Kalimat “menghindari ZINA” bagi yang sering membuka media pasti sering mendengar, selain itu juga sering dituliskan pada artikel-artikel tentang perkawinan. Apalagi yang jika dikaitkan dengan kata kunci poligami atau kawin siri. Itu tadi adalah kata-kata penting bagi orang-orang tertentu untuk menyusun argumentasi yang mendukung idenya. Kesan yang dapat ditangkap adalah bahwa telah diperoleh suatu pembenaran dari segi agama. 🙂
Perkawinan adalah sesuatu hal yang penting dalam pikiran sebagian besar anak muda, sama pentingnya juga dengan pendidikan. Bagaimanapun juga, kedua unsur tadi benar-benar dapat mengarahkan kondisi kehidupan seseorang untuk menuju kebahagiaan atau kesedihan. Kadang-kadang antara perkawinan dan pendidikan dapat saling bersinerji, tetapi juga dapat saling berlawanan. Itulah seninya suatu kehidupan, setiap orang mempunyai pengalaman yang khas, yang berbeda satu dengan yang lain.
Jika artikelku hari ini ingin membahas tentang perkawinan, maka itu bukan dikarenakan oleh keahlian profesiku. Jelas itu tidak ada hubungannya sama sekali. Jika aku berani menuliskannya, mungkin dikarenakan aku telah mempunyai pengalaman empiris, bagaimanapun perkawinan bagiku adalah bukan sesuatu yang asing. Sudah sembilan belas tahun aku menyelaminya. Jadi kalau itu seperti pekerjaan maka tentunya aku sudah disebut ‘senior’. 🙂
Mengapa aku tertarik membahas perkawinan ?
Pertama-tama aku sering melihat atau mendengar (dari infotainment tentunya) bahwa kehidupan perkawinan ternyata dapat dijadikan berita-berita di media. Lihat saja jika ada kasus perselingkuhan yang melibatkan ‘selebriti’ atau ‘pejabat publik’, media sangat suka sekali mengeksposed-nya. Alagi jika dapat dikaitkan dengan zina. Seru itu.
Kalau perselingkuhan memang jelas nggak bener. Tetapi kalau kawin cerai, talak dan semacamnya, seakan-akan sesuatu yang biasa, yang dianggap sebagai hak tiap-tiap orang secara bebas, yang penting bahwa jika itu semua dilakukan sesuai prosedur formal maka itu adalah sesuatu yang wajar. Coba saja perhatikan, ada artis beken, ada pejabat menteri dan mungkin saja banyak juga terjadi dikalangan awam yang tidak layak tayang.
Jadi jika saya boleh berkesimpulan sementara bahwa perkawinan adalah sama seperti halnya pekerjaan, atau bahkan bisa juga seperti memilih mobil. Jika tidak cocok maka coba yang lain, yang penting adalah pokoknya harus mengikuti prosedur yang bener.
Jika demikian maka perkawinan bukan sesuatu yang sakral, yang suci. Perkawinan hanya dilihat sekedar sudah memenuhi hukum, baik hukum negara maupun hukum agama yang tertulis di kertas.
Terus terang kondisi seperti itulah yang membuatku prihatin. 😦
Aku tidak tahu, apakah karena aku sekarang kuper, manusia yang tidak melihat jaman, atau apa ?!
Apalagi ketika kemarin ketika seorang Mario Teguh mempunyai sedikit nasehat yang menyangkut perkawinan. Langsung heboh. Sebenarnya yang membuat heran lagi, mengapa seorang Mario Teguh karena melihat respond orang terhadap pernyataannya di Twitter, langsung terlihat takut dan cepat-cepat menutup account-nya tersebut. Mengapa jadi begitu ?
