Eh ternyata ada juga rekanku yang membaca ide tulisanku tentang UN di blog ini, sehingga ketika ketemu kemarin dengan canda menegur, “Ngapain sih pak Wir ngotot UN ? “. Padahal dalam sehari-harinya kita ini (aku dan temanku tersebut) tidak terlibat atau dilibatkan dengan UN, yang mana itu khan terjadinya di tingkat pendidikan dasar dan menengah, di pendidikan tinggi khan belum tidak mengenal UN.
” Coba kalau ada semacam UN juga di tingkat perguruan tinggi, apa pak Wir juga mendukungnya ? “, demikian lanjut temanku tadi memberi semacam wawasan baru bagiku.
Aku berpikir lama dengan komentar temanku tadi, lalu aku membayangkan itu terjadi pada diriku, seolah-olah aku ini adalah seorang guru di sekolah. Guru yang telah merasa, memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya. Selama ini sebagai gurunya, akulah yang mengevaluasi kelulusan murid-muridku, pada mata pelajaran yang menjadi tanggung-jawabku. Jadi selama murid-murid tersebut rajin, yaitu selalu hadir dan mendengarkan / menyimak dengan baik materi yang kusampaikan, serta rajin mengerjakan tugas PR, maka pada umumnya pasti dapat lulus dengan baik. Bagaimana lagi, aku khan gurunya, yang tahu materi-materi yang telah diberikan dan dibahas, serta materi mana yang belum. Juga berdasarkan quiz-quiz yang kuberikan, aku jadi tahu bagian mana yang relatif mudah dan bagian mana yang relatif sukar bagi mereka. Jadi jika hal sama diberikan pada ujian akhir, yang menentukan kelulusannya, dan aku sebagai gurunya ingin agar mereka banyak yang lulus, maka tentu aku dapat memilih soal-soal apa yang cocok bagi mereka, sehingga probabilitas mereka untuk lulus adalah besar. Di sinilah aku menjadi paham ketika seorang guru yang lain dapat berkata dengan pede , bahwa ” para gurulah yang lebih tahu, siswa mana yang harus lulus atau siswa mana yang harus mengulang“. Benar juga.
Jadi jika terbukti bahwa banyak materi yang kuberikan juga keluar pada ujian akhir, maka para siswa banyak yang akan lebih menyimak pelajaran-pelajaran yang aku berikan. Itu berarti sebagai guru aku dihormati, karena kalau mereka melecehkan aku dan juga materi-materi yang kuberikan, maka bisa-bisa mereka tidak lulus sekolah. Itu khan masalah gawat bagi seorang murid.
Dengan kondisi seperti itu, aku menikmati menjadi guru. Ada nilai kepuasan yang tidak dapat ditukar dengan materi. Aku adalah GURU, diguGU dan ditiRU.
Jika kondisinya seperti itu, dan juga jika sekolah tempatku bekerja sudah dikenal orang dengan baik, misalnya sekolah favorit. Maka kondisi tersebut adalah kondisi yang ideal. Sebagai guru aku sudah dihormati murid-murid, dan sekolahnya sendiri sudah dianggap favorit oleh masyarakat, sehingga tidak takut tidak mendapat murid di tahun ajaran baru berikutnya. Pada kondisi yang ideal tersebut maka aku dapat bekerja dengan tenang sebagai guru mempertahankan kondisi tersebut, bertahun-tahun mendatang lamanya. Nggak perlu campur tangan orang lain untuk mendapatkan murid-murid bermutu, dan karena sudah favorit maka bantuan dari pemerintah bisa saja secara otomatis datang. Kenapa otomotis, karena jika pemerintah tidak membantu, maka jika sekolah berprestasi maka bisa-bisa dia punya kebijakan sendiri yang mungkin tidak sejalan dengan pemerintah, sumber dananya khan dari siswa. Sedangkan jika pemerintah membantu, minimal dia punya catatan prestasi. Ini lho peran pemerintah sehingga sekolah ini dapat berprestasi. He, he, pokoknya cocok dengan politik “citra” yang sekarang ini sedang laku keras bukan. 🙂
Kemudian, jika kondisi yang establish tersebut sekonyong-konyong digedor oleh perintah dari langit, dimana evaluasi kelulusan sekolah ditentukan dari luar, oleh pihak-pihak di luar guru-gurunya yang mengajar, seperti yang sekarang ini terjadi, yaitu UN. Maka bagaimana rasanya.
