Dalam kesempatan pertama ini, penulis ingin menghaturkan bela-sungkawa kepada korban ledakan bom teroris di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, Jumat tanggal 17 Juli 2009 kemarin.

Terus terang, berita tentang ledakan bom aku peroleh setelah agak siang pada hari Jumat itu juga, yaitu diinformasikan oleh prof. Bambang saat rehat kopi pada acara seminar tentang baja di kampus UNPAR jalan Merdeka, Bandung. Benar, saat itu adalah hari pertama seminar tersebut berlangsung.

Seperti biasa, dalam usaha memenuhi tridarma perguruan tinggi sebagai seorang yang meniti karir sebagai dosen, maka selalu aku usahakan untuk turut aktif berpartisipasi dalam seminar-seminar ilmiah bidang ilmu utamaku, yaitu bidang struktur.  Tentang hal tersebut, kadang aku juga bersyukur bahwa apa-apa yang kugeluti secara akademis ini berkesesuaian dengan pengalaman kerjaku sebelumnya di dunia konstruksi praktis. Bahkan aku merasa saling mengisi.

Seperti diketahui seorang engineer yang berkecipung di lapangan, maka yang menjadi fokus kesuksesan dalam pekerjaannya adalah HASIL-nya. Nggak peduli, bagaimana cara memperolehnya, tetapi jika hasilnya dapat dibuktikan, maka dapat dianggap berhasil. Bahkan jika ternyata hasilnya tersebut belum ada di buku-buku teks yang ada, maka orang awam akan menyebutnya sebagai INOVASI. 🙂

Sedangkan seorang engineer yang berkecipung di dunia akademisi, seperti aku ini saat ini, maka yang lebih dipentingkan adalah urut-urutan PROSES-nya. Harus logis, nalar dan berkesesuaian dengan fakta-fakta atau teori sebelumnya. Masalah hasilnya mah, adalah nanti saja. Bahkan yang disebut hasil itu relatif, bisa berbeda antara satu dengan orang yang lain, jika ada kendala, dan belum ada hasil yang nyata (dalam kaca mata awam) maka dapat dibenarkan juga jika orang tersebut dapat membuat batasan masalah secara benar. Oleh karena itu kadang-kadang seorang akademisi yang hanya berfokus pada proses maka disebutlah sebagai orang teoritis. 😦

Karena alasan itu pulalah maka sampai-sampai seorang menteri pendidikan mempopulerkan istilah LINK-AND-MATCH antara dunia pendidikan dan dunia industri (kerja).

Menurutku, hal itu boleh-boleh saja, tetapi kalaupun tidak memenuhi, maka dari kaca mata pendidik rasanya bukan menjadi sesuatu masalah utama juga. Kenapa ? Pendidikan di tingkat perguruan tinggi (universitas) lebih berfokus pada transformasi cara berpikir dan bukan mencetak tukang.

Hal itu menjadi masalah di jaman ini, karena sekarang para peserta maupun penyelenggara pendidikan ternyata juga berorientasi pada HASIL dan bukan pada PROSES, yaitu mereka lebih mementingkan hasil akhir berupa IPK, atau bahkan asal mendapat gelar atau ijazah saja. Dengan demikian transformasi cara berpikir nggak dapat, hasil seperti yang saya maksud pada dunia industri juga nggak dapet. Tanggung hasilnya.  Ujung-ujungnya pengangguran intelek bertambah.

Tentang kondisi hal tersebut, pada sisi lain, aku juga terhibur bahwa ternyata masih ada juga institusi pendidikan masih mempertahankan idealisme. ITB misalnya, kemarin aku baca di kompas, bahwa pihak institusi mereka akan segera mempertimbangkan sanksi pecat bagi mahasiswa ITB yang terbukti melakukan joki di Makassar. Adanya joki, maka jelas pelaksanaan proses dalam pendidikan tidak dapat berlangsung. Tahu khan maksudku, artinya nggak usah pakai belajar-belajar segala asalkan dapat membayar joki maka calon peserta tersebut dapat diterima masuk. Padahal proses evaluasi masuk PTN itu juga termasuk proses, jadi jangan bayangkan bahwa proses adalah setelah masuk sekolah juga.

Jadi fokus dunia akademisi dan dunia industri memang berbeda. Ya jelas dong, harus berbeda, kalau sama maka keduanya bisa saling saingan, padahal yang benar adalah saling mendukung. Betul bukan.

