Info seperti judul di atas saya dapatkan dari harian Kompas kemarin, ini link sumbernya. Saya tertarik, karena terpikir itu pasti ada kaitannya dengan iklan di harian Kompas tentang universitas di Malaysia yang cari dosen baru, yang saya jadikan artikel tulisan saya di sini.

Eh, ternyata bukan.

Itu tentang hal yang lain, yaitu tentang kabar ada perguruan tinggi di Jogja yang mulai menolak mengirim dosennya untuk studi lanjut ke Malaysia. Mestinya perguruan tinggi tersebut sebelumnya pernah mengirim dosen tugas belajar ke sana, mungkin saja telah jadi langganan. Keputusan itu diambil katanya bukan karena rasa solidaritas atau nasionalisme tinggi terhadap kasus-kasus di media kita yang baru-baru ini merebak, tetapi karena memang berkaitan dengan mutu perguruan tinggi di Malaysia tersebut. Ini kutipan berita di harian Kompas tersebut :

Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, Kasiyarno menyatakan, pengambilan keputusan ini tidak ada kaitannya dengan sentimen negatif Indonesia-Malaysia yang timbul akhir-akhir ini. ”Keputusan kami ambil semata-mata berdasarkan evaluasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang menyebutkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih lebih baik daripada Malaysia,” tuturnya di Yogyakarta, Rabu (2/8).

Wah informasi yang bagus dan hebat sekali, pernyataan tersebut rasanya perlu diabadikan pada blog ini. Oleh karena itu aku perlu tulis artikel yang membahasnya.

Wah pak Wir ini ternyata punya rasa solidaritas dan nasionalisme tinggi juga !

Rasa solidaritas dan nasionalisme, wah kalau itu bahkan tidak terpikir sama sekali lho kalau begitu interprestasinya. Aku hanya berpikir dengan pernyataan tersebut, yaitu jika kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih lebih baik, berarti apa yang aku lakukan selama ini sudah betul.

Maksudnya pak ?

Aku khan menamatkan semua pendidikan tinggiku di sini, di Indonesia saja, bahkan lebih khususnya lagi hanya di tanah Jawa. Bayangkan level S1 di Jogja (UGM), kemudian naik ke level S2 di Jakarta (UI) dan akhirnya baru saja selesai S3 di Bandung (UNPAR). Itu semua khan sependapat dengan pernyataan rektor UAD di atas. Itu khan artinya cinta produk negeri. 🙂

Serius pak ?

Lho betul,  emangnya main-main. Aku selalu menulis dengan serius, termasuk materinya, memang sih bahasa yang kugunakan adalah santai, jadi SERSAN : serius santai. Maklum menulis blog, untuk menyampaikan ide sekaligus hobby. Bayangkan ini saya menulisnya jam 1:56 malam, jadi kalau terlalu formal jadi nggak bisa menikmati kegiatan menulis itu sendiri. Jika tidak menikmatinya berarti bukan hobby dong, tetapi pekerjaan. Dengan cara tersebut maka apa-apa yang aku tulis adalah serius, benar,dan bukan main-main tentunya.

Bukan begitu maksudnya pak Wir, aku cuma menanyakan: “apa benar kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih lebih baik daripada Malaysia” seperti pernyataan rektor UAD di atas.

O itu. Santai saja. Jangan langsung ditanggapi terlalu serius, yang penting hati-hati saja !

Lho koq bisa begitu pak ?

Ya memang begitu, mengevaluasi sesuatu informasi penting memang perlu hati-hati.

  • Pertama-tama tentu perlu dipertanyakan “darimana pak Rektor tersebut tahu kalau kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih lebih baik dari pada Malaysia“. Dari melakukan studi banding sendiri atau yang lain, adapun dari berita di atas tentunya dapat diungkap bahwa pernyataan rektor di atas didukung juga oleh dari DIKTI. Tidak jelas itu pernyataan resmi DIKTI sebagai lembaga atau dari person-personnya saja, yaitu orang-orang yang berkerja di DIKTI. Beda lho. Jika itu tertulis dari lembaganya maka tentu akan lebih serius dibanding hanya pernyataan lesan manusia-manusianya.
  • Pertanyaan kedua tentu bisa diungkapkan, apakah dalam hal tersebut DIKTI telah melakukan evaluasi penelitian sendiri ? Jika ya, wah tentu hebat sekali, itu khan artinya Indonesia kaya karena sanggup mengeluarkan biaya khusus untuk penelitian ke Malaysia tersebuti. Meskipun demikian, menurut saya itu kecil kemungkinannya, untuk apa sih untungnya. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa orang-orang di DIKTI hanya mengacu pada pendapat suatu lembaga lain. Aku yakin !
  • Jika demikian tentu patut dipertanyakan, lembaga mana. Berbicara tentang lembaga evaluasi perguruan tinggi memang dikenal beberapa yang biasa dijadikan rujukan, misalnya
    • WEBOMETRICS yang menjadi rujukan untuk “World Universities’ ranking on the Web”, yaitu untuk mengukur lembaga pendidikan mana yang paling banyak diketemukan ‘content bermutu’-nya di dunia maya.
    • ARWU (Academic Ranking of World Universities), atau mungkin ada juga yang lain.

Meskipun sudah memakai lembaga di atas, tidak berarti pernyataan tentang mutu perguruan tinggi, dapat diterima mentah-mentah. Apalagi digunakan untuk menarik suatu kesimpulan umum, bahwa (semua) perguruan tinggi di Indonesia lebih baik dari Malaysia.

Pernyataan umum di atas jelas tidak bisa, karena jumlah perguruan tingginya khan banyak,  mana dibanding mana ? Selain itu juga perlu dipertanyakan, unggulnya di bidang mana. Ini juga bisa beda-beda.

Baiklah kita akan mencoba mengevaluasi berdasarkan dua sumber acuan di atas, sebagai berikut :

  • Webometrics – Top Asia .
    Indonesia baru diketemukan ada pada urutan No.72 (Universitas Gadjahmada, Yogyakarta), sedangkan Malaysia baru muncul pada urutan No.89 (Universiti Teknologi Malaysia, Johor).  Itu menunjukkan bahwa Indonesia unggul.
  • Webometrics – Top South East Asia
    wah ini lebih seru lagi karena domainnya lebih sempit. Untuk itu akan lebih baik saya tampilkan dalam daftar perguruan tinggi di Indonesia dan Malaysia, kemudian kita evaluasi sbb:

8 Universitas Gadjah Mada 572
10 Universiti Teknologi Malaysia 642
12 Universiti Sains Malaysia 675
13 Institute of Technology Bandung 727
14 Universiti Malaysia Perlis 745
16 University of Malaya 878
18 Universiti Kebangsaan Malaysia 963
19 Universiti Putra Malaysia 979
21 University of Indonesia * 1,010
25 Petra Christian University 1,080
28 Gunadarma University 1,126
31 Universiti Utara Malaysia 1,329
37 International Islamic University Malaysia 1,599
38 Multimedia University 1,605
39 Universitas Sebelas Maret 1,617
40 Airlangga University 1,643
47 Institut Teknologi Sepuluh Nopember 1,849
58 Bogor Agricultural University 2,215
59 Universiti Malaysia Pahang 2,330
60 Universiti Malaysia Sabah 2,334
61 Islamic Science University of Malaysia 2,397
62 National Institute of Education 2,440
64 Universiti Teknologi Petronas 2,515
72 Brawijaya University 2,590
73 Universiti Teknologi Mara 2,600
77 Universitas Muhammadiyah Surakarta 2,685
79 Universiti Malaysia Terengganu 2,714
81 Diponegoro University 2,779
82 Universitas Negeri Malang * 2,791
83 Indonesia University of Education * 2,839
84 Universiti Tenaga Nasional 2,877
86 Sekolah Tinggi Teknologi Telkom 3,017
88 Universitas Islam Indonesia 3,058
89 Open University Malaysia 3,112
90 Universitas Padjadjaran 3,142
94 Universiti Tun Hussein Onn Malaysia 3,260
95 Universitas Mercu Buana 3,276
96 Electronic Engineering Polytechnic Institute of Surabaya 3,303


