Siapa sih yang tidak tahu arsitek ? Saya yakin, orang awam akan lebih banyak tahu tentang arsitek daripada apa yang disebut sebagai structural engineer. Benar khan.

Arsitek selalu dikonotasikan sebagai perencana bangunan gedung. Jadi kalau ada gedung megah, atau gedung tinggi, maka yang menjadi pertanyaan pertama masyarakat awam adalah “siapa sih arsiteknya“. Contoh sederhana, Wisma Dharmala di jalan Sudirman Jakarta, orang awam mungkin masih ingat bahwa arsiteknya adalah Paul Rudolph, dia yang membuat gagasan gedung tinggi berkarakter ‘lokal’ tersebut. Tetapi adakah yang tahu, siapa perencana strukturnya (structural engineer-nya). Nggak banyak yang tahu bukan.

Untuk itu bolehlah saya beritahu, structural engineer-nya adalah engineer-enginer dari PT. Wiratman & Associates, Jakarta. Saya ingat bahwa salah satu penyelesaian permasalahan design dengan prestressed di gedung tersebut dijadikan thesis oleh bapak Steffie Tumilar untuk memperoleh gelar M.Eng dibawah bimbingan Prof. Lee Seng Lip , dari NUS, Singapore. Pasti orang kebanyakan, nggak banyak tahu tentang hal tersebut, kecuali yang punya sejarah dekat dengan PT W&A atau dengan bapak Steffie sendiri.

Jika ternyata ada engineer-enginer yang juga bekerja dalam suatu perencanaan gedung, maka apa tugas para arsitek di sana ? 

Perencanaan bangunan gedung, apalagi high-rise, merupakan suatu perencanaan yang kompleks karena menyangkut investasi dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu semua aspek sebaiknya perlu ditinjau atau diperhitungkan dengan baik. Aspek keamanan gedung tersebut terhadap bahaya gempa, merupakan suatu hal yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Profesional yang menangani hal tersebut adalah structural engineer, aspek kelistrikan, termasuk kesiapan lift untuk mengangkut penghuni untuk berpindah dari satu lantai ke lantai yang lain, juga lampu penerangan maka akan ditangani oleh mechanical & electrical engineer. Selanjutnya aspek yang berkaitan dengan interaksi dengan manusia, seperti fungsi ruang, kesan keindahan, kemegahan atau apa-apa yang menjadi keinginan pemilik atau pemakai gedung itu nantinya adalah menjadi tanggung jawab arsitek. O ya, untuk aspek ruang dalam, jika diperlukan maka dapat juga mengajak orang-orang interior design untuk menanganinya, misalnya ruang hotel dsb-nya.

Jadi karena arsitek dianggap orang yang memahami paling banyak keinginan pemilik bangunan maka dialah yang diangkat sebagai koordinator perencanaan, sehingga diharapkan bahwa semua team yang terlibat dapat menerjemahkan dengan tepat apa yang menjadi kemauan pemilik untuk membangun gedung tersebut. Tugas arsitek jugalah yang memastikan bahwa apa yang menjadi kemauan pemilik bangunan tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Selanjutnya arsiteklah yang menerjemahkan item-item pekerjaan untuk dibagikan kepada team perencana lain. Tentunya semuanya itu dalam koridor budget yang telah ditetapkan oleh owner. Tugas arsiteklah yang menentukan, mana yang dapat dikurangi untuk menyesuaikan dengan budget, atau juga menyakinkan owner bahwa budget perlu ditambahkan.

Itulah pekerjaan utama arsitek.  Selanjutnya lalu apa yang perlu dipelajari untuk menjadi arsitek itu.

He, he menginterprestasikan mata kuliah atau keahlian apa yang diperlukan untuk menjadi arsitek memang menarik. Kadang-kadang antara satu perguruan dengan yang lainnya bisa berbeda. Ada yang berpendapat bahwa yang penting adalah strategi menerjemahkan kemauan client dari abstrak ke real, itu yang paling penting. Oleh karena itu kemampuan mengungkapkannya dalam bentuk gambar (skecth) atau juga maket adalah sangat penting. Rasanya semua jurusan pasti mengamini tentang hal tersebut. Tetapi tentang perlunya pemahaman perilaku struktur, yang berupa gaya-gaya yang bekerja atau deformasi yang terjadi, masih banyak yang tidak sependapat. Memang sih, itu berkaitan dengan analisa struktur, yang bagi orang yang berlatar belakang eksakpun kadang-kadang masih sulit, apalagi para calon arsitek yang menerima baik eksak maupun non-eksak untuk mahasiswa-mahasiswanya. Jadi ada juga jurusan arsitek yang benar-benar tidak mengajarkan tentang analisa struktur. Kalaupun ada, itupun hanya memberi gambaran sepintas saja.

Dengan latar belakang pemahaman seperti itu, maka terus terang saya agak terkesima dengan komentar tertulis yang masuk pada blog ini, yaitu dari sdr. Zulviqa, perhatikan :

Saya Zulviqa, mahasiswa Arsitektur Brawijaya Malang. Sekarang saya sedang menempuh skripsi dengan judul “Pondasi rakit sebagai Alternatif elemen struktur pada rumah tinggal sederhana (Perumahan Type 36 m2)”.

Saya minta pendapat, penjelasan dan gambaran awal Pak Wir.

Menurut saya, pondasi rakit ini layak digunakan pada rumah tinggal, namun kenyataan di lapangan jarang kita temui (bahkan sangat jarang). Saya pernah temukan pada sebuah rumah di komplek perumahan sederhana, tapi entah kenapa saya langsung berpikir bahwa penggunaan pondasi ini disebabkan oleh “permainan” pengembang.

Jika yang menanya itu seorang civil engineer, atau mahasiswanya, maka jelas apa yang ada dipikiran langsung bisa dituliskan, wong sealiran gitu. Maksudnya latar belakang disiplin ilmunya sama. Tapi ini yang tanya seorang calon arsitek, saya khan nggak tahu, apa yang mereka pelajari tentang aliran gaya-gaya suatu struktur sampai pondasinya. Apakah mereka tahu tentang cara-cara Analisa Struktur, dsb-nya. 

