Jalan-jalan ke situs Badan Standardisasi Nasional ternyata cukup menarik juga. Di sana sudah banyak dijumpai dokumen-dokumen SNI. Untuk kata kunci “baja” yang dimasukkkan pada search engine yang tersedia, maka akan dapat ditampilkan daftar berpuluh-puluh judul dokumen SNI, yang bahkan memerlukan beberapa halaman web untuk melihatnya. Banyak sekali.

Hanya sayang, sebagian besar dokumen tersebut merupakan standar produk industri dan bukannya standar perencanaan yang biasa digunakan para engineer. Bagi perusahaan-perusahaan, tentu hal tersebut cukup memuaskan, minimal dalam produknya bisa mencantumkan logo SNI.

Eh, jadi teringat tabung gas 3 kg, yang tadi pagi di televisi diberitakan telah menelan korban lagi di Malang, Jawa Timur. Berita tadi pagi yang jadi korban adalah keluarga penjual tukang baso. Tentang ledakan yang diberikan di TV tersebut, istriku sampai berkomentar “wah bom melon lagi”. Kaitannya dengan tulisanku di atas adalah “apakah tabung gas 3 kg tersebut sudah memenuhi standar SNI“,  atau mungkin bisa juga pertanyaannya adalah “apakah spesifikasi tabung gas 3 kg sudah dibuatkan SNI-nya“. Wah, aku tadi belum sempat mencarinya di situs BSN. Moga-moga sudah ada dan tinggal mengaplikasikannya di lapangan.

Jika dokumen SNI untuk standar produk industri sudah begitu banyak, mengapa hal tersebut tidak dijumpai pada dokumen-dokumen untuk standar perencanaan. Terus terang dari ratusan dokumen SNI untuk standar produk industri yang tadi saya ketemukan tersebut, SNI untuk perencanaan belum terlihat.  Mungkin karena begitu sedikitnya dibanding yang untuk industri makanya jadi terlewat.

Padahal SNI untuk standar perencanaan dan standar industri itu khan saling terkait.

Dari mengikuti seminar HAKI kemarin dan ketemu dengan berbagai teman-teman se profesi maka dapat diketahui bahwa SNI untuk peraturan gempa sebentar lagi akan berubah. Ini tentu ada kaitannya dengan telah diresmikannya peta gempa Indonesia yang terbaru, buatan team sembilan. Jika melihat presentasi yang disampaikan di seminar tersebut, peta gempa yang baru cukup signifikan perbedaannya dibanding peta gempa yang lama. Oleh karena itu peraturan yang terkait tentu perlu disesuaikan.

Masalah gempa, memang selalu menjadi masalah menarik untuk ditinjau diseminar-seminar HAKI. Menurutku itu terkait dengan fokus pekerjaan teman-teman anggota HAKI yang umumnya berkecipung di bidang perencanaan dan pelaksanaan struktur bangunan gedung tinggi. Dengan demikian pengaruh gempa adalah sesuatu yang dominan dijadikan pertimbangan dalam pekerjaannya, kalau tidak mau dibilang sebagai suatu keharusan.

Dengan menguasai ilmu gempa, maka para engineer merasa mempunyai kelebihan dibanding arsitek, bahkan bisa mempunyai kekuasaan untuk mendikte kemauannya. Maklum banyak bukti yang dapat diajukan kepada arsitek, bahwa jika tidak dipakai ilmu gempa maka bangunan yang megah dan indahpun menjadi tidak ada apa-apanya. Betul bukan.

Adanya faktor-faktor seperti itu pula yang menyebabkan dokumen SNI untuk perencanaan bangunan tahan gempa mempunyai otoritas paling tinggi untuk dituruti. Saya yakin, jika ada perencanaan bangunan tinggi di Jakarta yang tidak mengikuti persyaratan SNI gempa kita (lebih kecil dari yang disyaratkan) maka bisa-bisa ijin bangunannya tidak akan dikeluarkan atau dengan kata lain bangunan tersebut tidak bisa dibangun. Saya kira argumentasi itu pula yang mendasari ketua HAKI, bapak Davy Sukamta yang dalam pidato penutupan seminar kemarin menyatakan dengan tegas bahwa “HAKI mendukung dengan dikeluarkannya Peta Gempa Indonesia yang terbaru itu“.