38 university appear on the list. There are consist of  20 Indonesia and  18 Malaysia

Kalau dilihat yang pertama kali dan juga jumlahnya maka bisa saja dikatakan Indonesia lebih unggul. Tapi kalau mau jeli apakah daftar di atas dapat dipercaya sepenuhnya sebagai indikator umum mutu suatu perguruan tinggi, maka rasanya hal itu perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, untuk ditempat kita sendiri, apa betul UGM lebih baik dari ITB. Jelas jawabannya tidak bisa ya atau tidak, tetapi pasti ada batasannya, misalnya kedokterannya (karena di ITB nggak ada kedokteran). Betul khan, nggak gampang, bahkan dari daftar di atas dapat dipertanyakan juga misalnya Universitas Gunadarma di peringkat 28 sedangkan IPB, Bogor ada diperingkat 58. Anda percaya ?

Pertanyaan yang sama berlaku juga di peringkat Top Asia di atas, disana UI dan ITB tidak tercantum, apakah jelas kalah dengan UGM yang ada di urutan 72 dari seratus top perguruan tinggi Asia.

  • ARWU – Top 100 Asia Pacific Universities (2008).
    Wah di sini gawat, perguruan tinggi dari Indonesia maupun Malaysia bahkan tidak nangkring sama sekali. Tidak ada di daftar tersebut. Tetapi Singapore, negara tetangga kita ternyata nangkring di rank 9-16. Jadi kalau begitu Singapore lebih hebat dari Indonesia maupun Malaysia.

Mungkin atas dasar data Webomatrics seperti di atas, maka pejabat DIKTI yang kemudian di amini oleh pak rektor, sampailah pada kesimpulan bahwa perguruan tinggi Indonesia lebih unggul dibanding Malaysia.

Anda setuju ?

Bisa ya bisa tidak, baiklah agar lebih menyakinkan lagi, kita akan mencoba rangking lembaga lain, yaitu dari QS.com Asian University Rankings 2009 untuk perbandingan, sebagai berikut :

  • Top 200 Universities :
    disitu tercantum pertama adalah Malaysia di urutan 39 –  Universiti Malaya (UM), sedangkan Indonesia menyusul di urutan 50 – Universitas Indonesia (UI). Jadi Malaysia unggul.
  • The top Asian universities in Engineering & IT :
    disitu tercantum pertama adalah Indonesia di urutan 21 –   Bandung Institute of Technology (ITB), sedangkan berikutnya Indonesia lagi di urutan 44  –   University of INDONESIA, baru Malaysia menyusul di urutan 47 –   Universiti Malaya (UM). Jadi Indonesia Unggul.

Lho ternyata naik-turun lagi. Itu berarti hasilnya tidak signifikan untuk dijadikan kesimpulan umum bahwa kita lebih unggul dari Malaysia.

Pak Wir ini koq repot-repot menyanggah pernyataan pak Rektor di atas, nggak suka ya disebut bahwa Indonesia lebih unggul dibanding Malaysia. Mana dong semangat nasionalismenya ?

Sebenarnya di situlah letak permasalahannya, yaitu bagaimana memahami arti dari sebuah nasionalisme itu sendiri. Sebagian besar dari masyarakat kita ini cenderung mengedepankan semangat “asal bapak senang“, sisi lain bisa juga “buruk rupa cermin dibelah” , maunya dipuji terus. Ingat jaman sebelum krisis 98 tempo hari, yang ada dibenak kita semua bahwa kita ini adalah salah satu macan asia. Diangggap sebagai salah satu bangsa berhasil, yang makmur dan sebagainya, yang ternyata semuanya semu belaka. Semuanya itu ternyata hasil ngutang, generasi sekaranglah yang akhirnya mengalami dampaknya.

Kalau kita mau tahu, Indonesia di asia tenggara ini termasuk salah satu negara yang nilai tukar uangnya relatif lemah, bayangkan 1 rupiah mata uang kita ini hanya dihargai sekitar 1/7000 mata uang dollar Singapore, atau jika dengan Malaysia hanya sekitar 1/3000 ringgit-nya. Bayangkan nilai mata uang kita ini lebih kecil dari 1/1000-nya mata uang negara tetangga kita. Jadi kalau begitu, kita bisa memaklumi bagaimana kita di mata mereka. Emangnya mereka memandang sama derajatnya dengan kita. Fakta-fakta yang ada sekarang ini,  yaitu kita merasa dilecehkan adalah akibat dari semua itu. Ibarat seperti orang kaya yang memandang pengemis di jalan. Ya seperti itulah. Diam, sih diam, tidak mengolok-olok, tetapi dalam pikiran si kaya jelas akan memandang si pengemis sebagai tidak selevel. Sebagian mereka (bangsa Malaysia) kemungkinan juga seperti itu.

Mengapa mereka (si Malingsia) itu tidak ngomong seperti itu. Mana buktinya pak ?

Kamu itu koq terlalu polos sih, emangnya kalau ada orang kaya didekat pengemis akan ngomong ke pengemis sebagai berikut : “he pengemis kamu nggak sederajat dengan aku !”

Coba kalau ngomong seperti itu, bisa-bisa si pengemis jadi tidak peduli, marah dan memberi bogem mentah, atau juga lari sambil melempar mobil si kaya dengan batu. Jadi yang merasa ‘lebih’ dan mau terhindar dari hal-hal seperti itu maka tentunya perlu menjaga diri agar yang ‘kurang’, tidak menjadi tersinggung. 😦

Iya ya pak. Kalau begitu yang tempo hari ada pernyataan negatif dan lain-lain dari Malaysia itu adalah oknum-oknum yang ‘keprucut’. Gitu ya.

Betul, semua itu ibarat ada asap ada apinya. Nggak mungkin hanya kebetulan saja. Jelas mereka nggak berani main-main dengan “bangsa besar” seperti Amerika atau British.

Emangnya kita ini bukan bangsa yang besar pak ?

Lho ya besar juga, bis itu besar tapi bisa-bisa kecepatan , harga, dan gengsinya kalah sama sedan yang lebih kecil. Jadi besar tidak hanya fisik, pokoknya begitulah. Tahu khan , yah kamu nilai sendiri saja apa yang dimaksud dengan bangsa besar.

Baiklah agar pembicaraan ini tidak terlalu nglantur, kita kembali ke masalah di atas. Saya menulis ini adalah dengan maksud agar kita jangan langsung menelan mentah-mentah suatu pernyataan yang seakan-akan menina-bobokan kita, meskipun itu disampaikan seorang pejabat. Kita harus berpikir kritis dan meyakini sendiri bahwa omongan tersebut memang benar. Ingat, negara kita ini bisa begini (nilai tukar rupiah drop) itu khan ulah para oknum pejabat juga. Waktu dulu jelas kita tidak menyebutnya oknum karena kita cenderung manut saja. Menelan mentah-mentah semua yang mereka sampaikan.

