Kadang-kadang timbul juga pertanyaan iseng :  “apa sih bangganya mengajar bagi seorang dosen“.

Pertanyaan serupa jika didengar awam, rasa-rasanya akan mudah mendapat jawaban : “itu khan pekerjaan mulia, mengajar khan mencerdaskan bangsa“.  Jawaban-jawaban abstrak senada dapat dikembangkan, lengkap dengan bumbu-bumbu rohani, seperti misalnya: “secara materi memang tidak sebanding dengan businessman, tetapi khan tugas yang mulia, sehingga upahnya besar di sorga“.

Pendapat di atas kemungkinan juga diyakini oleh beberapa dosen, bahkan dianggap paling penting dibanding aspek-aspek lain dalam tridharma perguruan tinggi. Itu terbukti pada pertemuan dosen-dosen senior dan kepala-kepala jurusan kemarin, yaitu dalam rangka sosialisasi strategi penilaian dosen oleh HRD. Usulan cara penilaian baru oleh HRD, sedikit banyak bertumpu pada standar DIKTI, yang condong memberi bobot lebih berat pada aspek  penelitian dan publikasi, dibanding dengan mengajarnya. Pada pertemuan sosialisasi tersebut, ada salah satu dosen memberi tanggapan,  bahwa jika digunakan standar DIKTI agak keberatan. Pasalnya, di tempat dia mengajar, karena ada alasan cari dosen susah, maka saat sekarang ini beberapa dosen tetap menanggung akibatnya, yaitu mengajar dengan jumlah sks yang berlebihan. Ada dosen yang beban mengajarnya sampai 22 sks.

Intinya, dosen-dosen di jurusan tersebut karena mengajarnya saja sampai 22 sks tentu merasa keberatan jika disuruh melakukan penelitian dan sebangsanya. Jika demikian maka tentu akan terjadi penilaian HRD menjadi  jelek jika digunakan peraturan yang mengacu standar DIKTI. Padahal menurut dosen yang keberatan tersebut, mengajar merupakan suatu  tindakan yang mulia, yang berkorelasi langsung dengan kemajuan anak didik.

He, he, . . . . argumentasi yang ‘mulia’ atau hanya sekedar mencari kambing hitam, mencari alasan formal untuk tidak mengerjakan aspek tridharma perguruan tinggi yang belum dikerjakan.  O ya untuk mengingatkan saja, bahwa tridharma perguruan tinggi yang merupakan kewajiban seorang dosen terdiri dari tiga aspek, yaitu [1] pendidikan dan pengajaran; [2] penelitian dan publikasi; serta [3] pengabdian pada masyarakat.

Memang sih, mengajar tidak bisa dikatakan sesuatu yang kurang bagus. Mengajar memang salah satu tindakan yang dapat dianggap mulia karena dapat mencerdaskan bangsa (juga tentu sebaliknya jika yang diajarkan adalah buruk). Tetapi mengajar jika dikaitkan dalam penilaian jenjang profesi, atau kepangkatan seorang dosen maka posisinya adalah bukan yang utama.

Bayangkan saja, ini ada petunjuk penilaian DIKTI yang berkaitan dengan KUM penilaian dosen.

Melaksanakan perkuliahan / tutorial dan membimbing, menguji serta menyelenggarakan pendidikan, Laboratorium, praktik keguruan, bengkel /studio / kebun percobaan / teknologi dan praktik lapangan.  Pada Fakultas/Sekolah Tinggi/Akademi/Politeknik sendiri, pada Fakultas lain dalam lingkungan Universitas/Institut sendiri, maupun diluar Perguruan Tinggi sendiri secara melembaga, tiap sks (maksimum 12  sks) per semester :

  • Asisten Ahli ke atas untuk :
    • 10 sks pertama 0,5
    • 2 sks berikutnya 0,25
  • Lektor ke atas untuk :
    • 10 sks pertama 1
    • 2 sks berikutnya 0,5

Jadi berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa dosen yang mengajar lebih, maka hanya 12 sks saja yang diperhitungkan.

Jadi misalnya, udah punya jenjang lektor (kum=200) lalu mau jadi profesor (kum=850) maka jika kegiatan dosen tersebut hanya mengajar saja maka perlu waktu berapa lama itu. Mari kita hitung.

Karena maksimum 12 sks per semester maka jika satu tahun terdiri dari 2 semester maka kum per tahun yang dapat dikumpulkan adalah 1.5*2=3. Jadi karena tiap tahun dari mengajar hanya dapat terkumpul kum=3 maka agar dapat mencapai profesor perlu waktu = (850-200)/3=217 tahun. Lama banget khan, atau bisa juga diartikan bahwa profesi mengajar saja tidak akan bisa mendukung seorang dosen meraih jenjang kepangkatan tertinggi untuk menjadi profesor.

