak mungkin digunakan sebagai bahan bakar. Saya meyakini bahwa semua yang mempelajari konversi energi setuju dengan pendapat Menneg Ristek. Namun, mungkin karena pendapat tersebut tidak disuarakan, setahun kemudian kalangan yang meyakini keberadaan bahan bakar air ternyata semakin berkembang.
Kita perlu memberi apresiasi terhadap usaha pengembangan energi alternatif, tetapi rasionalitasnya harus ditegakkan agar tidak merugikan orang yang terlibat pengembangan atau masyarakat secara umum.
Berita lengkap ada di KOMPAS hari ini.
Jika kemarin adalah pakar dari UGM, maka secara resmi hari ini pakar dari ITB juga telah menyuarakan kebenaran tersebut.
Keberanian menyuarakan kebenaran, seperti yang diungkapkan oleh dua institusi tersebut memang tidak gampang. Perlu keberanian dan kompetensi, serta tentu saja keyakinan bahwa hal tersebut adalah benar atau salah. Itulah yang disebut HIKMAT.
Kalau begitu pak Wir punya hikmat ya ?
Eh, koq begitu tanyanya. Wah itu terlalu pede kalau bisa menjawab ya, bahkan raja Solomo, raja terbesar yang dinyatakan Alkitab memintanya itu dari Allah (1 Raja. 3:3-15 dan 2 Tawarikh 1:10-12). Jadi pada prinsipnya aku pasti juga berdoa untuk meminta hal tersebut. Apakah itu sudah ada atau belum, wah aku sendiri nggak tahu. Lihat aja dari buahnya. Moga-moga sedikit sudah ada.
Lho pak Wir ini nggak ilmiah, koq menghubungkan ke agama ?
Itulah manusia, pikirannya meloncat-loncat kesana-kemari. Itu khan mau cari alasan bahwa ada sesuatu yang kita sendiri kadang-kadang tidak tahu mau kemana.
Kalau pak Wir nggak tahu mau kemana, kenapa nulis threat ini.
Pertanyaannya tajam, tetapi bagus juga. Intinya khan pertanyaan anda begini. Bagaimana saya bisa yakin bahwa pernyataan UGM dan ITB tadi dapat saya setujui dan menganggapnya sebagai kebenaran ilmiah. Gitu khan.
Begini ya dik. Saya ungkapkan lagi, bahwa pada esensi dari Blue Energy itu sendiri, saya tidak mempunyai kompetensi yang menyatakan itu benar atau salah. Bisa saja yang disebut Blue Energy itu memang bahan bakar, dan bisa dipakai untuk pengganti bahan bakar yang ada. Fakta tentang itu khan sudah ada, misalnya waktu konperensi di Bali dulu, yang mana sudah ada beberapa mobil pakai itu. Juga ingat nggak bahwa bapak Presiden membaui knalpot yang memakai Blue Energy tersebut. Juga yang baru-baru ini, pakar dari UMY, bapak Ir. Bledug ber-road-show ke kabupaten di DIY , bersama konsultan ahlinya DRs Purwanto, untuk menunjukkan fakta Blue Energy-nya.
Fakta-fakta seperti itu saya tidak menampik, bahwa itu salah. Ok-ok saja. Sah maksudnya.
Tetapi apakah fakta tesebut dapat membuktikan bahwa bahan bakar yang disebut Blue Energy itu adalah suatu temuan yang baru hasil derivasi atau pengembangan dari AIR (H2O) , sesuatu yang benar-benar orisinil. Khan tidak bisa bukan. Bisa saja itu hasil manipulasi materi lain. 😛
Konsep seperti di atas adalah seperti cara kerja TUKANG SULAP. Itu yang tampil di televisi bisa mengambil kelinci atau burung merpati dari kemejanya, apakah itu lalu dapat dianggap bahwa yang bersangkutan berarti mencipta kelinci. Khan nggak seperti itu bukan. Kalau ya, maka berarti seperti Tuhan aja. 😛
Jadi untuk membuktikan apakah BLUE ENERGY itu benar atau salah sebagai suatu temuan energi alternatif maka cara satu-satunya dan paling afdol adalah dengan metoda ilmiah. Itulah yang dipelajari orang sekolahan, nggak tahu apakah ada yang lain.
Ada pak, dengan bertapa di gunung !
Ah kamu, ini serius lho. Kalau berbicara tentang metode ilmiah maka syarat utama adalah perlu disusun suatu hipotesis atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang dihadapi (dalam hal ini bagaimana air bisa berubah menjadi bahan bakar). Hipotesis tersebut diturunkan secara deduktif dari pengetahuan ilmiah yang telah berhasil dikumpulkan.
Konsep adanya pengetahuan ilmiah yang telah berhasil dikumpulkan itu adalah berarti, hipotesis tersebut tidak bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah yang telah ada. Lha ini saya lihat sampai hari ini , saya tidak melihat fakta-fakta ilmiah yang digunakan untuk mendukung temuan Blue Energy tersebut.
Baru setelah hipotesis itu ada, maka proses penelitian dilanjutkan dengan pembuktian empiris, karena sifat ilmu atau fakta ilmiah itu adalah dapat diulang.
Jadi berkaitan dengan proses penelitian tentang Blue Energy tersebut, saya kira Bapak Presiden tinggal bertanya, sekarang sudah berada di mana, hipotesisnya sudah ada atau belum. Wah kalau belum, bisa gawat itu. Itu tahapan yang paling krusial. Kalau sudah proses pembuktian empiris maka itu lebih mudah. Itu khan soal ilmu alam, jadi uji eksperimen tentu akan lebih mudah karena variabel-variabelnya dapat di kontrol di laboratorium dengan mudah. Kalau sosial khan lebih susah.
Jadi karena Blue Energy adalah eksak, maka keputusan hasil riset akan lebih eksak juga. Bisa atau nggak gitu lho.
Karena sampai hari ini, informasi tentang proses penelitian itu tidak jelas, tetapi sudah ada penjelasan-penjelasan ilmiah dari ITB dan UGM maka sampai hari ini belum terbukti bahwa Blue Energi adalah suatu kebenaran. Itulah yang mendasari aku bersikap ini. Ok.
Tinggalkan komentar