Wah-wah seru . . . seru !
Ranah pengadilan masuk ranah pendidikan, Ujian Nasional sekolah akan dihapus. Dengan demikian pihak-pihak yang tidak mendukung alias menolak diadakannya ujian nasional di sekolah-sekolah pada bergembira, seperti dikutip dari Republika Online sebagai berikut :
- Prof Dr Arief Rahman Hakim, pengamat pendidikan, mengaku senang dengan penghapusan UN. Sejak dulu saya tidak setuju dengan adanya UN, katanya. Arief menilai rumusan UN ada yang salah. Apalagi, katanya, UU Sisdiknas tidak menyinggung soal UN.
- Direktur Institute of Education Reform Universitas Paramadina, Hutomo Dananjaya, meminta Depdiknas instrospeksi dan tidak meneruskan UN.
- Humas SMA Negeri 1 Depok, Wirdan, mengaku setuju peniadaan UN, karena tidak mencerminkan kualitas akademik siswa. Kadang ada siswa yang sangat pintar (materi) matematika dan fisika, tapi bahasa Indonesianya lemah, bukan berarti siswa itu tidak pintar kan, ujarnya.
Anda bagaimana ?
Setuju, . . . seneng dengan tidak adanya UAN.
Terus terang aku bukan termasuk diantara kelompok di atas, aku bahkan termasuk yang sedih dengan keputusan MA tersebut. Bagaimanapun juga tahun lalu, aku dapat merasakan ketakutan anakku ketika akan menghadapi UN. Bahkan lebih takut dibanding ujian sekolahnya, bagaimana lagi, UN kesannya sakleg, tegas, dan seakan-akan tidak tersentuh oleh guru-guru yang mendidiknya selama ini. Itu tentu berbeda jika dibandingkan dengan ujian sekolah yang dikeluarkan oleh guru-gurunya sendiri. Materi soalnya khan bisa diselaraskan dengan kemampuan anak didiknya. Adanya ketakutan tersebut ternyata jika diarahkan dengan baik dapat menuntun atau tepatnya memacu anakku tersebut untuk lebih giat belajar. Jadi aku dapat merasakan sisi positip dari adanya UN, yaitu anak-anak lebih serius. Ujian akhir yang berupa Ujian Nasional adalah tidak main-main !
Jadi jika dihapus, maka tentu yang terjadi adalah tidak seperti itu. Tetapi yang jelas, anakku bisa mengikuti UN dengan baik, dan bahkan punya kebanggaan karena nilainya dapat dibandingkan dengan anak-anak lain dari pusat kota. Maklum namanya saja Ujian Nasional.
Bagi sekolah-sekolah yang sudah punya nama (bermutu), dihapuskannya Ujian Nasional saya kira tidak ada masalah. Sebagai sekolah bermutu maka mestinya ada atau tidak ada bagi mereka tidak ada pengaruhnya. Wong namanya sekolah sudah bermutu, khan mesti siap uji. Jika sekolah tersebut merasa bermutu tetapi takut UN, lalu apa yang disebut mutu tersebut. Iya khan.
Ujian Nasional menurut saya sangat penting bagi sekolah-sekolah yang belum bermutu. Mula-mulanya sekolah-sekolah tersebut pasti akan kelabakan menghadapi UN, maklum belum bermutu. Tetapi yang jelas, dengan adanya UN maka itu dapat menjadi indikasi apakah sekolah tersebut cukup baik atau bukan. Jika suatu sekolah ternyata dari UN yang ada hasilnya belum baik, dan jika mereka berorientasi pada mutu maka tentu mereka akan berusaha memperbaikinya. Jika tidak ada usaha kearah itu , yaitu perbaikan diri, maka jelas sekolah seperti itu akan ditinggalkan muridnya.
Kondisi di atas jika berlangsung terus menerus akan menyebabkan adanya peningkatan mutu, yang seragam antar satu dengan yang lain. Indikator positip akan keberadaan UN adalah bahwa murid sekolah di Bekasi (daerah) dapat merasa sederajat dengan murid yang sekolah di Jakarta (pusat). Ujiannya saja Nasional. Jadi berlaku secara nasional pula.
Jika tidak ada UN, dan ujiannya diserahkan lagi secara lokal kepada sekolah-sekolahnya, maka jelas indikator yang bersifat nasional tidak akan ada. Sekolah di pusat dan sekolah di daerah jelas tidak akan dapat dibandingkan satu sama lain. Jadi dengan demikian, sekolah yang tertinggal tetap tidak tahu kalau tertinggal, mereka pede-pede saja meluluskan alumni, yang nantinya akan menjadi pengangguran. Itu khan yang terjadi selama ini. Terus terang adanya UN membuat mereka-mereka yang selama ini santai-santai saja, jadi gelagapan. Itu jelas aku rasakan, karena ada UN maka aku harus mempunyai perhatian khusus, membantu anakku menghadapinya. Itu khan artinya tidak bisa santai-santai saja bukan.
Saya tidak tahu mengapa mereka pada tidak suka UN, karena bagiku yang namanya berkompetensi adalah orang yang mampu diuji. Jadi UN juga salah satu bentuk ujian, biasa, murid khan nggak perlu takut ujian. Selama materi yang akan diujikan diberitahu, dan juga diberi waktu yang mencukupi untuk persiapannya, mengapa harus takut.
Ibarat satria jaman dahulu, agar sakti, maka nggak bisa hanya dengan leha-leha saja, harus berani masuk ke luar hutan, bertapa maupun berkelahi dengan binatang buas. Itu semua memang beresiko, tapi kalau berhasil maka itu akan berguna untuk mengantar satria tersebut menjadi pahlawan perang.
Jadi dapat dikatakan juga, karena MA mendukung dihapuskannya UN, maka MA adalah pendukung orang-orang yang ingin budaya santai, tidak berani diuji, kalaupun ingin jadi macan, maka cuma akan jadi macan kertas. Katanya negeri ini sudah lebih 50 tahun merdeka, tapi koq masih terpuruk dibanding negeri lain. Kalau dengan evaluasi yang dibuat oleh bangsa negeri ini saja takut, mana berani mereka dievaluasi oleh bangsa lain.
Untunglah menteri pendidikan yang baru, Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, DEA. , tetap berani menyatakan bahwa UN masih akan diadakan tahun depan. Salute.
Saya mendukung anda pak Menteri. Bravo.
.
Note : kapan ada sosok pemimpin bangsa yang seperti JK lagi, berani tegas dalam bersikap dan teguh dalam berpendirian. 🙂
.
Artikel berita yang terkait :
- “Mitos-mitos” Ujian Nasional ?
Senin, 30 November 2009 | 02:39 WIB - Stop Ujian Nasional, Perbaiki Sekolah Rusak – St Kartono
Kompas, Senin, 30 November 2009 | 02:34 WIB - Kamis, 26/11/2009 20:34 WIB
Wakil Ketua MPR Setuju Penghapusan Ujian Nasional – detikNews - Rabu, 25/11/2009 15:07 WIB
MA Larang UN: JK Sarankan Mendiknas Ajukan PK – detikNews
.
Artikelku yang berkaitan dengan UN:
- cari sekolah sma – 28 Juni 2009
- dagdigdug-nya menunggu UN – 21 Juni 2009
- Mega-Pro Janji Hapus UN – 14 Juni 2009
Tinggalkan komentar