Jadi intinya bahwa kesimpulan umum rektor tersebut perlu dipertanyakan kalau hanya mengacu hasil survey lembaga-lembaga di atas. Kecuali memang karena pengalaman yang beliau alami sendiri, seperti misalnya :

  • universitasnya telah mengirim beberapa dosen ke Malaysia, ternyata setelah beberapa tahun tidak berhasil menyelesaikannya, sedangkan dosen yang dikirim ke negara lain (misal Singapore atau Jepang) ternyata sudah kembali. Ini adalah indikator yang pasti yang dapat digunakan untuk menolak mengirim lagi dosen ke sana.
  • ijazahnya tidak diakui oleh negara, wah ini gawat, ini jelas indikasi universitas tidak bermutu. Biasanya jika negara menemukan bukti bahwa universitas yang bersangkutan tidak eksis, dan hanya menjual ijazah. Ini khan perbuatan kriminal.
  • bisa juga ketika universitas mengirim dosen tugas belajar ke beberapa negara yang berbeda, kemudian dapat diketahui bahwa biaya belajarnya (misal di Malaysia) lebih besar dibanding ke negara lain. Apalagi jika ditambah ketika kembali ternyata yang bersangkutan tidak menunjukkan kinerja yang seharusnya sesuai dengan kelasnya.

Indikator-indikator seperti di atas rasanya lebih tepat dijadikan penyebab utama untuk menolak mengirim dosen ke negara Malaysia, dan bukan kesimpulan umum seperti di depan“. Itu sangat politis sekali, bahkan menina-bobokan kita. Karena jika kita terlena, karena merasa lebih unggul, padahal kenyataannya kita ini tertinggal jauh dari mereka. Indikasi-indikasi seperti itu khan sudah jelas, negeri ini dari sumber daya alam adalah sangat besar, tetapi setelah lebih dari setengah abad merdeka ternyata nilai tukar uang kita kalah kuat dibanding mereka, bahkan banyak orang kita jadi TKI bekerja di sana. Itu artinya negeri mereka lebih punya lapangan kerja dibanding negeri sendiri. Juga ibukotanya, mereka sudah punya mass rapid transportation (MRT) yang lebih hebat.

mrt_
Saya lagi menikmati MRT-nya Kuala Lumpur. Kapan negeri kita punya ?

Tahun lima puluhan kita semua tahu, mereka mengimpor guru dan dosen dari negeri ini, tetapi sekarang ganti kita yang mengirim murid kesana. Itu di atas ada pernyataan rektor yang menghentikan pengiriman dosen khan suatu bukti nyata bahwa hal itu memang terjadi.

Dengan cara pemikiran di atas maka tentulah merupakan suatu kebanggaan jika ternyata ada mahasiswa Malaysia yang ternyata masih mau belajar di sini. Itu lho yang mendasari saya menulis artikel sebelumnya, di sini.

Bapak kog ngomong Malaysia, emangnya bapak pernah ke negara tersebut ?

Lho saya khan baru saja dari Malaysia. Jadi ketika selesai menghadiri konferensi internasional di P. Langkawi tempo hari, maka kami serombongan dari UPH mengadakan kunjungan banding ke perguruan tinggi di Kuala Lumpur. Pada kesempatan tersebut kami berhasil mengunjungi dua universitas di sana, satu perguruan tinggi negeri yaitu Universiti Malaya (UM) dan satu perguruan tinggi swasta yaitu Universiti Tunku Abdul Rahman (UTAR) .

Dari dua kunjungan tersebut saya jadi tahu, bahwa pendapat bapak Rektor tersebut tidak sepenuhnya benar. Mungkin di bidang-bidang tertentu benar, buktinya ada kelas International di Kedokteran UGM yang penuh dengan orang-orang dari Malaysia. Itu artinya UGM dianggap unggul oleh sebagian orang Malaysia sehingga mau-maunya mereka menginvestasikan tenaga, waktu dan pikiran untuk pergi ke Jogya. Mestinya kita ini khan bangga, eh ternyata ada anak-anak muda yang mengaku mahasiswa UGM yang menolak kebanggaan tersebut. Ini lho buktinya.

Tapi untuk bidang lain, bisa-bisa mereka lebih unggul. Untuk itu ada baiknya saya akan melaporkan kepada anda apa-apa yang saya temukan selama kunjungan tersebut.

Bahasa Inggris sebagai pengantar

Meskipun bahasa resminya Melayu, yang mirip Bahasa Indonesia (ini yang mungkin yang menyebabkan kita merasa serumpun) tetapi karena bekas jajahan Inggris maka termasuk juga anggota Negara-negara Persemakmuran. Dengan demikian penggunaan bahasa Inggris jelas lebih banyak dan bisa jadi sebagai bahasa komunikasi kedua karena lebih universal sifatnya. Adanya bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa komunikasi disana, yang ternyata dijadikan bahasa resmi sehari-hari dibeberapa perguruan tinggi disana maka banyak lembaga pendidikan tinggi asing yang membuka cabang di sana.  Contohnya adalah Monash University Malaysia Campus, Curtin University of Technology Sarawak Campus, Swinburne University of Technology Sarawak Campus, dan University of Nottingham Malaysia Campus. (Sumber Wikipedia).

Mahasiswa asing.

Kondisi di atas, yaitu bahasa pengantar ada yang berbahasa Inggris dan juga adanya cabang-cabang perguruan tinggi asing, maka negeri itu menjadi salah satu tujuan pendidikan bagi mahasiswa-mahasiswa asing yang familiar dengan bahasa Inggris. Biasanya ya sesama anggota Negara-negara Persemakmuran Inggris, seperti Bangladesh, Inggris, Singapore, bahkan juga karena negeri Malaysia dikenal sebagai negeri muslim banyak juga dijumpai mahasiswa-mahasiswa dari negeri Afrika. Sewaktu di Universiti Malaya saya berjumpa dengan salah satu dosen yang merupakan alumni universitas tersebut yang aslinya dari daerah Afrika.

Kesempatan kerja

Karena bahasa Inggris banyak dikuasai oleh sebagian besar masyarakat di sana. Di supermarket tanya pakai bahasa inggris juga bisa meresponsnya. Coba itu dilakukan di Indonesia. Paling-paling yes or no, iya khan. Kemampuan berbahasa tersebut juga menyebabkan mereka dengan mudah bekerja di negeri-negeri tetangga yang berbahasa Inggris, seperti Singapore dan India. Adanya bukti bahwa kita mengirim TKI kesana, dan juga banyak engineer kita yang bekerja di sana dapat dijadikan indikator bahwa lapangan kerja di sana relatif lebih besar.

