Terus terang, saya belum pernah melakukan riset eksperimental tentang sambungan precast wall. Jadi untuk dibilang sebagai pakarnya maka rasanya belum pantas. Meskipun demikian tidak berarti saya tidak tahu tentang precast.
Precast khususnya precast concrete wall pertama kali saya lihat penggunaannya di sekitar tahun 1989. Waktu itu saya masih yunior engineer di PT. Wiratman & Associates, Jakarta, yang pada saat itu merupakan salah satu konsultan struktur gedung tinggi papan atas di Indonesia, bahkan yang paling atas (saat itu).
Kalau tidak salah, saat itu penggunaan precast wall baru pertama kalinya akan digunakan pada gedung tinggi di Jakarta, adapun nama proyeknya adalah Thamrin Tower (sekarang namanya ATD Plaza), lokasinya di dekat gedung BPPT di Jalan Thamrin Jakarta Pusat.
Karena baru pertamakali di desain memakai precast wall maka desainnya masih mendapat kontrol dari engineer Kajima Design, Jepang. Saya ingat sekali, engineer-nya adalah Mr. T. Araki, adapun saya pada proyek tersebut mendapat bagian perencanaan bangunan atap baja proyek Thamrin Tower, yang mana dalam menyelesaikan desainnya sempat disuruh untuk mengganti gambar desain sampai empat kali. Maklum waktu itu baru saja lulus, sehingga mengira merencana struktur baja adalah seperti merencanan struktur beton. Ternyata perencanaan struktur baja setingkat lebih tinggi dari perencanaan struktur beton, seperti tukang batu dan tukang kayu, begitulah. Jadi waktu itu hampir saja angkat tangan, tapi untung mampu mengendalikan stress sehingga ada untungnya juga sampai sekarang, yaitu dengan desain struktur baja cukup pede. Itu suatu bukti bahwa menguasai suatu ilmu tidak harus dimulai dari mendapat nilai IP = 4.0 pada mata kuliah struktur baja. Rasanya pada waktu kuliah struktur baja dulu di UGM, asal lulus saja lho. 🙂
Jadi dengan mengingat peristiwa dua puluh tahun lalu tersebut, dan ketika saat sekarang di UPH diminta oleh jurusan untuk bertanggung jawab pada semua mata kuliah struktur baja di level S1, yaitu mata kuliah Struktur Baja 1 (2 sks) , Struktur Baja 2 (3 sks) dan Struktur Baja 3 (2 sks), maka rasa-rasanya benar juga pepatah bahwa ‘semuanya itu bukanlah sesuatu yang kebetulan saja‘. He, he jadi melankolis. . . . .kembali ke precast.
Precast wall pada proyek Thamrin Tower (ATD Plaza), jalan Thamrin, Jakarta Pusat, sekitar tahun 1988 – 1990.
Pada proyek tersebut, engineer dari PT. Wiratman yang incharge untuk masalah precast adalah bapak Hanan Elkanan, sedangkan senior engineer-nya adalah ibu Lanny Maruta. O ya, fabrikator precast-nya adalah Griyaton yang mengadopsi teknologi precast dari Jerman.
Ibu Lanny sekarang sudah bergabung dengan Kajima Indonesia. Yah maklum, proyek Thamrin Tower pada waktu itu dapat dikatakan sukses, jadi kasusnya seperti ibu menteri keuangan kita (Sri Mulyani), yaitu ditarik luar dengan tawaran yang tentunya lebih menarik. 🙂
Peace bu Lanny. 🙂
Jadi meskipun belum pernah melakukan eksperimen sejak menjadi dosen ini , tetapi karena pernah melihat dan mengamati (dengan ngelmu titen tentunya) maka berbicara tentang precast wall bukanlah sesuatu yang asing. Jadi wajarlah jika saya menanggapi pertanyaan sdr Riyo berikut :
Riyo // 27 April 2010 pada 16:45 |
Salam Pak Wiryanto,
Setelah panel precast ter install di struktur bangunan, maka akan timbul gap / celah antara panel precast dengan end slab struktur. Hal ini yg perlu saya tanyakan, bagaimana methode penutupan (grouting) celah tersebut agar tidak terjadi kebocoran.
Saya mohon masukannya untuk methode yg praktis, mudah dan murah (pakem kontraktor).
Apabila perlu dan akan lebih jelas jika disertai sketsa methodenya.Sebagai informasi, kasus yg saya hadapi sekarang ini merupakan bangunan apartemen (jadi tidak ada windowstool), lantai finish keramik dgn ketebalan finishing (keramik+adukan) 3cm dari slab struktur.