Jika mengacu pada pendapat saya di atas, bahwa arsitek berfokus bagaimana menerjemahkan keinginan owner, maka sistem pondasi yang bangunannya setelah jadi tidak kelihatan, tentu tidak menjadi fokus utama sang arsitek. Biarlah itu menjadi tanggung jawab dari structural engineer bersama-sama dengan geotechnical engineering untuk menanganinya.

Jadi, kalau topik tersebut (pondasi rakit) akan dijadikan topik penulisan skripsi oleh seorang arsitek, maka hal-hal apa yang menjadi pembahasannya. Apakah itu berkaitan dengan strategi pelaksanaannya, atau strategi perencanaannya, atau apa. Paling banter, itu dikaitkan dengan besarnya biaya yang diperlukan untuk pelaksanannya, karena itu menyangkut kepentingannya dengan owner, yaitu mempertanggung-jawabkan cost yang dikeluarkan untuk bangunan tersebut.

Jika dari kaca mata teknik sipil, pondasi rakit adalah tidak beda dengan sistem pondasi dangkal pada umumnya. Hanya karena bebannya besar, atau karena daya dukung tanah kecil, sehingga permukaan pelat pondasi di bawah kolom-kolom cukup besar sehingga saling overlapping, sehingga lebih baik jika disatukan saja. Karena menyatu, maka distribusi gaya-gaya pada pelat berbeda, itulah masalah yang perlu dipecahkan oleh structural engineer. Adanya program SAFE jelas mempermudah penyelesaian masalah tersebut.

Resiko tanah untuk mengalami deformasi jangka panjang, juga perlu mendapat perhatian untuk perencanaan pondasi rakit.

Karena dikaitkan dengan besarnya gaya-gaya, yaitu perlu luasan bidang pondasi yang lebih luas dibanding pondasi setempat, maka jelaslah bahwa pemakaiannya untuk rumah tinggal atau bangunan-bangunan ringan adalah sangat jarang. Biasanya pondasi setempat sudah mencukupi. Tetapi mungkin juga karena kondisi tanah dibawahnya yang jelek banget, jika itu terjadi, maka penggunaan mini-pile mungkin jelas lebih gampang dan lebih menyakinkan karena mempunyai kinerja yang lebih baik terhadap differential settlement. Bagaimanapun mini-pile dapat dimasukkan sebagai pondasi dalam, yang jelas performasinya lebih baik dibanding pondasi dangkal.

Pak Wir, anda ngomong dengan arsitek lho, emangnya “dong” ?

O ya, lupa. Nggak perlu detail ya. Intinya, untuk memahami penjelasan di atas maka minimal anda juga telah mendapat pemahaman tentang analisa struktur, mekanika tanah yang mempelajari sifat-sifat tanah, mana tanah yang cenderung mengalami settlement atau tidak, juga teknik pondasi yang bercerita tentang pondasi dalam dan pondasi dangkal. O ya, tidak lupa, karena pondasi rakit dibuat memakai beton bertulang, maka tentu saja mata kuliah struktur beton minimal juga tahu. Apakah hal-hal tersebut anda pelajari sewaktu kuliah di jurusan arsitek ?

Jika ternyata ada juga arsitek yang belajar pondasi, maka sebenarnya yang benar arsitek itu belajar apa sih. Apa sampai juga pembahasan pondasi rakit seperti di atas, bahkan untuk skripsi-nya juga. Itu khan overlapping dengan sipil.

Punya pendapat lain?

33 tanggapan untuk “tentang arsitek dan pondasi rakit”

  1. nicholas Avatar
    nicholas

    salam jumpa Pak Wir,
    Membaca tulisan tersebut, saya ingin mengaitkan dengan banyaknya realita “ahli nujum” di dunia konstruksi yang dengan begitu mudahnya meng-gong kan tentang jenis struktur apa yang dipakai ataupun dimensi struktur tersebut bahkan detailnya sekalipun tanpa melakukan analisa design yang matang terlebih dahulu.
    Lalu jika ditanya dari mana asalnya?
    jawaban yang umum-nya terdengar :
    1. Dulu saya pernah bikin (dengan model yang mirip-mirip), jadi tidak perlu dihitung lagi, disamakan saja lah
    2. Dulu saya pernah pasang pondasi di wilayah X ini, jadi karakteristik tanahnya dianggap samalah tidak perlu pengujian tanah lagi.
    3.blablabla

    Saya bukan structure expert, tapi bagi saya hal ini sungguh sangat tidak bisa mengasah logika kestrukturan bagi yang ingin berkembang, dan yang ditakutkan lagi adalah hal ini menjadi suatu doktrin untuk orang-orang di dunia sipil
    khususnya di Indonesia yaitu : MENGGAMPANGKAN….

    Sekian dulu Pak Wir, salam

    Suka

  2. Zulviqa Avatar
    Zulviqa

    Saya sangat berterima kasih atas tanggapan dari Pak Wir….
    sekedar pemberitahuan, pembahasan Skripsi saya mencakup hubungan penggunaan jenis pondasi dengan program ruang dan bentuk bangunan..
    sekali lagi saya ucapkan terima kasih.

    Suka

  3. Y.W Avatar
    Y.W

    Wah wah….. kata kata yang begitu tajam dan menusuk untuk calon arsitek… hehe..
    selamat malam Pak Wir

    Setelah membaca tulisan diatas, saya merasa bahwa pak wir ini sepertinya ada sentimentil gitu sama yang namanya Arsitektur…emangnya kenapa pak?

    Saya juga mahasiswa teknik sipil dan saya juga setuju dengan tulisan bapak diatas.tapi sepertinya kata katanya terlalu tajam bila di baca oleh anak arsitek…hehe

    Hidup teknik sipil….

    Suka

  4. wir Avatar
    wir

    @Y.W
    Lho koq jadi ada yang memprovokasi, sipil vs arsitek. Nggak benar itu ! Ingat, owner umumnya ketemu pertama kali dengan arsitek, lalu baru ke engineer-nya. Jadi berbaik hati dengan arsitek itu banyak untungnya ! 😉

    Maksud tulisan saya di atas mencoba memberi gambaran, bagian mana yang baik atau buruk untuk dipelajari oleh seorang arsitek. Sebagai contoh, arsitek-arsitek Jepang sangat tahu, bentuk-bentuk bangunan yang secara nature sangat baik terhadap bahaya gempa. Jadi tentang gempa, tidak hanya structural engineer, arsiteknya paham. Kenapa ? Mereka juga mempelajari pengetahuan mekanika atau teknik gempa, meskipun tentu saja tidak sedalam engineer. Mereka juga tahu, bahwa bangunan atau gedung dalam mendesainnya tidak sebebas seniman, yang asal kreatif.

