Judul di atas saya comot dari harian Kompas yang terbit pagi ini. Sebagai seorang yang bekerja (hidup) di bidang pendidikan, yaitu sebagai dosen di perguruan tinggi swasta, maka sedikit banyak judul tersebut menimbulkan kesan khusus, sekaligus juga menumbuhkan pertanyaan, “apakah saya dalam hal ini termasuk sebagai salah satu pencipta para penganggur tersebut“. Jumlah 4.5 juta jelas banyak sekali. Memang sih, itu tidak hanya terdiri dari alumni universitas (sarjana) tetapi juga alumni SMA, SMK, atau program diploma.

Perasaan ingin tahu tentang kondisi di atas, memang tidak secara langsung berkaitan dengan kompetensi pribadi. Tetapi jika ternyata terbukti bahwa mahasiswa-mahasiswa hasil didikannya ternyata “tidak laku” atau jadi “pengangguran”, maka jelas timbullah pertanyaan di hati. Apakah saya ini telah berhasil jadi pendidik. Meskipun, ada upaya keras mencoba meningkatkan kompetensi diri, tetapi baik atau tidaknya guru, tidak bisa dinilai dari hanya gelar, atau pengalamannya saja, tetapi yang penting adalah bagaimana buahnya. Bagaimana muridnya, mengakui secara tulus, bahwa apa yang telah dipelajarinya dahulu bersama dengan gurunya ternyata bermanfaat di kemudian hari. Ya, dikemudian hari, bukan hanya sekedar untuk lulus ujian. Pemahaman seperti ini penting aku lakukan, meskipun pada dasarnya aku prihatin jika nilai yang aku berikan pada mahasiswa-mahasiswaku adalah jelek-jelek. Tetapi karena aku berpandangan, bahwa jika nilai yang aku berikan jelek, itu bukan berarti suatu judgement bahwa yang bersangkutan bodoh. Tetapi untuk menunjukkan bahwa strategi belajar terhadap target yang diharapkan adalah belum tepat / kena. Jadi mahasiswa yang bersangkutan perlu meningkatkan atau merubah strategi yang dilakukan, atau intinya perlu belajar lebih keras lagi. Akhirnya jika yang bersangkutan merasa bisa sekaligus memenuhi kriteria nilai yang aku berikan maka diharapkan mahasiswa tersebut punya bekal untuk mengembangkan diri pada bidang yang aku berikan tersebut.

Pernyataan di atas tentu sangat bersifat personal, tidak bisa menjadi suatu pernyataan umum. Kenapa ? Karena masih abstrak, dan tentu saja sulit mengukurnya apalagi jika diperlukan data kualitatif. Tetapi bagi saya. Itu jelas, karena beberapa fakta yang mendukungnya, misalnya : apakah ada yang menduga jika salah satu murid saya yang telah mengulang mata kuliah analisa struktur yang saya ajarkan, sampai tiga kali, bayangkan tiga kali, ternyata setelah lulusnya dapat bekerja di konsultan rekayasa asing di negeri seberang. Gajinya aja mungkin lebih besar dari gurunya. 🙂

Siang kemarin, baru saja ketamuan salah satu alumni jurusan teknik sipil UPH, yang lulus sekitar dua tahun lalu. Baru saja pulang dari Workshop HAKI, mampir ke kampus. Panjang lebar berbicara tentang bidang yang digelutinya. O ya, saat ini dia bekerja di kantor engineering PMA, sisi gaji tidak malu-maluin. Saya minta pendapatnya tentang bagaimana kesan dia setelah bekerja. Ternyata positip, intinya ingin menyatakan bahwa lulusan sini (Sipil UPH) nggak minder dengan lulusan perguruan tinggi lain, bahkan menyatakan berani di adu.

