Wah-wah seru . . . seru !

Ranah pengadilan masuk ranah pendidikan, Ujian Nasional sekolah akan dihapus. Dengan demikian pihak-pihak yang tidak mendukung alias menolak diadakannya ujian nasional di sekolah-sekolah pada bergembira, seperti dikutip dari Republika Online sebagai berikut :

  • Prof Dr Arief Rahman Hakim, pengamat pendidikan, mengaku senang dengan penghapusan UN. Sejak dulu saya tidak setuju dengan adanya UN, katanya. Arief menilai rumusan UN ada yang salah. Apalagi, katanya, UU Sisdiknas tidak menyinggung soal UN.
  • Direktur Institute of Education Reform Universitas Paramadina, Hutomo Dananjaya, meminta Depdiknas instrospeksi dan tidak meneruskan UN.
  • Humas SMA Negeri 1 Depok, Wirdan, mengaku setuju peniadaan UN, karena tidak mencerminkan kualitas akademik siswa. Kadang ada siswa yang sangat pintar (materi) matematika dan fisika, tapi bahasa Indonesianya lemah, bukan berarti siswa itu tidak pintar kan, ujarnya.

Anda bagaimana ?

Setuju, . . . seneng dengan tidak adanya UAN.

Terus terang aku bukan termasuk diantara kelompok di atas, aku bahkan termasuk yang sedih dengan keputusan MA tersebut. Bagaimanapun juga tahun lalu, aku dapat merasakan ketakutan anakku ketika akan menghadapi UN. Bahkan lebih takut dibanding ujian sekolahnya, bagaimana lagi, UN kesannya sakleg, tegas, dan seakan-akan tidak tersentuh oleh guru-guru yang mendidiknya selama ini. Itu tentu berbeda jika dibandingkan dengan ujian sekolah yang dikeluarkan oleh guru-gurunya sendiri. Materi soalnya khan bisa diselaraskan dengan kemampuan anak didiknya. Adanya ketakutan tersebut ternyata jika diarahkan dengan baik dapat menuntun atau tepatnya memacu anakku tersebut untuk lebih giat belajar. Jadi aku dapat merasakan sisi positip dari adanya UN, yaitu anak-anak lebih serius. Ujian akhir yang berupa Ujian Nasional adalah tidak main-main !

Jadi jika dihapus, maka tentu yang terjadi adalah tidak seperti itu. Tetapi yang jelas, anakku bisa mengikuti UN dengan baik, dan bahkan punya kebanggaan karena nilainya dapat dibandingkan dengan anak-anak lain dari pusat kota. Maklum namanya saja Ujian Nasional.

Bagi sekolah-sekolah yang sudah punya nama (bermutu), dihapuskannya Ujian Nasional saya kira tidak ada masalah. Sebagai sekolah bermutu maka mestinya ada atau tidak ada bagi mereka tidak ada pengaruhnya. Wong namanya sekolah sudah bermutu, khan mesti siap uji. Jika sekolah tersebut merasa bermutu tetapi takut UN, lalu apa yang disebut mutu tersebut. Iya khan.

Ujian Nasional menurut saya sangat penting bagi sekolah-sekolah yang belum bermutu. Mula-mulanya sekolah-sekolah tersebut pasti akan kelabakan menghadapi UN, maklum belum bermutu. Tetapi yang jelas, dengan adanya UN maka itu dapat menjadi indikasi apakah sekolah tersebut cukup baik atau bukan. Jika suatu sekolah ternyata dari UN yang ada hasilnya belum baik, dan jika mereka berorientasi pada mutu maka tentu mereka akan berusaha memperbaikinya. Jika tidak ada usaha kearah itu , yaitu perbaikan diri, maka jelas sekolah seperti itu akan ditinggalkan muridnya.

Kondisi di atas jika berlangsung terus menerus akan menyebabkan adanya peningkatan mutu, yang seragam antar satu dengan yang lain. Indikator positip akan keberadaan UN adalah bahwa murid sekolah di Bekasi (daerah) dapat merasa sederajat dengan murid yang sekolah di Jakarta (pusat). Ujiannya saja Nasional. Jadi berlaku secara nasional pula.

Jika tidak ada UN, dan ujiannya diserahkan lagi secara lokal kepada sekolah-sekolahnya, maka jelas indikator yang bersifat nasional tidak akan ada. Sekolah di pusat dan sekolah di daerah jelas tidak akan dapat dibandingkan satu sama lain. Jadi dengan demikian, sekolah yang tertinggal tetap tidak tahu kalau tertinggal, mereka pede-pede saja meluluskan alumni, yang nantinya akan menjadi pengangguran. Itu khan yang terjadi selama ini. Terus terang adanya UN membuat mereka-mereka yang selama ini santai-santai saja, jadi gelagapan. Itu jelas aku rasakan, karena ada UN maka aku harus mempunyai perhatian khusus, membantu anakku menghadapinya. Itu khan artinya tidak bisa santai-santai saja bukan.