Materi UN khan tidak dibuat oleh guru yang mengajar murid-muridnya sendiri, tetapi oleh team luar, yang para guru saja mungkin tidak tahu. Artinya, materi UN bisa-bisa tidak dipahami dengan baik oleh murid maupun gurunya. Untuk bisa tahu dan dapat menjawab dengan baik, maka siswa dan guru yang selama ini sudah baik-baik saja , perlu menyesuaikan diri lagi. Itu artinya murid dan guru perlu bekerja di luar dari apa-apa yang telah dilakukan selama ini. Kerja ekstra.
Jika aku sebagai guru, ngotot, tidak mau tahu dan tetap pada kebiasaanku yang ada, maka bisa-bisa apa-apa yang kuajarkan selama ini tidak berguna lagi, karena tidak sesuai dengan materi UN tersebut. Jika itu terbukti, dan diketahui oleh murid-muridku, maka bisa-bisa nanti mereka akan melecehkan. Untuk apa belajar dariku, gurunya, toh tidak akan keluar pada UN.
Jika itu terjadi, maka bisa-bisa mereka tidak akan menghormat aku lagi. Rasa puas, atau bangga yang aku terima selama ini bisa hilang tak berbekas.
Jika aku bekerja di luar dari apa-apa yang telah dilakukan selama ini, itu khan berarti kerja ekstra, itu juga berarti aku harus belajar lagi, menguasai materi UN. Jadi statusnya sama seperti murid-muridku, namanya saja belajar, apakah itu murid atau guru, berarti perlu effort khusus. Bayangkan, aku di sekolah sudah bekerja, mengajar murid-murid, pulang ke rumah ketemu anak dan istri, selain itu badan juga sudah tua. Jadi dengan demikian kapan waktu belajarnya. Artinya belajar lagi bagi seorang guru adalah suatu beban.
Bahkan yang lebih menakutkan bagi profesi guru adalah karena dengan adanya UN maka secara tidak langsung guru seniornya dievaluasi juga. Seperti misalnya jika aku guru matematik senior, ketika nilai UN keluar dan ternyata banyak murid-murid sekolah tersebut nilainya jelek, maka orang akan melihat pertama kali kepada gurunya, jika mata kuliah tersebut diajar oleh kelompok guru maka yang dilihat adalah yang seniornya. Itu khan bikin dag-dig-dug juga.
Dengan cara berpikir sebagai seorang guru seperti itu, aku jadi memahami mengapa banyak guru yang menolak UN. Apa untungnya hayo.
Jadi kalau begitu pak Wir masih ngotot dengan UN ?
<<< he, he, mikir dulu deh >>>
saya sebenarnya setuju dengan ujian nasional, tetapi jika melihat fasilitas di sekolah (lab, perpustakaan dsb) yang tidak merata, kayaknya memang perlu ditinjau ulang mekanisme ujian nasional.
Saya lebih setuju dengan sistem dulu yaitu EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), Pertama materi ujian lebih jelas (Rumpun IPA, IPS & Bahasa untuk di SMU), Kedua Penentuan Kelulusan Peran Sekolah dan Guru juga Besar karena Berdasarkan nilai pada Ijasah yang di tentukan oleh guru/sekolah, ketiga untuk pemetaan mutu bisa diihat dari NEM (Nilai Ebtanas Murni) menurut saya proses evaluasi pada EBTANAS lebih manusiawi.
SukaSuka
Saya tidak setuju UN untuk menentukan apakah anak didik lulus atau tidak…. tetapi tetap perlu UN untuk dipakai oleh sekolah tujuan dalam hal menetukan standard penerimaan mereka…. agar ada satu standard nilai yang berlaku sama diseluruh indonesia….