Jika SNI gempa mempunyai otoritas yang tinggi dan akan dituruti oleh seluruh engineer yang bekerja di Indonesia, maka SNI-SNI standar perencanaan yang lain kelihatannya berbeda. Mari coba kita membahasnya.

SNI standar perencanaan yang cukup banyak diikuti adalah SNI standar perencanaan untuk bangunan beton bertulang dan pratekan, selanjutnya kita sebut saja SNI Beton. Materinya saya kira paling banyak dimengerti dan dipakai oleh para engineer di Indonesia, meskipun  dalam sesi tanya jawab kemarin tersirat di daerah-daerah masih saja ada yang menggunakan peraturan beton yang lama yaitu PBI-71.  Itu tentu berbeda dengan materi SNI untuk standar perencanaan bangunan baja atau juga kayu, yang umumnya hanya sekedar diketahui tetapi tidak banyak yang mengaplikasikannya.

Bagi teman-teman dosen, pernyataanku bahwa SNI Baja tidak banyak yang mengaplikasikannya tentu menimbulkan pertanyaan besar. Apa memang betul begitu ?

Jelasnya pernyataan saya diatas memang menimbulkan pro-kontra, tapi bagi praktisi maka itu dapat dipahami. Seperti diketahui, materi yang ada di SNI Baja menurutku tanggung, mau mengikuti AISC LRFD tetapi koq rumus-rumusnya tidak persis sama. Memang sih tempo hari aku melakukan kajian rumus SNI dan AISC, sebagai hasilnya SNI lebih aman sedikit dibawah AISC. Maksudnya lebih aman, adalah bahwa kapasitas nominal yang dihasilkannya relatif lebih kecil dibanding kapasitas nominal yang dihitung pakai AISC.

Dengan rumus-rumus yang berbeda dari AISC, dan juga karena jumlah halamannya juga terbatas maka tentunya apabila ketemu kasus-kasus yang agak tidak standar maka tentunya petunjuk dari SNI sangat terbatas. Terus terang, sudah beberapa tahun sejak SNI baja kita ditetapkan, untuk mencari literatur pendukungnya saja sangat kesulitan. Memang ada sih, bukunya pak Agus, yang diterbitkan penerbit Erlangga yang tertera didepannya mengikut SNI tetapi setelah membaca lebih dalam ternyata isinya tidak persis sama dengan SNI, kebanyakan masih merujuk pada textbook baja yang ada, yang notabene bukan SNI.

Sebagai orang yang mengenal struktur baja, bahkan mengajarkan materi tersebut di Jurusan Teknik Sipil UPH, ternyata dalam pengajarannya saya tidak mempunyai kepercayaan diri untuk menggunakan SNI-baja sebagai rujukan utama, tetapi beraninya hanya merujuk pada AISC. Itu saya lakukan karena kebetulan mata kuliah yang saya ampu adalah Struktur Baja 1, 2 dan 3. Semuanya. Jadi karena semua materi baja menjadi tanggung jawabku, maka menurutku materi SNI Baja kita, yang hanya tipis itu pastilah tidak cukup lengkap. Itu tentu berbeda, jika saya mengajarkannya memakai acuan AISC, yang literatur asing (asli) maupun terjemahannya sangat melimpah, bahkan tersedia banyak sekali ebook yang mendukungnya.

