Bulan-bulan ini adalah waktunya anak-anak muda lulusan SMU memilih jalan hidupnya (karir), mau langsung bekerja atau melanjutkan lagi sekolah di perguruan tinggi. Bagi yang mau melihat fakta, ketika mau bekerja tetapi hanya mengandalkan ijazah SMU, kecuali mau berwiraswasta, maka paling-paling hanya jadi office boy.

So ! Mikir seribu kali. 😦

Jika punya tampang, bisa bernyanyi dengan baik, maka adanya fenomena idol tentu boleh menjadi alternatif jalan keluarnya. Bagi yang putri, jika sudah ada yang melamar, dan orangnya sudah mapan, bisa juga menjadi alternatif pilihan hidup yang menarik. Tetapi jika tidak, maka cita-cita melanjutkan lagi di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan yang logis. Suatu keharusan !

Pikiran ada, motivasi ada, tetapi di jaman seperti sekarang ini dukungan finansial perlu dipertimbangkan dengan matang. Bagaimana tidak, jaman sekarang ini sekolah semakin mahal ! Apalagi jika pilihan sekolahnya jauh dari tempat tinggal sehingga perlu kost, sehingga perlu biaya hidup lagi. Padahal biaya sekolahnya sendiri nggak bisa dianggap enteng.

Tentang biaya mahal saat ini adalah fakta, tidak hanya sekolah (universitas) swasta saja seperti UPH yang apa-apa memang harus mandiri, tetapi juga biaya masuk dan sekolah di universitas negeri. Itu buktinya, ada ponakannya saya di Jogja yang keterima di ptn di surabaya (kedokteran), sudah setahun ini, itu uang masuknya saja ratusan juta, juga ponakan lain, yang keterima ptn di semarang (kedokteran juga), levelnya kesannya di bawah ptn yang di surabaya, juga perlu ratusan juta. Tapi eh, keterima juga di ptn jogja, kelas internasional (kedokteran juga), lebih hebat lagi, katanya biaya per semester puluhan juta. Kalah dah uph. 🙂

Fakta-fakta di atas dibanding jaman saya sekolah dulu, koq seperti bumi dan langit. Saya ingat jaman tahun 83-an, yaitu ketika sedang studi di jurusan teknik sipil FT-UGM, biaya per semesternya rp. 125 ribu, yang kedokteranpun rasanya juga tidak berbeda jauh.

Jika tarif dokter sekarang mahal padahal dulu biaya sekolahnya murah, maka bisa dibayangkan nanti bagaimana tarif dokter jaman nanti jika biaya sekolahnya mahal. Kata orang, sekolah itu khan investasi, jadi harus kembali modal dong. 🙂

Bisa-bisa nanti, karena biaya berobat mahal, maka bagi yang sakit keras lebih baik cepat-cepat dipanggil Tuhan lho, daripada membebani keluarga besarnya, sehingga duitnya pada habis, bisa-bisa anggota keluarga yang lain jadi sakit semua dan akhirnya karena tidak ada biaya untuk berobat maka pada meninggal semua. Gimana lho. 😦

Kalau di luar negeri, biaya berobat mahal, tetapi ada asuransi yang diwajibkan pemerintah. Kayak di Jerman gitu. Kalau di sini, kalau tidak punya tabungan. Wah gimana gitu.

Jadi intinya, apapun bidang yang ingin ditekuni, perlu dipikirkan dengan baik-baik karena menyangkut biaya yang mahal. Jika itu trial-and-error, wah bisa ngabisin duit banyak lho.

Omong-omong tentang kesehatan, jadi ingat tentang profesi dokter lho. Heran, itu ponakan-ponakan saya, ketika akan melanjutkan studinya, sebagian besar yang punya potensi inginnya masuk jurusan kedokteran. Sedangkan yang pas-pasan, dari pada tidak, sama orangtuanya didorong-dorong masuk ekonomi. Lho 😦

Kenapa nggak ada ya, yang punya cita-cita masuk jurusan teknik sipil ?

Banyak yang berpendapat, sekolahnya susah, gajinya kecil. Begitu ya ?

Apa benar seperti itu ya. Padahal kalau melihat fakta, bidang pekerjaan teknik sipil adalah sangat luas. Selama suatu negara ingin berkembang pasti perlu tenaga lulusan teknik sipil. Mulai dari pembangunan infrastruktur (jembatan, jalan, saluran irigasi, drainasi, dam, lapangan udara, pelabuhan), atau bangunan (gedung, pabrik, power-plant) dll pasti memerlukannya. Apalagi indonesia sebagai negara berkembang, yang mencakup beribu-ribu pulau dan sangat luas. Jadi mestinya negara ini masih memerlukan bidang profesi teknik sipil.