SukaSuka
kayaknyanya pendapat sampean itu di lapangan nggak cocok 😦
saya yang di sekolah merasakan betapa guru di untungkan dengan UN soalnya khan jadi ada bimbel de-el-el… dan ujung2nya duit 🙂
hanya segelintir guru aja yang gak suka UN di hapus 🙂
SukaSuka
muridnya yang seneng bisa santai-sante, leyeh-leyeh…. emang banyak yang mau nya begitu,,,,
sulit sedikit males, habis nggak lulus,,, ngrundel… nangis…demo…menyalahkan yang lain..
ntar kalau udah kerja, cari jalan cepat untuk kaya, jalan pintas untuk kaya….. jadilah KORUPTOR…. terus kapan akan lebih baiknya negeri tercinta ini, jika generasi awalnya sudah seperti itu mentalnya…
SukaSuka
kalau gak ada UN terus kemampuan kita gimana di ujinya..
SukaSuka
satu hal yang pasti, soal2 di UN emang kerap kali ga nyambung dan ga mudah dipahami..
tapi untungnya, saya cuman satu kali UN, meski di bawah2 saya adik2 saya harus UN berkali2
SukaSuka
Menurut saya UN tetep penting, tapi bukan sebagai tolok ukur kelulusan, mengingat belum seragamnya kualitas ajar di negara kita, bilamana nanti kualitas pendidikan sudah merata dan seragam UN bisa dijadikan tolok ukur kelulusan siswa
SukaSuka
Harus ada UN biar pejabat bisa korup biaya pengadaan LJK, tender pembuatan soal, Uang Pengawas dsb…..
DOWNLOAD E-BOOK AKHIR ZAMAN
http://www.penuai.wordpress.com
SukaSuka
seharusnya orang tak perlu ngotot.
ya tho.
SukaSuka
Pak Wir, saya lebih setuju UN hanya menjadi tool untuk memetakan kualitas pendidikan di Indonesia. Hasilnya bisa dievaluasi dan dijadikan tolak ukur peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan.
Tapi yang kebablasan itu kalau UN jadi PENENTU kelulusan. Itu sudah menyalahi UU Diknas dimana penentu kelulusan berada di tangan guru dan bukan pemerintah.
Sebagai catatan, apakah sama kualitas pendidikan di Jakarta dengan di Kabupaten Raja Ampat di Papua? 😆
SukaSuka
Ha, ha, ha, emangnya jawabannya apa ?
Yang jelas selama kurang lebih 10 tahun aku menjadi dosen di teknik sipil UPH, sudah ada empat alumni yang berasal dari Papua. Kondisinya saat ini adalah sebagai berikut :
* dua orang kembali lagi ke papua, satu jadi pegawai negeri di sana (putri), dan satu berwiraswasta sekaligus jadi dosen swasta.
* satu lagi jadi engineer di salah satu perusahaan multinasional di Jakarta
* dan satu lagi setelah menyelesaikan S2 di Taiwan (putri) kembali lagi ke almamater jadi dosen.
Jadi jelas, yang pendidikan dasar-menengahnya di Papua ternyata tidak kalah dengan yang mendapat pendidikan dasar-menengahnya di Jakarta. Emangnya kalau mendapat pendidikan di Jakarta mesti lebih baik, rasanya yang tawuran di sini (Jakarta) lebih banyak dibanding yang tawuran di daerah. 🙂
O ya, meskipun demikian ada juga anak Papua (ada dua) yang gagal menyelesaikan di tempat kami. Padahal kalau mau tahu, jurusan teknik sipil UPH jumlah muridnya relatif sedikit dibanding jurusan lain di UPH, sebagai swasta yang keuangannya mandiri (tidak ada subsidi pemerintah) maka keberadaan murid sangat berarti. Kondisi itu tidak menyebabkan kami berpikir “daripada nggak punya murid” lalu sembarang siswa kita luluskan. Bagaimanapun juga, mutu adalah prioritas, dan itu baru akan kelihatan pada jangka panjangnya.