Dari pengalaman tentang materi struktur baja di atas maka aku juga berpendapat bahwa keberhasilan penggunaan SNI Beton adalah dikarenakan materi yang dipilihnya adalah mengacu pada ACI (American Concrete Institutes). Kalaupun ada penyesuaian relatif cukup jelas, seperti pada nilai phi atau beban terfaktornya. Team penyusun SNI Beton juga cukup bertanggung-jawab, minimal berani mencantumkan nama-namanya di peraturan tersebut. Kelihatannya sederhana tetapi ini penting, yaitu jika ada yang kurang jelas maka langsung dapat merujuk ke nama-nama tersebut.

Kondisi di atas sangat berbeda dengan yang terjadi pada SNI Baja kita, coba perhatikan dengan baik buku tersebut, tidak disebutkan nama-nama orang yang duduk terlibat pada penyusunan  materi SNI tersebut. Jadi bisa timbul pertanyaan: “apakah SNI Baja tersebut disusun oleh orang-orang yang memang mengerti tentang struktur baja“.

Saya tidak tahu alasannya, mengapa tidak disebutkan. Bagi orang-orang awam, maka mudah saja dicarikan alasannya misalnya “itulah orang Indonesia yang low-profile, bekerja tanpa pamrih, tidak suka menonjolkan diri“. Jawaban seperti itu bagi orang awam yang lain, tentu sudah cukup memuaskan, dan membuat manggut-manggut. Iya ya. Tetapi bagi orang yang tahu, tentu tidak demikan adanya. Menyebutkan nama seseorang adalah tidak berarti narsis, atau suka menonjolkan diri. Jika dilakukan secara proporsional, berani menyebutkan nama secara lengkap adalah suatu bentuk pertanggung-jawaban diri kepada publik. Dengan namanya ditampilkan maka bila terjadi sesuatu maka saya yakin yang namanya disebutkan secara moril akan merasa bertanggung jawab, dan jika itu terjadi maka pada akhirnya masalah yang ada akan dapat dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak ada yang disebutkan, maka jika ada kesalahan, lalu siapa yang dimintai untuk bertindak.

Hal yang aneh dari SNI Baja kita adalah tidak disebutkan literatur yang digunakan dalam menyusun materi SNI tersebut. Apakah benar para panitianya memakai literatur AISC sebagai dasar penyusunan materi atau  bukan. Untuk suatu dokumen ilmiah, daftar rujukan literatur yang digunakan adalah sesuatu yang mutlak. Bahkan suatu makalah yang tidak ada rujukan ilmiah, bisa-bisa tidak dianggap ilmiah.

Tiadanya daftar literatur rujukan tentu menyulitkan para engineer yang tidak mengetahui sejarah bagaimana SNI tersebut dibuat, contohnya seperti saya ini. Bahkan sampai sekarangpun saya tidak tahu, atas dasar apa literatur SNI itu dapat berbeda dibanding materi yang ada di buku-buku teks yang saya pelajari. Aku jadi ingat kata temanku: “itulah  pak Wir, kita ini khan di Indonesia, jadi budaya klenik yang dominan. Jadi itu mungkin juga hasil nglenik“.

Jadi kalau begitu materi yang digunakan untuk SNI baja apa dong pak ?

Jika dibudaya atau negara yang bidang riset dan penelitiannya sudah maju, maka yang dijadikan dasar untuk penyusunan code / peraturan adalah tentu dari publikasi riset yang dihasilkannya. Karena itu tentu dapat mewakili kondisi negara tersebut secara baik. Tetapi jika budaya riset dan penelitian belum dapat diandalkan atau belum memungkinkan karena risetnya masih terlalu sedikit maka langkah yang paling baik adalah pertama-tama mengakui hal itu. Nggak usah keminter atau merasa tersinggung karena tidak memakai produk dalam negeri. Ingat keminter atau mudah tersinggung adalah suatu bentuk kesombongan. Bisa-bisa pepatah “malu bertanya sesat di jalan“. Bisa juga materi SNI baja kita berbeda dengan isi textbook adalah karena didasari alasan di atas, jadi intinya pokoknya harus berbeda dengan negara lain. Berbeda kalau memang baik hasilnya sih tidak apa-apa, artinya itu istimewa, tetapi kalau berbeda dan tidak ada kelebihannya maka bisa-bisa ditinggal dan dilupakan.