Bahkan di Amerika, asosiasi insinyur sipil-nya sampai membuat rencana kerja jangka panjang tentang pentingnya peranan mereka dalam mendukung kemajuan di negeri tersebut. Mau tahu ? Silahkan aja down-load visinya.

The Vision for Civil Engineering in 2025

Based on the Summit on the Future of Civil Engineering – 2025
June 21-22, 2006
Prepared by the ASCE Steering Committee to Plan A Summit on the Future of the Civil Engineering Profession in 2025

down-load 3,086 kB berupa naskah sebanyak 114 hlm

Tetapi kenapa tidak terlihat ya. Maksudnya, mengapa profesi tersebut tidak populer ya di masyarakat. Coba deh, tanya sama orang-orang, anaknya kalau besar ingin jadi dokter atau insinyur sipil. Pasti deh, banyak yang milih jadi dokter. Atau bahkan ada, karena tidak mau milih kedua-duanya, maka jawabnya adalah ingin jadi manten. (jw manten=nikah).

Kondisi itu juga dimungkinkan karena profesi teknik, khususnya teknik sipil, belum sekuat dokter. Coba aja bayangkan, boleh nggak buka praktek pengobatan kalau tidak dokter. Tetapi kalau bikin rumah, atau bangunan, siapa aja juga boleh masuk. Itu tidak hanya, untuk rumah-rumah kecil. Ada juga itu, kontraktor-kontraktor besar, penggarap proyek milyaran rupiah, bahkan tidak punya gelar pendidikan teknik sekalipun, yang penting punya modal.

Kondisi di atas juga dipicu oleh dibukanya jurusan teknik sipil di berbagai universitas, besar kecil, bahkan ada di tingkat kabupaten sekalipun. Koden gitu jadinya. Padahal kalau dilihat dari staf pengajarnya kualifikasinya bermacam-macam. Pernah ketemu universitas, dosennya sebagian besar tidak tetap yang merupakan pegawai instansi pemerintah, yang datang jika hanya mengajar saja. Tahu sendiri khan, di pemerintah yang utama adalah birokrasi, mending kalau orangnya masih suka belajar lagi, jika tidak, maka apa ya yang bisa ditularkan ke mahasiswanya. Apakah kondisi-kondisi seperti itukah yang menyebabkan bidang teknik sipil seperti ini.

Kecuali itu, bidang pendidikan teknik sipil di Indonesia sebagian besar masih berkutat pada bidang pengajaran saja. Tepatnya adalah mencetak ijazah sarjana teknik sipil. Bidang lain, seperti riset, publikasi, kelihatannya masih jarang. Itu pula yang menyebabkan, meskipun kelihatannya di negeri ini pendidikan teknik sipil menjamur, tetapi kemajuan bidang teknik sipil tidak signifikan. Jika ada, umumnya karena ada pengaruh dari luar. Mau tahu, itu proyek jembatan Suramadu, perencananya bukan dari lokal lho, itu dari China, meskipun pelaksananya lokal (PT. Waskita dan teman-teman), juga itu jembatan layang di Bandung, perencananya dari Eropa lho, Itali kalau tidak salah.

Selain fakta tentang pembangunan yang masih melibatkan orang luar, itu bisa karena belum berkemampuan, atau juga belum berkemauan. Kondisi seperti itu dapat dilihat juga dari publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh para pengajar jurusan teknik sipil. Pengalaman mengikuti konferensi ilmiah, atau seminar di berbagai kota, juga membuktikan bahwa dosen-dosen yang sering berbagi ilmu dengan membuat makalah ilmiah hanya dosen itu-itu saja. Nggak sebanding dengan jumlah perguruan tinggi yang terdaftar memiliki jurusan teknik sipil yang katanya jumlahnya sampai ratusan.

Jadi terkesan bahwa jurusan teknik sipil yang bertebaran tersebut memang bertujuan hanya mencetak ijazah formal bagi seseorang untuk masuk dunia kerja, yang mana pada tahun-tahun sebelum krisis memang booming. Tetapi setelah kejadian krisis 98 jadi ketahuan, mana yang benar-benar ingin eksis mengembangkan bidang teknik sipil dan mana yang tidak.