Bidang riset

Sejak seminar EACEF tahun 2007, saat itu saya ketemu kolega dosen dari Sriwijaya yang lulusan UTM, selanjutnya di Konteks3 yang dapat menghadirkan prof dari UTM sebagai pembicara tamu. Kemudian juga akhirnya di seminar Langkawi. Dari semuanya tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa prospek bidang riset telah menjadi agenda nasional di sana. Kucuran dana dari pemerintahnya relatif besar, bahkan ketika bertemu dengan teman-teman dosen di UM, mereka ketika selesai mendengarkan presentasi kita adalah menanyakan mayor riset kita. Tentu kita kelabakan, tahu sendiri bukan di negeri ini, yang namanya universitas maka kegiatan utamanya adalah pengajaran. Betul bukan. Hanya di universitas-universitas negeri ternama seperti UI atau ITB atau UGM sajalah maka kegiatan riset dapat dibanggakan.  Yang lainnya khan yang diutamakan jumlah murid yang dipunyainya bukan. 🙂

Tentang jumlah murid, saya jadi ingat salah satu profesor kenalan saya yang menanyakan jumlah murid di jurusan teknik sipil UPH. Lalu ketika saya menyebutkan jumlah angka tertentu, dia menyatakan dengan nada sinis, wah itu sih nggak nutup. Hati-hati lho pak Wir, nanti bisa-bisa ditutup. Jadi seorang profesor saja menanyakan jumlah murid sebagai indikator kelangsungan suatu perguruan tinggi, itu khan menunjukkan bahwa fokus pembelajaran adalah yang menjadi utamanya. Profesor khan lebih ke arah riset, penemuan dan publikasi bukan untuk mencari jumlah murid. Itulah gambaran umum lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.

Publikasi internasional

Lagi-lagi bahasa Inggris menjadi salah satu keunggulan untuk menghasilkan publikasi internasional. Apalagi didukung dana riset yang baik, maka tentu relatif lebih mudah menghasilkan hasil riset yang layak publikasi di jurnal-jurnal internasional bereputasi. Tentang hal ini aku juga sempat kaget, ketika di UM aku mendapat buku prospektus tahunan progres kerja dosen-dosennya, cukup tebal juga.  Disana ditampilkan dosen-dosen tetapnya, kemudian pada satu tahun tersebut ditampilkan kegiatan ilmiah dari dosen-dosen tersebut, seperti menghadiri seminar sebagai pembicara, dan juga grand riset yang mereka terima sekaligus daftar judul publikasi internasional yang telah mereka lakukan dalam satu tahun itu. Tebal lagi. Rasanya buku serupa saya belum melihatnya dibuat oleh perguruan tinggi kita. Ingat buku prospektus yang saya ceritakan itu hanya satu departemen saja yaitu Departemen Teknik Sipil. Satu departemen saja, dan juga untuk satu tahun kerja saja sudah tebal. Kalau di kita maka paling-paling 10-50 halaman saja, itu saja ngecapnya sudah sana-sini.

Beasiswa pendidikan di sana

Telah lama aku mendengar ada dosen Indonesia yang mengambil studi lanjut di Malaysia, waktu itu aku pikir ngapain mahal-mahal ke sana. Setelah banyak bertemu alumni sana, dan yang kemarin ketemu Meldi yang kandidat doktor di UTM aku baru tahu bahwa studi lanjut di sana bisa-bisa lebih murah dibanding di sini. Bayangkan saja, menurut Meldi, dia mengambil S3 di sana dengan dibayar oleh mereka. Jadi bukan biaya sendiri, yah semacam beasiswa begitu. Itu diperoleh karena ada grand researh di perguruan tinggi tersebut. Tentang hal itu aku jadi teringat, aku ambil S3 atas biaya tempatku bekerja, termasuk dana penelitiannya juga.

Yah itulah yang kutahu tentang perguruan tinggi di Malaysia, apakah perguruan tinggi di sini sudah sampai pada tahap tersebut. Karena wawasan yang keketahui hanya terbatas khususnya di bidang teknik sipil maka bisa-bisa itu semua bukan sebagai keunggulan karena bisa-bisa kondisi di sini lebih baik. Siapa tahu di tempat pak Rektor memimpin, kondisinya lebih baik dari yang saya sampaikan di atas. Semoga saja.

Beberapa dokumentasi foto kunjungan banding di Malaysia

Kunjungan #1: Universiti Malaya (Jumat 7/8/2009)

Universitas Malaya adalah universitas negeri tertua di Malaysia, kalau tidak salah merupakan hasil pecahan dari NUS di Singapore. Di bidang engineering universitas ini dianggap kalah unggul dibanding Universiti Teknologi Malaysia di Johor. Jadi bisa saja diibaratkan UM itu seperti UGM, sedangkan UTM seperti ITB.

visi_
Visi-nya sederhana, memakai kata-kata sederhana, sehari-hari yang mudah dipahami oleh orang awam. Coba bandingkan dengan visi universitas di negeri kita, biasanya sifatnya abstrak. Karena abstrak maka maknanya mudah dibelak-belokkan oleh manusia-manusia pelaksananya. 🙂

Saya yakin meskipun visinya memakai kata-kata sehari-hari tetapi rasanya nggak setiap perguruan tinggi di negeri kita mampu mewujudkannya. Bahasa menjadi salah satu kendala, saya maunya blog ini juga seperti visi tersebut, tetapi gimana lagi, karena jagonya hanya di bahasa Indonesia maka scope-nya nasional aja. Paling-paling orang Indonesia yang di luar negeri.

misi_

value_
Visi, misi dan value-nya saya tampilkan, siapa tahu kita bisa pelajari dan maknai yang akhirnya membuat visi-misi-nilai kita lebih baik dari mereka.

lab_str_
Saya dan salah satu peralatan di lab struktur di Universiti Malaya

di_UM1_
Kunjungan ke Kejuruteraan Awam (Teknik Sipil) Universiti Malaya, dari kiri ke kanan: Dr.Ing. jack Widjajakusuma (UPH); Dr. Zainah Binti Ibrahim (UM), Dr.Ir. Felia Srinaga, MAUD. (UPH); Profesor Madya Dr. Sumiani Binti Yusoff (UM); Prof. Dr.-Ing. Harianto Hardjasaputra (UPH), dan penulis (UPH).

Kunjungan #2: Universiti Tunku Abdul Razak (Senin 10/8/2009)

Karena waktu terbatas maka setelah mengunjungi Universiti Malaya (universitas negeri) pada hari Jumat, maka dipilihlah Universiti Tunku Abdul Razak (universitas swasta) pada hari Seninnya. Jadi diharapkan rombongan kami mendapatkan masukan mengenai kondisi universitas negeri dan swasta di kota Kuala Lumpur, meskipun hanya dua yang kami kunjungi tetapi kita berharap itu dapat menjadi penambah wawasan tentang universitas di Malaysia.

ke_utar_
Nampang sebentar sebelum berkeliling meninjau kampus, dari kiri ke kanan:

