Masih ingatkah anda dengan EACEF, itu lho konferensi bertaraf internasional yang tahun lalu telah diselenggarakan secara sukses oleh Jurusan Teknik Sipil UPH bekerja sama dengan Uni-Stuttgart, Jerman. Ya moga-moga masih ingat, tapi kalau lupa, ini lho ada beberapa tulisan saya di blog ini yang berkaitan dengan event tersebut.

Ingatkan sekarang. Event kemarin itu juga merupakan salah satu prestasi Jurusan Teknik Sipil Universitas Pelita Harapan, dibawah komando profesor Dr.-Ing. Harianto Hardjasaputra, dimana dengan dukungan penuh dari teman beliau di Uni-Stuttgart (prof. Karl Heinz Reineck) maka teman-teman profesional bertaraf international berkenan memeriahkan acara tersebut. Pokoknya nggak malu-maluin deh. Coba bayangkan, itu jurusan baru berumur 14 tahun, yah kalau manusia baru bisa apa itu, tetapi ternyata mampu memberi kepercayaan kepada teman-teman lain untuk hadir dan datang ke bumi Lippo Karawaci, Tangerang, Banten.

Adanya acara tersebut jugalah yang membuat saya pede aja menulis artikel “pelan tapi pasti“, tempo hari. Udah baca belum.

Jika dari segi jumlah mahasiswa, jurusan kami memang belum bisa dibanggakan, yah paling banter cuma sekitar 20 orang perangkatan. Pernah juga pada tahun 2000, satu angkatan hanya 4 orang. Bayangin itu. Itu kadang-kadang ditanggapin sinis oleh para asesor yang mengevaluasi akreditasi jurusan. “wah apa bisa jalan tuh ?“.

Yah, begitulah, masyarakat Indonesia memang berorientasi pada jumlah, kalau kecil menyepelekan. Profesornyapun (asesor akreditasi perguruan tinggi) juga demikian. Yah, gimana lagi, itu sudah menjadi budaya, padahal jumlah itu tidak mesti berkorelasi positip dengan mutu. Betul nggak, yang jelas Jurusan Teknik Sipil UPH sampai hari ini masih tetap eksis, bahkan makin eksis aja. 😛

Pak Wir apa nggak malu nyebutin bahwa jurusan teknik sipil UPH pernah hanya menerima 4 orang saja.

Yah, inilah, rambut sama hitam, tetapi pikiran atau pendapat bisa berlainan.  Begini dik. Terus terang pada tahun tersebut, kami di Jurusan memang prihatin. Tetapi karena itu pula, kami mendapat support dari pimpinan atas, bahwa mereka tetap commit dengan jumlah tersebut dan full 100% tetap mensupport, sehingga meminta kami (para dosen tetap dan pengurus) untuk tetap bekerja penuh dan meningkatkan diri agar tidak terulang lagi.

Pendapat itu membuat kami terharu, bahwa yang katanya universitas swasta yang hanya memikirkan duit masuk, tetapi ternyata punya comitment hebat. Jika yang ‘punya’ univ saja juga begitu, maka kami-kami yang hidup di jurusan ini menjadi bersemangat. Kami juga bisa koq bekerja tidak sekedar hanya karena gajian. Intinya kita juga bisa commit. Bahwa memang jumlah mahasiswa itu perlu, tetapi seperti telur dan ayam, maka kita mulai dulu dari mutu, syukurlah jika akhirnya mahasiswanya naik, jika tidak minimum kita bisa memberi yang terbaik bagi mahasiswa yang ada. Karena perlu diingat, bahwa perubahan itu biasanya dimulai dari prestasi perseorangan, bukan kodian. Istimewa itu biasanya menunjuk yang sedikit tetapi berbeda (yang baik-baik dong) dan dapat menjadi leader di bidangnya. Kita punya keyakinan itu koq.

Eacef-nya gimana pak Wir ?

Eh, iya, koq nglantur jadi cerita mahasiswa ya. Ok, kita kembali ke EACEF. Jadi seperti judulnya yaitu European Asian Civil Engineering Forum, maka Prof Harianto berharap bahwa event tersebut dapat menjadi event tetap yang berkelanjutan, karena dalam hal ini beliau telah berhasil menjaring komunitas dengan teman-teman di Jerman, yang notabene merupakan salah satu negara rujukan di bidang engineering.

Agar berkelanjutan pada acara tersebut kami-kami juga bergerilya, melakukan lobby-lobby menawarkan institusi lain untuk menggolkan rencana tersebut, yaitu membuat EACEF berkelanjutan. Tuhan ternyata berkenan. Salah satu anggota peserta yang kebetulan juga anggota pimpinan dari Universiti Teknologi Malaysia bersedia untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan EACEF ke-2.

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan di Indonesia tersebut, maka bulan kemarin Prof. Harianto Hardjasaputra berkenan berkunjung ke UTM, Malaysia untuk mulai berdiskusi tentang EACEF ke-2 tersebut. Ini foto beliau dengan teman-teman UTM.


Ujung kiri no1 adalah Prof. Mahmood yang tempo hari hadir di EACEF yang pertama, di UPH, berdiri sampingya Prof Harianto Hardjasaputra (berbaju merah), yang lain adalah adalah dosen-dosen UTM, semuanya minimal bergelar doktor. Ibu-ibu yang didepan itu menurut prof Harianto juga sudah profesor-profesor semua.

Bayangin deh dengan di Indonesia, masih banyak yang bergelar S1 mengajar, jadi bisa nanti negeri ini tertinggal dengan mereka. Nah lho, gimana ini teman-teman di Indonesia. Apakah yang kita banggakan hanya jumlah mahasiswa saja yang banyak, di mata mereka ?

