Bulan-bulan ini adalah waktunya anak-anak muda lulusan SMU memilih jalan hidupnya (karir), mau langsung bekerja atau melanjutkan lagi sekolah di perguruan tinggi. Bagi yang mau melihat fakta, ketika mau bekerja tetapi hanya mengandalkan ijazah SMU, kecuali mau berwiraswasta, maka paling-paling hanya jadi office boy.
So ! Mikir seribu kali. 😦
Jika punya tampang, bisa bernyanyi dengan baik, maka adanya fenomena idol tentu boleh menjadi alternatif jalan keluarnya. Bagi yang putri, jika sudah ada yang melamar, dan orangnya sudah mapan, bisa juga menjadi alternatif pilihan hidup yang menarik. Tetapi jika tidak, maka cita-cita melanjutkan lagi di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan yang logis. Suatu keharusan !
Pikiran ada, motivasi ada, tetapi di jaman seperti sekarang ini dukungan finansial perlu dipertimbangkan dengan matang. Bagaimana tidak, jaman sekarang ini sekolah semakin mahal ! Apalagi jika pilihan sekolahnya jauh dari tempat tinggal sehingga perlu kost, sehingga perlu biaya hidup lagi. Padahal biaya sekolahnya sendiri nggak bisa dianggap enteng.
Tentang biaya mahal saat ini adalah fakta, tidak hanya sekolah (universitas) swasta saja seperti UPH yang apa-apa memang harus mandiri, tetapi juga biaya masuk dan sekolah di universitas negeri. Itu buktinya, ada ponakannya saya di Jogja yang keterima di ptn di surabaya (kedokteran), sudah setahun ini, itu uang masuknya saja ratusan juta, juga ponakan lain, yang keterima ptn di semarang (kedokteran juga), levelnya kesannya di bawah ptn yang di surabaya, juga perlu ratusan juta. Tapi eh, keterima juga di ptn jogja, kelas internasional (kedokteran juga), lebih hebat lagi, katanya biaya per semester puluhan juta. Kalah dah uph. 🙂
Fakta-fakta di atas dibanding jaman saya sekolah dulu, koq seperti bumi dan langit. Saya ingat jaman tahun 83-an, yaitu ketika sedang studi di jurusan teknik sipil FT-UGM, biaya per semesternya rp. 125 ribu, yang kedokteranpun rasanya juga tidak berbeda jauh.
Jika tarif dokter sekarang mahal padahal dulu biaya sekolahnya murah, maka bisa dibayangkan nanti bagaimana tarif dokter jaman nanti jika biaya sekolahnya mahal. Kata orang, sekolah itu khan investasi, jadi harus kembali modal dong. 🙂
Bisa-bisa nanti, karena biaya berobat mahal, maka bagi yang sakit keras lebih baik cepat-cepat dipanggil Tuhan lho, daripada membebani keluarga besarnya, sehingga duitnya pada habis, bisa-bisa anggota keluarga yang lain jadi sakit semua dan akhirnya karena tidak ada biaya untuk berobat maka pada meninggal semua. Gimana lho. 😦
Kalau di luar negeri, biaya berobat mahal, tetapi ada asuransi yang diwajibkan pemerintah. Kayak di Jerman gitu. Kalau di sini, kalau tidak punya tabungan. Wah gimana gitu.
Jadi intinya, apapun bidang yang ingin ditekuni, perlu dipikirkan dengan baik-baik karena menyangkut biaya yang mahal. Jika itu trial-and-error, wah bisa ngabisin duit banyak lho.
Omong-omong tentang kesehatan, jadi ingat tentang profesi dokter lho. Heran, itu ponakan-ponakan saya, ketika akan melanjutkan studinya, sebagian besar yang punya potensi inginnya masuk jurusan kedokteran. Sedangkan yang pas-pasan, dari pada tidak, sama orangtuanya didorong-dorong masuk ekonomi. Lho 😦
Kenapa nggak ada ya, yang punya cita-cita masuk jurusan teknik sipil ?
Banyak yang berpendapat, sekolahnya susah, gajinya kecil. Begitu ya ?
Apa benar seperti itu ya. Padahal kalau melihat fakta, bidang pekerjaan teknik sipil adalah sangat luas. Selama suatu negara ingin berkembang pasti perlu tenaga lulusan teknik sipil. Mulai dari pembangunan infrastruktur (jembatan, jalan, saluran irigasi, drainasi, dam, lapangan udara, pelabuhan), atau bangunan (gedung, pabrik, power-plant) dll pasti memerlukannya. Apalagi indonesia sebagai negara berkembang, yang mencakup beribu-ribu pulau dan sangat luas. Jadi mestinya negara ini masih memerlukan bidang profesi teknik sipil.