Hal-hal seperti itulah maka rasanya aku perlu membahasnya, minimal sebuah sharing yang membuat orang lain dapat berpikir tentang sesuatu yang namanya perkawinan. Tentu saja meskipun aku telah lama hidup dalam suatu perkawinan, tetapi tidak berarti aku ingin menunjukkan bahwa kehidupan perkawinankulah yang paling baik. Jelas tidak, tetapi minimal aku dapat menyampaikan pemikiranku tentang makna suatu perkawinan yang sedang aku usahakan. Tentu saja berhasil atau tidaknya, maka sang kala yang akan membuktikannya. Ok.
Kecuali keprihatinanku di atas, juga saatnya aku perlu mendeskripsikan secara tertulis karena sekarang anak gadisku juga sudah menjelang dewasa, siapa tahu bisa menjadi pembanding untuk menuju perkawinan yang lebih baik.
Tentang kehidupan perkawinan, saya yakin sebagian besar anak muda juga ingin memasukinya nanti pada waktunya. Bagaimanapun juga, yang namanya perkawinan tentunya tidak sekedar perpanjangan dari rasa jatuh cinta pada pandangan pertama saja. Meskipun kata sebagian orang, jika bisa maka sejuta rasanya.
Ha, ha, ha, jadi ingat mantan pacarku dulu (yang sekarang menjadi istriku), yang sudah kudekati sejak masih smu dulu.
Adanya perkawinan karena cinta pada pandangan pertama, tentu tidak salah. Wajar bahkan. Tetapi kalau adanya perkawinan karena alasan untuk menghindari zina, maka bagiku itu cukup mengherankan. Meskipun itu tidak salah, tetapi bagiku ada sesuatu yang tidak pas. Bagaimanapun juga kehidupan perkawinan tentu berbeda dengan kawin. Kalau kawin itu memang bisa dikaitkan dengan urusan syahwat, perkawinan tanpa itu memang tidak menarik. Tetapi jika berbicara tentang suatu perkawinan khan tidak bisa hanya berbicara soal kawin saja bukan, ada hal-hal lain yang perlu dibicarakan bahkan ditindak-lanjuti juga, seperti juga bertanggung jawab terhadap akibatnya dikemudian hari. Bagi kalangan tertentu, seperti misalnya orang yang mengaku beriman kristiani, maka perkawinan adalah suatu pilihan hidup, sekali dan selamanya.
Sorry aku lebih suka menyebutkan orang yang beriman krisitiani, karena ternyata aku banyak menjumpai orang-orang yang ber-KTP agama, yang dapat dianggap secara tradisional sebagai orang beriman kristiani, ternyata tidak menganggap perkawinan adalah seperti yang aku ungkap di depan. Sekarang ini rasanya aku melihat, agama banyak dianggap hanya seperti baju saja, untuk kepantasan belaka.
Untuk orang-orang yang menganggap bahwa perkawinan adalah sekali seumur hidup seperti itu, maka alasan untuk kawin hanya sekedar untuk menghindari zina maka tentu itu suatu tindakan sembrono. Memang sih, tidak semua orang mempunyai persepsi sama tentang apa yang namanya kehidupan perkawinan tersebut. Ada bahkan yang menganggap bahwa kehidupan perkawinan hanya sekedar pelengkap, sebagaimana halnya kehidupan berkarir. Jika dirasa tidak ada kemajuan, maka cari karir yang lain yang dianggap dapat cocok. 🙂
Sebagian orang pada umur-umur produktif menganggap bahwa pekerjaan adalah lebih utama dibanding berkeluarga, bahkan banyak juga menyesuaikan istri atau suami terhadap tingkatan kehidupannya berkarir. Jadi kalimat kasarnya, ketika telah sukses maka istrinya yang dikampung ditinggalkan, dan diganti istri baru yang lebih sesuai dengan lingkungan pekerjaan / pergaulan yang ditemuinya saat ini. Jadi kesan yang aku lihat, adalah banyak yang menyamakan istri dengan mobil. Jadi benar juga jika ada yang pendapat bahwa ‘mempunyai istri’ dan ‘mempunyai keluarga’ , itu tidak selalu identik.