  1. Mr Pan Wang Fook (UTAR)
  2. Dr.Manlian (UPH)
  3. penulis (UPH)
  4. Dr.Ir. Felia Srinaga, MAUD (UPH)
  5. Mr Cheong Chew Seong , Head of Department of Internationalisation and Institutional Relations UTAR.
  6. Dr.Ing. Jack Widjajakusuma (UPH)
  7. Mr Tan Cher Siang (UTAR)
  8. Dr Khoo Hooi Ling @ Lai Hooi Ling , Head of Department of Civil Engineering UTAR
  9. Dr Chiang Choong Luin (UTAR)
  10. Ms Koo Chai Hoon (UTAR)
  11. Dr Ir Low Kaw Sai (UTAR)
  12. Dr Lee Khia Min (UTAR)
  13. Dr Lee Min Lee (UTAR)

lab_str_utar
Perhatikan frame uji tekan, memang relatif lebih kecil dibanding yang ada di laboratorium Universiti Malaya. Meskipun demikian yang patut dipuji adalah meskipun kecil tetapi ada. Bayangkan UTAR adalah universiti swasta bahkan berdirinya saja baru tahun 2002 (info lebih lanjut ada di sini), relatif lebih muda dari departemen tempat saya bekerja. Bayangkan itu, baru 7 tahun eh sudah punya alat lab seperti di atas, saya bekerja sebagai dosen sudah menginjak tahun ke 11 saja di didepartemen saya belum punya yang seperti di atas, memang sih secara gedungnya lebih megah dibanding UTAR.  Saya yakin kalau ditempat kerja ada fasilitas seperti di atas, kemudian ada dana riset, rasanya kami nggak kalah-kalah amat. He, he, cari alasan, dan pasti di sini (negeri Indonesia) ada orang yang langsung komentar “pak Wir, mahasiswa departemen bapak berapa sih, kalau beli itu kapan kembali modalnya“.  Maklum riset dan penelitian di negeri kita ini khan belum menjadi fokusnya, baru sebatas pada proses belajar dan mengajar saja , dan lagi-lagi itu semua dikaitkan dengan jumlah mahasiswa yang masuk. Maklum cash flow-nya utamanya dari situ. Apalagi yang perguruan tinggi swasta. 😦

Eh, koq jadi kesannya inferior ya. Mohon maaf, wawasan saya tentang hal tersebut di Indonesia relatif terbatas. Jadi apabila ada universitas swasat di Indonesia yang mempunyai peralatan lebih bagus dari yang diatas mohon saya diberi kabar. Maksudnya adalah untuk dapat saya promosikan, bahwa universitas swasta ditempat kita juga tidak kalah.

Kalau yang universitas negeri mah saya tidak heran, itu grand dari pemerintah atau luar sudah ber-milyar-milyar, jadi kalau ada sih yah sudah sewajarnya.

kampus_utar
Salah satu sudut di kampus UTAR, sebelah kiri tidak kelihatan ada kantin makan mahasiswa. Sepintas sih tidak ada yang istimewa, rasanya banyak bangunan kampus di Indonesia lebih megah. Jadi kalau fokus utamanya adalah bangunan kampus yang bagus, maka rasanya nggak perlu pergi jauh-jauh, kampus-kampus di Indonesia khususnya di P. Jawa sudah OK koq.

academic_staf_paper
Menarik sekali berbincang-bincang dengan Dr Ir Low Kaw Sai, yang nampak berfoto bersama dengan penulis ketika berkunjung ke ruang perpustakaan UTAR. Fasilitasnya sendiri relatif kecil, perpustakaan tempat saya bekerja jauh-jauh lebih besar dan mewah. Kita di Indonesia memang pada umumnya membanggakan gedung dan kelengkapan buku-buku isinya, tetapi di sana, Dr Low dapat dengan bangga menunjukkan ini lho karya-karya tulis staf pengajar di UTAR, dan juga ditunjukkan beberapa karyanya. Meskipun itu semua hanya ditampilkan pada rak yang terlihat sangat sederhana seperti di atas.

Jadi harap dimaklum ya, jika blog sederhana saya ini juga menampilkan buku-buku karya penulisnya. Maklum sepertinya yang bisa dibanggakan dari seorang yang bekerja sebagai dosen atau semacamnya hanya itu doang. Mana bisa memejengkan mobil mewah Jaguar atau semacamnya itu. 🙂

jamuan_
Setelah berkeliling ke sebagian besar sudut kampus maka tengah hari berpamitanlah ke staf UTAR yang ramah-ramah tersebut. Tidak terduga, ada undangan khusus dari Mr Cheong Chew Seong , Head of Department of Internationalisation and Institutional Relations UTAR, yaitu untuk makan siang bersama dengan beliau. Ini mah seperti ‘pucuk dicinta ulam tiba’, perut sudah keroncongan eh ada tawaran (dalam hati lho). Foto di atas gambaran ketika menunggu pesanan dimsum dari salah satu restoran di dekat kampus tersebut yang cukup representatitf.

Thank you Mr. Cheong.

37 tanggapan untuk “stop kirim dosen ke MALAYSIA !”

  1. robert Avatar

    anda yang membanggakan universitas malaysia, apa prestasinya mereka di even2 internasional .. ga ada, lihat itb selalu menjadi juara.. ini bukti jelas, pendidikan kita jauh2 lebih baik, ini diakui oleh 12 pt. di amerika, ini bukti bukan cuma omong

    Suka

  2. andri Avatar

    dilihat dari sumber daya manusia, klo dibandingkan.. jauh.. orang indonesia pinter2, lulusan itb banyak yang bekerja perusahaan besar dunia.. di petronas aja orang itb banyak.. lantas kalo memang pt di malaysia bagus, kenapa begitu banyak enginer2 kita disana, kenapa bukan lulusan pt. mereka yg bekerja disana.. ini bukti.. bahwa orang kita bukan tandingan mereka (malaysia)..

    Suka

  3. budi Avatar

    biaya pendidikan di malaysia 10 lebih dari kita.. akan tetapi diajang kejuaraan tingkat dunia.. kita selalu masuk rangking.. malaysia di penyisihan asia selalu gugur.. kiblat kita bukan malaysia eropa dan amerika.. malaysia mah ga ada apa2 nya..

    Suka

    1. Sihensem Singgam Avatar

      Kalau merasa Malaysia tak ada apa-apanya, makanya jangan komentar. Kalau komentar, bererti anda sudah terpancing. Begitu mudahnya…

      Suka

  4. wir Avatar
    wir

    @robert

    “lihat ITB selalu juara”

    Juara ? O,o,… lomba yang diikuti mahasiswa ITB. Itu khan maksudnya ?

    Sdr Robert, saya berbicara institusi khan, bukan berbicara mahasiswa suatu institusi. Tentang hal tersebut jelas ada perbedaannya. Kalau berbicara murid-murid cerdas atau terbaik, maka jelas negeri kita ini lebih diuntungkan dibanding negeri Malaysia. Bayangkan saja, negeri kita ini khan penduduknya lebih banyak berlipat-lipat kali, yaitu 238 juta (Indonesia) dibanding 24 juta (Malaysia), sumber Wikipedia . Kemudian ITB adalah memang institusi pendidikan rekayasa paling top negeri ini. Jadi saringan masuk ke situ jelas lebih banyak kemungkinannya mendapat calon mahasiswa yang lebih baik. Namanya saja yang terbaik, jadi setelah luluspun kemudian bisa ke luar dan jadi maka itu tidak semata-mata karena faktor ITB-nya, manusianya memang dari sononya sudah ok.

    Jangan-jangan kita ini bisa survive karena memang orang-orangnya istimewa. Tapi untuk bisa kelihatan istimewa atau tidak kadangkala diperlukan lingkungan yang mendukung. Saya kira ini bisa menjawab pertanyaan / pernyataan Andri dan Budi di atas.