Celah yg ada kondisinya sangat variable ada yg 3cm sampai dengan 15cm (kondisi cor end slab yg tdk rata).Tebal slab struktur 12 cm.
Mohon solusinya,demi keberlangsungan proyek kami pak, terima kasih banyak sebelumnya.
Bagi orang yang tidak tahu tentang precast maka pertanyaan di atas adalah pertanyaan standar seperti yang lain. Tetapi karena saya punya pengalaman sewaktu di Wiratman dulu, sehingga sampai punya copy buku PCI Design Handbook 3rd Ed., kemudian karena menjadi dosen pembimbing kerja praktek sehingga memungkinkan melihat detail-detail proyek di Jakarta terbaru yang memakai precast wall. Maka ketika ada pertanyaan sdr Riyo, khususnya yang saya beri tanda merah di atas, maka rasa-rasanya saya perlu membuat artikel jawaban secara lebih serius. 😐
Coba cermati kalimatnya yang ini :
yg praktis, mudah dan murah (pakem kontraktor) . . . . . ., demi keberlangsungan proyek kami pak.
Itukah motivasi seorang insinyur dalam mendesain ?
Rasanya itu bukan motivasi seorang insinyur, itukan motivasi seorang pedagang. Pokoknya proyek dapat selesai dan mendapat untung. Titik.
Bagaimanapun juga saya merasa mendapat jawaban, mengapa saya menemukan detail-detail precast pada bangunan tinggi di Jakarta yang ternyata berbeda, lebih jelek dibanding detail precast yang pernah saya lihat dahulu, sekitar 20 tahun yang lalu.
Memang sih, tidak semua bangunan tinggi di Jakarta mempunyai detail sambungan precast yang jelek. Kebetulan artikel yang saya tulis di precast wall adalah salah satu contoh detail precast wall yang ideal. Patut ditiru. Tapi jelas itu tidak mesti praktis, mudah dan murah sebagaimana penanya di atas.
Khan cuma didetail sambungannya pak. Bentuk luarnya bagus koq !
Itulah kalau orang awam memberi komentar. Detail sambungan ukurannya relatif kecil dibandingkan precast wall sendiri. Tetapi disinilah masalahnya. Detail sambungan precast wall merupakan bagian penting yang menghubungkan precast wall dengan struktur utamanya. Jadi kekuatan precast wall menempel pada bangunan tergantung pada sambungannya tersebut.
Secara umum dapat dikatakan, elemen precast wall direncanakan untuk menghadapi kondisi [1] sebelum dipasang, dan [2] setelah terpasang.
Pada kondisi sebelum terpasang, maka problem yang perlu dipikirkan adalah tegangan dan regangan yang terjadi pada saat transportasi (dari pabrik ke site), maupun erection (pengangkatan untuk dipasang di lapangan). Sedangkan setelah terpasang maka element tersebut harus bertahan juga terhadap pengaruh luar, seperti beban angin dan gempa. Dari dua kondisi tersebut maka kondisi sebelum dipasang pada umumnya yang paling menentukan. Sedangkan detail sambungan baru bekerja setelah elemen tersebut terpasang.
Ya pak, tetapi pertanyaan sdr. Riyo yang pertama adalah detail penutupan gap yang ada agar tidak bocor.
Ok pembicaraan detail sambungan ditunda dulu. Kita coba jawab dulu yang gap.
Adanya gap menunjukkan bahwa detail sambungan yang digunakan adalah setempat, dibeberapa titik. Adapun untuk menutupnya kontraktor tentu dapat memilih berbagai macam bahan yang memungkinkan. Jika mengikuti kriteria arsitek, maka jelas bahan penutup yang diperlukan cukup dapat dievaluasi berdasarkan kenampakan dan juga keawetannya saja (biaya tentunya juga). Jika budget masuk, tampilan ok, dan untuk selang waktu pakainya tidak ada masalah maka keputusan pemakaian bahan penutup gap dapat segera ditentukan.
Setelah kriteria arsitek ok, maka tentu perlu ditanyakan juga pada structural engineer-nya. Adakah persyaratan khususnya ?
Lho precast-wall khan element non-struktur, jadi mestinya cukup arsitek saja ?
Inilah yang kadang-kadang dimengerti oleh structural engineer yunior, seakan-akan kalau sudah disebutkan element non-struktur maka itu adalah porsi arsitek, sehingga detailnya diserahkan pada si arsitek dan si insinyur perencanan bebas tugas. Jika itu yang terjadi maka dapat diketahui bahwa si insinyur tersebut belum tahu ilmu precast . Ini yang perlu saya sampaikan.