Untunglah aku pernah hidup di dua dunia tersebut, jadi bagiku aku jadi tahu bahwa sebenarnya tidak ada yang dominan dalam hal tersebut. Harus seimbang. Aku menghormati hasil dan juga prosesnya, bisa kedua-duanya maka luar biasa hal tersebut. Konsep ISO dalam pengawasan mutu adalah salah satu strategi dunia industri untuk mendapatkan konsistensi hasil berdasarkan proses yang dilakukannya. Bedanya jika proses di industri telah dijadikan SOP (standard operating procedure), sudah dibakukan, rigid. Adapun proses di perguruan tinggi, karena lebih menekankan pada inovasi maka bisa tidak terlalu kaku (dinamis atau bahkan bisa saja bersifat subyektif).

Sifat yang tidak terlalu kaku dan subyektif dalam proses yang dikerjakan di tingkat perguruan tinggi ini pula yang menyebabkan kualitas lulusan perguruan tinggi satu dengan yang lain, relatif susah distandarkan dibanding keluaran hasil produk industri. Bagaimanapun subyeknya adalah manusia, jadi ya fleksibel juga. Itulah mengapa perlu adanya UN (ujian nasional) dan semacamnya itu. Dalam satu sisi, hal itu merupakan salah satu strategi saja.

Salah satu yang menunjang dalam proses pendidikan di perguruan tinggi adalah dari unsur dosennya juga. Jika dikaitkan dengan proses, maka untuk mendapatkan kualitas alumni PT yang baik, maka yang diproses tidak hanya mahasiswanya saja, tetapi juga dosennya juga. Jadi jangan pikir, jika sudah lulus S3, lulus doktor, lalu jadi dosen maka pekerjaan setelah itu hanya mengajar atau hanya jadi pejabat birokrasi saja. Jika demikian adanya, maka mata kuliah yang diajarkan pasti hanya sekedar standar-standar saja. Statis.

Dari pengalaman berinteraksi selama lebih dari sepuluh tahun di perguruan tinggi, saya merasakan bahwa tipe “dosen yang hanya sekedar mengajar” adalah mayoritas di universitas-universitas di Indonesia ini. Jadi meskipun sudah ada tri-dharma-perguruan-tinggi yang digembar-gemborkan, tetapi sebenarnya pelaksanaannya masih timpang. Tentu saja pernyataan saya ini masih bersifat subyektif, dan khususnya hanya berlaku dibidang peminatan ilmu yang sama yaitu teknik sipil bahkan lebih spesifik lagi adalah struktur.

Maksudnya bagaimana pak Wir.

Maksudnya adalah begini, bahwa seseorang dosen dikenal bidang keahliannya hanya didasarkan pada mata kuliah yang dia ajarkan saja. Itu diketahui karena mungkin ada orang yang pernah ikut perkuliahannya, atau mendengar dari temannya atau bisa juga tahu dari diktat kuliah yang dibuatnya selama mengajar.

Untuk yang membuat diktat mata kuliah sendiri, tentu lebih bagus. Tetapi akan lebih baik jika dosen yang bersangkutan dikenal didasarkan tulisan ilmiah yang dibuatnya, yang merupakan hasil penelitiannya yang mandiri. Agar menjadi dikenal di bidang keahliannya tersebut maka langkah selanjutnya adalah mempublikasikan hasil penelitian tersebut di seminar-seminar ilmiah.

Jadi sebagai dosen jangan hanya berani berdiri didepan murid-muridnya, tetapi juga harus berani berdiri didepan teman sejawatnya yang lain untuk menyampaikan hasil pemikiran yang dibuatnya. Resikonya jelas berbeda, murid-muridnya jelas akan lebih patuh, pertama dari sisi pengetahuan, yang memang masih hijau, sedangkan di sisi lain dosen punya kuasa karena dapat memberi nilai (score). Jika ada murid yang tidak ‘patuh’ maka bisa-bisa tidak diluluskan. Sedangkan kondisinya itu akan berbeda 180 derajat jika harus menyampaikan presentasi seminar di depan teman-teman sejawat, yang mempunyai pengetahuan, yang bisa saja lebih pintar dari presenternya, juga tidak adanya ikatan-ikatan apa-apa yang membatasi mereka, kecuali tentu saja norma-norma sopan -santun yang ada. Jadi kondisinya bisa seperti ajang evaluasi kompetensi diri dari si dosen itu sendiri.

Maksudnya pak Wir ?

Begini, kalau anda jadi presenter di suatu seminar, maka bisa-bisa anda dikenal keahliannya. Tetapi jangan salah juga, jika anda tidak siap, maka bisa-bisa anda dikenal ke-tidak-ahliannya. Karena mungkin anda bikin pernyataan yang salah, atau tidak siap, atau bagaimana begitu, yang jelas anda bisa jadi DIRAGUKAN kompetensinya.