Tentang hal tersebut, bahkan ada rumor bahwa di Jakarta sendiri sudah ada beberapa jurusan teknik sipil di PTS yang ditutup.  Benar nggak sih ?

Itu aku rasakan sendiri ketika karena krisis masuk ke uph. Pada awal mulanya sih terkesan pelarian, lha gimana lagi, dunia real banyak yang collapsed, ilmunya nggak banyak dibutuhkan, lakunya hanya di dunia pendidikan.

Mula-mula memang gamang, meskipun masih membahas tentang dunia rekayasa, tetapi yang dihadapi berbeda. Jika di pekerjaan real sebagai engineer adalah berorientasi pada hasil (produk nyata) , apapun caranya. Tetapi jika di bidang pendidikan khan beda, yaitu berorientasi pada proses, karena produknya adalah perubahan pikiran anak didik. Hasilnya nggak bisa secara langsung kelihatan, tidak secara transparan dilihat dari IPK yang dihasilkannya. Lebih abstrak gitu.

Kondisi gamang sebagai pendidik pada awal mulanya memang pernah aku rasakan, mungkin karena masuknya ke bidang tersebut karena tidak ada alternatif lain yang lebih baik. Maklum jamannya krisis. Apalagi jumlah mahasiswanya juga tidak terlalu banyak. Pada saat aku masuk, jumlah mahasiswanya sekitar 18 orang. Sedikit banget ya. Pada waktu itu dikenal, bahwa jurusan teknik sipil adalah jurusan yang paling sedikit di UPH.

Empat tahun pertama mengajar di UPH bukan merupakan suatu kebanggaan, apalagi ketika ketemu dengan dosen-dosen dari luar, ya maklum prestasi kerja sebagai dosen belum kelihatan. Untung waktu itu aku punya hobby computer programming, jadi itu sebagai pelarian. Meskipun demikian, tugas-tugas mengajar dan lain-lain yang diberikan aku kerjakan dengan baik. Pokoknya nggak ada masalah, lancar begitu, sampai akhirnya pak Dekan pada waktu itu menugaskan untuk menjalankan mou kerjasama dengan Uni-Stuttgart untuk pergi belajar riset di sana.

Tiga bulan saja di sana (Jerman), tetapi itu mengubah cara berpikirku selama ini. Di sana seakan-akan dibukakan pengertian mengapa Tuhan menjadikan aku sebagai pendidik, dan bukannya tetap hidup sebagai engineer di lapangan. Di sana pula, karya ilmiah pertamaku terbit, itu semua atas bantuan Prof. Reineck, sejak itu pula aku mempunyai kebanggaan meskipun hanya menjadi dosen, tetap bangga pula mengajar di Jurusan teknik sipil meskipun muridku hanya sedikit. Falsafah garam dan terang yang menjadi misi hidupku saat ini, aku temukan, dengan demikian aku tetap commit dengan bidang yang aku geluti, yaitu structural engineering. Kondisi itu pula yang mengantarkan mahasiswa-mahasiswaku memenangi beberapa lomba antar pt di tingkat nasional, dan berbagai kegiatan lain yang sebagian besar selalu aku tuliskan pada blog ini.

Kondisi-kondisi seperti itu benar-benar saya rasakan, bukan karena ingin menyombongkan diri, tetapi aku syukuri ketika aku sadari kemarin setelah selesai menyidangkan beberapa mahasiswa yang telah menyelesaikan skripsinya. Sidangnya minta diajukan, karena ada salah satu mahasiswa yang berkepentingan untuk melanjutkan studi lanjut. Dari pembicaraan mahasiswa UPH yang baru lulus tersebut banyak mendapat kabar bahwa mereka akan melanjutkan studi lagi, S2 katanya.

Kamu ingin ambil S2 di luar ya, bidang apa ?“. “Bisnis school ya ?“, tanyaku sekedar basa basi.

Jawab mereka mantap: “Nggak pak ! Kita mau ambil bidang struktur !“.

Hah…  bidang struktur ! Seperti bidang yang aku geluti saat ini. Jadi ternyata bidang tersebut ada yang menganggap menarik juga ya. 🙂

**he, he, bangga, sampai perlu aku buatkan tread khusus di blog ini.**

Berarti selama ini, kebanggaanku di  bidang yang aku geluti ketika membahas hal-hal tersebut di kelas tidak sia-sia. Terima kasih ya Tuhan. Semoga aku dapat mewarnai dunia ini.