    Gitu mas Yusen, tidak baik selalu berpikiran negatif. Juga untuk sdr Zulviqa, saya berharap bisa memahaminya, dan tidak terpengaruh hal-hal yang negatif. Ok.

    Suka

  5. ariebp Avatar

    saya hampir juga berpikiran negatif seperti mas Y.W 😉

    Suka

  6. Panji Utomo Avatar
    Panji Utomo

    Iya. Saya setuju Pak Wir. Arsitektur adalah teknik yang memadukan unsur seni. Bukan seni yang diberi unsur teknik.

    So, desain bangunan yang dibuat oleh arsitek, harus mungkin dibuat pada jamannya. Jangan sampe desainnya terlalu heboh n tp ga mungkin dibuat. Or mnta hal2x yang gak2x, yg dari segi teknis itu ga ekonomis.

    Arsitek itu teknik dengan unsur seni loh. So, mesti ngerti teknik donk. hehehe.

    Setuju ga Pak?

    Suka

  7. Christian Suryono Avatar

    Dear Pak Wir,

    Saya S1 Teknik Sipil ITB, dan Ph.D NUS Singapore (structural engineer). Artikel saya bisa bapak search di google.com.sg.

    Saya hanya tertawa, baca komentar pak Wir. orang sekelas pak Wir…Kenapa masih punya pandangan dikotomi antara Sipil dan Arsitek. Seperti debat antara pelayan bar hotel dan room boy saja. Cuma sesama pelayan.

    Civil untuk advanced- kita gunakan pula multidisiplin seperti nano technology. Demikian pula kalo kita kerja di perush oil and gas- kita harus belajar mechanical design dan electrical design. Meskipun kita structural atau civil apapun.

    Kalau bangun gedung yg terkenal arsitekturnya- ya biarlah, ndak papa, karena itu pekerjaan seni. Kalo pingin dikenang seperti arsiteknya, masuk saja di arsitek jangan di sipil. Kalo sudah di sipil, lakukan tugas kita disipil tanpa harus menjelekkan profesi lain. Kenapa tidak iri sekalian dengan yang punya uang- atau penyumbang (donatur)yang tiba2 namanya dinamai untuk bangunan yg dibuat (dari hasil korupsi lagi,..hahaha).

    Agama kita tidak mengajarkan kita dengan mudah membedakan, ataupun memandang orang lain lebih rendah ataupun dengan cara iri seperti itu.

    Tunjukkan karya kita- bukan untuk mendikotomi. bahkan Bill Gate raja software komputer dunia-pun, bukanlah seorang lulusan IT atau programmer.

    Berjiwa besarlah!

    Christian Suryono Sanjaya
    Departemen Teknik Sipil, NUS, National University of Singapore. Structural engineer.

    Wir’s responds:
    Hati-hati, yang membuat komentar di atas ternyata bukan sdr. Christian Suryono Sanjaya yang asli. Yang asli telah membantahnya. Ini lho.

    Suka

  8. wir Avatar
    wir

    sdr CSS yang terhormat,

    Merupakan kehormatan bagi saya mendapat kunjungan sekaligus komentar seseorang bergelar Ph.D dari NUS. Tetapi sayang, ternyata komentar yang diberikan bernada negatif, bahkan menuduh saya sbb:

    * anti multidisiplin
    * memandang orang lain lebih rendah
    * iri

    Tentang materi tulisan di atas yang cukup kritis, itu memang saya sadari. Bagaimanapun saya melalui tulisan tersebut ingin meminta perhatian khusus, minimal untuk dapat dipikirkan secara kritis menyangkut materi-materi pembelajaran seorang arsitek. Sehingga seorang arsitek, lulusan lokal, mampu menerjemahkan keinginan owner sekaligus memberikan solusi-solusi yang efisien karena menyesuaikan dengan prinsip-prinsip nature. Karena saya berharap seorang arsitek, lulusan lokal (indonesia) tidak hanya mampu membuat ide, tetapi juga dapat mewujudkan secara baik. Harapan tersebut timbul, bukan karena rasa iri atau memandang rendah profesi tersebut, tetapi karena menyadari bahwa arsitek berperan penting sebagai duta atau jembatan antara owner dengan team perencana bangunan tersebut.

    Jadi, tidak ada dalam benak saya, bahwa tulisan di atas isinya adalah seperti yang sdr tuduhkan. Oleh karena itu sebagai seorang Ph.D, tentu anda mampu menjelaskan bagian tulisan saya yang mana sehingga masuk pada kategori tersebut. Selanjutnya, tentu saya akan memberi argumentasi atau klarifikasi mengapa tulisan saya demikian.

    Tentang tulisan saya yang mempertanyakan materi-materi yang perlu dipelajari seorang calon arsitek, itu memang ada dasarnya. Ingat, saya ulang lagi, yang saya masalahkan adalah materi yang dipelajari oleh seorang calon arsitek. Jadi jelas saya tidak ada maksud untuk membuat dikotomi profesi arsitek dan profesi teknik sipil.

    Tentang hal ini, saya bahkan heran, anda yang Ph.D koq sampai tidak menangkap esensi permasalahan yang saya ungkap.

    Tapi saya maklum, fokus komentar anda sebenarnya pada paragraf ke dua yang anda sampaikan. Jelas, memang beda sih kelasnya, yang satu lulusan luar sih. 🙂

    Kembali ke materi bagi calon arsitek. Sampai hari ini saya masih prihatin, karena menjumpai ada calon arsitek yang selama menerima pendidikan di tingkat perguruan tinggi tidak pernah mencoba diberikan materi pelajaran tentang pemahaman perilaku nature alam, khususnya gaya-gaya yang bekerja pada suatu objek. Jadi di satu sisi, ada yang tidak mempedulikan sama sekali, tetapi ternyata di sisi yang lain , seperti yg sdr. Zulviqa sampaikan ternyata ada juga yang mendalami juga, bahkan menurut pendapat saya, “terlalu jauh”.