Bandingkan dengan kum yang diperoleh seorang dosen dengan menulis dan dipublikasikan secara nasional yaitu kum=10. Besarnya kum seorang dosen untuk menulis satu artikel dan dipublikasikan sama bobotnya dengan kum yang diperoleh dari pekerjaan mengajar saja selama  3 tahun.

Dengan cara berpikir yang mengacu pada cara penilaian kum oleh dikti itulah maka pertanyaan iseng saya di atas dapat dianggap relevan.

Meskipun ada pendapat seperti di atas, tetapi pengalamanku kemarin mengajar di Untirta dapat aku banggakan. Bagaimana tidak, aku diundang secara khusus oleh civitas akademis, Fakultas Teknik,  Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, yang dikenal sebagai Untirta, di kampus fakultas teknik di kota Cilegon, Banten, untuk menjadi PEMATERI (pemberi materi kuliah) pada acara Workshop Perencanaan Gedung dan Jembatan bagi mahasiswa/i semester akhir.

Gayaku mengajar, disampingku adalah bapak Soe Lar Soe  (dosen tetap Untirta).

Sesuatu yang menarik dari acaraku di atas adalah bahwa mereka mengundangku mengajar bukan karena aku mengajar di UPH atau ditempat lain. Aneh bukan, jadi mereka mengenalku atau memilihku menjadi pemateri, yaitu dalam artian bahwa aku yang dianggap cocok membawakan acaranya di atas adalah karena publikasi tulisan yang aku buat.

Kondisi di atas adalah menarik, dan menjadi bukti bahwa yang konsep tridharma perguruan tinggi yang harus diemban seorang dosen adalah suatu konsep yang ideal. Jadi dalam kasus di atas karena aku banyak meneliti hal-hal yang terkait dengan program SAP2000 dan mempublikasikan, maka mereka menganggap aku cukup pantas untuk diundang mengajarkan hal tersebut kepada civitas akademi di sana. Adanya tindakan mengajar pada komunitas di luar institusi tempatnya bekerja juga dapat dianggap suatu tindakan berbagi, atau istilah DIKTI-nya adalah “pengabdian pada masyarakat”.

Dengan demikian dapat dikatakan, meskipun kemarin itu kelihatannya hanya mengajar saja tetapi itu dapat dibanggakan karena itu terjadi ketika aku mencoba melaksanakan apa yang dimaksud dengan tridharma perguruan tinggi. Ya khan.

Mendapatkan apresiasi / kenang-kenangan  karena mengajar di Untirta, Cilegon.

Karena pihak Untirta mengenal dari tulisanku yang terpublikasi, dan juga karena yang mengundang ini adalah satu-satunya universitas negeri yang ada di wilayah Propinsi Banten, maka aku perlu juga memberi tanda mata. Berdasarkan pertimbanganku maka tanda mata yang paling tepat untuk institusi pendidikan adalah buku karyaku. Jika itu dapat disimpan di perpustakaan dan dapat dibaca oleh civitas akademi di situ maka tanda mata itu pasti akan diingat terus. Jadi dengan alasan tersebut, maka buku koleksi pribadiku (maklum bukuku tersebut di pasaran sudah habis lama) dengan rela hati aku jadikan tanda mata tersebut. Karena sudah tidak ada lagi di toko-toko buku, dan setahuku banyak yang mencarinya (dari komentar di blog ini) maka saya yakin tanda mata tersebut adalah sesuatu yang istimewa.

Buku SAP2000 Edisi Baru sebagai tanda mata istimewa bagi Untirta, Cilegon.

Jika pada akhirnya bukuku tersebut dapat tersimpan di perpustakaan secara baik dan dapat diakses secara mudah oleh para mahasiswa, maka langsung atau tidak langsung buah-buah pemikiranku dapat digunakan mereka (berpengaruh).

Ini foto kenang-kenangan dengan para peserta workshop di Untirta kemarin.

Terus terang, aku merasa senang dan bahagia melihat mereka begitu antusias ingin  berfoto bersamaku, dosen tamu di workshop tersebut. Semoga apa yang aku katakan dan sampaikan dapat menimbulkan motivasi untuk bertumbuh bagi mereka dimasa depannya. Semoga Tuhan memberkati kita bersama.

O ya ada yang lupa, ini detail vandel yang kuterima dari Untirta.