Karena resikonya seperti itulah maka menjadi presenter seminar adalah gampang-gampang susah.

Lalu apa pak keuntungannya ?

Wah ya pasti ada dong keuntungannya. Pertama adalah tentu melaksanakan kewajiban sebagai dosen dengan tri-darma perguruan tinggi. Jadi kalau ingin jadi dosen yang baik, maka jelas tahapan menjadi presenter adalah suatu kewajiban. Dengan melakukan penulisan ilmiah yang diseminarkan maka si dosen mendapat nilai KUM. Untuk suatu seminar nasional, kalau tidak salah untuk satu kali presentasi nilai KUM-nya adalah 10.

Lho koq sedikit pak ?

Sedikit ?

Coba bandingkan dengan mengajar, untuk 16 x pertemuan dalam satu semester, nilai KUM-nya hanya 1 (atau 2) saja lho. Berapa jam itu. Padahal dalam satu semester, bisa-bisa lebih dari satu seminar dapat dilakukan. Oleh karena itu yang bisa ikut seminar atau nulis maka biasanya nilai KUM-nya cukup banyak. Jadi lebih gampang menuju profesornya. 🙂

Susahnya adalah jika dalam presentasi tersebut kemudian dari peserta seminar ada yang memberi pertanyaan meragukan ttg presentasi yang kita berikan. Wah ini bisa-bisa menjadi ajang seperti ujian sidang terbuka. Bikin kecut hati lho. 🙂

Kejadian seperti itu juga terjadi pada acara seminar di UNPAR kemarin. Tetapi ini kelihatannya karena presenternya yang notabene adalah dosen senior (dosen yang sudah tua) merasa tidak siap. Itu kelihatan sekali, karena beliau mengawali dengan mengatakan bahwa sebenarnya dia berencana berhalangan hadir karena sakit, tetapi karena sudah merasa lebih baik maka akhirnya tetap hadir juga. Lalu dia minta maaf jika presentasinya juga baru saja dibuatnya.

Meskipun aku lebih muda, tetapi aku tahu bahwa pernyataan merendah (permohonan maaf) yang dibuat presenter tersebut adalah suatu awalan yang salah. Bagi seorang yang mau maju ke depan untuk presentasi, maka ibarat dia harus siap tempur. Harus punya kepercayaan diri yang tinggi. Ini sangat penting. Bahkan jika materinya salahpun, selama dia masih percaya diri tinggi maka orang awam tidak akan melihatnya tidak berkompetensi. Jadi meskipun salah, tetapi tetap percaya diri tinggi, bisa-bisa orang awam melihatnya sebagai suatu pendapat ahli lain yang berbeda.

Jadi kalau diawal saja sudah tidak pede, lalu memang kebetulan di presentasinya ada kesalahan maka bisa-bisa dianya akan jadi bulan-bulanan saja. Ya, maksudnya tidak ekstrim seperti itu, tetapi dia jadi dikasihani. Jadi detailnya sih aku tidak akan cerita tentang kejadian si dosen tadi, yang dari daerah. Tetapi kesannya sih, jadi berbeda. Jika sebelum presentasi dianya dianggap berkompentensi tinggi karena dapat mewakili institusinya maju di seminar ini, tetapi setelah naik panggung jadi ketahuan. O begitu toh, institusi tersebut, kasihan banget. 😦

peserta_
Pemandangan dari depan panggung seminar. Pada posisi ini, anda siap dipuji atau bahkan diuji oleh para tamu peserta yang duduk dibawah . Jika siap maka anda ‘naik‘, tetapi jika tidak siap maka artinya anda ‘turun‘. Semua itu anda yang memilih. Siap ?

Itu sisi lain dari jadi presenter. Memang sih, tidak di semua seminar ada kejadian seperti ujian tersebut. Dari berbagai acara seminar yang aku datangi sebagai presenter. Tidak setiap peserta berani mengajukan pertanyaan seperti dalam ujian. Jika kasus di atas diberikan kepada dosen yang tidak siap, dan kebetulan tembus. Itu berati pihak penanya dianggap lebih tahu dibanding presenternya. Tetapi jika kebalikannya, bisa gawat itu.

Kebetulan kemarin ada juga peserta yang menanyakan kepadaku dengan nada menguji. Seperti biasa, tahap pertama aku tanggapi datar, mengikuti standar prosedur kesopanan yang umum.

Eh, ternyata masih ada pertanyaan  menguji kedua dari orang yang sama. Dilihatnya mungkin aku masih dianggap sama seperti dosen dari daerah yang sudah takluk tersebut. Orang yang bertanya ini ternyata seorang bergelar doktor juga, bahkan dari luar.

