Ibarat seperti panas setahun dihapus oleh hujan sehari, begitu kalau membaca berita-berita tentang mahasiswa Indonesia yang meninggal loncat bunuh diri di Singapore. Bahkan diberitakan, bahwa sebelum bunuh diri mahasiswa yang bersangkutan berusaha menusuk profesor pembimbingnya sampai terluka parah.
Tahu yang aku maksud khan ? Jika belum, silahkan baca dulu di detikcom berikut.
Sebagai orang yang bergaul dan bekerja dengan mahasiswa, maka tentunya berita seperti itu menjadi pembicaraan ramai dengan sejawatnya. Apalagi jika hal tersebut terjadi pada institusi pendidikan yang terkenal atau terpandang di Singapore, bukan ecek-ecek maksudnya. Juga mahasiswanya, berdasarkan prestasi belajar sebelumnya dapatlah dianggap bahwa yang bersangkutan adalah mahasiswa yang dianggap cerdas, dan terbukti telah berprestasi pada berbagai kejuaraan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Jadi dari sisi institusi maupun mahasiswanya adalah tidak sembarangan. Tetapi, mengapa peristiwa tragis bunuh diri tersebut dapat terjadi ?
Jika demikian adanya maka benarlah bahwa “dalam laut dapat diduga, dalam hati (manusia) siapa tahu“. Sifat manusia tersebut sangat susah diduga.
Jika dilacak lebih lanjut penyebabnya, katanya adalah karena ada isue pemutusan beasiswa. Itu khan relatif lebih ‘kecil’ dibanding keputusan DO (drop-out).
Jika demikian halnya maka penyebab itu semua adalah perasaan takut gagal.
Itu khan ironi sekali, dalam satu sisi mahasiswa tadi takut gagal karena beasiswa diputus, tapi disisi lain bahkan si mahasiswa tersebut tidak takut mati. Buktinya sampai dia mengiris tangannya sendir sebelum meloncat bunuh diri. Aneh khan, ke hal yang kecil (beasiswa berhenti) takut, tetapi ke hal yang besar (kematian) bahkan tidak takut sama sekali.
Karena banyak bukti yang menunjukkan bahwa dia adalah mahasiswa cerdas, maka tentunya sisi intelejensianya cukup kuat. Tetapi karena dia bunuh diri maka itu merupakan suatu bukti bahwa intelejensia (IQ) saja tidak cukup untuk hidup ini.
Kemampuan emosi (EQ) dan kemampuan spritualisme (SQ) juga sangat penting untuk dikembangkan. Dua faktor tersebut termanifestasi pada hal-hal, yang orang menyebutnya sebagai faktor rendah hati, sabar, tabah, ulet, berserah pada Tuhan, dapat mensyukuri dsb. Betul khan ?
<< up-dated 7 Maret 09>>
Perkembangan terbaru soal di atas :
- Rabu, 04/03/2009 21:36 WIB
Beasiswa Diputus karena Prestasi David di Bawah Standar
Ken Yunita – detikNews - Jumat, 06/03/2009 09:06 WIB
Kasus David Harus Jadi Pelajaran Bagi Pendidikan di Indonesia
Rachmadin Ismail – detikNews - Pendidik, Bukan Pemburu
Rhenald Kasali – Kompas, Sabtu, 7 Maret 2009
Tinggalkan komentar