Langkah kedua setelah mengakui kelemahan kita adalah mencari dan mempelajari code / peraturan negara lain yang memang bagus dan diakui, untuk akhirnya dapat  ditiru atau dijadikan model rujukan bagi code kita.

Di dunia ini banyak dijumpai code / peraturan perencanaan yang baik-baik. Saat sekarang bahkan tidak terlalu pusing, seperti misalnya code negara-negara eropa sudah menyatukan diri dengan Eurocode-nya. Bayangkan dulu khan masih ada BS ada DIN dan lain sebagainya. Kecuali itu ada Australian Standard yang umumnya mengacu pada british, atau sekarang Eurocode tersebut. Negara-negara bekas persemakmuran, seperti Singapore dan Malaysia banyak menggunakan code yang mengacu British dan sekarang Eurocode. Code-code seperti itu tidak populer di Indonesia, yang umumnya banyak mengacu pada Amerika.

Mana yang sebaiknya kita pilih ?

Untuk peraturan beton (SNI Beton) maka jelas kita sudah mengacu ACI (Amerika), sedangkan untuk peraturan baja, bagaimana ?

Menurut temanku, yang engineer senior dan banyak terlibat pada proyek-proyek asing menjelaskan. Jika mau yang diakui secara luas, maka ambil saja code dari Amerika. Umumnya relatif sederhana dan praktis, selain itu buku-bukunya banyak dijumpai di toko-toko buku. Code beton kita telah sukses mengadopsi amerika. Jadi untuk baja agar selaras juga dengan beton bisa juga mengacu pada steel code Amerika yang dikeluarkan oleh AISC maupun AISI.

Tetapi jika ingin lebih teliti dan akurat, menurut temanku itu, maka code yang dipiih adalah Eurocode atau Australian Code. Memang sih, ketika aku keperpustakaan kantornya aku ditunjukkan buku-buku literatur dari Australian Code yang ternyata cukup lengkap juga, karena disediakan tabulasi yang terlihat detail. Penggunaan Australian code  saya kira tidak perlu diragukan, lihat saja code untuk jembatan yang dikenal dengan BMS adalah sepenuhnya dulu adalah dari australia. Tetapi ingat BMS sukses karena didukung bantuan dana yang besar dari negara Australia. Jadi materi-materinya dicukupi. Jika tidak, maka tentu perlu dipikirkan lagi.

Kalau pak Wir sendiri bagaimana ?

Yah, kalau aku sendiri, karena pengalaman dan pengetahuan yang aku punyai maka tentu saja aku akan memilih AISC (Amerika). Kecuali tentu saja ada sponsor seperti yang terjadi pada pembuatan code untuk jembatan, maka situasi tentunya bisa lain. Alasan utama mengapa AISC yang dipilih adalah karena literatur yang tersedia sudah sangat banyak dan dapat dicari dinegeri ini. Jika code lain juga bisa seperti itu, mungkin bisa kita pikirkan juga, tetapi rasa-rasanya tidak demikian. Ini aku punya buku tentang baja cold-formed dari Australia juga karena dikasih teman, kalau nyari sendiri di sini dapat dipastikan tidak ada. Yakin deh.

20 tanggapan untuk “tentang SNI bidang perencanaan kita”

  1. anggry Avatar
    anggry

    Salam Sejahtera.
    Selamat siang Pak Wir. Salam kenal , Saya seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di surabaya. saya ingin bertanya pada bapak mengenai bagaimana kontrol local buckling dan lateral buckling pada profil C (gording),. soalnya selama ini di perkuliahan, saya hanya diajari menghitung gording menggunakan profil WF. Sedangkan pada saat ini pada hampir semua konstruksi baja menggunakan profil C pada gording bukan lagi menggunakan profil WF, dan di SNI03-1729-2002 hanya mengatur local bucklingdan lateral bucling untuk profil WF dan kanal ganda, sedankan untuk profil kanal C tidak ada. Trima kasih.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      yah betul, profl C light lip channel tidak termasuk profil yang dibahas pada peraturan kita. Itu termasuk profil baja cold-form. silahkan baja makalah saya yang pernah saya sampaikan di Universitas Udayana (lihat daftar publikasi).