    Kondisi itulah yang mencuatkan suatu pertanyaan yang saya tuliskan, “apakah hal tersebut cukup proporsional”. Bagaimanapun itu penting, karena yang akan dikerjakan sdr. Zulviga adalah thesis (atau skripsi) yang menurut saya adalah suatu pembahasan yang serius.

    Dengan adanya pertanyaan tajam yang saya sampaikan, maka bagi pembaca yang bijak maka jelas itu sesuatu yang sangat baik untuk dijadikan dasar motivasi penelitian yang akan dilakukan. JIka yang bersangkutan dapat menjawab dengan baik, tentulah itu akan menjadikan penelitian yang dimaksud menjadi berbobot.

    Jadi saya sangat heran dengan sdr CSS, yang menanggapi tanggapan saya dengan sangat negatif. Saya bilang sangat negatif, karena sebenarnya adanya komentar sdr CSS itulah maka dikotomi yang dimaksud dikibarkan.

    Saya juga kurang jelas dengan pernyataannya tentang

    Civil untuk advanced- kita gunakan pula multidisiplin seperti nano technology

    Apa hubungannya dengan tulisan saya ? Seakan-akan sdr CSS menuduh saya anti multidisiplin, atau mungkin bisa juga ingin dikatakan bahwa saya berpikiran sempit, maunya hanya sipil doang yang baik. Itu khan berbahaya. Khususnya karena seakan-akan sdr. CSS melakuan generalisasi bahwa orang sipil sebaiknya juga tahu listrik, dan lain-lain.

    Generalisasi yang disampaikan sdr CSS tersebut, saya tidak setuju. Memang benar ada fakta bahwa mempunyai wawasan luas adalah lebih baik, tetapi itu ada tahapan-tahapannya. Itu bisa dilakukan jika kompetensi ilmu pada bidangnya telah mantap, sehingga adanya interaksi dengan ilmu yang lain akan menghasilkan sinergi. Jika tidak mantap, bisa ngambang jadinya, bahkan bisa larut ke hal-hal yang lain. Orang bilang tidak mempunyai prinsip. 😦

    Suka

  9. SANTANU Avatar
    SANTANU

    Sebetulnya semua bagian memiliki kebesaran masing-masing, tidak lebih kurang, tidak juga berlebihan,tentunya saling melengkapi dan mendukung. Kalau untuk bangunan tentu arsitek lebih dominan ya memang demikian. Untuk Sipil Umum tentunya Sipil lebih dominan, jadi menurut saya, ya sesuai porsinya. Pengalaman saya sih, kalau dalam satu proyek banyak arsiteknya, bisa dipastikan banyak pekerjaan bongkar pasang (maksudnya perubahan desain).

    Trims

    Suka

  10. donaldessen Avatar
    donaldessen

    @ Pak Christian.

    Saya kurang tahu background Pak Christian ?. Saya S1 ITB angkatan 97 pak. Saya sendiri merasakan koq apa yang dialami Pak Wiryanto terutama yang bergerak di dunia highrise building dimana estetika kadang2 dinomorsatukan.

    Sebetulnya bukan masalah pendikotomian tapi kita semua mau proses engineering yang tepat. Mungkin karena pak Christian sekolah tinggi atau lama bekerja di perusahaan asing kelas atas (dimana kebanyakan anak ITB bekerja) jadi semua yang dirasakan ideal dan mudah2 saja tapi kenyataan di lapangan terutama di Jakarta ini sangat beda pak.

    Saya tidak perlu jadi Ph.D atau 20 yrs pengalaman untuk mengetahui “kacau balau”-nya dunia engineering di Indonesia. Pak Wir hanya mengambil contoh antara sipil dan arsitek terutama di highirise building tanpa maksud pendikotomian but that the real facts terutama arsitek2 Indonesia.

    Btw pak Bill Gates itu seorang programmer koq. Makanya ada yang namanya Visual Basic skrg. Tolong donk jangan bikin statement yang tidak berdasar bikin malu ITB aja.

    Suka

  11. parhyang sj. Avatar
    parhyang sj.

    iya pak memang baiknya sdr Zulviqa sdah kirim proposal jadi bisa tau linkup or batasan skripsnya ngapain aja. Bisa jadi pondasi rakit nya itu sudah/bareng dikerjakan oleh skripsi temenya juga yg Geotechnical Eng 🙂 lebih expert khan dibanding Structures, apalagi ngurusin setlement.
    Kalo udah jelas baru pak Wir kemudian bisa kasih advice or diangkat di blog/posting. jadi ngga miss gini keliatannya …

    Suka

  12. Christian Suryono Sanjaya Avatar
    Christian Suryono Sanjaya

    Saya kebetulan membaca halaman ini dan saya terkejut dengan komentar dari seseorang yang nama, dan sejarah pendidikannya sama dengan saya. Saya sudah mencoba search “Christian Suryono” di google.com dan memang benar yang keluar adalah data saya.

    Oleh karena itu, saya dalam kesempatan ini ingin mengkonfirmasikan bahwa bukan saya yang menuliskan komentar tersebut.

    Salam,
    Christian Suryono Sanjaya

    Wir’s responds:
    Salam sejahtera mas Christian. Jika itu memang benar, maka sangat pengecutlah orang yang menulis komentar dengan mengaatas-namakan anda.

    Identitas yang terekam adalah sbb:

    Christian Suryono
    http://www.nus.edu.sg | c.suryono0897@gmail.com | 218.186.9.3

    Semoga yang bersangkutan diberi pencerahan.

    Suka

  13. Christian Suryono Sanjaya Avatar
    Christian Suryono Sanjaya

    Salam sejahtera juga Pak Wir,

    Saya mencoba untuk mengirim ke alamat e-mail yang bersangkutan c.suryono0897@gmail.com dan alhasil alamat tersebut memang tidak ada.

    Salam,
    Christian Suryono Sanjaya

    Wir’s responds:
    Mas Christian, ternyata yang memakai nama anda, orangnya juga dari Singapore. Itu saya check dari Domain Name / IP Address : 218.186.9.3

    Ini hasilnya:

    inetnum: 218.186.0.0 – 218.186.255.255
    netname: SGCABLEVISION-SG
    descr: StarHub Cable Vision Ltd
    descr: Singapore Broadband Access Provider
    country: SG

    Berarti orang Indonesia yang ada di Singapore juga, yang tentunya mengenal anda.

