Bagaimana kabar kota Padang, tidak terasa ini sudah setengah bulan lebih sejak gempa melanda kota tersebut. Apa sebenarnya yang terjadi ?
Jawaban tentang itu tentunya sudah dapat dengan mudah dibaca di koran-koran berita maupun di internet, bahkan keesokan hari ketika gempa itu terjadi, saya sendiri berhasil mendapatkanbanyak informasi untuk dijadikan satu artikel tersendiri, disini. Jadi tentunya berita yang diharapkan tersebut tentunya ‘lebih’ dibanding berita yang saya kumpulkan sebelumnya. Berita seperti apa itu.
Rasa ingin tahu lebih banyak tentang gempa di Padang kemungkinan besar dipicu oleh profesiku sebagai civil engineer, sorry jangan bingung, meskipun aku sudah sepuluh tahun lebih hidup sebagai dosen tetapi rasa-rasanya jiwaku ini masih saja menganggap diriku sebagai engineer.
Ada apa dengan civil engineer ?
Tahu sendiri aku adalah civil engineer yang menggeluti bidang structural analysis, juga concrete structures maupun steel structures, yaitu ilmu-ilmu untuk merancang struktur bangunan (jembatan maupun gedung). Rancangan yang aku buat berbeda dengan rancangan arsitek, jika para arsitek lebih mengarah pada sisi estetika, kenyamanan dan semacamnya, maka tugas seorang civil engineer adalah memastikan bangunan tersebut kuat, kaku sehingga dapat berfungsi memenuhi kriteria yang ditetapkan arsiteknya. Jadi kalau sampai roboh karena gempa, maka jelas fungsinya. Kondisi seperti itu dapat menjadi petunjuk bahwa ilmunya civil engineer belum memadai apalagi jika sampai menimbulkan korban jiwa. Gawat itu !
Informasi terakhir tentang dampak gempa di Padang, yang dinyatakan oleh gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi adalah sbb :
Jumlah korban tewas mencapai 1.117 orang, belum termasuk korban yang masih tertimbun longsor dan puing-puing bangunan. Jumlah rumah yang rusak berat menjadi 135.299 unit, sarana pendidikan 2.163 unit, sarana kesehatan 51 unit, gedung perkantoran 253 unit, jalan 178 ruas, jembatan 21 unit, irigasi 123 unit, rumah ibadah 1.101 unit, dan pasar 49 unit.
(Sumber : Medan Bisnis On-Line.com 15 Okt. 2009)
Adanya fakta di atas tentu menimbulkan rasa prihatin, baik sebagai manusia biasa, apalagi yang mengaku diri sebagai civil engineer. Banyaknya bangunan yang rusak berat dapat menjadi indikasi bahwa ilmu yang kugeluti, yaitu memastikan suatu bangunan kuat, kaku dan daktail, ternyata [1] belum teraplikasi dengan baik, atau bahkan [2] diragukan efektivitas pemakaiannya.
Jika ternyata diragukan, maka jelas-jelaslah itu merupakan krisis yang luar biasa bagi profesiku ini, untuk apa belajar susah payah jika ternyata ilmu yang dipelajari tidak berguna. Suatu pekerjaan yang sia-sia. Jadi menemukan jawaban yang benar tentu sangat berguna bagi kelanjutan ke depannya. Latar belakang seperti itulah yang menyebabkan aku ingin tahu kabar lebih lanjut tentang akibat gempa di kota Padang, yaitu untuk menjawab pertanyaanku, ‘Apa yang sebenarnya terjadi’.
Jadi jika anda civil engineer, khususnya yang menggeluti bidang structural engineering maka tentu akan mempunyai pertanyaan yang serupa. Atau mungkin anda sudah punya jawabannya, jika demikian silahkan sharing dong.
Betul Pak Wir, apakah bapak sudah punya kabar yang dimaksud ?
Sejak gempa itu terjadi aku selalu mengamati, mendengar dan mencari jawaban yang dimaksud. Sebenarnya kalau dimungkinkan bisa-bisa juga aku mencari sendiri, yaitu dengan mendatangi lokasi, tapi aku sadar bukan seorang petualang fisik, suasana di sana khan sedang berduka, fasilitas yang ada tentu tidaklah mendukung. Jadi strateginya adalah melalui berita tidak langsung dari orang-orang yang kesana. Tentu agar dapat menjawab secara tepat maka orang-orang tersebut minimal mempunyai latar belakang ilmu yang sama denganku, yaitu structural engineering.