      Untuk lebih jauh belajar hal tersebut silahkan baca code yang dikeluarkan AISI (http://www.steel.org). O ya, kita belum punya SNI perencanaannya yang sesuai.

      Suka

  2. selebritis terkini Avatar

    nice article gan…
    salam kenal selebritis terkini

    Suka

  3. Gede Pringgana Avatar
    Gede Pringgana

    Pak Wir, mohon informasinya..
    Untuk peta gempa Indonesia yang baru, apakah sudah diedarkan secara resmi? Apakah akan menjadi satu paket dengan SNI Gempa yang baru juga?
    Terima kasih.

    Suka

  4. Tatang Avatar

    terima kasih bapak…salam kenal

    Suka

  5. samonlanan Avatar
    samonlanan

    Selamat pagi.

    Saya sedang mencari referensi tentang balok perangkai dan kebetulan menemukan artikel Anda. Saya punya pertanyaan sbb:
    1. Kapan sebuah balok disebut balok perangkai?
    2. Apakah sebuah balok yang menghubungkan 2 buah dinding geser yang sejajar dapat disebut balok perangkai? ( sebuah balok dengan arah tegak lurus terhadap 2 dinding geser yang sejajar ).

    Saya mohon penjelasannya Pak. Terimakasih

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Artikel di atas dan balok perangkai tidak ada hubungannya.

      Tidak setiap balok yang menghubungkan 2 buah dinding geser sejajar dapat disebut balok perangkai. Disebut perangkai jika balok tersebut pada saat ada gaya gempa mampu merangkai dua dinding geser menjadi satu kesatuan. Fungsinya mirip seperti shear connector pada balok kompositit.

      Perancangan balok perangkai dapat dilihat pada:

      Park, R and Paulay, T., “Reinforced Concrete Structures”, John Wiley and Son, 1974

      Pauley, T., 1980 (May-Jun), Earthquake-Resisting Shearwalls–New Zealand Design Trends, ACI Structural Journal.

      Paulay, T., and Priestley, M.J.N., Seismic Design of Reinforced Concrete and Masonry Buildings, John Wiley and Sons, Inc., 1992.

      Suka

  6. samonlanan Avatar
    samonlanan

    Terimakasih atas penjelasannya walaupun pertanyaan saya tidak ada hubungannya dengan artikel di atas.

    Suka

  7. erwin Avatar
    erwin

    Dear Samonlanan:
    balok yang menghubungkan 2 dinding geser yang sejajar dalam arah tegak lurus berbeda dengan referensi yang diberikan oleh Pak Wir diatas. Secara umum, balok perangkai itu menghubungkan dua dinding geser dalam arah in-plane

    🙂

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      @Samonlanan dan Erwin,
      sorry penjelasanku di atas hanya berlaku untuk dua dinding sebidang (in-plane), seperti yang disampaikan sdr Erwin.

      Kenapa sampai ada kesalah-pahaman terjadi. Itu disebabkan bahwa yang disebut dinding geser (shear wall) adalah dinding yang diberikan beban searah bidangnya (in-plane), jika dinding diberikan beban pada arah sumbu lemah (tegak lurus bidang) maka perilakunya bukan lagi seperti shear wall, tapi seperti kolom biasa. Ingat kenapa sampai disebut shear-wall dan bandingkan dengan structure-wall biasa.