    Suka

  14. donaldessen Avatar
    donaldessen

    Fiuhh jadi jelas sekarang, sempat heran saya koq bisa2nya lulusan ITB membuat postingan komen yang tinggi spt itu.

    Pak Christian (asli) mohon maaf semoga bapak tidak tersinggung dengan balasan saya. Maksud saya baik lho, demi almamater kita juga pak.

    Salam

    Suka

  15. Christian Suryono Sanjaya Avatar
    Christian Suryono Sanjaya

    Terima kasih atas infonya Pak Wir. Ya, saya juga merasa barangkali “beliau” mengenal saya.
    Cuma, saya yang masih ragu adalah “motif”nya. Semoga beliau tidak ada maksud apa2 dalam hal ini.

    Buat Bos Donald, tidak menjadi masalah koq bagi saya :). Toh juga ada kesalahpahamaan di sini, makanya saya segera klarifikasi. Salam juga (Kuya 2000).

    Suka

  16. dikrezz Avatar
    dikrezz

    Ooh . . begitu ya reality di dunia kerja. . .

    Wah, kok saya jadi pesimis untuk menyelesaikan kuliah TS.

    Apa memang benar kalo kita sudah bekerja nanti para arsitek banyak bersikap angkuh dan ‘seringkali’ mengabaikan saran dari kita para engineer. kok dosen saya gak pernah cerita tentang hal itu?

    maaf pak, saya hanya sekedar bertanya.
    di sipil itu pelajarannya udah sulit, dosennya galak, lulusnya susah. nanti kalau kerja kurang ‘dihargai’ pula.
    malang betul nasib ini.

    Suka

  17. VF Zubeir Avatar
    VF Zubeir

    Coba deh nonton Megastructures di National Geographic (sekarang di Indo kan sudah jamannya TV kabel, ga buat nonton HBO thok)

    Saya demen banget nonton Megastructures karena disana ada dokumentasi pembangunan gedung gedung yang, wow!

    Sekarang kasih contoh aja, buat Stadium Sarang Burung di Beijing. Buat desainnya, pemerintah China bikin semacem sayembara. Tentu saja untuk sayembara desain, yang ikut adalah firma-firma Arsitek terkenal seluruh dunia. Akhirnya yang menang, desain sarang burung itu-lah.

    Untuk mewujudkan?

    Structural Engineer yang cari cara, bagaimana desain Arsitek ini bisa jadi kenyataan, tapi juga sekaligus kuat secara struktur. Secara keseluruhan akhirnya mereka justru memodelkan struktur stadium ini dalem satu program yang justru dipake untuk mendesain pesawat terbang (bukan ANSYS, kalo ga salah namanya CATIA, gitu).

    Salah satu guru saya, keliatannya, pernah bilang. Arsitek boleh berusaha bikin desain apapun, seabsurd apapun. Karena eventually, itu bakalan up to the engineers buat jadiin desain mereka jadi kenyataan..

    In conclusion, ya, yang satu ngasi estetika, yang satu ngasih kekuatan, dua-duanya sama-sama mutlak harus kerja bareng.

    Kalo secara ilmu mah, ya desain estetis dan desain struktur …jelas…beda

    Suka

  18. ivan Avatar
    ivan

    Pak, Maaf saya tidak begitu menguasai komputer. Kalau boleh saya tahu bagaimana cara bapak bisa mendapatkan lokasi orang yang sedang memposting komentar ke bapak?

    Atau mungkin ada teman2 yang lain yang bersedia memberi saya informasi mengenai hal ini.

    Sebelumnya saya ucapkan terimakasih atas bantuan dan penjelasannya.

    Suka

  19. wir Avatar
    wir

    @VF Zubeir
    Meskipun argumentasi yang anda sajikan berupa fakta, tetapi kebenarannya tidak bersifat umum.

    Kenapa, karena fakta itu hanya benar untuk case yang semacam itu saja, yaitu bangunan monumental, yang tujuannya memang untuk mendapatkan kesan “wah” atau pujian “wow”. Apapun resikonya, meskipun mahal, nggak peduli. Karena itu menyangkut citra negara (bangsa).

    Jadi, dari motivasinya saja, maka jelas tidak semua arsitek berkesempatan mendapat client seperti itu. Coba kalau itu diterapkan di Indonesia secara umum. Bisa-bisa bangkrut. 😦

    Apalagi kalau yang disebut arsitek itu hanya berpegangan pada estetika atau keindahan saja. Bisa-bisa hanya indah di mata, tetapi tidak nyaman di tempati. Mau anda menempati bangunan seperti itu.

    Jadi dari argumentasi sdr Zubeir jadi ketahuan, mengapa pendidikan arsitek di satu sisi tidak mau memasukkan unsur-unsur seperti fisika teknik, ilmu gaya, dsb. Karena mereka-mereka mempunyai cara pandang yang sama dengan sdr Zubeir, bahwa arsitek itu hanya berkutat dengan hal-hal yang bersifat estetika saja. Jadi pantas-pantas saja, saya sering merasakan bahwa meskipun bangunannya megah, wah, tetapi didalamnya tidak nyaman, panas, gelap, sehingga perlu AC dan lampu khusus yang lebih mahal.

    Kapan ya, ada arsitek yang seperti romo Mangun, bangunan desainnya artistik, tetapi didalamnya sejuk meskipun itu semua alami (tanpa AC khusus). Pantas juga beliau (romo Mangun) mampu menulis buku Fisika Bangunan. Karena meskipun arsitek, belajar juga fisika, dan mestinya belajar juga ilmu gaya-gaya.