Pak wir, keder juga ya ?

He, he, kamu salah. Tahap pertama adalah standar. Tahap kedua jika seperti itu maka adrenalin jadi terpompa keluar. Berani banget. Kalau sudah seperti ini, aku biasanya tidak peduli, yang bertanya itu profesor atau hanya doktor, apalagi kalau aku belum kenal dengan baik sebelumnya. Karena strategiku dalam melakukan presentasi aku selalu berusaha kenali batasan-batasan masalah yang aku sampaikan. Selanjutnya aku analisis pertanyaan yang diajukan. Jika masih dikoridor masalahku maka aku akan ngotot habis-habisan. Jika di luar koridor, maka biasanya aku terima dan tidak aku tindak lanjuti, bertepuk sebelah tangan begitu maksudnya. Jadi nggak ada bunyinya. Tapi kalau masuk koridor masalah yang aku bahas, dan dianya masih ngotot maka biasanya aku giring pada suatu kenyataan yang akhirnya menyadarkan dia bahwa “wawasan dia belum sampai“.  😦

Seperti kemarin, ada yang mempertanyakan analisisku dengan program ABAQUS mengapa suatu struktur dengan beban konsentris dapat mengalami lengkung (buckling).

Memang, jika orang tersebut hanya tahu wawasan analisis elastis linier maka itu menjadi pertanyaan besar. Dan ternyata memang begitu, meskipun bergelar doktorpun, dari luar lagi, ternyata wawasannya memang masih segitu. Maklum doktor muda, dan kelihatannya belum pernah ketemu orang seperti aku. Selanjutnya aku baca makalah yang dia buat. Ternyata orang yang bergelar doktorpun ketika membuat makalah ilmiah selalu menyatakan kesimpulannya dengan “diduga“. Wah kalau hanya begitu saja sih, murid-muridku juga bisa. Kata di “duga” itu khan baru pada tahapan hipotesis, bagaimana bisa itu dijadikan pada kesimpulan. Nggak tahu, dulu waktu belajar doktornya gimana itu.

Intinya, apa yang ingin aku sampaikan bahwa dalam seminar-seminarpun kadang-kadang dijumpai materi yang tidak ngilmiah dan patut diragukan untuk dijadikan rujukan. Maklum dalam seminar itu ada yang bersifat invited, karena pemakalahnya sudah diketahui reputasinya dan ada yang call-paper.

Tetapi dengan adanya proses evaluasi dan dievaluasi tersebut maka kegiatan presentasi di suatu seminar dapat dijadikan tolok ukur atau benchmarking posisi kita sebagai dosen dibanding dengan yang lain. Jika dari situ kita bisa mengambil hikmatnya dengan baik maka jelas itu merupakan suatu sarana pengembangan diri yang baik bagi karir seorang dosen, seperti diriku ini.

Betul khan.

Eh, ternyata dengan menghadiri seminar-seminar tersebut bisa juga dimanfaatkan untuk saling bersilaturahmi. O ya, ini ada foto bersama-sama rekan-rekan sejawat dari mazhab UNPAR.

mashab_unpar_

Dari kiri ke kanan, bapak Prof. Bambang Suryoatmono (direktur pascasarjana UNPAR, Bandung), bapak Dr. Paulus Kartawijaya (ketua panitia seminar UNPAR), saya sendiri (Dr. Wiryanto) dan kandidat doktor Nathan Madutujuh (pencipta software SANSPRO, program analisa struktur sekelas SAP2000 tetapi asli buatan anak negeri).

9 tanggapan untuk “tentang presentasi di seminar”

  1. Y.W. Avatar
    Y.W.

    Jika ada murid yang tidak ‘patuh’ maka bisa-bisa tidak diluluskan

    Membaca kalimat diatas, saya jadi teringat dengan kata ” Profesionalitas ” –> orang yang tidak mencampur adukkan masalah pribadi dengan masalah kerjaan. hehe.

    masa hanya gara gara si mahasiswa mengkritik apa yang diajarkan oleh dosennya, kemudian dosennya menggagalkan mahasiswa tersebut tanpa alasan.

    Tapi saya yakin Pak Wiryanto bisa bersikap “Profesional”.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Y.W – Y.W, kamu ini kelihatan cukup sering membaca blog ini bahkan turut aktif dalam berdiskusi. Meskipun demikian ternyata frekuensimu berpikir belum match untuk menerima ide-ide yang kusampaikan.