    Saya pernah ketemu dosen lulusan luar negeri (bukan Malaysia), dianya dosen salah satu PTN yang cukup terpandang. Saat ini dianya ada di Malaysia, post-doctoral sekaligus hidup sebagai dosen kontrak. Dianya saja mengaku, bahwa kalau dia tetap di Indonesia bagaimana bisa dia mengembangkan riset yang selama ini dia geluti. Jadi karena ingin mempertahankan sekaligus mengembangkan idealismenya sewaktu dia belajar Ph.D -nya dulu maka dia dengan terpaksa ke negeri jiran tersebut. Beliau bersaksi bahwa mendapatkan dana riset di perguruan tinggi malaysia itu lebih mudah dan sangat memungkinkan dibanding ditempat PTN-nya dulu. Tetapi dianya juga mengakui bahwa berkarir lama di negeri jiran adalah juga tidak realistis, oleh karena itu dia tetap mempertahankan statusnya di PTN-nya tersebut, alasan yang digunakan adalah post-doctoral.

    Ini bukan masalah membangga-banggakan, emangnya saya dapat apa dari mereka, tetapi lebih kepada penyadaran teman-teman disini bahwa ayo kita bekerja keras, masih banyak ketertinggalan kita. Tetapi kalau menganggap bahwa apa yang saya sampaikan ini adalah berlebih-lebihan dan maunya pakai kaca-mata kuda dan sudah yakin apa yang sudah berjalan di negeri ini sudah baik, ya monggo-monggo saja. Yang jelas memang ada yang sudah settle dengan kondisi sekarang ini, dan jelas golongan yang seperti itu yang nggak mau berubah.

    Suka

  5. Donny B Tampubolon Avatar
    Donny B Tampubolon

    Dear Pa Wir, cukup menarik artikel bapak yang secara gamblang dan berimbang mengangkat informasi tentang dunia pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan dunia pendidikan di Malaysia.

    Kita harus mengakui kelemahan sistem pendidikan kita yang kurang berorientasikan kepada penelitian. Hal ini seperti tamparan keras terhadap para pelaku kebijakan dalam sistem pendidikan negara ini, namun harus diakui bahwa adalah kenyataan.

    Mempersiapkan sistem pendidikan yang baik untuk generasi mendatang jauh lebih murah dan lebih bermanfaat daripada membiayai sistem pertahanan militer tiap tahunnya. Satu hal lagi, nilai tukar mata uang bukanlah satu2nya parameter untuk menentukan bangsa itu kaya atau miskin, saya kurang setuju dengan analogi bapak yang menceritakan mereka sebagai orang kaya dan bangsa Indonesia adalah pengemis… r
    J

    Wir’s responds : betul pak, saya sedang mempraktekkan menulis dengan majas hiperbola (melebih-lebihkan) dengan maksud agar pembacanya ‘tergugah’ dan memberi tanggapan. 🙂

    Suka

  6. pebbie Avatar

    Memang betul, ukuran untuk “baik” ada berbagai macam. Tinggal bagaimana memanfaatkan berbagai interpretasi ukuran tersebut untuk memperluas dan memperdalam wawasan bukan justru malah mempersempit dan mendangkalkan wawasan.

    Memang yang membedakan belajar di masing-masing sekolah itu adalah lingkungan/atmosfer. Tapi kan tenang saja, manusia itu berbeda-beda, tidak hanya bisa hidup di satu habitat saja. Menilai seseorang hanya semata-mata dari habitatnya sepertinya tidak mencerminkan intelektualitas dan semangat kejujuran akademik.

    Suka

  7. Sani Adipura Winata Avatar
    Sani Adipura Winata

    Ayo kita serbu Malaysia dengan Jurutera Juru tera Lulusan Lokal…Ayo kita rebut ringgit mereka dan transfer menjadi rupiah he..he..
    Cepat Action kalo kita terlambat satu langkah mereka sudah maju dua langkah…

    maaf P Wir terlalu Hiperbola he..he..

    Suka

  8. kadijan Avatar
    kadijan

    Omong-omong, Pak Wir apa sudah pernah bertanya ke Pak Kasiyarno, dasar dari alasan yang beliau ambil? 🙂

    Wir’s responds:
    O itu. Santai saja. Jangan langsung ditanggapi terlalu serius. 🙂

    Suka

  9. ferdy Avatar
    ferdy

    apakah negara kita kurang sadar dan perlu berbenah diri?
    Menurut Pak Wir, apakah permasalahannya? apakah terlalu kompleks? bagaimana kira2 menyelesaikan masalah ini agar tidak timbul masalah yang berkelanjutan?

    Suka

  10. robert Avatar

    maaf aja pak, sy bukannya tergugah, dengan apa yang bapak tulis, malah saya berusaha menggugah anda..

    Suka

  11. robert Avatar

    pak Wir.. untuk menghasilkan yang berkualitas, dibutuhkan tidak cukup dengan bahan baku yang baik saja, tapi dibutuhkan fasilitas, dan orang2 berkualitas untuk bisa mengolah bahan baku tersebut, menjadi sesuatu hasil yang berkualitas pula.. jadi tidak mungkin dapat menghasilkan sesuatu yang berkualitas, tanpa ada proses pengolahan yang berkualitas pula.. bahan bagus proses pengolahan tidak bagus hasilnya kurang bagus.. bahan kurang bagus pengolahan bagus belum tentu jelek tapi belum tentu juga hasilnya bagus.. sekarang kalo hasil nya bagus, sudah tentu bahan baku nya bagus, proses pengolahan nya bagus..

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Pernyataan anda tidak ada yang salah, khususnya bila bahan bakunya adalah barang mati. Tetapi jika yang dibicarakan adalah manusia, adalah tidak seperti itu adanya.

      Pernah dengar pepatah “kegagalan adalah sukses yang tertunda”. Adalah fakta bahwa ada orang yang bersaksi bahwa kesuksesannya adalah setelah melalui kegagalan berkali-kali. Apakah itu berarti bahwa kegagalan adalah suatu proses pengolahan yang bagus.

      Saya tidak tahu dunia yang anda geluti, bidang saya teknik sipil, dari situ saja saya tahu masih banyak yang kita ini sendiri belum mandiri. Masih saja perlu bantuan luar. Padahal kita tahu, dunia pendidikan teknik sipil di Indonesia adalah salah satu pendidikan yang tertua , dan ada juga dimana-mana di berbagai pelosok daerah.

      Suka

  12. andri Avatar

    Saya tau Bapak menulis blog ini dengan gaya bahasa hiperbolis.. karena Bapak maju tak gentar.. membela yang bayar.. hehehe..

    Suka

  13. robert Avatar

    Pak wir, sy mau bertanya, kaitan dengan .. 1. klo anak pintar katakan lah jenius, masuk ke perguruan tinggi yang katakan lah bagus, hasilnya akan optimal?.. 2, klo anak pintar atau katakanlah jenius, masuk keperguruan tinggi yang kurang bagus, apa hasilnya akan optimal? 3. anak biasa saja masuk perguruan tinggi bagus, hasil nya akan optimal atau sebaliknya? .. apa pencapapaian keilmuan nya akan sama dari ketiga nya diatas, katakan lah ketiga nya di bidang disiplin ilmu sipil?

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      @robert
      Berbicara tentang manusia adalah unik. Sampai-sampai ada pepatah “rambut sama-sama hitam, pendapat berbeda-beda” atau juga “dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu”.

      Itu menyebabkan masa depan seorang manusia tidak dapat dengan mudah diduga. Kita manusia hanya bisa berusaha maka Tuhan-lah yang akan menentukan. Jadi dari pertanyaan yang anda ajukan, maka jawabannya bisa ya, tetapi bisa juga tidak.