      Keinginan anda untuk merangkai dua buah dinding sejajar tidak sebidang dengan balok tegak lurus dinding tersebut tentu dimungkinkan juga. Dinding pada arah tegak lurus adalah relatif lemah, jika dipaksakan maka perilakunya seperti kolom biasa, beam-column. Jika diberikan balok dengan maksud agar kedua dinding tersebut bisa menyatu, maka struktur tersebut akan bekerja seperti profil WF, dimana dinding akan menjadi flange (sayap). Idenya logis, tetapi saya yakin agar dapat menyatu maka perlu balok yang relatif tinggi. Saya kira tidak gampang ini. Apalagi seperti diketahui pemodelan balok ketemu tegak lurus dinding pada program ETABS dianggap sebagai sendi, kecuali ada model kolom.

      Untuk menyatukan dua dinding sejajar tidak sebidang maka yang paling efektif adalah digabungkan dengan dinding yang tegak lurus kedua dinding tersebut.Umumnya ini bisa dicapai untuk struktur di daerah lift, terjadilah konfigurasi dinding seperti tabung dan disebutlah core-wall.

      Kalau hanya dinding tegak lurus balok saja, apalagi jika bentang baloknya relatif panjang maka jelas fungsinya sebagai balok perangkai relatif sulit. Bahkan struktur detail yang dijelaskan pada referensi yang saya tampilkan di atas, pastilah tidak bisa diaplikasikan.Terus terang saya belum pernah melihat atau membaca literatur adanya balok perangkai untuk dinding tegak lurus balok. Jika ada, wah perlu belajar lagi nih. 🙂

      Suka

  8. Sutedja Avatar
    Sutedja

    Salam Kenal Pak Wir,
    saya baca artikel di atas mengenai SNI dan AISC, bapak bilang: “…., sebagai hasilnya SNI lebih aman sedikit dibawah AISC. Maksudnya lebih aman, adalah bahwa kapasitas nominal yang dihasilkannya relatif lebih kecil dibanding kapasitas nominal yang dihitung pakai AISC.
    Pertanyaan Saya:
    Kenapa “lebih aman” kapasitas nominalnya lebih kecil ? karena menurut saya lebih aman berarti kapasitas nominalnya lebih besar….
    mohon penjelasannya lagi pak… terima kasih

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Begini pak, untuk menjawabnya ada baiknya diberikan contoh.

      Ada kolom WF 100 untuk suatu konfigurasi struktur tertentu dihitung memakai aturan SNI ketemu phi Pn = 100 kN. Selanjutnya kolom yang sama dihitung memakai aturan AISC ketemu phi Pn=110 kN (lebih besar).

      Jika kolom tersebut direncanakan dan dilaksanakan di Indonesia memakai SNI maka beban Pu maks = 110 kN. Lebih besar dibading kapasitas dari SNI.

      Dari kaca mata kita, maka profil kolom tersebut karena direncanakan terhadap beban yang lebih rendah, maka tentunya kemungkinan untuk rusak akan lebih kecil dibanding AISC. Lebih aman. Tetapi jika kita percaya bahwa cara AISC lebih benar, maka hitungna pakai SNI disebut boros.

      Moga-moga menjawab.

      Suka

  9. Media Persada Avatar
    Media Persada

    Siang Pak wir,

    Bahasan yang sangat bagus, mudah-mudahan bisa menjadi bahan pertimbangan untuk penyusunan SNI berikutnya

    Suka

  10. etik Avatar
    etik

    Pak Wir saya mau menanyakan tentang SNI buat baja Ringan yg sekarang ini banyak dipakai utk pembangunan atap rumah,sbnernya spesifikasi SNI baja Ringan itu seperti apa??apakah benar bahwa dalam tiap batang profil C dan Reng harus ada tanda SNI nya atau kode SNI sendiri belum tentu ada di setiap batang??mohon penjelasannya.Terima ksih.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      SNI adalah Standar Nasional Indonesia, adalah spesifikasi teknis minimum yang diakui oleh pemerintah.