    Tentang mengapa calon arsitek di Indo tidak diberikan pelajaran seperti ilmu gaya (meskipun sederhana). Itu karena calon arsitek di indo, sebagaian besar (atau semua) menerima siswa smu IPA dan IPS, jadi kalau diberikan ilmu-ilmu seperti itu maka itu bisa-bisa menjadi momok. Bisa-bisa nggak ada murid. Nanti kalau nggak ada murid, gajinya dosen dari mana lho. Jadi sebenarnya inti masalahnya adalah seperti itu, selanjutnya dicarilah argumentasi yang pas, dan yang membawakannya adalah dosen arsitek yang bidang keilmuannya pada hal-hal yang memang nggak pernah menyentuh bidang ilmu gaya. Alasannya, “saya arsitek, sampai hari ini nggak pernah tuh menyentuh ilmu-ilmu gaya, toh bisa jadi arsitek, bahkan dosen”. Gitu lho. Selanjutnya setelah lulus, masyarakat banyak, dalam hal ini diwakili cara berpikir seperti sdr Zubeir, bahwa arsitek adalah bidang yang berkutat pada artistik saja, sedangkan konsep arsitek seperti romo Mangun udah kuno. Jadinya klop, link-and-match gitu. 😉

    Orang iseng : “So ngapain pak Wir ini koq mempermasalahkan di artikel-artikelnya, sehingga sampai dianggap orang mau bikin dikotomi-dikotomi segala.”

    Suka

  20. erwin4rch Avatar
    erwin4rch

    Salam sejahtera Pak Wir..
    Saya dari tetangga sebelah mampir ke sini…
    Kebetulan background saya arsitek.
    Dari apa yang saya alami mungkin dapat saya sharingkan kepada rekan-rekan..

    Desain, pada awalnya adalah abstrak. Kecenderungan intuitif yang tinggi dipadukan dengan keinginan klien sehingga menghasilkan sebuah konsep awal.

    Konsep awal ini bersifat mentah. Masih seni murni. Katakanlah seperti karya pematung, pelukis atau seniman-seniman lainnya. (Pada tahap ini estetika sangat diutamakan. Tentang kolom, core, lift, shaft dsb benar-benar dikesampingkan). Tujuannya adalah penggalian sedalam-dalamnya untuk ide-ide kreatif.

    Hal-hal di atas kemudian dikombinasikan dengan ilmu teknik bangunan. Struktur, Penghawaan, akustik, pencahayaan. Tidak lupa juga dikombinasikan kembali dengan psikologi ruangan. (Nuansa ruangan, kesan yang ingin ditimbulkan dsb). Faktor budget juga diperhitungkan.

    Kemudian, dimungkinkan kembali lagi pada proses DESAIN. (saling bergantian). proses tersebut akan berjalan bergantian sembari saling mengisi satu dengan lainnya.

    Abstrak – Teknik – Abstrak – Teknik dst..

    atau istilak psikologinya :

    Otak kanan – otak kiri – otak kanan – otak kiri dst…

    Proses tersebut berakhir ketika si arsitek merasa puas bahwa desainnya sudah dapat mengakomodir DESAIN dan TEKNIK secara merata.

    Jadi arsitektur yang benar tidaklah sekedar art saja. Kita tidak dapat mendesain bangunan sebagus mungkin kemudian untuk ‘rangkanya’ kita pasrahkan kepada bidang lain. Jika demikian maka kita sama saja dengan pematung atau pelukis. ‘Yang penting indah. Pelaksanaannya sulit ya bukan urusanku..’

    Hal ini menyebabkan arsitek seperti alm Romo Mangun dapat menciptakan bangunan dengan konten lokal, nyaman untuk dihuni. Perpaduan budaya, fisika bangunan, psikologi ruangan serta faktor-faktor lainnya merupakan bahan-bahan desain yang sangat potensial yang telah digali oleh beliau.

    Kehilangan kepekaan akan salah satu faktor saja dapat berdampak negatif pada bangunan yang di desain.

    Pada kenyataan di lapangan, Teknik Sipil memang merupakan partner sejati Arsitek. Saya sendiri ketika satu tim dengan rekan Teknik Sipil dapat lebih menghasilkan desain yang lebih baik daripada sendirian.. 😀

    Demikian sepatah kata dari saya..
    Maaf bila ada yang kurang berkenan..
    Salam Pak Wir, terus berkarya..

    Suka

  21. wir Avatar
    wir

    @Mas Erwin,
    Penjelasan anda betul.

    Jika berbicara tentang bangunan gedung dan yang berkaitan, saya mengakui bahwa arsitek mempunyai kesempatan pertama untuk didengar. Jadi pada dasarnya dia mempunyai keistimewaan dibanding structural engineer.

    Jadi jika arsitek tersebut mempunyai pemahaman yang baik tentang struktur, maka jelas akan sangat membantu dan membuatnya lebih istimewa.

    Sebagai contoh adalah arsitek/engineer berikut :

    Santiago Calatrava

    He is an internationally recognized and award-winning Spanish architect, sculptor and structural engineer whose principal office is in Zurich, Switzerland. Classed now among the elite designers of the world, he has offices in Zurich, Paris, New York and elsewhere.

    He pursued undergraduate studies at the Architecture School and Arts and Crafts School. Following graduation in 1975, he enrolled in the Swiss Federal Institute of Technology (ETH) in Zürich, Switzerland for graduate work in civil engineering. In 1981, after completing his doctoral thesis, “On the Foldability of Space Frames”, he started his architecture and engineering practice.

    Jörg Schlaich

    Jörg Schlaich studied architecture and building engineering from 1953-55 at Stuttgart University before completing his studies at the Technical University of Berlin until 1959. He spent 1959-60 at the Case Western Reserve University in Cleveland, USA.
    Schlaich was made a partner and was responsible for the Olympic Stadium, Munich. He stayed with the firm until 1969.

    In 1974 he became an academic at Stuttgart University, and in 1980 he founded his own firm, Schlaich Bergermann & Partner.

    In 1993, with the roof of the Gottlieb-Daimler-Stadion (since 2008 Mercedes-Benz-Arena) in Stuttgart, he introduced the “speichenrad” principle to structural engineering. Indeed, this principle was employed the first time in the history of Structural Engineering by the italian engineer Massimo Majowiecki, the designer of the roof of the Olympic Stadium, Rome (built in 1990, three years before the Gottlieb-Daimler-Stadion). Since then, his company successfully employed it to stadium projects across the globe. Other structures include the observation tower at the Killesbergpark in Stuttgart. Most of his work as well of that of his company is documented on their website. He is also the developer of the solar tower (or solar chimney) and is largely credited with inventing the strut and tie model for reinforced concrete.