Pendapat dari engineer tentang gempa Padang ternyata relatif tidak banyak, tetapi untung ada beberapa yang berhasil kudapat, seperti misalnya :
- Insanul Kamil (Ketua PII Sumbar, sekaligus dosen di UNAND berpendapat “Dibutuhkan peraturan yang dibuat secara nasional. Selama ini yang ada hanya imbauan-imbauan tentang perlunya bangunan tahan gempa“. (Sumber Antara News di sini ).Pernyataan pak Insanul dapat diartikan bahwa kriteria atau pelaksanaan bangunan sesuai dengan kaidah bangunan tahan gempa belum teraplikasikan disana.
- Mantan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Sumatera Utara, Tavip Kurniadi Mustafa di Medan, Senin (5/10), mengatakan, konstruksi bangunan rumah tradisional bagus pada daerah yang rawan gempa, karena konstruksi bangunannya ringan, sehingga bila ada gempa dapat meminimalisir keruntuhan.”Puluhan tahun lalu juga terjadi gempa, namun bangunan tradisional itu masih dapat bertahan kokoh hingga sekarang, sehingga perlu untuk ditiru masyarakat,” katanya.Tavip memberikan contoh, banyaknya bangunan runtuh akibat gempa di Sumatera Barat, disebabkan konstruksi bangunan terlalu berat dan pondasi lemah, sehingga bangunan rubuh.Terlebih pembangunan rumah toko (Ruko), jarang menggunakan jasa para arsitektur sebelum membangun agar dapat diketahui komposisi konstruksi yang tepat, sehingga banyak Ruko kini berbahaya karena rentan runtuh bila gempa terjadi.
Wah ada sesuatu hal yang kelihatannya benar, tapi nggak sepenuhnya benar dari pernyataan pak Tavip di atas. Jadi aku tertarik untuk membahasnya lebih dahulu. Maklum pak Tavip khan latar belakangnya seorang arsitek, meskipun mungkin berpengalaman membangun gedung, tetapi kalau berbicara ilmu gempa maka kelihatannya perlu diluruskan.
Pernyataan “konstruksi bangunannya ringan, sehingga bila ada gempa dapat meminimalisir keruntuhan” adalah tidak salah, tetapi itu tidak bisa dijadikan petunjuk bahwa semua bangunan ringan pasti tahan gempa. Ada hal lain yang perlu diperhatikan. Sebagai contoh, sewaktu gempa di Yogyakarta, ada bangunan atap pakai baja hot-rolled yang relatif berat dibanding atap baja cold-formed yang relatif ringan, tetapi ternyata fakta menunjukkan bahwa yang runtuh adalah yang terbuat dari baja cold-formed.
Tentang rumah tradisional yang masih bertahan terhadap gempa tidak menunjukkan bahwa rumah yang sekarang adalah sebaliknya. Saya yakin selama suatu bangunan memenuhi persyaratan teknik tahan gempa maka mestinya tidak roboh. Tentang hal ini saya juga mempunyai bukti, tapi ini dari yogya karena waktu itu saya sempat melakukan peninjauan kesana. Ada rumah di dalam kota, rumah peninggalan lama, jadi rumah tradisionil begitu, rangkanya dari kayu, memang sih terbukti bahwa rumah tersebut tahan gempa karena di kanan-kirinya, ada rumah yang relatif lebih baru dari batu-bata pada roboh atau setengah roboh. Dengan pemahaman tersebut aku kebetulan berkunjung ke desa, disana juga ada rumah kayu, hampir mirip bentuknya ternyata roboh. Mengapa ? Ketika diselidiki lebih lanjut ternyata detail sambungan kayu pada kedua rumah tidak sama, yang di desa detail sambungannya relatif lebih sederhana dan ternyata itu tidak kuat. Jadi intinya tidak semua rumah tradisionil pastilah tahan gempa.
Pernyataan pak Tavip tentang “konstruksi bangunan terlalu berat dan pondasi lemah, sehingga bangunan rubuh” tentu dapat dipertanyakan lagi. Bagaimana bisa disebutkan “terlalu berat”, dibanding apa, toh selama ini (sebelum gempa) tidak ada indikasi bahwa bangunan tidak kuat. Juga pondasi lemah, pernyataan pak Tavip itu khan bisa dibenarkan setelah gempa terjadi. Kalau seperti itu saja kondisinya, maka semua pernyataan yang dikeluarkan bisa-bisa dianggap benar. Tapi apa itu suatu pernyataan yang ilmiah (dapat dibuktikan lagi kebenarannya).
Ada lagi pernyataan pak Tavip yang tentu membuat dahi kita mengerenyit yaitu “jarang menggunakan jasa para arsitektur . . . sehingga banyak Ruko berbahaya karena rentan runtuh bila gempa terjadi“. Ini khan seakan-akan ingin mengatakan bahwa cukup pakai tenaga ahli arsitek saja sudah dapat dibuat suatu rumah tahan gempa. Jika demikian maka jelas semua uraian saya di atas tentang civil engineer tidak berlaku lagi. Gimana ini orang-orang teknik sipil, mana perananmu. 🙂
Meskipun ada juga pernyataan di atas yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaanku, tetapi ada juga pernyataan-pernyatan yang orang awam dapat dianggap benar, tetapi pada kenyataannya dapat membingungkan.