21 tanggapan untuk “jurusan teknik sipil”

  1. christiono Avatar

    Benar sekali pak, saat ini banyak yang berlomba jadi dokter, semoga saja nanti biaya kesehatan tidak semakin mahal seiring dengan mahalnya biaya pendidikan dokter.

    Suka

  2. devie Avatar

    ada joke dari temen sipil buat temen arsitektur

    “arsitek itu cuman mikirin gimana mbikin bangunan nampak indah tapi ndak pernah mikir gimana kita pusing mbuat tuh bangunan gak roboh” 😀

    (just joke, obrolan warung kopi, jangan dianggap serius)

    Wir’s responds: nanti kalau arsiteknya bisa merencanakan kekuatannya, seperti yang dikerjakan sipil. Lalu dapet darimana pekerjaan bagi insinyur sipil. Semuanya dirangkap oleh si arsitek. Jaman sekarang khan jamannya serba efisien. Jadi dengan demikian pendapat teman yang sipil itu sudah benar lho. 🙂

    Suka

  3. Yudhi Avatar

    Tulisan-tulisan bapak disini semuanya bagus dan bermanfaat sekali. Coba bapak promosikan ke http://www.sejutaweb.com sebuah proyek baru saya masih dalam tahap beta yang berfungsi sebagai media promosi online untuk segala jenis tulisan dan berita.

    Suka

  4. Radhi Avatar
    Radhi

    benar ntuh pak…..kaLo bedah pasien kan ga mungkin buka buku….bisa mati ntuh pasien…..^_^..

    coba bedah struktur….kan bisa liat2 buku dulu…mungkin aja ada yg kelupaan……struktur nya juga ngga apa2

    Wir’s responds: tergantung siapa yang bedah. 🙂

    Suka

  5. Santanu Avatar
    Santanu

    Saya lihat yang mau belajar ke Teknik Sipil sih, gak kurang2. Cuma yang mau benar-benar menekuni profesi keteknik sipilan yang berkurang. Karena anak2 sekarang gak suka bekerja ditempat kotor dan panas. Kalau mau terjun ke proyek teknik sipil tentunya harus siap bekerja kepanasan dan kotor. Kalau masalah pendapatan relatif, bekerja dengan siapa,dibidang apa dan dimana. Tapi terus terang, kalau anak saya kuliah, saya gak anjurkan pilih teknik sipil, (kerjanya jauh dari keluarga,jam kerja panjang). trims

    Suka

  6. Y.W Avatar
    Y.W

    selamat sore pak Wir.

    menurut saya , orang lebih memilih kedokteran dan jurusan jurusan lain ketimbang teknik sipil alasannya karna banyak orang yang ngak ngerti apa itu ilmu sipil ( khususnya orang awam ).

    orang tua ku dulu juga menyuruh saya ambil Teknik industri.karna mereka ngak tau tentang sipil.begitu juga dengan orang orang sekitar ku.

    Saya sangat prihatin dengan perkembangan ilmu sipil di Indonesia Pak.Dosen dosennya mengajarkan matakuliahnya hanya kulit nya doang ( kayak promosi gitu lah).dan ngak pernah serius… yang serius cuma beberapa saja.

    dan kata terakhir yang ingin saya bilang : saya seorang mahasiswa yang sebelumnya optimis ingin menjadi seorang konsultan engineer, tapi setelah dengar kata kata bapak saya jadi pesimis dengan diri saya sendiri.
    Padahal bapak punya ilmu banyak tapi kenapa lebih memilih sebagai dosen dan bukan sebagai konsultan engineer.saya bertanya dalam diri saya sendiri:”apakah saya bisa menjadi seorang konsultan engineer ataukah cita cita saya hanya mimpi saja?”

    dan saya juga ingin tau pak kenapa banyak proyek di indonesia kok perencananya dari insinyur luar negri ? apakah kita ngak ada kemampuan untuk itu?

    sekian dulu pak Wir
    thanx

    Suka

  7. wir Avatar
    wir

    tapi kenapa lebih memilih sebagai dosen dan bukan sebagai konsultan engineer

    Ha, ha, ha jika saya hanya bekerja sebagai konsultan engineer, maka anda tidak akan mengenal saya. Pastilah itu. Daripada untuk nulis seperti ini, khan lebih baik dipakai mroyek. Dapat duit, buat senang-senang sendiri.