Saya tidak tahu mengapa mereka pada tidak suka UN, karena bagiku yang namanya berkompetensi adalah orang yang mampu diuji. Jadi UN juga salah satu bentuk ujian, biasa, murid khan nggak perlu takut ujian. Selama materi yang akan diujikan diberitahu, dan  juga diberi waktu yang mencukupi untuk persiapannya, mengapa harus takut.

Ibarat satria jaman dahulu, agar sakti, maka nggak bisa hanya dengan leha-leha saja, harus berani masuk ke luar hutan, bertapa maupun berkelahi dengan binatang buas. Itu semua memang beresiko, tapi kalau berhasil maka itu akan berguna untuk mengantar satria tersebut menjadi pahlawan perang.

Jadi dapat dikatakan juga, karena MA mendukung dihapuskannya UN, maka MA adalah pendukung orang-orang yang ingin budaya santai, tidak berani diuji, kalaupun ingin jadi macan, maka cuma akan jadi macan kertas. Katanya negeri ini sudah lebih 50 tahun merdeka, tapi koq masih terpuruk dibanding negeri lain. Kalau dengan evaluasi yang dibuat oleh bangsa negeri ini saja takut, mana berani mereka dievaluasi oleh bangsa lain.

Untunglah menteri pendidikan yang baru, Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, DEA. , tetap berani menyatakan bahwa UN masih akan diadakan tahun depan. Salute.

Saya mendukung anda pak Menteri. Bravo.

.

Note : kapan ada sosok pemimpin bangsa yang seperti JK lagi, berani tegas dalam bersikap dan teguh dalam berpendirian. 🙂

.

Artikel berita yang terkait :

.

Artikelku yang berkaitan dengan UN:

40 tanggapan untuk “MA Hapus Ujian Nasional”

  1. rioraha Avatar

    YUK! BUKTIKAN KALO KITA PEDULI THD REKAN2 PELAJAR YG JADI KORBAN UJIAN NASIONAL.KLIK “JOIN” DI GRUP INI DAN JADILAH BAGIAN DARI KELOMPOK PENGUAT PUTUSAN MA!!!
    http://www.facebook.com/group.php?gid=327537700530

    INGAT! COPAS URL-NYA DIMANAPUN.

    Suka

  2. Teddy Basari Avatar

    Sebaiknya UN ditunda dulu, biayanya untuk perbaikan sekolah, peningkatan profesionalism guru, dan bantuan siswa tidak mampu. Tetapi kalau tetap diadakan sebaiknya hanya dijadikan pemetaan saja untuk mengetahui wilayah mana yang kurang / lebih / sudah baik pendidikannya.

    Dan untuk sementara kembalikan lagi kelulusan ke pihak sekolah karena kamilah, para guru, yang lebih tahu siswa mana yang harus lulus atau mengulang

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      kamilah, para guru, yang lebih tahu siswa mana yang harus lulus atau mengulang

      Yah betul, itulah yang selama ini terjadi sebelum adanya UN. Jadi sama-sama disebut telah lulus, tetapi kompetensinya bisa berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain. Padahal sudah dipakai juga kurikulum nasional.

      Kenapa itu terjadi, karena standar yang dipakai untuk mengukur tidak sama.

      Dengan adanya UN memang, satu dua tahun pertama akan menjadi momok, tetapi jika pemerintah dan pendidik tegar untuk menghadapinya maka saya yakin itu bisa.

      Anda sebagai guru, sebagaimana saya, tentu tahu bahwa potensi manusia itu luar biasa. Jika ada suatu tantangan yang ternyata dapat dilalui maka manusia tersebut akan lebih dewasa. Memang untuk itu perlu kerja keras, baik siswa, guru maupun orang-tuanya.

      Sebagai guru mestinya anda mendukung siswa anda untuk menjadi lebih dewasa.

      Suka

  3. Dito Avatar

    Saya sangat setuju dengan pendapat bapak. Menurut saya, hingga saat ini, satu-satunya alat yang sah secara hukum, dan merupakan suatu indikator saintifik (nyata dan benar) perihal proses belajar saya selama 3 tahun di SMA (dan di SMP dulu), hanyalah UN.