Untunglah hal di atas dapat cepat teratasi, kemarin pagi bertemu dengan Dr. FX Supartono, DEA., yang akan memberikan kuliah tamu di UPH dalam rangka Design Week, acara lima belas tahun berdirinya jurusan teknik sipil dan arsitektur UPH. Beliau bercerita bahwa belum lama ini telah melakukan kunjungan ke Padang dan melihat dampak gempa yang terjadi. Itu dapat dilakukan karena kebetulan client perusahaan beliau yaitu PT. Partono Fondas, perusahaan konsultan rekayasa, salah satunya adalah pabrik Semen Padang. Jadi beliau berkepentingan melihat karya-karya beliau terhadap dampak gempa tersebut.
Wah ini sih seperti pepatah “pucuk dicinta ulam tiba“, tanpa diminta ternyata sumber beritanya sendiri dapat ditemui. Bagi kalangan civil engineer yang melek, maka tentu mengetahui siapa beliau ini, secara umum beliau dikenal sebagai pakar struktur dari UI. Sekitar tahun 1995-an saya belajar tentang beton prategang atau prestressed concrete (PC) dengan beliau sewaktu belajar di magister teknik UI. Bayangkan, jika sebelumnya saya tidak berani mendesign beton prategang, tetapi setelah ikut kuliah beliau maka ilmu tentang PC jadi terbuka . . . selanjutnya kalau hanya menghitung balok PC 40 m, wah gampang itu. Kecuali itu, banyak karya beliau di bidang jembatan, seperti misalnya jembatan cable-stayed di Grand Wisata, Bekasi. Juga jembatan cable-stayed di Melak, Kalimantan Timur. Jadi pada prinsipnya beliau ini engineer teori sekaligus praktisi, begitulah kapasitasnya.
Dengan latar belakang seperti itu maka dapat dimaklumilah bahwa setiap pernyataannya tentang dampak gempa di Padang tentunya patut disimak dan dapat dijadikan rujukan, beliau khan ahlinya. 🙂
Menurut beliau, memang benar dampak gempa di kota Padang cukup parah. Kerusakan kebanyakan dijumpai pada bangunan-bangunan yang dapat dikategorikan non-engineering, yaitu seperti misalnya rumah-rumah penduduk dan ruko, atau bangunan-bangunan ‘lama’. Hotel Ambacang yang terlihat megah seperti gambar dibawah ini .
Hotel Ambacang, Padang, sebelum runtuh.
Dikatakan sejarah konstruksi berdirinya hotel tersebut juga diragukan, dulu kata beliau, hotel ini dua lantai lalu dilakukan perluasan sehingga menjadi lima atau enam lantai. Jadi seperti rumah tumbuh begitu. Detail-detail hubungan balok dan kolom tidak memenuhi persyaratan. Wah, wah menarik ini, bagaimana ini dinas tata kotanya, pantaslah kalau begitu pendapat bapak Insanul Kamil seperti di atas, yaitu perlu peraturan yang lebih ketat tentang pelaksanaan bangunan tahan gempa, di tingkat nasional.
Keruntuhan hotel Ambacang, Padang, akibat gempa 29 sept 2009
Kecuali hotel Ambacang yang cukup fenomenal keruntuhannya, maka masih banyak dijumpai keruntuhan dari ruko-ruko, dan semacamnya. Sebagian besar jenis keruntuhan yang diidentifikasi adalah soft-storey-effect, kolom mempunyai kekuatan yang lebih lemah dibanding baloknya, itu ditunjukkan seperti misalnya ada ruko tiga lantai, ketika runtuh maka yang kelihatan utuh adalah lantai dua dan tiga, sedang lantai satu luluh lantah. Ini dapat dimaklumi karena lantai satu kalau ruko biasanya dinding-dindingnya terbuka, ada kaca atau jendela yang lebar, sedangkan lantai dua dan tiga, karena diatas maka ditutuplah oleh tembok.
Adanya tembok akan menambah kekakuan lateral dari kolom di lantai dua dan tiga, sedangkan lantai bawah karena relatif kosong maka hanya mengandalkan kolom saja kekuatan lateralnya, akibatnya ketika ada gerakan lateral dari tanah, maka karena massa lantai dua dan tiga lebih berat (akibat adanya tembok juga) menyebabkan terjadi gaya lateral gempa, karena kolom yang bawah lebih lemah kekakuannya maka disitulah titik kritisnya.