Hasil pertemuan tersebut menyepakati bahwa EACEF ke-2 akan diselenggarakan di Malaysia tanggal 4-6 Agustus 2009, tempatnya di Langkawi, di hotel.

web-site resmi UTM-UPH joint conference, di http://www.apsec2009.com/.

Di hotel ?

Iya begitu, kata mereka sekaligus bertamasya. Wah menarik sekali ini. Kami para staf di Jurusan Teknik Sipil UPH dengan bermodal uang keuntungan dari penyelenggaraan EACEF kemarin akan berusaha datang kesana, hanya ada persyaratannya, yaitu harus menjadi pemakalah.

Ha, ha, pinter juga ini Prof Harianto memberi iming-iming yuniornya di UPH, bahwa produktivitas ilmiah tetap di kedepankan. Maklumlah sekarang beliau adalah direktur LPPM UPH, yang bertanggung jawab pada peningkatan riset, publikasi dan pengabdian pada masyarakat.

Begitulah kami di UPH, pelan tapi pasti. ….

Semoga Tuhan berkenan.

Catatan : ada yang tertinggal, dalam pembicaraan tersebut, ada rencana bahwa siapa teman-teman di Indonesia yang ingin bertamasya ke Langkawi, eh salah, mau berpartispasi dalam EACEF ke-2 itu, jika mendaftar di UPH akan mendapat discount. Horee, bisa jalan-jalan ke Malaysia sekaligus meningkatkan pengetahuan. Tertarik. Detailnya nanti ya, ini sedang digodok.

6 tanggapan untuk “Apakabar EACEF 2009”

  1. Y.W Avatar
    Y.W

    kualitas memang tidak di lihat dari jumlah mahasiswa kok pak wir…
    seperti univ saya…banyak banget mahasiswanya …tapi yang berkompeten cuma bisa diitung dengan tangan….

    saya nanti malah berencana ngambil S2 di sana…
    sedikit mahasiswa kan brarti bisa berkomunikasi dengan dosennya lebih lancar….dan ilmunya juga lebih banyak di tangkap….

    ada saran saya pak:
    ujiannya kalo bisa ditingkatkan lagi tingkat kesulitannya….

    misalnya ujian tentang konsol, yang menghitung gaya baut akibat pembebanan eksentrisitas,prying action, dan baut yang menerima gaya tarik pada bagian atas dan tekan pada bagian bawah….

    memang sih tidak akan selesai dengan waktu 2 jam tapi stidaknya mahasiswanya tau dan pernah menghitung yang seperti itu…

    sebelumnya saya minta maaf pak kalo saya mengkritik dikit…

    Suka

  2. wir Avatar
    wir

    @Yusen W.
    Terima kasih mas Yusen.

    @mahasiswa saya di UPH
    Tuh anak-anak kegampangan khan. Ini dosennya baik hati lho, kasih soal gampang-gampang. 😛

    Atau mungkin lagi sibuk nyelesaiin disertasinya sehingga nggak sempat bikin soal yang susah-susah.

    Oleh karena itu, yang lagi ngambil mata kuliah saat ini, ayo mumpung, soal-soalnya belum susah. Coba nanti kalau udah kelar sekolahnya, sehingga punya waktu banyak atau fokus lebih ke kelas. Ayo-ayo mumpung. Jangan sampai fail. 😛

    Note : maklum, itu yang baja I kalau tidak dibantu responsi-tugas maka yang lulus nggak lebih dari 50% lho. 😦

    Suka

  3. Yoyo Avatar

    selamat untuk UPH Pak Wir, nggak ngerti teknik sipil, basic saya teknik industri…. 🙂

    Wir’s responds: makasih Yo. Masih sama-sama teknik koq. Logika dan nalar khan lebih terlatih.

    Suka

  4. Saut Avatar

    halo mas Wir.
    memang tidak ada korelasi antara kualitas dengan jumlah, malah semakin banyak mungkin semakin susah mengawasi dan membimbing mahasiswa-mahasiswanya.

    Salah satu yang utama saya pikir adalah kualitas dan komitmen dosen di dalam mengarahkan / membimbing mahasiswa.

    susahnya seperti waktu saya S1 dulu, satu dosen bisa 7 mhs yang dibimbing, bayangkan bagaimana dosennya punya waktu kan? sukses deh buat konferensinya

    Wir’s responds: terima kasih mas Saut atas komentarnya. Moga-moga saya termasuk dosen dengan kualitas dan komitmen sebagaimana yang diharapkan banyak orang. Memang nggak gampang sih, tetapi harus diusahakan.
    Semoga Tuhan memberkati maksud baik kita semua. Amin.

    Suka

  5. TONNI KURNIAWAN Avatar
    TONNI KURNIAWAN

    Salam Hormat,

    Beberapa waktu yang lalu anda pernah membahas tentang gedung tertinggi di dunia “burj Dubai”. Saya sangat tertarik sekali dengan tulisan anda.

    Hari ini (26 juni 2008) di koran jawapos Dubai memecahkan rekor lagi di bidang civil engineering dengan ” The Dynamic Tower”. Gedung dengan 80 lantainya (setinggi 420 m) dapat berputar 360 derajat (pada tiap lantainya).Jadi gedung tersebut akan memiliki bentuk yang selalu berubah setiap saat. Gedung ini dirancang oleh David Fisher seorang engineer asal Italia. Meski gedung ini memerlukan tenaga/energi yang sangat besar tetapi gedung ini dapat menghasilkan energi mandiri / swadaya. Kondisi tersebut bisa dicapai dengan adanya turbine angin yang dipasang di tiap-tiap lantai yang menjadi pembangkit listrik hijau (ramah lingkungan).

    Saya berharap anda membahasnya lebih lengkap lagi. Terimakasih. Salam. Gbu

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com