    Bagaimanapun, pemerintah, sebagai penanggung jawab tertinggi penyelenggara pendidikan di Indonesia, harus tuntas pula menyelenggarakan pendidikan yang memiliki indikator-indikator (standar kompetensi) yang dapat diukur dalam skala nasional pula, agar mereka bisa, setidaknya mengukur beberapa indikator-indikator tersebut, melalui ujian nasional.

    Saya rasa, ujian nasional tidak bisa dilihat sebagai suatu harga mati yang hanya bisa dinilai berdasarkan ya atau tidak, benar atau salah, setuju atau tidak, melainkan harus dilihat sebagai sebagian kecil dari seluruh sistem pendidikan.

    Menurut saya, sudah bukan saatnya lagi mengevaluasi perlu tidaknya UN, melainkan seperti kualitas soal, penilaian, atau teknis penyelenggaraan. Lagipula, masih ada hal yang jauh lebih penting untuk diperbincangkan ketimbang UN, seperti penyempurnaan kurikulum, bahan ajar, mengintegrasikan satu jenjang pendidikan ke jenjang yang lainnya, dan yang terutama, mengenai masalah pemerataan kualitas pendidikan.

    Seperti yang bapak katakan,

    Untunglah menteri pendidikan yang baru, Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, DEA. , tetap berani menyatakan bahwa UN masih akan diadakan tahun depan. Salute.

    Saya juga merasa hal yang sama. Maju terus!

    Suka

  4. papoonk Avatar
    papoonk

    whad?
    ALHAMDULILLAH…
    1.UN emang penting…murid kaya saya bakal belajar lebih giat lagi…tp kn kmampuan seluruh murid seindo beda….ada yang stres belajar trus….ada yang depresi cz ga masuk2 pelajarannya….melasi sidane…
    2.UN yg dimajuin lebih gemblung lg…guru2 bakal maksa murid dapet pelajaran saking cepetnya…murid bakal mlukek dong….huwah. h.h.h.h…
    3.mending tingkatin kualitas guru se Indo….dan pemerataan kualitas guru se Indo….kn ntar semua siswa merupakan lulusan sekolah nasional ….

    Suka

  5. yayu Avatar

    aku dukung MA 100% banyak siswa yang stress gara UN sekarang saya dialamin apalagi UN dilaksanakan bulan maret pak MA tolong donk UN di hapus/dicabut.

    saya takut kaya tahun kemarin banyak yang gak lulus jadi korban dan banyak yang bunuh diri:”(

    terimakasih

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya Yayu, ada positip dan pasti ada negatifnya juga. Untuk itu perlu dipertimbangkan mana yang lebih dominan.

      Kalau hanya stress itu biasa, setiap orang yang menghadapi ujian pasti merasa dagdigdug, bahkan stress. Selama stress itu dikelola dengan baik dan dapat diatasi maka orang tersebut akan bertambah dewasa.

      Untuk yang bunuh diri, yah kasihan juga. Berapa persen kejadiannya, ini tentunya perlu ditindak-lanjuti, guru-gurunya dibina dan dilatih bagaimana membantu siswa agar jangan sampai itu berulang lagi.

      Suka

  6. aaulia Avatar
    aaulia

    Saya kurang lebih, setuju dengan pak Wir (btw hallo pak, sudah lama nih nggak ngasih bahasan yang agak-agak kontroversi 😀 ).

    Saya sebenarnya kaget kok bisa MA ngasih putusan UN dihapus, sangat aneh. Memangnya apa yang salah sama UN ?

    Kalau alasannya terlalu sulit sehingga anak stress (lucu sebenarnya ini), harusnya bukan UN nya yang di hapus, tapi materinya ditinjau ulang, apakah terlalu berat, atau bahkan terlalu ringan. Dan kualitas guru dalam mengajar juga ditingkatkan. Cukup sedih juga kalau melihat keadaan seperti ini, sepertinya pemerintah kita dikendalikan oleh kekuatan massa semata, dan bukan pake otak dan nurani.

    Suka

  7. Feri H Avatar
    Feri H

    Dihapusnya UN, saya setuju. Tujuan akhir suatu pendidikan bukan diukur dari UN, melainkan sampai seberapa siswa bisa merubah perilakunya, namun demikian guru dan siswa tidak boleh santai (malas) karena tidak ada UN.

    Sudahkah para guru bisa mendidik siswa sebagai manusia pembelajar ?

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      UN memang bukan tujuan akhir, tetapi sebagai standar untuk mengetahui seberapa jauh siswa telah berubah perilakunya.

      Jika tidak ada standar yang bersifat baku dan nasional maka perubahan perilaku siswa bisa kemana-mana, dan belum tentu sesuai harapan semua orang.