      Kenapa saya mengambil kesimpulan seperti itu. Untuk menjawab hal itu ada baiknya saya ungkapkan saja suatu fakta hasil pengamatan saya. Ada seseorang, waktu sma-nya di sekolah terbaik di daerah, selanjutnya berhasil masuk perguruan tinggi negeri ternama (tingkat internasional pula) di daerah tersebut. Katakanlah orang tersebut si A. Ada seseorang pula, waktu sma-nya juga disekolah terbaik, tetapi sayang karena satu dan lain hal, waktu masuk perguruan tinggi hanya bisa masuk perguruan tinggi swasta, biasa-biasa saja. Orang tersebut kita sebut B.

      Pertanyaan yang diajukan, siapa yang sukses dalam berkarir antara A dan B tersebut.

      Kalau mengacu pada argumentasi anda maka mestinya anda akan menjawab si A tersebut bukan.

      He, he, inilah kehidupan. Si A karena merasa sudah sukses di perguruan tinggi tersebut maka dia belajar, biasa-biasa saja, lulus-lulus semua sih, dan akhirnya diterima di suatu pekerjaan. Merasa settle ya sudah, dia disitu terus, bagaimanapun dia menyukuri kehidupannya.

      Si B, karena merasa disekolah biasa-biasa, tidak terkenal, maka karena merasa dianya bisa maka dia terpacu ingin menunjukkan hal tersebut, sehingga dia belajar dengan keras, dan akhirnya lulus di situ sebagai terbaik. Dianya sih menyadari, meskipun lulus terbaik disitu tetapi sekolahnya khan biasa-biasa saja. Karena di awal dia sudah merasa bahwa dia bisa maka dia mau tunjukkan lagi. Dia berusaha keras lagi setelah lulus dari perguruan tinggi, untuk sekolah lagi. Kali ini karena mendapat gelar yang terbaik di perguruan tinggi tersebut, maka dia diterima diperguruan tinggi lain di luar negeri untuk melanjutkan S2-nya. Perguruan yang ini lebih baik dari sebelumnya, tapi masih di bawah yang internasional tadi. Karena masih merasa belum optimal, maka dianya tetap berusaha keras dan akhirnya lulus. Karena wawasan pergaulannya lebih luas, maka dia mendapat jalur untuk meraih bea siswa lagi untuk S3-nya.

      Setelah beberapa tahun berlalu, si A dan si B bertemu, si A masih bekerja di daerah . Sedangkan si B karena sudah studi lanjut dan dari luar maka sekarang karena bekerja di perguruan tinggi jadi dosen, maka dia sudah jadi Prof.

      Menurut anda siapa yang berhasil.

      He, he, gampang-gampang susah khan jawabnya. Itulah kehidupan ini. Itulah yang mendasari mengapa saya yang meskipun kerjanya hanya di perguruan tinggi swasta, tetapi masih bisa punya keyakinan kuat bahwa ada yang bisa saya sumbangkan untuk negeri ini. Jadi kata kuncinya adalah “keyakinan diri bahwa kita bisa“.

      Itu yang mendasari, mengapa pendapat rektor di atas perlu disikapi hati-hati, dan jangan ditelan mentah-mentah.

      Contoh-contoh seperti di atas, saya bisa ungkapkan banyak. Intinya bahwa sekolah baik memang membantu orang untuk bertumbuh, dan mendapat kesempatan yang baik, tetapi seperti pepatah banyak jalan menuju roma. Kata kuncinya adalah pada diri sendiri, dan juga tentunya bersandarlah pada Tuhan.

      Suka

  14. AM Putra Avatar
    AM Putra

    Lho, sejak kapan Jakarta dikategorikan sebagai wilayah dalam Pulau Jawa? 🙂

    Suka

  15. robert Avatar

    biarpun rumput tetangga nampak lebih lebih hijau.. rumah kita memang disini.. biarpun di bumi pertiwi ini, masih banyak kekurangan nya, itu jangan dijadikan sebagai hambatan buat kita untuk maju, justru itu harus malah sebaliknya menjadikan nya sebagai tantangan buat kita, agar negeri ini bisa lebih baik lagi.

    pr di negeri kita ini masih banyak, bukan hanya di sektor pendidikan saja yang dipikirkan,, tapi ekonomi, sosial budaya, hankam juga, agar perkembangan dan pertumbuhan bisa sinergi dan lebih baik lagi.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      pr di negeri kita ini masih banyak, . . .

      Syukurlah ada kesadaran seperti itu, ya seperti itulah maksud artikel di atas dibuat. Kita memang perlu bekerja keras, dan jangan santai-santai saja karena terlena (tersanjung) dengan pujian bahwa universitas kita sudah hebat atau lebih baik dari negara lain.

      Salah satu bentuk kerja keras adalah jangan membuat statement-statement yang menina-bobokan masyarakat yang belum tahu. Semuanya nanti merasa tenang-tenang, eh tahu-tahu . . . . Sebagai contohnya khan itu duit kepeng Rp. 100 sudah mulai hilang, yang Rp. 50 sudah lama hilang. Bisa-bisa nanti yang Rp. 500 juga hilang, karena sekarang sudah datang uang kertas pecahan Rp. 2000. Lama-lama pecahan terkecil kita yang ada di masyarakat hanya Rp.500 atau mungkin Rp. 1000 . Itu artinya apa, harga-harga naik semua.

      Bagi yang ‘tahu’ itu khan merupakan tanda . . . . 😉

      Suka

  16. anto Avatar

    ko bahasan nya melebar, dari pendidikan jadi melebar ke soal duit

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      pendidikan dan duit itu seperti dua sisi mata uang, kadang-kadang tidak bisa dipisahkan.

      Ingat pepatah dalam bahasa Jawa :”jer basuki mawa bea

      Suka

  17. parhyang Avatar
    parhyang

    wah sibuk bicara grade universitas, memang pengajar, kelengkapan lab dan perpustakaan menjadi faktor pendukung kesitu.

    @Webometrics – Top South East Asia
    iya benar ngga bisa dipercaya gitu aja, lebih baik dimananya dulu ?? masa tempat saya lulus dinilai lebih baik dari UII jogja padahal dosen Phd matakuliah struktur tempat saya dulu dari situ. Tapi apa karena dosen2 leader dari UGM ngajar juga disitu ya penilaiannya ?
    kalaupun iya, saya ngga bakalan terlena dgn kejayaan masa lalu.

    mengenai jenjang akademis lebih tinggi, kalo sya ngga kesitu karena faktor kesempatan jadi hanya di posisi interested reader dan practical
    – education is life itself.

    Suka

  18. unamedplayer Avatar
    unamedplayer

    malaysial gak ada apapanuye,,, apalagi IT nya,,,hahaha,,:) fasilitasnya aja yang selangit,,tapi prestasinya,,,zzzz

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      hebat dalam arti kreativitasnya memakai program bajakan dan jadi hacker ya.

      Disini memang lebih sih. 🙂

      Suka

  19. Sewa Projector Murah Avatar

    Walupun disana teknologi pendidikan lebih maju tapi kita mempunyai tenga medis lebih handal dari mereka

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Betul !
      Itu seperti kasus Pritta dengan RS. Omni, bidang medis kita memang ‘superior’. Jadi jangan sembarangan. 😦

      Di Malaysia ada nggak yang seperti itu, ‘superior’ terhadap pasiennya. 🙂

      Suka

  20. E Avatar
    E

    Semua harus ditanggapi dgn kepala dingin dan bijak …

    Suka

  21. Margi Avatar
    Margi

    Pak Wir, saya salah satu dosen UAD tepatnya Jurusan Fisika FMIPA UAD. Saya seperti halnya Bapak, S1 dan S2 tanah air, bedanya saya belum S-3.