      Spesifikasi yang dimaksud ada dua, yaitu untuk produk industri, agar hasil pabrik dapat memenuhi suatu persyarata produk tertentu. Jadi ini berlaku pada bahannya saja, misalnya untuk kasus di atas adalah profil C.

      Jika bahan materialnya sudah mencantumkan SNI, artinya produk tersebut sudah memenuhi suatu kriteria mutu tertentu yang telah disepakati bersama, dalam hal ini kesepakatan dalam SNI. Meskipun demikian, tidak berarti jika dipakai langsung aman. Seperti kita ketahui bersama, untuk membuat struktur yang baik, yang kuat dan kaku ketika dibebani maka bahan material yang bermutu tersebut harus di desain dan dirangkai dengan suatu konfigurasi tertentu menjadi yang namanya struktur. Cara merangkai dan mengkonfigurasi biasanya ada juga kesepakatannya yang dinamai design code, di Amerika design code-nya dikeluarkan oleh AISI (American Iron and Steel Institute). Adapun di Indonesia, design code yang diakui (mestinya dari SNI) belum ada.

      Jadi yang tercantum di profil adalah SNI industri, bahan materialnya saja.

      Suka

  11. faisal maulana Avatar
    faisal maulana

    halo pak wir, salam kenal,
    pak saya mau menanyakan pak, bagaimana yaa pak cara2 merancang pelat untuk merancang tangki air atau untuk tangki minyak ?
    sebagai catatan saya hanya merancang pelatnya saja dan harus berbentuk bulat atau lingkaran,
    menurut bapak, saya lebih baik merancang dengan baja atau beton bertulang saja ?
    apakah bapak punya link SNI yang berkaitan dgn hal di atas yg bsa saya download ?
    trma ksih pak, maaf merepotkan 🙂

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Hallo Faisal,

      Untuk tangki yang ideal tentu saja dari baja, maklum nggak akan retak kecuali tentu saja beresiko terjadi korosi. Kalau dari beton bertulang maka diperlukan waterprofing atau lapisan kedap air khusus.

      Jika digunakan beton bertulang, agar kedap air maka lebar retak harus dihitung, solusinya untuk perencanaan digunakan cara elastis dimana tegangan tarik masih dalam batas-batas ijinnya. Jadi jangan pakai cara ultimate, karena yang terakhir ini lebih fokus pada kekuatan meskipun diperbolehkan mengalami retak (beton tarik diabaikan).

      Jika pakai baja, maka masalah umum yang terjadi adalah terjadi tekuk pada pelat (khususnya jika pelat tipis). Untuk mengantisipasi maka digunakan strategi ganda, pakai beton bertulang untuk melapis tangki baja yang relatif tipis.

      Suka

  12. Niken Avatar
    Niken

    Halo Bapak Wir, saya mau tanya, kalau mau membangun gedung di Indonesia berdasarkan eurocode apakah diperbolehkan? Atau harus sesuai SNI yang lebih banyak mengacu pada American standard? Terima kasih sebelumnya.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Untuk gedung atau jembatan di Indonesia sebaiknya memakai code atau peraturan yang diakui secara resmi. Itu penting, khususnya untuk mengantisipasi hal-hal yang terduga, seperti terjadinya bencana misalnya. Kalau bangunannya nggak rusak sih rasanya nggak masalah, tetapi jika ternyata rusak, dan terbukti bahwa persyaratan lokal tidak terpenuhi maka perencana akan menjadi kambing hitamnya.

      Peraturan Eurocode atau lainnya (bukan SNI) dapat dipakai jika ternyata di SNI belum ada, atau dianggap kurang konservatif. Intinya, code atau peraturan perencanaan digunakan untuk mengantisipasi “ketidak-tahuan” dalam perencanaan. Atau dengan kata lain, dapat dijadikan kambing hitam jika ternyata terjadi “kegagalan”.

      Tentang Eurocode sendiri umumnya lebih ribet dibanding Amerika Standard.

      Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com