      Jika seseorang mampu berubah, mengapa UN perlu ditakuti. Menurut saya, selama materi yang diujikan jelas, dan dapat direncanakan dengan matang sebelumnya (waktunya cukup), maka sebenarnya UN seperti ujian-ujian yang lain. Jika tidak bisa maka itu menunjukkan bahwa para guru belum bisa mendidik siswa menjadi manusia pembelajar. Perlu tindakan lebih lanjut, yang terakhir inilah yang seharusnya ditindak-lanjuti Diknas.

      Jadi sebenarnya UN merupakan jawaban terhadap semua keraguan yang anda sampaikan.

      Suka

  8. eva chiu Avatar
    eva chiu

    coba mendiknas dan pegawai BNSP itu turun langsung ke daerah2 jangan hanya menilai kertas di atas meja. SUDAH STANDAR KAH SEKOLAH2 YG ADA DI DAERAH2…. kalau semuanya sudah, boleh UN sbg PENENTU KELULUSAN. Kasihan siswa di daerah2… miliyaran dana UN dan Paket ABC itu sebaiknya utk melengkapi dulu sarana prasarana sekolah dan pengadaan guru.

    jangan hanya mengukur di sekolah2 kota saja, ingat sekarang hanya 10% sekolah di RI ini yg memenuhi SNP. yg lainnya belum standar, Kok dipaksakan….. terlalu kejam

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      SUDAH STANDAR KAH SEKOLAH2 YG ADA DI DAERAH2…. kalau semuanya sudah, boleh UN sbg PENENTU KELULUSAN.

      Pernyataan saudara itu menunjukkan bahwa UN dapat menjadi evaluator untuk mengetahui bahwa suatu sekolah sudah standar atau tidak. Dengan demikian mestinya perlu tindakan lebih lanjut untuk menanggapinya.

      Jika UN yang dapat digunakan sebagai evaluator kemudian dihapus, itu berarti tindakan saudara seperti pepatah “Buruk rupa cermin dibelah“.

      Kesan selanjutnya tentu seakan-akan tidak terlihat adanya yang buruk rupa, atau dengan kata lain dengan tidak adanya UN maka sekolah-sekolah yang tidak standar tadi tidak terlihat. Karena tidak terlihat maka tidak ada tindak lanjut untuk mengatasinya. Artinya di daerah yang tertinggal tetap tertinggal.

      Membiarkan daerah-daerah yang tertinggal tetap tertinggal, apakah itu bukan suatu tindakan yang lebih kejam !

      Suka

  9. jarwadi Avatar
    jarwadi

    Saya tidak setuju dengan penghapusan UN.

    Saya adalah pekerja di suatu sekolah swasta pinggiran tidak terkenal. Apa yang saya amati sejak UN belum diberlakukan sampai saat ini, menurut saya : UN telah banyak membuat perubahan dan kemajuan. Kalau dulu guru dan siswa asal asalan dalam melaksanakan KBM, maka ketika UN diberlakukan baik guru dan siswa menjadi bersungguh sungguh dalam mencapai kelulusan. Sekolah lebih banyak berkoordinasi dengan orang tua siswa untuk mengimplementasikan suatu program pembelajaran. Banyak kreatifitas yang muncul baik itu dari guru dan siswa sebagai usaha menjawab tantangan UN.

    Dengan adanya UN kemudian bagi orangtua/wali dan siswa dapat lebih mudah memetakan yang mana sekolah yang lebih berkualitas untuk dipilih sebagai tempat menempuh studi, dan bagi sekolah yang tertinggal saya pikir akan berusaha bagaimana cara untuk mengejar ketertinggalan dan mengambil kembali reputasi yang tercecer gara gara banyak tidak meluluskan siswa siswi 😀

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Cara berpikir anda luar biasa pak. Saya respect kepada Bapak.

      Saya yakin, jika banyak guru-guru Indonesia berpikir dan bertindak seperti yang Bapak ungkapkan, saya yakin kedepannya Indonesia ini akan maju.

      Tetaplah mempunyai idealisme pak. Menjadi guru itu tidak sekedar mencari sesuap nasi, menjadi guru itu adalah usaha mulia untuk mengubah bangsa, sehingga bangsa tersebut dapat menjadi mandiri dan bahkan menjadi berkat bagi sesamanya.

      Semoga Tuhan melindungi dan memberkati segala usaha yang Bapak lakukan. Amin.

      Suka

  10. Sugie Avatar

    Saya rasa Poin pentingnya adlah
    UN bukan memjadi satu”nya barometer yg menentukan siswa lulus atau tidak.