Kondisi tersebut juga diperparah menurut bapak FX Supartono adalah bahwa detail struktur antara kolom dan balok adalah tidak memenuhi persyaratan, bahkan banyak dijumpai tidak ada sengkang diantara joint kolom-balok tersebut.
Adanya informasi dari bapak FX Supartono tersebut rasanya berkesesuaian dengan usulan pak Insanul Kamil, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa parahnya dampak gempa di Padang adalah akibat tidak memenuhi persyaratan bangunan-bangunan disana secara teknis. Jadi bolehlah kita ahli secara teoritis, tetapi kalau tidak diaplikasikan maka ya seperti itulah kejadiannya. Untuk mendukung kesimpulan tersebut bahkan bapak FX Supartono mengambil contoh dari bangunan-bangunan industri yang direncanakannya untuk pabrik Semen Padang. Bangunan yang dimaksud kebanyakan dari beton bertulang, dan yang memikul beban peralatan mesin yang jauh lebih berat dibanding beban orang seperti pada hotel, tetapi nyatanya dengan gempa yang sama ternyata bangunan-bangunan tersebut retakpun tidak. Untuk membuktikan itu bahkan bapak Supartono telah menaiki tangga sendiri untuk melihatnya.
Dari pertemuan pendek setengah hari dengan bapak Dr. FX Supartono selain membahas topik sustainable seperti yang diminta dalam seminar tersebut secara tidak lansung diperoleh juga informasi baru tentang gempa Padang.
<< up-dated 17-10-09>>
Sejak membahas gempa dengan bapak Dr. FX Supartono, maka rasanya info tentang gempa Padang bertambah. Nggak tahu, apa ini yang disebut sebagai efek tarik-menarik dari suatu pikiran yang sama. Kemarin jumat sempat bertemu via internet dengan Dr.-Ing. Josia Irwan Rastandi (pakar struktur dari UI) yang bersama dua mahasiswanya baru saja pulang dari Padang. Beliau baru saja mewakili UI dalam tugas yang diberikan DIKTI bersama dengan team pakar dari ITB (Dr. Iswandi Imran dan teman ) dan UGM (Dr.-Ing. Joko Sulistyo dan teman ) untuk melakukan pendataan bangunan-bangunan sekolah yang rusak di sana. Kerusakan juga disebabkan oleh kondisi bangunan yang tidak memenuhi persyaratan teknis.
Beliau menyarankan jika ada NGO yang ingin membantu infrastruktur di sana maka ada baiknya memulai dulu dari sekolah, karena banyak penduduknya yang kuatir masuk kelas karena bangunannya dianggap tidak aman.
Pagi ini mengikuti acara reuni akbar teknik sipil UGM di Balai Kartini, Jakarta, dalam kesempatan tersebut cukup banyak bertemu dengan teman-teman lama. Salah satunya bapak Ir. Moh. Widiarso, yang tinggal di kotal Padang, beliau sedang menangani proyek jembatan Kelok Sembilan, dari ceritanya dapat diketahui bagaimana kondisi kotanya. Syukur Alhamdulilah, temanku tersebut tidak kurang sesuatu apapun, beliau juga bercerita rumahnya tidak masalah, hanya sedikit retak pada tembok pengisi, kondisi proyeknya juga ok. Jadi yang rusak adalah rumah-rumah yang tidak memenuhi persyaratan.
Dalam kesempatan reuni tersebut juga sempat berbincang dengan Dr. HRC Priyo Sulistyo, pakar beton / dinamik dari UGM, yang sempat menjelaskan bahwa UGM telah mengirim dua team ke Padang. Wah, tambah informasi ini. Rencananya akan dikirim lagi team dari UGM ke sana.
Ada cerita yang menarik dari beliau, bahwa seperti tempo hari di Jogja, tugas team UGM adalah melakukan assesment suatu bangunan, ternyata proses assesment gampang-gampang susah, itu tidak hanya sekedar permasalah teknis, non teknisnya juga banyak. Seperti misalnya, ketemu suatu bangunan yang retak, tetapi karena dianggap retaknya non-struktur, maka dalam proses assesment tersebut dianggap OK, yaitu memenuhi persyaratan untuk ditempati lagi. Eh, ternyata hasil assesment tersebut tidak membuat penduduk itu senang, tetapi bahkan minta disebut sebaliknya, yaitu dianggap “TIDAK OK”.
Usut punya usut ternyata mereka meminta hasil assesment “TIDAK OK” itu dengan harapan akan mendapat dana bantuan gempa dari pemerintah. 🙂
Ada-ada saja, tidak rusak khan seharusnya disyukuri, eh bahkan minta dianggap rusak. Gimana kalau akhirnya menjadi rusak beneran itu.
Tinggalkan komentar