    Suka

  22. Y.W. Avatar
    Y.W.

    Selamat sore pak Wir,
    sebelumnya saya minta maaf kalo saya sudah berpikiran negatif terhadap tulisan bapak, tapi setelah dijelaskan jadi ngerti dah.

    Soalnya di kampus saya dosen-dosennya juga sering membahas tentang sipil dan arsitek, kemudian saya jadi ikut ikutan kontra sama yang namanya arsitek.

    Sehingga ketika membaca tulisan pak Wir, saya langsung negatif thingking gitu….hehe.

    Sekali lagi saya minta maaf jika tulisan saya ada yang kurang berkenan sama bapak.
    saya masih mahasiswa pak, jadi belum cocok di panggil “mas” . hehe

    Wir’s responds: Syukurlah kamu dapat memahami apa yang saya maksud. Seperti orang tua yang sedang menasehati / mengkritisi / bahkan memarahi anaknya. Tidak berarti itu suatu bentuk emosi kebencian, tetapi karena rasa sayangnya agar anaknya mendapat didikan yang benar untuk masa depannya.

    Suka

  23. ari Avatar
    ari

    saya mahasiswa sedang mempersiapkan tugas akhir,
    jurusan teknik perencanaan-konsentrasi property & real estate development, jadi tambah ilmu dengan adanya blog ini, saya bukan arsitek dan tidak bisa jadi tukang insinyur sipil, tapi nanti saya harus hidup ditengah-tengah mereka.

    perbincangan yang “panas” memang ada baiknya untuk menyemangati, tapi sebenarnya saya melihat tidak ada dikotomi di JT Perencanaan, separoh dosen saya Arsitek, separoh lagi Sipil, dan sebagian rangkap bergelar dua-duanya, dikotomi terjadi jika UUD (ujung-ujungnya duit) pada proyek mereka, tapi di kampus dalam mendidik mahasiswa mereka kompak banget.

    sebenarnya kami pernah membicarakan di kelas, tentang pondasi rakitan, bahkan dinding panel rakitan yang tinggal pasang, kolom-kolom rakit, rangka baja atap murah, genteng beton ringan, kusen dan pintu plastik / fiber, yang semuanya memiliki satu standard mutu yang terpercaya dan tinggal rakit untuk perumahan tipe 45 ke bawah, dengan maksud untuk selalu mendapatkan mutu bangunan yang standar dan berharga terjangkau bagi masyarakat kebanyakan. tapi hal tersebut memang ranah sipil, jadi kami cuma berangan-angan, suatu saat nanti jika mengembangkan perumahan rakyat dapat dikerjakan lebih cepat, lebih murah, lebih bermutu, dan saya gembira jika ada arsitek yang mau merancang komponen/elemen bangunan yang estetis dan murah dan dibuat oleh tukang insinyur sipil yang handal, diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang terpercaya, dan semoga jalur distribusi barang-barang tersebut lancar sehingga biaya angkut dari pabrik ke lokasi proyek menjadi pantas.

    Sdr. Zulviqa tetaplah berkembang….

    Pak Wir, tetaplah semangat….

    salam sejahtera…..

    Wir’s responds:

    saya bukan arsitek dan tidak bisa jadi tukang insinyur sipil

    Lho kalau begitu, posisi kamu di mana ? Apa keunggulannya kalau begitu ?

    He, he, kayak mau jualan produk aja. Tetapi itu penting, mau nerbitin buku aja harus yakin akan keunggulannya. Jika tidak ada. Wah siapa yang mau beli. 🙂

    Suka

  24. zulviqa Avatar
    zulviqa

    Pak Wir….
    saya mo nanya, pondasi rakit ada beberapa jenis. ada yang hanya plat saja, ada juga yang terdiri dari plat dan balok dan seterusnya…
    saya mo tanya tentang pondasi rakit jenis plat dan balok. plat disini fungsinya sebagai media untuk mentransfer beban di atasnya (pondasi) sedangkan balok untuk memperkuat plat agar tidak terjadi deformasi yang berlebihan yang berakibat plat menjadi retak.

    nah, sepanjang literatur yang saya liat balok pondasi bentuknya tidak seperti balok biasanya (persegi) tapi seperti pondasi batu kali terbalik (trapesium; dibagian tengah) sedangkan dibagian ujung sisi satunya lurus satunya lagi miring (segitiga terpancung;terbalik)…mengapa demikian???kenapa bentuknya tidak poersegi, seperti biasanya…mohon penjelasannya,
    terima kasih

    Wir’s responds: yang bagian atas pernyataan anda sudah benar. Prinsipnya seperti itu. Bahkan kalau perlu , karena mungkin perlu balok yang sangat tinggi maka dibuatlah double plate, bagian tengah berongga, pelatnya yang menghubungkan tepi bawah balok dan tepi atas balok.

    Sedang balok yang tidak persegi, saya kurang jelas. Di mana bacanya. Ada plate-nya nggak. Kalau prinsipnya seperti yang kamu jabarkan di atas maka kayaknya nggak ada gunanya lho, lagi pula pelaksanaannya repot.

    Suka

  25. zulviqa Avatar
    zulviqa

    Saya liat d bukunya Bowles (analisis dan perancangan pondasi), lebih jelas gmbarnya di bukunya Heinz Frick (ilmu konstruksi bangunan)…
    mengenai bentuk balok yg tidak persegi, maksud saya jika dibandingkan dengan balok yang pada bagian atasnya (pertemuan dgn plat) dibuat lebih lebar dari bagian bawah bukankah lebih aman??!….

    Suka

  26. zulviqa Avatar
    zulviqa

    Pak Wir…
    bagaimana cara menentukan dimensi pondasi?apa saja yang menjadi pertimbangan?!apakah sama caranya antara pondasi rakit dan pondasi telapak setempat??

    Suka

  27. dina apriyanti Avatar

    pak saya mau nanya…..daerah atau tanah seperti apa yang cocok untuk kontruksi pondasi rakit?
    trima kasih pak….mohon dibalas segera///

    Suka

  28. wir Avatar
    wir

    @Zulviqa
    “balok yang pada bagian atasnya (pertemuan dgn plat) dibuat lebih lebar dari bagian bawah bukankah lebih aman??!”
    Maksudnya ?
    Saya kira itu dapat dengan mudah diketahui jika kita analisis. Ilmunya ada di mata kuliah struktur beton. Kalau nggak mau pusing, ilmu untuk menghitungnya sudah saya bikin program, lihat buku karyaku “Aplikasi Rekayasa Konstruksi dengan Visual Basic 6.0”. Anda tentu bisa menjawab sendiri.