    Uji kompetensi saya rasa lebih tepat.

    Selain itu sarana, fasilitas sekolah yg harus dipenuhi standarnya untuk sluruh daerah.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Sama saja pak, apapun namanya, UN atau uji kompetensi selama itu berupa evaluasi dan menghasilkan keputusan apakah siswanya lulus atau tidak maka akan menimbulkan stress juga.

      Kecuali jika uji kompetensi tersebut tidak mengakibatkan apa-apa, Maksudnya pasti lulus semua. Itu sih pasti tidak akan ada yang protes.

      Ada-ada saja bapak ini.

      Suka

    2. jarwadi Avatar
      jarwadi

      ya, memang UN bukan satu satu nya qualifikasi untuk meluluskan siswa, saat ini sudah ada beberapa sekolah yang tidak meluluskan siswa karena alasan selain nilai UN yang tidak memenuhi syarat, karena ada permasalahan dalam pelajaran selain pelajaran yang di UN kan

      Masalahnya berapa banyak sekolah yang berani mengambil resiko seperti itu

      Suka

  11. Sugie Avatar

    Maksud saya, harus ada tolok ukur lain selain UN yg akan menentukan siswa itu lulus atau tidak.

    Sungguh tidak adil belajar 3-6 th, kemudian digagalkan hanya dalam waktu -+2 jam.

    Gagal dlm 1 mata pelajaran, siswa dianggap gagal keseluruhan.

    Suka

  12. azwar Avatar
    azwar

    bapak, maaf sebelumnya, saya adalah siswa SMA yang mendukung penghapusan UN, mengapa? karena jika bapak mau memantau ke bawah , dalam pelaksanaan UN hampir bisa dikatakan 100% tidak JUJUR !

    saya adalah korban nya ! nilai UN SMP saya standar sesuai dengan kemampuan saya, karena saya mengerjakan secara jujur dan sendiri. sedangkan ketika hasil NEM UN itu keluar, saya sungguh kaget mengetahui teman2 yang maaf, biasanya malas ngerjain PR, suka bolos, mereka dapat nilai UN lebih tinggi. Entah siapa dalang nya? dan sekarang di SMA mereka tetap seperti itu, ketika saya selidiki, ternyata mereka sudah punya akses orang yang dapat memberikan kunci jawaban! dan lebih parah lagi, di beberapa SMA swasta, oknum tersebut itu adalah guru itu sendiri, dan ketika saya telusuri lebih lanjut, itu diinstruksikan secara umum kepada kepala sekolah se kota dan kabupaten oleh kepala dinas pendidikan ?!!!?!?!?!

    sungguh tanda tanya besar bukan? JADI BUAT APA UN ??? kalau sang pembuat UN nya malah berlaku seperti itu? lebih baik GURU yang menilai, karena GURU lah yang tau keseharian para siswa selama 3 tahun !!

    masalah standar sekolah bisa dilihat dari data alumnus SMA ybs , seberapa banyak output nya yang masuk ke PTN , survey kelayakan BANGUNAN / FASILITAS sekolah negeri. saya kira DANA UN lebih bermanfaat jika digunakan untuk pengembangan sarana dan prasarana sekolah, terutama sekolah negeri !!

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Betapapun idealnya suatu kebijakan yang diambil, tetapi jika diselewengkan oknum maka begitu jadinya.

      Tetapi adanya oknum-oknum seperti itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengeliminir kebijakan yang diambil tersebut, yang nyata-nyata menghasilkan pengaruh yang positip.

      Saya kira, ini masukan yang berharga bagi aparat, bahwa ada oknum yang curang. Sekiranya anda bersedia memberikan informasi secara lebih terperinci sehingga oknum tersebut dapat ditangkap dan jika perlu dihukum berat, bagaimanapun itu menyangkut masa depan seseorang.

      Suka

  13. Jerry Avatar
    Jerry

    Mas Azwar, yang perlu dihapus bukan UN nya, tapi kecurangannya.

    Kualitas pengadaan UN harus ditingkatkan lagi agar UN benar-benar dapat menjadi standar yang terpercaya dan diakui.

    Suka

  14. yeltsin Avatar
    yeltsin

    menurut saya pak wir, standar nilai UN yang diturunkan, biar orang lainlah yang menilai..
    kalau standar ditinggikan; misalkan 7.. para siswa pasti akan berusaha untuk mencontek.. bagaimana menurut pak wir?

    Suka

  15. Agus RN Avatar

    silakan dilaksanankan asal tidak menentukan kelulusan…

    Suka

  16. Nuryasin Avatar
    Nuryasin

    Saya sebagai guru geografi setuju UN dihapus karena tidak berperi keadilan dan pri kemanusiaan..maju terus MA ????