Bahkan di Amerika, asosiasi insinyur sipil-nya sampai membuat rencana kerja jangka panjang tentang pentingnya peranan mereka dalam mendukung kemajuan di negeri tersebut. Mau tahu ? Silahkan aja down-load visinya.
The Vision for Civil Engineering in 2025
Based on the Summit on the Future of Civil Engineering – 2025
June 21-22, 2006
Prepared by the ASCE Steering Committee to Plan A Summit on the Future of the Civil Engineering Profession in 2025down-load 3,086 kB berupa naskah sebanyak 114 hlm
Tetapi kenapa tidak terlihat ya. Maksudnya, mengapa profesi tersebut tidak populer ya di masyarakat. Coba deh, tanya sama orang-orang, anaknya kalau besar ingin jadi dokter atau insinyur sipil. Pasti deh, banyak yang milih jadi dokter. Atau bahkan ada, karena tidak mau milih kedua-duanya, maka jawabnya adalah ingin jadi manten. (jw manten=nikah).
Kondisi itu juga dimungkinkan karena profesi teknik, khususnya teknik sipil, belum sekuat dokter. Coba aja bayangkan, boleh nggak buka praktek pengobatan kalau tidak dokter. Tetapi kalau bikin rumah, atau bangunan, siapa aja juga boleh masuk. Itu tidak hanya, untuk rumah-rumah kecil. Ada juga itu, kontraktor-kontraktor besar, penggarap proyek milyaran rupiah, bahkan tidak punya gelar pendidikan teknik sekalipun, yang penting punya modal.
Kondisi di atas juga dipicu oleh dibukanya jurusan teknik sipil di berbagai universitas, besar kecil, bahkan ada di tingkat kabupaten sekalipun. Koden gitu jadinya. Padahal kalau dilihat dari staf pengajarnya kualifikasinya bermacam-macam. Pernah ketemu universitas, dosennya sebagian besar tidak tetap yang merupakan pegawai instansi pemerintah, yang datang jika hanya mengajar saja. Tahu sendiri khan, di pemerintah yang utama adalah birokrasi, mending kalau orangnya masih suka belajar lagi, jika tidak, maka apa ya yang bisa ditularkan ke mahasiswanya. Apakah kondisi-kondisi seperti itukah yang menyebabkan bidang teknik sipil seperti ini.
Kecuali itu, bidang pendidikan teknik sipil di Indonesia sebagian besar masih berkutat pada bidang pengajaran saja. Tepatnya adalah mencetak ijazah sarjana teknik sipil. Bidang lain, seperti riset, publikasi, kelihatannya masih jarang. Itu pula yang menyebabkan, meskipun kelihatannya di negeri ini pendidikan teknik sipil menjamur, tetapi kemajuan bidang teknik sipil tidak signifikan. Jika ada, umumnya karena ada pengaruh dari luar. Mau tahu, itu proyek jembatan Suramadu, perencananya bukan dari lokal lho, itu dari China, meskipun pelaksananya lokal (PT. Waskita dan teman-teman), juga itu jembatan layang di Bandung, perencananya dari Eropa lho, Itali kalau tidak salah.
Selain fakta tentang pembangunan yang masih melibatkan orang luar, itu bisa karena belum berkemampuan, atau juga belum berkemauan. Kondisi seperti itu dapat dilihat juga dari publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh para pengajar jurusan teknik sipil. Pengalaman mengikuti konferensi ilmiah, atau seminar di berbagai kota, juga membuktikan bahwa dosen-dosen yang sering berbagi ilmu dengan membuat makalah ilmiah hanya dosen itu-itu saja. Nggak sebanding dengan jumlah perguruan tinggi yang terdaftar memiliki jurusan teknik sipil yang katanya jumlahnya sampai ratusan.
Jadi terkesan bahwa jurusan teknik sipil yang bertebaran tersebut memang bertujuan hanya mencetak ijazah formal bagi seseorang untuk masuk dunia kerja, yang mana pada tahun-tahun sebelum krisis memang booming. Tetapi setelah kejadian krisis 98 jadi ketahuan, mana yang benar-benar ingin eksis mengembangkan bidang teknik sipil dan mana yang tidak.