    “dimensi pondasi”
    ditentukan dari [1] besarnya beban yang harus dipikul pondasi; [2] daya dukung tanah dibawah pondasi; [3] resiko kemungkinan terjadinya penurunan akibat jenis tanahnya yang tertentu; [4] teknologi yang tersedia untu membuat pondasi tersebut; [5] jenis struktur yang dipikul oleh pondasi tersebut yang mungkin memerlukan persyaratan khusus.

    @Dina Apriyanti
    Sesuai dengan jawaban untuk sdr. Zulviqa, tetapi agar dapat digunakan pondasi rakit maka [a] daya dukung tanah yang relatif tinggi tidak boleh terlalu dalam, semakin dalam tentu pelaksanaannya semakin susah dan mahal karena sistem pondasi ini memerlukan galian terbuka. [b] tanah dibawah pondasi sebaiknya yang berjenis pasir (sand). Jika clay yang dominan maka pengaruh konsolidasi jangka panjang perlu diperhitungkan. [c] karena kedalaman pondasi menentukan kekuatan pondasi maka bangunan dengan basement lebih diuntungkan dibanding non-basement.

    Suka

  29. LOGIC Avatar
    LOGIC

    geophysicist lah,understand earth n physics better

    Suka

  30. Septian Avatar
    Septian

    Salam kenal semuanya… mohon maaf sebelumnya,mungkin saya tidak pantas ikut berkoment karena saya cm berlatar blkang SMK Bangunan,tapi setelah membaca posting P.wir.. saya ingin menambahkan bahwasanya Arsitek Dan orang T.sipil itu ibarat tangan kanan dan kiri,yang saling membutuhkan satu sama lainya jika tangan kiri terluka maka tangan kanan akan merenspon untuk mengobati..jadi istilahnya saling membutuhkan,begitu juga dengan arsitek dan orang T.sipil yang saling melengkapi satu sama lainya… terima kasih atas kesempatan ini.

    Suka

  31. Muh. Rahmat Avatar
    Muh. Rahmat

    Mr Wir…..
    Arsitektur adalah bidang multi-dispilin, termasuk di dalamnya adalah matematika, sains, seni, teknologi, humaniora, politik, sejarah, filsafat, dan sebagainya. Mengutip Vitruvius, “Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi dengan proses belajar: dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai karya seni”.
    Seorang arsitek harus fasih di dalam bidang musik, astronomi, dsb. Filsafat adalah salah satu yang utama di dalam pendekatan arsitektur. Rasionalisme, empirisisme, fenomenologi strukturalisme, post-strukturalisme, dan dekonstruktivisme adalah beberapa arahan dari filsafat yang mempengaruhi arsitektur.
    “Saya adlah seorang arsitektur dan sy agak merasa heran dengan argumen yg anda paparkan sebagai seorang Civil Engineer”….
    menurut sy tdk benar anda membahas ARSITEKTUR dngan menggunakan disiplin ilmu yg anda geluti….

    Suka

  32. handy Avatar

    salam sukses pak wir
    saya ini mahasisawa S1 TS yang sedang menjalani Kerja praktek.

    di tempat proyek saya pondasinya menggunakan pondasi rakit, yang ingin saya tanyakan, apakah diperlukan pile cap di bawah pondasi rakit karena ad tiang pancang di bawahnnya?
    yang kedua, pondasi rakit yang di cor setinggi 3.2m untuk gd 50 lt. apakah itu cukup worthed?
    trus saya ingin bertanya ttg thermocouple yang di pasang di pondasi< apabila suhunya tidak pas, maka apa yang harus di lakukan di pondasi dengan tinggi 3.2m?
    terus bisa bp jelaskan fungsi dari curing dan lapisannya(plastic cor, styrofoam, terpal)?

    thx

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Pondasi rakit adalah pondasi dangkal, biasa dijumpai jika tanahnya cukup keras dan tidak rawan terhadap konsolidasi yang umumnya dijumpai pada tanah lempung (clay).

      Jika ada tiang pancang maka tentunya itu pondasi dalam. Biasanya jika tiang pancang tersebut dapat mencapai tanah keras, yaitu SPT > 40, dimana tiang sudah tidak dapat dipancang lagi maka ketika digabung antara pelat tebal di atas atau dianggap sebagai pondasi rakit, maka gabungan kedua sistem tersebut tidak akan efektif. Maksudnya, bahwa tiang pondasi dalam akan bekerja lebih dahulu, sedangkan pelat tebal di atas akan bekerja sebagai pile cap, meneruskan beban ke tiang pancang.

      Tetapi jika ternyata tidak ketemu tanah keras, tiang pancang mengambang, hanya mengandalkan friction (bukan bearing capacity) maka gabungan antara pelat tebal dan tiang pancang dapat bekerja sebagai pile-raft. Itu bisa terjadi karena tiang pancang yang bekerja dengan mekanisme friction mengalami deformasi yang relatif besar dibanding yang mengandalkan mekanisme bearing. Jadi ketika terjadi deformasi yang cukup besar tersebut, maka pengaruh tanah di permukaan juga akhirnya bekerja. Besarnya sharing berapa besar yang masuk ke pondasi dalam dan berapa besar yang masuk ke tanah permukaan (pondasi dangkal) tergantung dari besar deformasi yang terjadi.

      Besarnya kapasitas dukung dari sistem raft-foundation umumnya diketahui dari perhitungan teori saja, misalnya dengan program yang mensimulasi elastisitas tiang dan tanah di bawah pondasi tersebut. Relatif sulit. Oleh karena itu pada umumnya, untuk perhitungan desain, yang umumnya cenderung konservatif maka pengaruh tambahan dari tanah permukaan diabaikan, dianggap sebagai faktor aman saja. Jadi intinya, mau pakai pondasi dalam saja (tiang pancang) atau dihitung pakai pondasi dangkal (pondasi rakit). Bukan gabungan dua-duanya.

      Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com