    Suka

  17. altup Avatar

    halo pak, saya sebetulnya tdk mau terjebak dlm pro atau kontra UN. Pada dasarnya saya yakin seyakin2nya semua orang setuju dgn tujuan dari diadakannya UN.
    Tentu saja tujuannya simple yaitu meningkatkan kualitas pendidikan dan anak didik seIndonesia.

    Namun yg perlu diperhatikan adalah kebijakan UN saat ini sangat tdk adil. Dan hal ini bukan berdasar hasil pantauan atas dramatisasi yg dilakukan media mainstream.

    Mengapa tdk adil?
    karena seperti disebutkan, sekolah favorit tentu tdk akan kesulitan meluluskan murid2nya.
    Dan utk argumen mengenai “secara alami sekolah2 yg krg favorit akan berusaha”, saya kira tidaklah sesimple itu.

    Bagaimana mungkin masyarakat di daerah yg masih miskin dimana para anak didik yg di luar jam sekolahnya bahkan masih harus bekerja apapun demi membantu sekedar mencukupi kebutuhan keluarganya diharapkan utk “kerja ekstra”?

    Belum lagi masalah biaya yg harus dikeluarkan.
    Jadi ini bukan masalah tentang peraturan keras yg gunanya mendisiplinkan manusia agar bertanggung jawab atas kualitas intelektualnya masing2.

    Keseluruhan dari pelaksanaan UN ini harus juga ditinjau dari kondisi sosial ekonomi secara nyata di lapangan.

    Tentu kalau kita hanya terpaku pada kacamata kondisi sosial yg sama, yaitu seolah2 seluruh lapisan masy di Indo sudah dpt menyuruh anaknya utk fokus pada “pendidikan formal sekolah” agar lulus UN argumen bapak sungguh sangat mengena.

    Namun, sekali lagi percayalah saya yakin tidak ada satu orgpun yg menentang peningkatan kualitas pendidikan.

    UN hanyalah satu alat. Yang kalau diimplementasikan secara merata di seantero negri hanya semakin memperlihatkan jurang ketidakadilan yang semakin menganga.

    Saya 100 persen ragu keluarga miskin mampu memberikan biaya tambahan semacam bimbel utk anak2 mereka.
    Saya juga 100 persen ragu apakah adil menerapkan UN disaat kita tahu hal tersebut harusnya dilaksanakan perlahan2 dan bertahap.
    Yaitu tahap pertama pemerintah “memberikan nilai kelulusan” pada seluruh guru di Indo.
    Lalu memastikan fasilitas dan akses pendidikan yang betul2 berstandar sama di seluruh negri. dari sabang sampai merauke.
    Karena yg saya lihat justru yg bermalas2an itu adalah pemerintah dgn seolah menutup mata terhadap semua kondisi tersebut.
    Kenapa yg diambil justru jalan pintas dgn mengorbankan anak didik yg setiap dari mereka tdk mungkin ada satupun yg tidak ingin dirinya menjadi lebih pintar dan bersaing dalam era globalisasi ini.
    semoga kita semua sadar penghapusan UN tdk diartikan karena bangsa ini adalah bangsa yg tdk ingin maju.
    kita semua harus terus berjuang utk peningkatan standar pendidikan dgn cara yg benar dan adil…dengan mengorbankan seminimal mungkin masa depan seseorang.

    Indonesia bukan Jepang, bahkan bukan pula Singapura.
    Namun, Indonesia akan terus berjuang mengejar ketertinggalan tanpa perlu rendah diri dan menutupi kebobrokan dengan mengorbankan yg (masih) lemah…

    Suka

  18. agus pw Avatar
    agus pw

    kenapa pada ribut UN, pantes indonesia makin lama makin tertinggal dalam banyak hal dengan negara tetangga, lihat malaysia, apalagi dengan singapura, yang terakhir vietnam mulai bangkit meninggalkan indonesia yang masih digaris star tidak bergerak.

    Suka

  19. Ayi Avatar
    Ayi

    Aq setuju jika UN dihapuskan karena bukan itu yg membuat siswa maju tapi malah bikin siswa stres dan lebih menjadi malas karena yakin mendapat bocoran jawaban.