He, he, he, terlalu pe-de ini anak, ngapain harus di adu, kayak ayam aduan, pikirku. Tetapi dari satu sisi yang lain, aku juga bangga, karena saya yakin jika seseorang mempunyai kepercayaan diri yang kuat maka jelas karirnya akan terbuka lebar. Karena bagi saya, rasanya ini pernah saya ungkapkan pada threat saya yang lain bahwa dalam mendidik ini yang penting adalah menumbuhkan kepercayaan diri yang kuat bahwa yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk menaklukkan ilmu yang akan menjadi kompetensinya. Jadi pada saat lulus, belum tentu dia menguasai semua ilmu yang diperlukan, tetapi yang bersangkutan dapat menyesuaikan diri dengan cepat dengan kompetensi yang diperlukan. Ini tentu beda dengan pendidikan diploma yang berorientasi pada ketrampilan, adapun pendidikan pada tingkat universitas adalah pada kesiapan dalam berolah pikir. Gitu khan.

Selanjutnya, aku menanyakan teman-teman seangkatannya saat ini. Dianya cerita, empat orang meneruskan S2 di Taiwan, ambil bidang Construction Management dan Geotechnic, tiga udah lulus, satu kerja di negeri seberang, yang satunya balik kampung (mungkin karena putri). Selanjutnya alumni UPH ini juga bercerita, temannya yang lain ada juga yang di sumatera, bidang jalan dan infrastruktur.

Masih adakah temanmu yang menganggur ?” Tanyaku akhirnya.

Tidak pak, semua telah bekerja. Bahkan si A yang di Sumatera tersebut sudah saya ajak balik ke Jakarta, ke tempat saya (kantor konsultan PMA) ternyata belum mau. Katanya enak pak disana.“, demikian jawaban mantap alumni UPH tadi.

Wah syukurlah“, kataku senang. Senang tidak hanya bangga pada bekas anak didikku yang telah mandiri tersebut, tetapi juga merasa lega bahwa ternyata institusi tempat aku bekerja ini mampu mengantar seseorang biasa menjadi engineer dan laku. Hal itu penting, karena itu juga akan mempengaruhi intake masukan pada jurusan tempatku bekerja.

Apakah intake, jumlah mahasiswa ada pengaruhnya ?

Ya jelas, kalau nggak ada mahasiswa maka tentu tidak ada penyelenggaraan pendidikan, jika demikian maka bisa-bisa institusi pendidikan tersebut tutup. Ini SERIUS ! Dari hasil silaturahmi teman-teman dari institusi pendidikan lain, yang kebetulan mengikuti juga seminar HAKI, dapat diketahui bahwa sudah menjadi fakta atau mungkin juga rahasia umum bahwa peminat masuk di jurusan teknik sipil saat ini banyak berkurang. Ini banyak dirasakan oleh perguruan tinggi swasta. Kalau yang negeri, kelihatannya tidak ada masalah. Tetapi yang bekerja di institusi pendidikan swasta, itu bisa menjadi masalah besar. Nggak ada mahasiswa, maka institusi bisa TUTUP. Jika tutup maka jelas gurunya di tendang keluar. Ya seperti PHK begitulah. Bahkan dari omongan lesan, sudah ada perguruan tinggi swasta di Jakarta ini yang usianya lebih tua dari institusi tempatku bekerja telah menyatakan diri ditutup, yaitu tidak menerima mahasiswa lagi. Alasannya katanya muridnya dibawah kondisi yang menyebabkan beban. Begitu katanya.

Bayangkan gitu. Jadi kata kunci “pengangguran”, atau “alumni menganggur”, atau “tidak ada mahasiswa” itu adalah sesuatu yang saling berkaitan. Bayangkan saya, jika ada orang awam tahu, bahwa lulusan universitas A sekarang ini banyak yang menganggur , maka orang tua mana yang mau menyekolahkan anaknya di universitas tersebut. 😦

Itulah mengapa, jika sampai ada sejumlah alumni jurusan teknik sipil UPH pada “4.5 juta pengangguran terdidik” tersebut maka jelas itu merupakan peringatan keras yang beresiko terhadap masa depan kehidupan kami sebagai dosen ini.