Jadi kata kuncinya adalah keberanian untuk mengevaluasi. Suatu sekolah / perguruan tinggi yang nggak berani mengevaluasi (gugur atau lulus) maka jelas nggak ada dampak atau signifikasinya bagi anak didiknya.
Nggak ngaruh, begitu kata orang. 🙂
SukaSuka
sebenarnya saya masih setengah2, antara setuju dan tidak setuju.
tidak setuju, karena benar sekali masih banyak ketidakmerataan di sistem pendidikan di Indonesia. Menurut saya juga, soal UAN harusnya dibedakan, tidak asal2an. setahu saya sih, ada perbedaan region, jadi soal UAN di pusat belum tentu sama dengan soal UAN yang diterima di Papua sana, jadi tetap juga disetarakan dengan penerimanya.
apapun itu, dihapuskannya UAN ato UN, akan memacu kemalasan pada sebagian anak, karena mungkin berpikir bisa berleyeh-leyeh saja, dan tidak berusaha untuk lulus dari SMA.
SukaSuka
Sudah berapa banyak korban ketidak lulusan UN yang berjatuhan di daerah-daerah….ironisnya putra-putri yang berprestasi didaerah tidak lulus di UN, ini membuktikan bahwa standar UN Perlu dikaji ulang lebih detail lagi, mungkin perlu disesuaikan dengan kondisi daerah dimana pasilitan pendidikan belum semuanya dimiliki.
SukaSuka
sesuaikan dengan UU yang sudah ada, UN hanyalah untuk standarisasi nasional dan pemetaan kualitas bukan satu-satunya penentu kelulusan
SukaSuka
Maaf pak, lagi malas bikin quote. 😆
Kalau 1-2 orang yang berprestasi dari Papua pasti ada. Tapi saya melihat kualitas pendidikan dalam konsep menyeluruh dan bukan kualitas SDM yang diukur dari beberapa orang yang mempunyai prestasi cemerlang.
Pendidikan bukan hanya sekedar kurikulum atau otak cemerlang. Tapi banyak aspek yang membentuknya seperti fasilitas pendidikan, guru dan kualitas guru, dukungan pemerintah lokal, kesejahteraan guru, attitude anak didik, informasi dan teknologi, dan lain-lain.
Secara rerata, kualitas pendidikan di Papua [termasuk yang di pedalaman] tidak bisa disamakan dengan yang ada di Jakarta. Bagaimana mau bicara kualitas sementara pemerataan pendidikan saja masih belum tercapai.
Bagi saya, UN [dengan konsep seperti sekarang] itu proyek mercusuar. Mau mengikuti negara maju yang pendidikannya sudah merata dan tujuannya terfokus pada peningkatan kualitas secara menyeluruh.
Yang terpenting itu adalah pemerataan. Pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan, pemerataan fasilitas, dan yang lainnya. Masih jauh kalau bicara standar secara global. Standar secara lokal, saya lebih setuju.
Itulah yang membuat saya lebih setuju kalau UN digunakan jadi ALAT untuk memetakan kualitas pendidikan di Indonesia, dengan melihat aspek-aspek kedaerahan dan geografis. Dari hasil pemetaan itulah bisa dikaji apa saja yang bisa ditingkatkan. Dan BUKAN sebagai alat penentu kelulusan, karena tidak ada standar yang sama di setiap daerah.
Saya pernah menulis soal UN di blog lama saya, dan tidak pernah setuju kalau konsepnya masih seperti sekarang. Ada di http://fertob.blog.friendster.com/2006/07/menggugat-kualitas-pendidikan-indonesia/
Makasih, pak. 🙂
SukaSuka
@goldfriend
Yah cara berpikir kita beda, khususnya dalam kebijakan pendidikan. Kata kunci yang anda gunakan adalah [1] Pemerataan dan [2] Standar lokal lebih utama daripada standar global. Memang sih jika selanjutnya kata kunci pemerataan kemudian anda kaitkan dengan keadilan. Wah kelihatannya cocok, dan seakan-akan memihak pada rakyat kecil, sehingga mungkin akan banyak yang terkecoh dengan hal tersebut.
