Bencana ! Kecelakaan atau semacamnya, rasanya telah menjadi sesuatu yang biasa, seperti ketika ada pemilihan idol. Bergema sesaat, setelah itu terlupakan lagi oleh masyarakat (yang tidak kena musibah tentunya). Terlupakan, karena ternyata silih berganti.

Bisa melupakan itu merupakan ‘keuntungan’ bagi masyarakat, jadi tidak takut, optimis terus dalam menghadapi kehidupan ini. Tapi dengan melupakan, serta tidak dibahas tuntas kenapa musibah itu dapat terjadi maka sebenarnya masyarakat hanya akan menjadi bagian pasif, maksudnya bisa saja menjadi korban selanjutnya. Selanjutnya siapa, dimana, kapan dan musibah kayak apa lagi yang akan diterima hanya menjadi masalah random.

Apabila dicermati lebih lanjut, ternyata banyak bencana atau musibah itu ternyata berkaitan dengan hasil kerja manusia itu sendiri, dan bukan murni alam.

Seperti halnya masalah yang sering kita temui yang timbul akibat tidak ada rasa hati-hati, atau waspada, atau tepatnya mungkin rasa cuek terhadap hal-hal yang mungkin beresiko menimbulkan bencana tersebut.

Sebagai contoh sederhana, saya saja kaget setengah mati ketika kemarin mendengar kabar musibah akibat jebolnya Situ Gintung. Saya berpikir, ‘Situ’ koq bisa jebol ? Situ menurut pengertian saya pribadi adalah danau kecil, atau tempat penampungan air alami. Tetapi ternyata itu yang terjadi adalah ‘Situ’ buatan, yang dihasilkan dengan membuat tanggul atau tepatnya bendungan tanah. Jadi jelaslah bahwa pemberian nama Situ Gintung itu tidak tepat sekali, coba jika namanya Bendungan Gintung. Persepsi orang pasti akan berbeda. Dengan memberi nama Bendungan saja maka perhatian orang akan berbeda, pasti akan ada pertanyaan “mana bendungannya?” . Mana penjaganya ? dsb-nya.

Itu tentang ‘situ’ yang sudah berusia lebih 75 th. Tetapi tentu usia pakai bangunan sipil berbeda dengan dengan usia pakai teknologi yang memang punya keterbatasan waktu kerja seperti halnya pesawat cesna tempo hari yang jatuh dan ternyata sudah berumur tua tersebut.

Jika bencana akibat suatu buatan manusia yang telah berumur, kadang masih dapat dicarikan segudang alasan untuk menjawabnya, tetapi jika bencana itu terjadi ketika pembuatan bangunan itu sendiri sedang berlangsung maka tentunya cukup menarik juga untuk dibahas. Contohnya adalah bencana runtuhnya jembatan baja di sungai Kapuas, Kalimantan Tengah tanggal 3 April kemarin, ini fotonya.

kapuas
Jembatan Kapuas yang runtuh di Desa Lungkuh Layang, Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah , runtuh Jumat (3/4). (Sumber harian Kompas).

Secara teori, jembatan dari baja adalah paling ideal, apalagi yang berbentang lebar seperti di atas sungai Kapuas tersebut. Jika dibandigkan antara jembatan baja dan jembatan beton prategang, maka untuk jumlah tumpuan yang sama dapat dipastikan jembatan yang terbuat dari baja akan lebih ringan. Sedangkan untuk jembatan beton biasa, maka jelas tipe jembatan ini sudah kalah jauh, nggak bisa dipakai.

Material baja, secara teori dapat dianggap sebagai elemen struktur yang paling ideal, kecuali kuat, kaku tetapi juga mempunyai daktilitas yang baik. Daktilitas di sini dikaitkan dengan sifat keruntuhannya yang liat (tidak getas). Tapi itu teori, fakta mungkin berbicara lain, seorang teman dosen baja yang sekaligus punya kontraktor (bengkel) baja pernah menyebutkan bahwa profil baja di kita kadang nggak seperti itu mas Wir, “pengalaman saya sering menjumpai profil baja untuk satu batang profil utuh, pada beberapa bagian ketika di bor, untuk lubang baut, itu gampang-gampang saja, tetapi di bagian lagi (masih satu profil) ternyata ngebornya sulit (keras banget)“. Artinya apa itu bahwa sifat materialnya ternyata tidak homogen, padahal teorinya khan baja itu material paling homogen. Ini fakta,  hanya saja seperti kata teman saya tadi, pabriknya nggak berani diomongkan karena mungkin pengalaman yang dialami tadi sifatnya kebetulan saja.