Adanya pertemuan kemarin dengan salah satu alumni UPH yang lulus dua tahun yang lalu, dan juga testimoni yang disampaikannya, maka sampai saat ini kepercayaan diri untuk tetap hidup terus sebagai guru masih dapat diteguhkan. Bagaimanapun juga, itu semua hanya karena Tuhan mengijinkan. Terima kasih ya Tuhan. Amin.

Note : ada yang lupa. Itu kemarin di seminar HAKI, ketemu alumni UPH yang belum lama ujian sidang skripsi (belum wisuda bahkan). Eh ternyata sudah ada di meja panitia penerimaan peserta seminar, bantu-bantu katanya. Maklum sudah diterima di kantor konsultan engineering-nya pak Davy, yang ketua HAKI itu sih.
Sukses ya, bikin bangga almamatermu selalu.
God Bless You. 

Artikel-artikel lain tentang alumni atau murid-muridku maupun kegiatan akademik di Jurusan Teknik Sipil UPH, tempatku bekerja :

12 tanggapan untuk “pengangguran terdidik 4.5 juta”

  1. F4T80Y5 Avatar
    F4T80Y5

    pengalaman saya saat wawancara penerimaan karyawan…

    banyak sekali lulusan S1 yang pola pikirnya sangat kerdil bahkan kalah dengan beberapa lulusan SMA yang kreatif dalam mengisi waktu luang…. jadi mereka kuliah sekedar niat lulus dan dapat gelar S1…..

    sedih memang tetapi begitulah kenyataannya…. terutama lulusan dari lembaga swasta pendidikan yang ecek2…. 😦 kadang terfikir mendingan mereka gak usah melanjutkan pendidikan S1 dari pada buang2 uang dan waktu…..

    Wir’s responds: wah kriteria ecek-ecek itu yang gimana ya.

    Suka

  2. SANTANU Avatar
    SANTANU

    Wah, P Wir, belum lama ini saya jalan2 ke Sumatera lihat Proyek yang akan dikerjakan.

    Terus terang saya baru percaya sebenarnya negri kita sangat kaya (yang dibilang kemiskinan dimana2, seharusnya tidak terjadi), tapi pengelolaannya yang tidak optimal atau tidak bersesuaian dengan kebutuhan masyarakat, sehingga mubazir.

    Kalau saya pikir2, kenapa yang muda2 tidak turun gunung atau ke daerah2 ya, senangnya di kota besar. Yah memang di daerah minim hiburan tapi proyeknya banyak lho terutama di prov yang kaya.

    Trims

    Wir’s respond: jadi logis juga ya pak Santanu, keputusan alumni saya yang di Sumatra tersebut (Riau). Ada dua lho. Dengan demikian, apa yang diharapkan Bapak telah direalisasikan oleh alumni kami (Jurusan Teknik Sipil UPH). Meskipun dari segi kuantitas masih sedikit , tapi yakin suatu saat nanti pasti akan memberi pengaruh yang nyata.

    Suka

  3. rezco Avatar

    jadi, kesalahan pendidik atau sistem pendidikannya, pak!

    Suka

  4. adit Avatar

    waduh …… kalo gaji di negeri sebrang jangan dibandingkan dengan gaji di negeri ini

    karena walau bagaimanapun juga cost living negeri seberang lebih tinggi dari indonesia

    Suka

  5. caktopan Avatar

    p’ wir,
    wajar sih sebagai seorang pendidik, p’ wir bertanya2 apakah p’ wir sudah memberikan yang terbaik ato belum. Percaya deh, p’ wir sudah memberikan yang terbaik. Saya memang bukan murid p’ wir. Tapi, ada beberapa teman kuliah yang terbantu dengan ebook yang p’ wir bagikan.

    Mengenai yang masih nganggur, yah…rejeki orang beda2 lah pak. Ada yang nganggur karena lagi coba2 jadi entrepreneur. Ada yang suenengnya nyari kerjaan. Masih seneng jadi pegawai ato karyawan. Tipe terakhir ini jumlahnya lebih besar dari yang pertama.