Meskipun element precast wall disebut juga sebagai element non-struktur, seperti juga kita menyebut dinding pengisi batu bata, maka pada pemakaian elemen non-struktur precast wall berbeda. Perencana struktur tidak bisa mengabaikan detail precast wall seperti halnya detail dinding batu-bata pengisi yang cukup didefinisikan pada standard drawing.
Mengapa demikian ?
Precast wall dibuat dari bahan material beton, yang mutunya bisa sama atau bahkan lebih tinggi dari mutu material yang digunakan untuk struktur (jika strukturnya dari beton bertulang). Jadi tergantung dari cara menyambungnya maka precast wall dapat difungsikan sebagai (a) load bearing element, dan (b) non-load bearing (cladding) element.
Load bearing panel adalah istilah untuk menyebutkan bahwa precast wall tersebut juga digunakan untuk memikul beban, baik itu dari lantai, atau bisa juga beban lateral dari angin atau gempa. Jadi meskipun disebut sebagai architectural precast wall tetapi berfungsi juga sebagai element struktur.
Sedangkan yang non-load bearing (cladding) element adalah jika hanya memikul precast wall itu sendiri, baik akibat berat sendiri juga akibat pengaruh angin atau gempa yang menimpanya. Inilah yang benar-benar disebut sebagai element non-struktur.
Kalau melihat pertanyaan yang diajukan saudara Riyo yang melihatnya dari kaca mata kontraktor maka precast wall yang dimaksud tentunya adalah element non-struktur. Jadi termasuk dalam kelompok non-load bearing (cladding) element. Berkaitan dengan pengisi (filler) gap tadi, maka satu syarat penting yang perlu diperhatikan agar setelah diberi filler bisa tetap dimasukkan sebagai kelompok non-load bearing (cladding) element adalah bahwa bisa mengakomodasi pergerakan bebas (movement freely). Ref : PCI Design Handbook part 7.1.2
Jadi silahkan saja pak Riyo berinovasi, filler apakah yang tetap memungkinakn terjadinya pergerakan bebas dari precast tadi. Pergerakan bebas disini bukan berarti bisa bebas benar-benar, tetapi relatif lebih elastis dibanding beton. Itu artinya cara grouting dengan semen tidak bisa digunakan !
Persyaratan tersebut juga menunjukkan bahwa antara precast satu dengan yang lain harus ‘terpisah’. Jadi sambungan precast wall yang dimaksud adalah bukan antara precast wall satu dengan precast wall yang lain tetapi lebih pada precast wall dengan struktur utama. Ini penting, karena jika disatukan maka fungsinya akan berubah akan menjadi load bearing panels dan akan menjadi element struktur.
Jadi pemilihan filler gap dan detail sambungan yang digunakan adalah sangat penting. Ini jelas tidak bisa diserahkan secara bebas kepada kontraktor karena apa yang dipilih nanti akan mempengaruhi perilaku struktur nantinya setelah selesai dibangun. Jadi harus ada konsultasi dengan perencana struktur dan mendapat persetujuan juga dengan arsiteknya yang lebih berkepentingan pada tampilan dan keawetan, sekaligus biaya.
Berbicara tentang filler gap, maka selain kemampuan elastisitasnya maka tergantung juga dengan detail atau lokasi filler gap tersebut dipasang, maka jika ternyata tereksposes langsung dengan cuaca luar maka perlu diperhitungkan juga daya tahannya nanti. Bisa-bisa setelah beberapa tahun gedung tersebut bocor ketika hujan. Ini khan gawat, penghuninya jadi repot.
Filler gap menurut PCI disebutnya sebagai joint sealant dan ternyata itu bisa terdiri dari banyak macam, mulai dari : viscous liquids, mastics or pastes, and tapes, gaskets dan foams. Generally , a sealant is any material placed in a joint for the purpose of preventing the passage of moisture, air, heat or dirt into or through the joint.
Wah pak, itu bagaimana dengan gap-nya yang cukup lebar ?
Wah kalau gap-nya lebar dan ternyata tidak bisa ditutup dengan bahan material di atas maka saya rasa itu sesuatu masalah yang lain lagi. Itu kelihatannya dari sisi perencanaan dan pelaksanaan yang nggak baik.