    Suka

  20. Ale-ale Avatar
    Ale-ale

    Ujian Nasional kan yang membuat soal dan yang ngoreksi adalah BSNP silakan Ijazah JANGAN memakai SIMBOL Burung Garuda pake aja semacam piagam/sertifikat atau simbol yang ideal bagi BSNP walaupun landasan penyelenggaraan maupun dana operasional BSNP dari negara dan akan lebih fleksibel bagi yang TIDA K LULUS bisa mengulang tiap tiga ( 3 ) bulan sampai bisa LULUS dan…… yang lebih PENTING lagi adalah …… Jika UN ditiadakan yaitu ..Bagaimana menstandarisasi pada PROSES nya …yaitu dengan AKREDITASI SEKOLAH, akan menuntut STANDAR KURIKULUM — SARPRA –PROFESIONAL GURU. Adanya sertifikasi guru tak perlu TUNJANGAN yang hanya diberikan kepada GURU yang 2 tahun lagi akan PENSIUN berikan pada guru yang masih produktif dalam bentuk DIKLAT / PENATARAN secara periodik dan terus menerus dengan berkesinambungan da meningkat sesuai proses globalisasi pendidikan. …. gitu .. kira-kira

    Suka

  21. Ale-ale Avatar
    Ale-ale

    Sepertinya pelaksanaan UN ini hanya semacam sandiwara/sinetron pendidikan …. saja Jika tulisan AZWAR di atas sebagai bukti mayoritas sekolah dalam rangka menjaga gengsi tentu tidak bisa dikatakan oknum namun itu adalah sisi kelemahan UN. apapun sistem yang akan diterapkan akan ada aja cara merekayasa dan sangat yakin itu pasti terjadi. Coba bapak-bapak bagaimana pendidikan di Malaisia, Singapore, Korea, Jepang dll… Kalo sekiranya terlalu luas wilayah Indonesia buat aja Regionalisasi Indonesia Barat, Tengah dan Timur atau lainya silakan…

    Suka

  22. chepoyochi Avatar
    chepoyochi

    UN sebenarnya positif tapi kalau soalnya tidak sesuai dengan pengajaran di sekolah dan kemampuan murid sebaiknya tidak diadakan. karena cita-cita seorang anak bangsa akan terhalang kalau mereka tidak lulus ujian dan bisa saja akan bertindak yang lebih untuk menunjukkan penyesalannya harus mengulang kembali………..

    Suka

  23. kiee Avatar

    mna mngkin un dpt mmbuat ank2 di daerh sderajat dngan ank2 di kta bsar.soal un yg di samaratakan secara nasioal mlah akn membuat pljr di daerh smkin kewalahn.krn pmerintah blm mmpu mmberikn srana yg merata di setiap daerh.yg membuat kualitas kita berbeda-beda

    Suka

  24. sudana Avatar
    sudana

    Membaca silang pendapat yang pro dan kontra adanya UN, saya yang awam dalam soal pendidikan, merasa bahwa masing2 pihak rasanya punya argumentasi yang logis.

    Tetapi bila saya baca/dengar berita di media surat kabar/tv, rasanya mereka yang profesinya dalam bidang pendidikan, tampak lebih condong ke pendapat bila UN dihapuskan.

    Karena mereka ini orang2 yang memang ahli di bidangnya, rasanya pendapat ini yang lebih banyak manfaatnya untuk anak didik.
    Mungkin demikian juga pemikiran MA dalam memberikan putusannya mengenai UN ini.

    Mungkin pendapat ini dapat dibandingkan dengan komentar/jawaban Pak Wir, yang pernah ditulis di blog ini, atas pertanyaan se seorang dengan profesi arsitek tetapi melakukan design struktur beton bertulang.

    Mottonya : Serahkan pada ahlinya

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      mereka yang profesinya dalam bidang pendidikan

      Anda masih percaya sepenuhnya pada mereka ? Merekalah yang selama ini bergelut atau terlibat membesarkan atau hidup pada institusi yang mengkhususkan diri pada kependidikan. Tahu khan namanya.

      Jika ternyata keberadaan institusi tersebut signifikan dalam mengangkat mutu pendidikan di Indonesia, sehingga masih diperlukan keberadaannya, mengapa sekarang hampir semua institusi tersebut merubah namanya menjadi universitas umum.

      Itu khan suatu upaya agar mereka masih dianggap sejajar dengan universitas umum. Tahu khan artinya.

      Keahlian mendidik jelas berbeda dengan keahlian profesi seperti yang anda sebut. Tidak mempunyai sertifikat atau ijazah dalam bidang kependidikan juga bisa mendidik koq. Jaman saya SMA dulu, yaitu di Yogyakarta, saya ingat betul beberapa guru saya bahkan belum berijazah S1 pendidikan. Toh murid-muridnya juga bisa jadi. Yang paling penting adalah bahwa orang yang berperan sebagai guru tersebut harus mempunyai kompetensi atau keilmuan pada materi yang diajarkan.