      Dari mempelajari perspektif pertanyaan-pertanyaanmu (sebelumnya juga), terlihat bahwa kamu selalu melihat dari sisi negatif. Jika kamu ingin maju, maka kamu harus hilangkan hal tersebut, berpikirlah pada posisi positip, optimis begitu lho.

      Jelas istilah ‘patuh’ yang dimaksud adalah bukan seperti yang kamu utarakan di atas. Patuh di sini tentu harus berkonotasi baik dalam prespektif pendidik, seperti misalnya patuh untuk mengikuti peraturan universitas, di UPH yang sangat keras adalah larangan merokok. Jika ketemu bisa langsung digiring keluar. Dalam kelas, misalnya dalam ujian, patuh untuk tidak mencotek dan patuh untuk mengerjakan sendiri pekerjaan ujiannya. Dalam mengikuti kelas, patuh untuk datang minimal 70% dari jumlah tatap muka, jika kurang dari situ maka otomatis tidak dapat mengikuti ujian. Tidak lulus.

      Kalau hanya sekedar kritik, siapa takut. Tugasku khan dosen, jadi kalau ada seperti itu, seperti pernyataan / pertanyaan kamu ini
      maka jelas gampang, tinggal bikin argument jawaban baliknya saja.

      Jadi jelas khan, bahwa ‘patuh’ yang kumaksud bahkan tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi seperti yang kamu sampaikan di atas.

      Suka

  2. Peduli Pendidikan Avatar

    Info bagus…. thank’s

    Suka

  3. heri koesnadi Avatar

    maaf pak bila tidak merepotkan boleh minta softcopy makalah seminar tersebut?

    Suka

  4. Andy Prabowo Avatar

    oleh2 papernya dnk pak wir,hehehe…
    ditggu lho “upload-annya”,hehe.. tengkyu2

    Suka

  5. Stop Dreaming Start Action Avatar

    Terimakasih artikelnya sangat membantu bagi semua pembaca, semoga bermanfaat
    Salam Action

    Informasi yang menarik adalah informasi yang membuat pembacanya mendapatkan manfaat darinya.
    Semoga informasi anda menjadi salah satunya.

    Stop Dreaming Start Action
    Bisnis Internet Marketing

    Suka

  6. harianto Avatar
    harianto

    Rupanya pa wir ini emosional juga ya? Sudah sering ikut seminar, mungkin baru kali ini dapat pengalaman buruk. Untuk apa disebut sebut titel doktor plus ditambah luar dan dalam, biasa2 aja.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      mungkin baru kali ini dapat pengalaman buruk

      Ah enggak juga Prof, bahkan adanya interaksi tersebut diperoleh pemahaman bahwa ‘lulusan dalam negeri’ nggak kalah-kalah juga dibanding yang ‘dari luar’. Karena kalau nggak lihat embel-embelnya sih dari apa-apa yang disampaikan nggak kelihatan kalau levelnya dia seperti itu. Maklum pak, mungkin baru lulus dan langsung ke daerah. Jadi yang dapat pengalaman buruk orang itu ya Prof. 🙂

      He, he, ini mungkin yang dimaksud dengan “tong kosong berbunyi nyaring”. Jadi strategi mengajukan pertanyaan memang perlu pakai strategi juga. Jadi misalnya jika yang bersangkutan mengajukan pertanyaan dengan nada bertanya seperti tidak tahu. Ya kita akan beritahu dan tidak akan mengevaluasi levelnya apa. Tapi kalau nada yang diajukan men-judge bahwa apa yang saya sampaikan ‘salah’ wah itu khan kita defence, lalu perlu tahu juga latar belakangnya mengapa dia berpikiran seperti itu. Eh ternyata ketahuan, wacana yang digunakan untuk mengevaluasi tersebut memang berbeda. Belum sampai !

      Padahal gelarnya doktor lho Prof.

      Jadi itu juga menyebabkan saya ingin tahu apa-apa yang ditulisnya, ternyata hanya studi literatur aja, tidak ada yang baru bahkan tidak ada juga proses evaluasi terhadap hal-hal yang dibahas, tetapi langsung saja bisa membuat suatu kesimpulan yang berlaku umum, yang dibuatnya dengan didahului dengan pernyataan ‘diduga‘. Kalau seperti itupun, orang awam khan juga bisa ya Prof.

      Suka

  7. Danan Avatar
    Danan

    WaW! ternyata pak Wir bisa memotivasi orang lewat tulisan..

    Sy berharap agar semua dosen dan mhs di Indonesia bs membaca tulisan bapak,, (paling tidak baca, termotivasi tidaknya urusan belakangan hehe 🙂

    Tentu saja agar yang namanya Tri Dharma Perguruan Tinggi itu tidak sekedar wacana saja.

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com