    Dengan menjadi dosen, maka saya bisa senang-senang sendiri tanpa perlu duit banyak, yaitu dengan “menulis”, bisa berupa buku atau blog seperti ini. Itu artinya khan bisa membuat pintar orang lain.

    Mungkin itulah Tuhan memilih saya menjadi dosen. Bahkan sebelumnya kalau hanya berkecipung di konsultan pasti saya nggak bisa mempengaruhi orang lain sebanyak jika saya seperti ini (jadi dosen).

    Jadi intinya, menjadi dosen seperti sekarang ini bukanlah kemunduran bagi saya, tetapi sebaliknya. Khan sayang juga khan, jika yang jadi dosen nanti semua belum pernah mempunyai pengalaman di lapangan sesungguhnya.

    Suka

  8. roi Avatar

    saya pengangguran terselubung yang punya titel ST dari teknik sipil….
    meskipun nggak menggunakan ilmu saya dari teknik sipil untuk mencari nafkah, saya sama sekali nggak menyesali pilihan untuk kuliah di teknik sipil…
    banyak hal yang bisa dieskplorasi dari sudut pandang teknik sipil

    Suka

  9. andri Avatar
    andri

    Salam Pak Wir,

    betul kalo kerja sebagai insinyur sipil itu biasanya gaji ndak seberapa (tapi cukup kok buat hidup :)), jam kerja panjang dan yang paling susah kalo mesti jauh dari rumah….tp sy mencintai pekerjaan sy sebagai insinyur sipil walau mesti kepanasan, baju lecek karena keringet dan debu….

    Suka

  10. Nowo Avatar
    Nowo

    Salam pak wir,

    Emang saya rasakan juga seperti itu ketika bekerja di EPC kontraktor dibidang industri dan migas, dimana engineer teknik sipil itu paling ribet , karena dimana kita harus memutuskan design dengan data-data yg minim dengan alasan schedule. Jadi perlu adjustment engineering, belum interface dengan bidang lain.

    Tapi untuk 3 tahun terakhir ini saya rasakan bahwa pekerjaan engineeringnya ini lagi booming-boomingnya, dimana banyak perusahaan EPC mencari banyak engineer. Pa lagi untuk di Indonesia sekarang banyak engineer yg eksodus ke luar negeri.
    Itu tercermin dari keluhan banyak perusahaan EPC yg engineernya pada keluar .

    Otomatis rate engineer untuk saat ini udah bagus, alias diatas rata-rata…

    Tapi cuman di Indonesia ini nggak ada regulasi yg jelas atau standarisasi yg jelas, dimana masih banyak perbedaan antara High rise building dengan Industri or migas, untuk Manhour ratenya…..

    Kadang saya berpikir, apakah sudah terlalu banyak jurusan teknik sipil di Indonesia sehingga secara supply and demand udah jenuh….sehingga rata-rata rate untuk cvil engineer masih dibawah rate dari lulusan mesin , elektro, teknik kimia , teknik fiska…walau masuk dalam perusahaan yg sama.

    Karena perusahaan berpikir cari orang teknik sipil relatif lebih mudah dibanding yg lain…..

    Suka

  11. indra1082 Avatar

    Good Info pak…..

    Suka

  12. rhomiezf Avatar
    rhomiezf

    hoho.. tulisan yg keren om..
    btw, aq mhsswa t.sipil loh om, he.he. . .

    klo boleh tw, kualifikasi akdmik bpk apa sih? boleh dong konsultasi. . 😉

    Suka

  13. dianti Avatar
    dianti

    Pak wir,
    saya siswi smk telkom jurusan TI kelas 10.
    Tadi tiba-tiba saya terinspirasi dengan teknik sipil setelah membaca koran, lalu iseng saja saya lantas mencari maksud teknik sipil sesungguhnya melalui google. Lalu saya membaca blog bpk ini.
    Jujur saya masih belum mengerti teknik sipil itu. Tapi dari penjelasan bapak, saya semakin merasa tertantang untuk masuk ke teknik sipil.
    Akantetapi apakah benar teknik sipil itu memiliki sisi negatif yang seperti itu?
    Karena saya jurusan TI sejak awal saya sudah diperkenalkan dengan autocad,visual basic,borland C,dll.
    Saya sekarang mulai memikirkan tentang jurusan apakah yang akan saya pilih di masa yang akan datang(di universitas).
    Cukup ini aja
    Terimakasih.
    ^_~

    Suka

  14. bingung memilih karir « The works of Wiryanto Dewobroto Avatar

    […] Wah, wah, wah, ini kelihatannya saudara Sarsiliani belum tahu, apa itu teknik sipil. Coba baca deh artikelku tentang jurusan teknik sipil di sini. […]

    Suka

  15. kamil Avatar
    kamil

    Sebelumnya, sy tulis kata terimakasih untuk Pak Wir, karena tulisan Bpk banyak menginspirasi sy.