8 tanggapan untuk “mengajar di untirta”

  1. […] This post was mentioned on Twitter by Edi Indira and Planet Terasi, wiryanto dewobroto. wiryanto dewobroto said: mengajar di untirta: http://wp.me/p2kLB-1pk […]

    Suka

  2. As'at Avatar

    Selamat Pak Wir, Bapak memang layak mendapatkan penghargaan tersebut. Semoga semua amal yang telah diberikan ke seluruh anak bangsa bermafaat sampai dengan akhir zaman.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Terima kasih pak As’at, salam juga untuk teman-teman di UMY.

      Suka

  3. Feri Harianto Avatar
    Feri Harianto

    terkait dengan kum dosen dari DIKTI saya kurang setuju,masalah tersebut biasanya dikaitkan dengan gaji dosen yang sesuai sistem penggajian di kampus (sebagian besar PTS),tapi ya, jangan lupa dengan TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Argumentasi yang disampaikan pihak HRD saya kira cukup logis, yaitu bahwa penilaian yang diberikan nanti bisa sekaligus digunakan untuk akreditasi. Jadi jika ada dosen yang menurut HRD berprestasi maka mestinya juga dapat diakui oleh pihak DIKTI karena tolok ukur penilaiannya sama.

      Kecuali hal tersebut, dengan adanya keselarasan antara DIKTI dan HRD maka kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang dikelola oleh LPPM mendapat dukungan.

      Selama ini yang terjadi himbauan yang disampaikan LPPM agar para dosen juga melalukan penelitian rasa-rasanya dianggap angin lewat saja, buktinya dari sekitar 300-400 dosen di UPH yang aktif meneliti dan menulis hanya itu-itu saja. Yah, seperti sebutannnya yaitu “staf pengajar tetap“, jadi ya begitulah “tetap saja mengajar” doang. Disuruh meneliti apalagi menulis, yang ditanya adalah “dikasih anggaran berapa ?“. Adapun alasan klasik yang selalu diutarakan adalah beban sks mengajar yang telah berlebihan, jika ditanya lebih lanjut maka dibilangnya cari dosen yang sanggup menerima beban tadi kesulitan , dan bla . . ., bla, . . . .

      Saya kira itu alasan klasik di mana-mana, sehingga itu pula yang menyebabkan DIKTI tetap ngotot mempertahankannya. 🙂

      Suka

  4. agusaalim Avatar
    agusaalim

    Pak Wir…bsa minta detail materinya g (Silabus workshopnya klo bsa)??
    Saya juga ada keinginan ngadain workshop semacam itu dpare2….
    mudah2n pak wir bersedia kpare2 ngajar kita juga..

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      @Agusaalim
      Saya tulis sesuai dengan modul yang disiapkan ya. Untuk workshop satu hari tersebut diberikan tiga (3) modul, sebagai berikut:

      MODUL – 1 Dasar-dasar Teori Solusi dengan SAP (Structural Analysis Program)

      Tujuan pembelajaran :
      1. Mengetahui dasar-dasar teori yang mendasari bagaimana SAP2000 bekerja.
      2. Mengetahui keunggulan dan keterbatasan program agar dapat dimanfaatkan optimal.
      3. Mengetahui bahwa pada dasarnya program hanya tool / alat saja.
      4. Jadi tidak hanya APA programnya, tapi juga penting menanyakan SIAPA engineer-nya.

      MODUL – 2 Mengenal Program SAP2000 pertama kali

      Tujuan pembelajaran :
      1. Mengetahui cara pakai program SAP2000 paling sederhana (minimalis).
      2. Mengetahui Keterkaitan jenis struktur (statis tertentu dan tak tertentu) dan program
      3. Mengetahui gunanya pengetahuan analisa struktur klasik terhadap hasil komputer.

      MODUL – 3 Bekerja dalam ruang – pemodelan struktur 3D

      Tujuan pembelajaran :
      1. Mengetahui cara pakai SAP2000 utk struktur 3D sederhana.
      2. Mengetahui opsi editing dalam pembuatan model 3D
      3. Memahami aspek-aspek ruang (3D)
      4. Memahami ERROR yang terjadi.

      Ya begitulah kurang lebihnya. Pak Agusaalim dari Pare-pare ya, Sulawesi. Kalau diundang dan disediain tiket dan akomodasi di sana mestinya senang-senang juga. Hobbynya khan ngajar.

      O ya, kalau jauh sampai di sana, mestinya lebih dari satu hari, minimal dua hari, baru ‘kena’. Jika lebih dari satu hari, mestinya modul yang akan dibagikan diatur kembali sehingga dapat disusun secara lengkap dan komprehensif.

      Suka

  5. zien Avatar
    zien

    kebanggaan tersendiri bagi teknik sipil untirta…semoga bapak selalu sukses…AMIN

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com