Ada kesan bahwa orang yang berganti istri, adalah sesuatu hal yang biasa-biasa saja, yang penting bahwa persyaratan formal sudah dipenuhi, yaitu catatan sipil atau pengadilan agama dan juga kewajiban yang harus dipenuhinya, seperti menafkahi anak yang ditinggalkan. Adalah fakta bahwa kawin cerai banyak dijumpai mulai dari level bawah sampai atas. Mulai dari alasan desakan ekonomi, atau ego pribadi karena tidak menemukan kecocokan. Bahkan bisa saja karena alasan ‘sudah bosan’. Gawat itu.
Menurut bapak , apa sih sebuah perkawinan tersebut ?
Jelas, perkawinan adalah tidak sekedar sebagai cara untuk menghindari zina. Lebih dari itu. Perkawinan adalah suatu pilihan hidup.
Sebagai suatu pilihan hidup maka resikonya adalah ditanggung sendiri.
Jangan ditanya, apa literaturnya. Itu pendapatku pribadi, yang belum tentu sama dengan orang-orang lain.
Terus terang, pendapat di atas tidak secara jelas aku dapatkan dari mana. Apa karena aku orang kristiani, atau karena aku orang jawa, atau karena perenunganku.
Jika dari kaca mata kristiani, perkawinan adalah sekali dan seumur hidup. Dari kaca mata orang jawa maka perkawinan adalah sesuatu yang serius, yang perlu dipertimbangkan dari banyak segi. Ingat bibit, bebet, dan bobot, yang umum dipakai oleh masyarakat jawa yang memegang teguh budayanya. Ingat , jika anda lahir di jawa, dari bapak dan ibu jawa tetapi tidak tahu tiga hal di atas, maka berarti anda belum orang jawa, karena tidak tahu filosofi hidup jawa.
Dengan menggabungkan nilai-nilai kristiani dan falsafah kehidupan jawa, maka rasa-rasanya memandang perkawinan hanya sekedar untuk mengindari zina adalah sesuatu yang aneh, yang kesannya sangat merendahkan arti perkawinan itu sendiri.
Perkawinan sebagai suatu pilihan hidup , karena memandang hal itu adalah sesuatu yang sangat penting, sebagaimana kehidupan itu sendiri. Perkawinan penting bagi kehidupan, baik ditinjau dari sisi filosofi maupun dari sisi empiris, karena dari perkawinan yang baiklah maka proses kawin secara badani dapat terjamin keberlangsungannya dengan menghasilkan keturunan manusia penerusnya.
Jadi hanya dari perkawinan yang baiklah, maka dapat dijamin bahwa nilai-nilai utama yang dipahami oleh manusia yang terikat dalam perkawinan tersebut dapat diteruskan kegenerasi berikut. Nilai utama yang dimaksud adalah kehidupan yang memuliakan Tuhan-nya.
Jelas itu sangat berbeda dibanding kawin hanya sekedar untuk menghindari zina, itu hanya dikesankan agar dapat kawin tanpa dimarahi Tuhan. Bahasa lainnya adalah tidak dianggap dosa.
Jadi meskipun tidak ada yang salah, tetapi jelas levelnya lain. 😐
<<up-dated 12/3/2101>>
sedang membaca-baca kita suci, ada nats yang mendukung artikel di atas
Seorang ayah dapat memberi anak-anaknya rumah dan harta benda, tetapi hanya TUHANlah yang dapat memberi mereka, istri yang berakal budi.
[Amsal 19:14 FAYH]
Itu merupakan salah satu nasehat-nasehat Solomo ribuan tahuan yang lalu, yang ternyata masih relevan untuk diaplikasikan saat ini. Membaca Amsal atau nasehat-nasehat Solomo perlu karena pada introduction-nya dimaksud ‘untuk mengerti kata-kata yang bermakna‘ [Amsal 1:2].
Fakta menunjukkan bahwa memahami makna dari suatu kata-kata adalah tidak mudah, gelar dan jabatan tidak dapat dijadikan ukuran, jika tidak percaya bacalah artikel ini.
Tinggalkan komentar