    Sy ingin bertanya, kira2 apa solusi Bpk dengan banyaknya “universitas abal-abal” yang membuka jurusan teknik sipil ? Ada dosen saya dulu pernah bilang, upah seorang civil engineer zaman sekarang kecil, berbeda dengan zaman dulu ketika era Soeharto, beliau bilang hal itu karena menjamurnya “perusahaan pendidikan” yg buka jurusan t.sipil.

    Suka

  16. Azwar Avatar

    Saya setuju Pak. Kalau melihat perkembangan negeri kita, khususnya di bidang konstruksi, saya jadi bangga. Adanya infrastruktur-infrastruktur berkelas di Indonesia, seperti gedung-gedung jangkung, mall-mall megah, jembatan-jembatan super panjang, dsb. memang membuat saya bangga menjadi warga Indonesia. Namun, memikirkan/mengingat bahwa kebanyakan dari infrastruktur tersebut adalah hasil pemikiran orang luar, membuat kebanggaan tersebut berkurang. Adalah mutlak bahwa untuk membuat negara menjadi maju, peranan insinyur sipil sangatlah besar. Sampai kapan kita mau mengandalkan dan bergantung pada orang luar? Bukankah menjadi bangsa yang mandiri, terutama di bidang pembangunan, adalah suatu kebanggaan dan kepuasan yang teramat besar?

    Suka

  17. Fellina Light Avatar

    selamat sore,pak.
    saya baru msuk sma dan baru akan menentukan jurusan.
    saya juga baru berminat dengan teknik sipil
    apa saja syarat untuk masuk jurusan tersebut pak?
    apakah ada ketentuan tinggi badan? tinggi saya hanya 145
    terima kasih,

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Tidak ada syarat fisik secara khusus. Maklum, jika lulus nanti ada dua pilihan kerja, yaitu di lapangan atau di office. Tentu saja yang di lapangan jika mempunyai modal fisik yang kuat akan sangat membantu. Jika mengarah yang ke office, maka kekuatan otak lebih banyak diharapkan, untuk itu perlu banyak belajar matematik-fisika dan yang tidak boleh ketinggalan adalah penguasaan bahasa.

      Dari itu semua, untuk perkuliahannya, agar lulus sarjana maka materi yang dipelajar lebih banyak pada hitung-berhitung daripada hafalan. Tepatnya logika berpikir harus kuat. Itu dulu dik. O ya, yang paling penting adalah menyukai bidangnya.

      Suka

  18. seli Avatar
    seli

    masih belum paham mengenai teknik sipil:( tapi terima kasih infonya pak 🙂

    Suka

  19. bernadita Avatar
    bernadita

    Pak dosen saya seorang sarjana teknik sipil. saya bangga jd sarjana ini mencari kerja gampang sekali setiap melamar pasti diterima. Indonesia sangat kurang sarjana di bidang ini padahal pembangunan setiap meter sedang gencar gencarnya. saya sudah ditawar oleh 5 perushaan kontraktor untuk dipinjam ijzah keahlianya untuk izin daftar di asosiasi sprt gapensi sprti itu.saat ini msh sdkt lulusan ini pdhl lapangan pekerjaan terbuka lebar. hal yg bapak sebutkan bukan saja di kontraktor pemilik modalnya yg bkn dr teknik sipil ttpi dari bdang lain pun saat ini trendya sprti itu. sprti aptik, blm tntu jg aptkr pemiliknya.nmun mmng hrus ad tenaga ahli untuk Izin dan proses bisnisny.tp pemilik modalnya ada yg bukan aptkr itu sndri. insinyur pun skr sudah byk yg mempunyai aptik, rumah skit, Hotel bahkan menjadi developer kota mandiri =) Jangan ragu untuk masuk jurusan ini. banyak orang sukses di negeri ini dengan ilmu teknik sipil. presiden kita pun Bpk Ir Soekarno lulusan teknik sipil.

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com