Adanya gap yang lebar menunjukkan tidak ada perencanaan maupun pelaksanaan yang baik antara precast yang dipasang dengan struktur yang dibangun. Jika ada, tentu dapat ditentukan toleransi pelaksanaan yang diijinkan. Ingat produk precast adalah seperti produk baja, akan ekonomis jika jumlahnya banyak dan bersifat repetitif. Karena dibuat di fabrikasi, bukan di lapangan, maka presisi dari elemen precast dapat ditetapkan dengan baik. Jadi jika dari semula, yaitu dari saat awal dapat dibuat gambar-gambar perencanaan yang lengkap, baik dari struktur utama yang akan diberi precast dan detail precastnya sendiri, dan selanjutnya proses pelaksanaan dapat diawasi dengan baik maka tentu adanya gap yang terlalu besar tidak akan terjadi. Sehingga pemasangan joint sealant seperti di atas tidak menemui masalah.
Hal-hal seperti inilah yang dapat dijadikan bukti awal, bahwa teknologi precast yang berkembang di Indonesia saat ini tidak lebih baik dibanding teknologi precast yang aku lihat 20 tahun yang lalu. Tentu ini tidak terjadi pada semua proyek .
Ada baiknya aku membongkar-bongkar lagi dokumentasi yang dibuat mahasiswa-mahasiswi yang mengambil mata kuliah kerja praktek untuk menunjukkan fakta-fakta pembangunan di Jakarta.
Ini merupakan contoh yang dapat digunakan untuk membayangkan apa sih yang disebut dengan gap di atas. Bagi yang awam mungkin dengan melihat gambar berikut dapat bayangan apa yang saya ceritakan. Ok.
Ini contoh sambungan precast wall dengan lantai. Perhatikan gap yang cukup lebar tersebut, jelas itu harus ditutup, jika tidak maka penghuninya bisa masuk angin. Jika mengacu pada penjelasan di atas, maka cara grout dengan semen-mortar jelas cara yang tidak benar. Hal di atas bisa terjadi karena tidak tercapai presisi sesuai rencana.
Ini contoh sambungan precast wall pada sisi atas, perhatikan bautnya memakai baut ramset. Untuk pembebanan tetap rasanya sih ok-ok saja, tetapi bagaimana pada pembebanan dinamis ketika menerima gaya gempa, apalagi jika pelat lantainya telah mengalami retak, apakah sistem sambungannya dapat bersifat daktail. Karena bisa-bisa sebelum pelat mengalami leleh, maka baut ramset-nya tersebut sudah lepas terlebih dahulu. Jadi sambungannya runtuh pada kondisi elastis, wah gawat begitu.
Slot hole-nya itu apa tidak bisa menggantikan fungsi daktail itu ya pak ?
O, lobang baut yang oval itu ya. Itu khan hanya dimaksudkan pada saat pemasangan saja, sehingga precast-nya bisa di adjust gitu. Setelah terpasang, nanti bagian tersebut akan ditutup mortar, sehingga diharapkan slot-hole sudah tidak berfungsi lagi. Coba kalau terpasang, slot-hole-nya masih ada maka pada arah pembebaban tegak lurus precast-wall, misal akibat hujan badai yang disertai angin kencang, bisa-bisa konfigurasi dinding berubah. Sedangkan pada saat gempa, perilaku deformasi yang terjadi berbeda, gempa ditahan oleh portal, yang deformasinya searah bidang portal tersebut, yang artinya balok bisa berdeformasi ke atasi atau kebawah, bukan ke samping. Jadi jika bagian tumpuan bawah yang cukup kuat, maka jika balok atas atau bawah berubah (yang satu turun yang atas naik) maka bisa-bisa baut anchor ramset-nya terangkat. Copot. 😐
O ya, bahkan pada detail ini, sambungan precast wall di atasnya menumpang pada precast wall dibawahnya, jadi nggak terpisah. Itu jelas akan mempengaruhi perilaku struktur utama. Bisa-bisa rencananya non-load bearing ketika dipasang jadi load-bearing.
Ini gimana ini para pemeriksa bangunan. Hati-hati lho.
.
.
.
Prihatin terhadap kondisi di atas maka ada baiknya mempelajari detail gap pada precast wall dan cara pemasangannya. Ini ada contoh artikel yang patut dibaca dari Kanada sebagai berikut :
Precast Panel Wall Assemblies
M.Z. Rousseau and R.L. Quirouette
Selanjutnya ada baiknya kita menuju sambungan precast wall. Kita belajar yok.
<<bersambung>>
Tinggalkan komentar