Tentang hal tersebut, bahkan ada rumor bahwa di Jakarta sendiri sudah ada beberapa jurusan teknik sipil di PTS yang ditutup. Benar nggak sih ?
Itu aku rasakan sendiri ketika karena krisis masuk ke uph. Pada awal mulanya sih terkesan pelarian, lha gimana lagi, dunia real banyak yang collapsed, ilmunya nggak banyak dibutuhkan, lakunya hanya di dunia pendidikan.
Mula-mula memang gamang, meskipun masih membahas tentang dunia rekayasa, tetapi yang dihadapi berbeda. Jika di pekerjaan real sebagai engineer adalah berorientasi pada hasil (produk nyata) , apapun caranya. Tetapi jika di bidang pendidikan khan beda, yaitu berorientasi pada proses, karena produknya adalah perubahan pikiran anak didik. Hasilnya nggak bisa secara langsung kelihatan, tidak secara transparan dilihat dari IPK yang dihasilkannya. Lebih abstrak gitu.
Kondisi gamang sebagai pendidik pada awal mulanya memang pernah aku rasakan, mungkin karena masuknya ke bidang tersebut karena tidak ada alternatif lain yang lebih baik. Maklum jamannya krisis. Apalagi jumlah mahasiswanya juga tidak terlalu banyak. Pada saat aku masuk, jumlah mahasiswanya sekitar 18 orang. Sedikit banget ya. Pada waktu itu dikenal, bahwa jurusan teknik sipil adalah jurusan yang paling sedikit di UPH.
Empat tahun pertama mengajar di UPH bukan merupakan suatu kebanggaan, apalagi ketika ketemu dengan dosen-dosen dari luar, ya maklum prestasi kerja sebagai dosen belum kelihatan. Untung waktu itu aku punya hobby computer programming, jadi itu sebagai pelarian. Meskipun demikian, tugas-tugas mengajar dan lain-lain yang diberikan aku kerjakan dengan baik. Pokoknya nggak ada masalah, lancar begitu, sampai akhirnya pak Dekan pada waktu itu menugaskan untuk menjalankan mou kerjasama dengan Uni-Stuttgart untuk pergi belajar riset di sana.
Tiga bulan saja di sana (Jerman), tetapi itu mengubah cara berpikirku selama ini. Di sana seakan-akan dibukakan pengertian mengapa Tuhan menjadikan aku sebagai pendidik, dan bukannya tetap hidup sebagai engineer di lapangan. Di sana pula, karya ilmiah pertamaku terbit, itu semua atas bantuan Prof. Reineck, sejak itu pula aku mempunyai kebanggaan meskipun hanya menjadi dosen, tetap bangga pula mengajar di Jurusan teknik sipil meskipun muridku hanya sedikit. Falsafah garam dan terang yang menjadi misi hidupku saat ini, aku temukan, dengan demikian aku tetap commit dengan bidang yang aku geluti, yaitu structural engineering. Kondisi itu pula yang mengantarkan mahasiswa-mahasiswaku memenangi beberapa lomba antar pt di tingkat nasional, dan berbagai kegiatan lain yang sebagian besar selalu aku tuliskan pada blog ini.
Kondisi-kondisi seperti itu benar-benar saya rasakan, bukan karena ingin menyombongkan diri, tetapi aku syukuri ketika aku sadari kemarin setelah selesai menyidangkan beberapa mahasiswa yang telah menyelesaikan skripsinya. Sidangnya minta diajukan, karena ada salah satu mahasiswa yang berkepentingan untuk melanjutkan studi lanjut. Dari pembicaraan mahasiswa UPH yang baru lulus tersebut banyak mendapat kabar bahwa mereka akan melanjutkan studi lagi, S2 katanya.
“Kamu ingin ambil S2 di luar ya, bidang apa ?“. “Bisnis school ya ?“, tanyaku sekedar basa basi.
Jawab mereka mantap: “Nggak pak ! Kita mau ambil bidang struktur !“.
Hah… bidang struktur ! Seperti bidang yang aku geluti saat ini. Jadi ternyata bidang tersebut ada yang menganggap menarik juga ya. 🙂
**he, he, bangga, sampai perlu aku buatkan tread khusus di blog ini.**
Berarti selama ini, kebanggaanku di bidang yang aku geluti ketika membahas hal-hal tersebut di kelas tidak sia-sia. Terima kasih ya Tuhan. Semoga aku dapat mewarnai dunia ini.
Tinggalkan komentar