Judul di atas sangat berkesan provokator ! Tapi jangan salah, itu fakta yang terjadi di Padang, di universitas negerinya Andalas. Tidak percaya ? Silahkan up-dated dulu dengan membaca harian kompas berikut.
Pilkada Padang – BEM FH Tolak Debat Kandidat di Kampus
Kamis, 16 Oktober 2008 | 00:18 WIB
Benar bukan !
Mahasiswa-mahasiswa universitas Andalas yang lain, yang diwakili oleh Presiden BEM akan menyelenggarakan debat calon-calon pilkada. Saya kira ini suatu kegiatan yang menarik dan patut dicontoh oleh mahasiswa-mahasiswa di tempat lain. Kenapa ? Jika ditempat lain, kita sering mendengar mahasiswa turun jalan, bahkan cenderung hanya berani mengedepankan fisik dan jumlah maka para mahasiswa di Universitas Andalas mencoba membuat ajang debat. Maksudnya tentu untuk beradu argumentasi, dalam tatanan berpikir. Ini khan cara-cara negeri maju, itu lho contoh Amerika juga begitu.
Tetapi ketika acara yang hebat tersebut berlangsung, ternyata mahasiswa Hukum menolak (ditunjukkan oleh ketua BEM-nya yang memimpin penolakan tersebut), bahkan disebutkan terjadi peristiwa dorong-mendorong. Mengedepankan fisik. Mereka menolak acara tersebut berlangsung khususnya ketika para kandindat menyatakan visi dan misinya.
Terus terang peristiwa tersebut mengelitik pikiran saya. Setahu saya, ketrampilan debat secara khusus diajarkan pada mahasiswa hukum. Ini merupakan bagian kompetensinya nanti di pekerjaannya. Jadi tidak hanya yang suka kegiatan organisasi saja. Jadi mestinya mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan perimbangan pada debat tersebut.
Jika ketrampilan berdebat sudah ada (karena diajarkan) maka tentu yang tidak siap adalah pikiran mereka untuk menanggapi debat tadi. Betul bukan.
Alasan bahwa debat yang diperbolehkan hanya untuk membedah visi dan misi, maka tentunya penjabaran visi dan misi tentunya sah-sah saja. Agar tidak terjadi salah pengertian jika tidak disampaikan. Jika digunakan pasal-pasal yang menyatakan bahwa itu suatu bentuk kampanye rasanya lucu juga. Jika itu disampaikan pada acara debat, kedua belah pihak mestinya boleh juga menyampaikan argumentasi, misalnya yang menyampaikan penjabaran visi misi ditanya balik aja sbb “Pak, visi dan misi bapak koq seperti kampanye iklan kecap nomer satu. Bagaimana kami bisa melihat realisasinya nanti.”
Pertanyaan begitu khan mungkin lebih elegant daripada dorong-mendorong menolak acara tersebut, bahkan berita tersebut tersebar luas ke seluruh negeri. Jadi aneh juga, mahasiswa hukum sebagai orang-orang yang diharapkan nantinya dapat menegakkan hukum dan demokrasi, sehingga negeri kita ini benar-benar demokrasi dan bukan demo crazy. Ternyata memberi contoh kebebasan berpendapat untuk menolak ajang mengeluarkan pendapat itu sendiri. Ironis.
Jika pada level mahasiswa (khusus yang menolak itu) yang diharapkan dapat mengedepankan nilai-nilai intelektual saja ternyata tidak bisa diharapkan, bisanya hanya menyorongkan fisiknya saja (otot dan jumlah, yang diindikasikan dengan adanya peristiwa dorong-mendorong). Gimana itu dengan yang lain ?
Tinggalkan komentar