Jadi bisa juga lho, sifat yang kebetulan di alami teman saya tadi terjadi pada jembatan kapuas di atas.

Lho, pak Wir, semakin keras khan semakin baik khan.

Orang awam memang berpikirnya begitu. Tetapi baja untuk konstruksi lain, tidak hanya kuat, atau kaku tetapi kemampuannya yang daktail juga diperlukan. Biasanya material baja yang keras, sifat daktailnya berkurang, mudah mengalami fraktur.

Seperti diketahui, untuk baja pasti perlu sambungan, baik itu berupa las (yang dikerjakan di bengkel kerja) maupun berupa sambungan baut mutu tinggi (diperlukan untuk perakitan di lapangan). Pada sambungan dengan baut diperlukan jumlah baut yang banyak, maka agar baut-baut yang banyak tadi dapat bekerja bersama-sama dengan baik maka diperlukan sifat material yang daktail seperti baja konstruksi pada umumnya. Tapi ketika ternyata sifat bajanya berbeda, misalnya terlalu keras tapi tidak daktail, maka pada baut-baut tadi terjadi konsentrasi gaya, karena keras maka menerima gaya lebih tinggi, jadi ketika gaya-gaya pada baut belum sempat terdistribusi bajanya dapat mengalami fraktur terlebih dahulu. Jika satu baut gagal maka baut yang lain terjadi overstress, gagal lagi, terus menerus dan akhirnya sambungan bisa gagal.

Itu di atas hanya skenario jika mutu bajanya sebagian ada keras. Tetapi kalau sebaliknya, ada beberapa bagian yang tidak keras atau kurang, maka rasanya kerusakan dapat langsung terjadi.

Mungkin penyebabnya tidak hanya material, tetapi juga bisa disebabkan sistem struktur yang dipilih yang merupakan suatu sistem jembatan menerus. Secara terori ini adalah paling baik, ekonomis, dan seharusnya paling tahan runtuh dibanding jembatan rangka tunggal (seperti simple beam). Tetapi sebenarnya tipe menerus itu mudah dipengaruhi oleh adanya perubahan pondasi (defferential settlement).

Yah, memang hal-hal di atas adalah baru dugaan-dugaan saja.

Tetapi yang jelas, jika nantinya para ahli yang ke kapuas dapat menemukan penyebab keruntuhan dan dapat mempublikasikan secara luas maka para ahli lainnya akan dapat waspada dan akhirnya hati-hati untuk tidak melakukan kesalahan yang serupa.

Jadi intinya, bencana akibat bangunan manusia dapat dihindari atau dikurangi jika para penanggung jawab teknik dari bangunan-bangunan tadi pada waspada dan hati-hati terhadap hal-hal yang mungkin menjadi penyebab timbulnya suatu bencana.

Tapi untuk tahu hal-hal yang mungkin menjadi penyebab bencana, maka sebab-sebab terjadinya bencana perlu diinformasikan secara jelas dan terbuka kepada masyarakat. Tanpa itu, maka masyarakat pasti hanya cuek saja, sambil menunggu bencana yang mungkin terjadi. 😦

6 tanggapan untuk “bencana lagi”

  1. caktopan Avatar

    pak wir,
    I have one questions.
    Definisinya daktail itu gimana sih? Semasa kuliah saya ndak ngerti. Tapi dengan contoh diatas, saya memperkirakan daktail itu berdefinisi lentur, liat. Betulkah begitu?

    Suka

  2. wir Avatar
    wir

    @caktopan
    ttg daktail memang mungkin banyak yang bingung. Kita belajar mekanika teknik 1 sampai 6 kali, semuanya tidak membahas daktail. Semuanya memakai pendekatan elastis, yaitu di representasikan oleh E utk material, sedang geometri jika lentur pakai I (inersia), jika aksial pakai A (luasan). Dengan parameter itu kita bisa mengenal atau mengetahui gaya-gaya yang bekerja.

    Juga ketika sambungan baja, kita dapat dengan mudah membayangkan, jika gaya yang bekerja besar maka cukup perlu menambah jumlah baut dst.