    Makanya seperti bapak bilang diatas, ada mahasiswanya yang rada ‘kurang’ sampe ngulang 3 kali, tapi akhirnya diterima di konsultan asing. Rejekinya bukan jadi mahasiswa pinter, tapi jadi engineer pinter.
    hehehe…

    Sekian…

    Wir’s responds: bener juga ya. 🙂
    trims atas pencerahannya.

    Suka

  6. Jiwa Musik Avatar

    syukurlah…… meski tak merasa termasuk “terdidik” tp tak termasuk pengangguran juga siih

    Suka

  7. Jiwa Musik Avatar

    “ada mahasiswanya yang rada ‘kurang’ sampe ngulang 3 kali”

    wadow!…… kalo 3 kali aja ‘kurang’ gw pernah sampe 5 kali mo dibilang apa lagi ya?? 😆

    Suka

  8. Jiwa Musik Avatar

    wow!…. baru pertama kali masuk sini nemu alumni ling Teladan 83. IPS ato IPA pak? ha ha ha… Trims ya Pak

    sy ingetnya Yudi (co ganteng, mantan ketua OSIS), Ari Kacer alias kacang (= kakean cangkem ), duh… siapa lagi…. duh sapa lagi ya…….

    Hormaaat…………. grak!!

    Suka

  9. duniakucampuraduk Avatar
    duniakucampuraduk

    wa..mau kemana y lulusan negeri kita…?
    kalau pada kerja diluar negeri semua yang diindonesia siapa dunk…?
    waduh…aq lulus mau kemana y..? mybe pilihan bekerja untuk asink boleh juga tuh
    salam kenal

    regard,
    duniakucampuraduk

    Suka

  10. Nowo Avatar
    Nowo

    Sebenarnya jurusan sipil mulai berkurang peminatnya itu juga berlaku di Universitas negeri juga,dimulai ketika krisis 98.

    Mungkin dari segi penerimaannya masih sama tapi dari segi peminatnya maupun quality orangnya yg jauh berkurang dibanding era booming civil angkatan 80 an dan era booimngnya perekonomian Indonesia thn 94-96.

    Dan untuk universitas swasta terlihat sekali penurunan peminatnya…itu hal yg logis ..karena orang masuk jurusan yg nantinya gampang kerja.

    Tapi di tahun-2 terakhir ini ( 2 tahun terakhir ini )…sebenarnya dunia engineering sudah mengalami booming lagi…dimana banyak projek power plant, mining & infrastructure, oil & gas, belum yang bikin apartemen-apartemen or rumah susun…..

    Disamping itu , adanya defisit engineer di Indonesia ini, karena banyaknya orang yg eksodus ke luar negeri contoh ke Malay, Brunei, Singapore, or Middle east.

    Jadi sebenarnya masih banyak celah untuk lulusan teknik sipil.

    Wir’s responds: betul sekali, sekalin itu berita tentang banyaknya lowongan, menurut alumni saya tempo hari diperoleh melalui “mulut ke mulut”. Jadi kalau yang sampai ke koran, itu mah kalau masih kurang. Dapat bocoran, kantor PMA-nya merencanakan mengembangkan lagi secara keseluruhan jadi 1000 engineer, lalu ada yang lokal sampai 300-an. Wah mulai ramai lagi. Juga tahun ajaran baru ini, murid-murid yang masuk jurusan teknik sipil UPH relatif lumayan, tidak kurang dari tahun kemarin. Moga-moga benar ya, era engineer akan kembali lagi.

    Suka

  11. andre Avatar

    pengangguran terdidik. oho melimpah pekerjaan di negeri ini, masih banyak pengangguran, kemiskinan, kehancuran lingkungan, ketimpangan, penjajahan ekonomi dll, dalam arti ini banyak pekerjaan menunggu kalangan muda terdidik……

    banyak pekerjaan, memang dalam arti tugas pengabdian yang menanti

    Suka

  12. mr.rius Avatar
    mr.rius

    pada ngobrol apa sih? pendidikan kita saja dianggap rendah banget sama bangsa asing. sekali-kali belajar dong sama yang lebih senior.

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com