    Saya pernah mengikuti ” The 4th International Colloquium on Signal Processing and its Applications (CSPA 2008)” di Kuala Lumpur 6-8 March 2008 dan saya mendapat anugerah “BEST PAPER” dari panitia CPSA tersebut. Forum tsb diikuti 200-an lebih paper dari berbagai negara. Belakangan ini paper saya yang mendapat BEST PAPER tersebut saya sempurnakan dan sekarang sedang in-press pada “International Journal for Light and Electron Optics (OPTIC) Elsevier”.

    Barangkali Pak, Rektor UAD (Rektor saya) berani begitu karena salah satu dosennya lulusan S-2 lokal tetapi bisa bicara di forum international haa…haa (maaf Pak Wir kalau saya agak sombong). Perlu Pak Wir ketahui paper tersebut benar-benar hasil riset saya dan teman-teman yang hanya menggunakan fasilitas sederhana yang dipunyai UAD (haaa.. haa.. barangkali tidak se-waaah fasilitas di PT Malaysia seperti pada foto2 Bapak saat di Malaysia atau di UGM, ITB dan Lain-lain)

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Pak Margi, pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat atas keberhasilan PAPER anda. Saya kira itu merupakan prestasi yang dapat dibanggakan, dan bukan merupakan suatu kesombongan. Adanya fakta seperti anda saya kira perlu diungkapkan supaya memotivasi rekan-rekan dosen yang lain, bahwa S1 dan S2 lokal ternyata bisa “berbicara” di tingkat internasional.

      Tetapi jika itu dikaitkan dengan pernyataan bapak Rektor anda. Maka saya bilang lagi, hati-hati, jangan merasa jumawa. Low profile-lah, apalagi anda-anda berdua khan dari Jogja, ‘ngono yo ngono nanging ojo ngono’. Bahkan saya bilang kesaksian anda tidak ada hubungannya dengan pernyataan pak Rektor. Mengapa saya bilang begitu, karena kasus anda adalah kasus khusus, bahkan saya bilang istimewa. Kasusnya seperti Lim Soei Liong, yang nggak sekolahan tetapi jadi konglomerat. Jika demikian khan kita tidak boleh mempunyai kesimpulan umum seperti kalau mau jadi konglomerat jangan sekolah.

      Kecuali hal di atas, pernyataan anda sendiri sudah menjawab, yaitu bahwa riset anda dan teman-teman hanya menggunakan fasilitas sederhana yang dipunyai UAD. Pernyataan itu khan jelas bertentangan dengan pendapat umum bahwa fasilitas juga mendukung. Jika tidak demikian mengapa ada dana hibah segala dari pemerintah yang sekarang ini diperebutkan. Bahkan bisa-bisa itu dapat merugikan anda sendiri, seperti misalnya nanti ada pendapat dari pimpinan (anda) bahwa untuk S3 anda maka tidak perlu kemana-mana, nggak usah ke Harvard atau semacamnya (umpamanya anda mendapat kesempatan ke sana), tetapi tetap di tempat sekarang saja. Toh sudah terbukti bahwa dengan fasilitas yang seadanyapun bisa juga dihasilkan produk bermutu. Jadi kenapa harus ke luar, apalagi biayanya cukup tinggi. Kesepakatan seperti itu khan mendukung pernyataan bapak rektor tersebut bukan. Hayo kalau begitu, gimana.

      Saya berharap dengan bermutunya anda, yaitu dibuktikan dengan best-paper-nya maka anda cukup pandai untuk memilah-milah, mana yang baik dan mana yang tidak. Mendukung institusi untuk maju itu tidak hanya asal bapa senang saja lho. Cobalah bercermin pada kasus Blue Energy tempo hari yang juga menimpa institusi di Jogja.

      Saya kira demikian yang dapat disampaikan, semoga sukses pak.

      Suka

  22. orang Jogja dan negeri Malaysia « The works of Wiryanto Dewobroto Avatar

    […] tinggi di Jogja yang menyatakan untuk tidak mengirim dosen lagi untuk tugas belajar ke Malaysia, ini artikelku yang memberi tanggapan. Kebetulankah kalau keduanya orang-orang Jogja […]

    Suka

  23. Doli Anggia Harahap Avatar

    Saya suka sekali dengan tulisan Bapak.
    Niat baik Bapak untuk menuliskan apa adanya.

    Saya juga tahu niat Bapak untuk menggugah rakyat Indonesia, bahwa kita harus segera bangkit, bukan menjadi manusia yang cepat senang dengan pujian kecil yang sumber faktanya juga tidak diketahui keasliannya.

    Seperti @robert diatas, saya sangat menyayangan beliau berkata seperti itu, matanya masih tertutup. Masalah ini bukan masalah nasionalisme, bukan masalah membangga-banggakan bangsa lain, dan tidak bangga atas bangsa sendiri. Ini masaslah kita sudah sangat tertinggal, dan sepertinya kita ini susah sekali untuk bangkit. Karena apa?

    Kalo saya sih karena memang manusia di Indonesia Kebanyakan (tidak semua) cepat berpuas diri, sehingga ditipu2 oleh Oknum ya hanya berdiam diri.

    Untuk Bapak, saya salut. Untuk teman-teman yang lain, mari kita bangkit, tidak hanya dalam bidang Pendidikan. Tapi semua. Buka MATA. Kita Tertinggal, Jangan Bohongin diri anda kalo kita itu memang tertinggal.

    Suka

  24. adek Avatar

    Memang sebaiknya kita menyikapi “perseteruan” antara Indonesia dan Malaysia ini secara arif, positif, dan obyektif, tidak sekedar mengedepankan emosi atau atas nama nasonalisme. Yang penting marilah kita terus belajar dan bebenah masing-masing. Insya Allah Indonesia akan terus melaju dan disegani di kancah international 🙂

    Suka

  25. surya Avatar

    Kalau mereka memberi beasiswa, tak ape kan….

    Suka

  26. iJaz Avatar

    IPB ranked 58th ?

    Suka

  27. Agungtaufan Avatar

    thank’s..good luck n keep share

    Suka

  28. ekoyulis Avatar

    Seharusnya tulisan bapak bisa menggugah para petinggi petinggi di Universitas Unggulan di Indonesia agar tidak cepat berpuas diri.
    Saya merupakan lulusan Fakultas Teknik Mesin UI. Berbicara mengenai fasilitas belajar dan penelitian kita memang sangat jauh tertinggal dengan negara lain. Bayangkan saja alat Lab permesinan yang kita gunakan adalah alat Lab permesinan yang notabene sudah ada semenjak fakultas teknik UI masih bercokol di salemba. Berarti sebelum tahun 1986 dan sampai sekarang masih digunakan untuk praktikum.
    Ini baru untuk jurusan mesin dan belum untuk jurusan lain yang notabene sama nasibnya.
    Dengan anggaran yang besar (20%) dari APBN seharusnya kita memang bisa meningkatkan fasilitas riset yang berhubungan dengan industri dan sosial. Atau memang ini kebijakan dari para petinggi negara kita yang memang ingin menjadikan negara kita sebagai jajahan produk dari luar negeri…..

    Suka

  29. rockbie Avatar

    Bener sekali, harusnya di fasilitasi oleh negara sendiri

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com