    Semuanya itu kelihatannya nggak pernah dikaitkan dengan daktail. Padahal, adanya jumlah baut yang banyak dan dapat dibagi rata shg menerima gaya yang aman, juga analisa struktur cara elastis dapat diterapkan dengan aman hanya jika digunakan bahan konstruksi yang bersifat daktail, yaitu dalam mengantisipasi adanya konsentrasi tegangan. Ingat konsentrasi tegangan itu selalu ada, sumbernya adalah ketidak-telitian pelaksanaan, tidak homogenitas bahan dsb.

    Secara umum daktail adalah dikaitkan dengan kemampuan bahan tersebut mengalami deformasi yang relatif besar sebelum mengalami fraktur (terpisah/sobek/diskontinyu). Jika bahan itu diaplikasikan dengan baik, maka secara visual struktur akan kelihatan lentur dulu sebelum runtuh, dan semacamnya.

    Kondisi tersebut secara umum dipenuhi oleh material baja konstruksi, jadi nggak sembarang baja bisa digunakan.

    Suka

  3. Richard S. Avatar
    Richard S.

    Halo pak wir,

    cuma mo share aja, pengalaman saya di kalimantan, kebetulan saya orang pontianak, dan sungai kapuas ini juga mengalir sampe pontianak.

    ada satu jembatan rangka baja disana, lupa namanya apa, tapi uda cukup tua juga, katanya si dibangun dari jaman belanda, cukup sempit, 2 lajur, 2 jalur, dan lajur nya pun sempit, tapi bentang jembatannya sendiri cukup panjang (jauh lebih panjang dari rata2 jembatan struktur rangka baja yang ada di pulau jawa).

    yang saya amati (4-5 tahun yang lalu klo ga salah terakhir ke pontianak), banyak baut yang hilang, dan juga banyak bracing yang ilang. bracing2 yang terbuat dari profil siku yang ukurannya relatif kecil jadi sasaran orang2 iseng.

    jadi klo ada jembatan ambrol, mind set saya langsung nganggepnya gara2 struktur nya dipretelin. hehehe…

    coba bandingin ama Golden Gate Bridge waktu di retrofit untuk adapt base isolation system buat gempa, info yang pernah saya dapet: pengelola “cuma” berani cabut 2 baut pada waktu bersamaan supaya kemampuan struktur ngak terganggu (CMIIW).

    kayaknya di indonesia, pengelola belom terlalu sadar artinya maintenance yang berhubungan langsung dengan umur bangunan. belom lagi efeknya sama biaya operasional… hmphh..

    Salam..

    Richard

    Suka

  4. Chery Avatar
    Chery

    Asslm, skrg sy lg mo nyusun skripsi dan sy tertarik dgn judul ” PEMBUATAN RANGKA BAJA DALAM BENGKEL SEDERHANA” Kebetulan saya punya bengkel, saya mo nanya pembuatan rangka baja apa yang dimaksud yang bisa dibuat dalam bengkel sederhana ? Makasih sebelumnya

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      @Chery
      Definisi bengkel sederhana itu bagaimana, ini tentu perlu ditegaskan terlebih dahulu. Yang paling utama tentunya adalah ketersediaan alat angkut / crane. Jadi setiap segment penyusun rangka baja harus mempunyai berat tidak lebih dari kapasitas crane tersebut. Juga ketersediaan mesin las listrik, adakah itu. Jika hanya tersedia las karbit maka jelas itu tidak dapat digunakan untuk las baja hot-rolled yang relatif tebal. Jika demikian maka terpaksa sistem sambungan yang digunakan adalah baut. O ya, bautnya harus baut mutu tinggi ya, karena kalau pakai baut hitam kualitasnya kadang-kadang bervariasi.

      Itu kira-kira pertimbangan yang diperlukan untuk memilih sistem rangka.

      Suka

  5. […] Jembatan penghubung empat Kabupaten Provinsi Kalimantan Tengah rampung 2010 Departemen PU selidiki ambrolnya Jembatan Timpah Puslabfor Mabes Polri selidiki penyebab ambruknya Jembatan Kapuas Tanggapan Pak Wiryanto Dewobroto mengenai Jembatan Kapuas dalam posting blognya “Bencana lagi… […]

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com