      Terus terang, meskipun saya juga bekerja pada bidang pendidikan, tetapi saya tidak puas dengan kurikulum pendidikan di tingkat dasar. Anak saya kelas empat SD , ketika melihat banyaknya materi yang diajarkan kepadanya saya sendiri melihat ‘terlalu banyak’. Akhirya apa yang dilakukan, mereka sekedar hanya menghapal. Kurikulum yang digunakan itu khan hasil pengembangan ‘para ahli’ tersebut bukan.

      Selanjutnya UN khan tidak menguji semua materi tersebut, hanya yang dianggap penting. Tapi mengapa pada ketakutan semua. Saya cenderung kurikulum untuk level pendidikan dasar dan menengah lebih baik ditinjau lagi. Pilih yang penting-penting. Saya bahkan curiga, banyaknya materi kurikulum diberikan di pendidikan dasar dan menengah itu adalah untuk membuat peluang para sarjana lulusan institusi pendidikan tersebut untuk mendapatkan kerja. 😦

      Suka

  25. putra Avatar

    saya sangat setuju !!!
    UAN hanya membuat siswa jadi stress …
    HAPUS UAN !!!!

    Suka

  26. Yon Avatar
    Yon

    Menyikapi tentang penghapusan UN, saya berpendapat tidak setuju jika UN sebagai sistem standarisasi kelulusan dihapuskan. UN boleh diganti tetapi tetap bisa mencerminkan standarisasi lulusan sekolah. Jika kelulusan hanya ditentukan oleh guru masing-masing sekolah, maka bisa DIPASTIKAN semua sekolah akan meluluskan siswanya semaksimal mungkin, untuk mengejar reputasi sekolahnya.

    Memang, ada perbedaan kualitas lulusan antara perkotaan – perdesaan, antara Jawa – Luar Jawa, antara sekolah favorit – tidak favorit. Itu terjadi karena dua penyebab pokok, yaitu siswa itu sendiri dan tenaga pendidiknya. Siswa yang masuk sekolah favorit rata-rata bebekal IQ lumayan dan dididik oleh guru dengan kemampuan lebih, maka wajar jika mutu lulusannya juga lebih bagus.
    Untuk itu diperlukan pemerataan guru yang berkualitas agar sekolah yang kurang/tidak favorit juga menghasilkan lulusan dengan kualitas standar.

    Kalau UN (standar kelulusan semacamnya) dihapus, maka ketimpangan standar tersebut akan terjadi, karena masing2 sekolah merasa dirinya terbaik, padahal…….. 😦

    Menurut saya UN harus tetap diberlakukan, dan semua komponen pelaku pendidikan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

    Suka

  27. agusnurrohman Avatar
    agusnurrohman

    saya setuju UN di tiadakan
    kunjungi blog saya juga ya,mohon bimbingannya, http://agusnurrohman.wordpress.com/

    Suka

  28. tiar Avatar
    tiar

    saya setuju dengan UN, merupakan salah satu indikasi betapa tertinggalnya sekolah2 yang di desa dan antara pulau jawa dan luar jawa….., sehingga kita masing2 dapat intropeksi diri tetapi yang terutama pemerintah jangan asal melaksanakan UN.

    Suka

  29. Andaka Avatar
    Andaka

    saya sangat..100x setuju kalau UN tetap ada, kalau bisa terus ada karena hanya itulah indikator standar penilaian untuk setiap siswa yg akan lulus.

    Tolong tinggalkan budaya indonesia yg MALAS untuk bekerja keras dalam menggapai tujuan. Disaat orang di luar sudah pergi ke bulan kita malah masih jalan di tempat. Ayo para kaum pelajar indonesia, buktikan anda semua masih punya semangat untuk membangun bangsa ini.

    Sesuatu tujuan yg mulia harus di capai dengan kerja keras dan pengorbanan.

    slm

    Wir’s responds: untunglah ada orang yang sadar. Semoga menginspirasi yang lain.

    Suka

  30. Naru Avatar
    Naru

    Buat apa ada UN apabila guru2 sekolah tersebut masih memberi kunci jawaban buat siswanya sendiri dengan alasan agar siswa nya dapat lulus dan tidak mencoreng nama sekolah ?

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Guru seperti itulah yang sebenarnya yang membuat Indonesia ini tidak maju. Guru yang sekedar bekerja untuk kepentingannya sendiri, yaitu mencari nafkah. Nggak beda dengan buruh atau karyawan atau pekerja yang lain. Guru harus punya prinsip dan idealisme. Guru yang baik, tidak takut dengan UN.

      Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com