Tetapi kalau berbicara tentang kualitas, maka jelas hal itu nggak bisa dicampur-adukkan dengan pemerataan. Kualitas dari sononya saja sudah berkonotosi “lebih” dibanding yang lain. Sifatnya memang relatif. Maksudnya di Papua itu sudah dianggap berkualitas maka di Jawa dengan kondisi yang sama belum tentu dianggap berkualitas.
Jadi kualitas itu dikaitkan dengan suatu perbandingan tertentu. Ada suatu proses evaluasi. Tanpa adanya suatu proses evaluasi maka jelas kita nggak bisa mengatakan kualitas sesuatu, paling-paling hanya bisa diungkapkan kuantitasnya.
Oleh karena kualitas sifatnya relatif maka agar dapat diterima secara luas diperlukan suatu standardisasi, sehingga sesuatu yang dianggap kualitas di Papua maka di Jawapun juga tetap dianggap berkualitas. Artinya bahwa standar kalau hanya bersifat lokal maka tidak akan berguna.
Dengan itu semua maka jelaslah bahwa dasar-dasar yang anda gunakan sebagai rujukan kebijakan pendidikan yang anda ajukan, yaitu [1] Pemerataan dan [2] Standar lokal, tidak bisa diaplikasikan dengan konsep mutu di atas.
SukaSuka
kenapa harus ngotot ada UN? perlu adanya hipotesis tentang hasil pendidikan sebelum bangsa ini mengenal UN dengan setelah adanya UN.
Ini perlu riset! . Yang jelas hasil pendidikan kita adalah banyak orang korupsi,banyak tawuran,banyak yang tidak bermoral,banyak yang tidak berkejujuran,dan lain lain…………….
itu yang harus direnungkan kita semua!, yang jelas ekses negatif dari adanya UN banyak sekali.makanya, ngapain kita ngotot UN?
SukaSuka
Saya setuju UN di tiadakan karna merugikan negara n anak yg tdk lulus knpa merugikan negara bayangkan jika kita masuk jd pegawai negri ktna ijasahna haruz ijazah yg luluz klo gak luluz susah jd pegawai negri! Yg kasianna udah diterima tapi di tolak gra” salah satu ijasahna gak lulus kan kasian dah luluz tes, n bkn siswa setres n memancing perbuatan anarki, berarti merusak moral anak remaja n penerus bangsa, belum ujian ja dah setres pa lagi klo gak luluz bza” mati aku
SukaSuka
Sebenarnya belajar itu melatih logika masing bidang pendidikannya..Ujian Nasional hanyalah sebagai barometer penilaian standard dari negara yang tentunya makin berkembang…dan merupakan ajang interospeksi kemampuan terhadap kemampuan diri…jadi masing2 strata mempunyai standard yang harus dikuasai sesuai bidangnya..justru UN ini juga menjadi masukan bagi lapangan kerja mengenai kemampuan standard (dengan sertifikasi s1,s2, atau s3)yang sudah dikuasai…mungkin penilaiannya pas-pasan tapi disisi pemerintah ada standarisasi dan disisi terdidik ada kualitas..jangan sampai terjadi kemampuan mandor mengaku S1 hanya karena ijazahnya S1 dan belum teruji…opini sy tetap UN perlu. strata tidak hanya untuk kelulusan, tetapi lebih pada konsekwensi dan tanggung jawab yang akan dipikul di lapangan kerja.
SukaSuka
menurut saya UN, ga jdi msalah sih, cuma saya bingung knpasih amua rang ngotot2, tentang UN. inilah, itulah, padahal ( UN/ EBTANAS) ga jauh berbeda, smuanya sama. soal materi, itu bukan soal UN/EBTANAS itukan tergantung murid….kalaw dia ingin pinter ya belajar donk.!!
bukan nya harus nyalahin UN,….!!!!!
SukaSuka
hmm thanks
SukaSuka