Jalan-jalan ke situs Badan Standardisasi Nasional ternyata cukup menarik juga. Di sana sudah banyak dijumpai dokumen-dokumen SNI. Untuk kata kunci “baja” yang dimasukkkan pada search engine yang tersedia, maka akan dapat ditampilkan daftar berpuluh-puluh judul dokumen SNI, yang bahkan memerlukan beberapa halaman web untuk melihatnya. Banyak sekali.
Hanya sayang, sebagian besar dokumen tersebut merupakan standar produk industri dan bukannya standar perencanaan yang biasa digunakan para engineer. Bagi perusahaan-perusahaan, tentu hal tersebut cukup memuaskan, minimal dalam produknya bisa mencantumkan logo SNI.
Eh, jadi teringat tabung gas 3 kg, yang tadi pagi di televisi diberitakan telah menelan korban lagi di Malang, Jawa Timur. Berita tadi pagi yang jadi korban adalah keluarga penjual tukang baso. Tentang ledakan yang diberikan di TV tersebut, istriku sampai berkomentar “wah bom melon lagi”. Kaitannya dengan tulisanku di atas adalah “apakah tabung gas 3 kg tersebut sudah memenuhi standar SNI“, atau mungkin bisa juga pertanyaannya adalah “apakah spesifikasi tabung gas 3 kg sudah dibuatkan SNI-nya“. Wah, aku tadi belum sempat mencarinya di situs BSN. Moga-moga sudah ada dan tinggal mengaplikasikannya di lapangan.
Jika dokumen SNI untuk standar produk industri sudah begitu banyak, mengapa hal tersebut tidak dijumpai pada dokumen-dokumen untuk standar perencanaan. Terus terang dari ratusan dokumen SNI untuk standar produk industri yang tadi saya ketemukan tersebut, SNI untuk perencanaan belum terlihat. Mungkin karena begitu sedikitnya dibanding yang untuk industri makanya jadi terlewat.
Padahal SNI untuk standar perencanaan dan standar industri itu khan saling terkait.
Dari mengikuti seminar HAKI kemarin dan ketemu dengan berbagai teman-teman se profesi maka dapat diketahui bahwa SNI untuk peraturan gempa sebentar lagi akan berubah. Ini tentu ada kaitannya dengan telah diresmikannya peta gempa Indonesia yang terbaru, buatan team sembilan. Jika melihat presentasi yang disampaikan di seminar tersebut, peta gempa yang baru cukup signifikan perbedaannya dibanding peta gempa yang lama. Oleh karena itu peraturan yang terkait tentu perlu disesuaikan.
Masalah gempa, memang selalu menjadi masalah menarik untuk ditinjau diseminar-seminar HAKI. Menurutku itu terkait dengan fokus pekerjaan teman-teman anggota HAKI yang umumnya berkecipung di bidang perencanaan dan pelaksanaan struktur bangunan gedung tinggi. Dengan demikian pengaruh gempa adalah sesuatu yang dominan dijadikan pertimbangan dalam pekerjaannya, kalau tidak mau dibilang sebagai suatu keharusan.
Dengan menguasai ilmu gempa, maka para engineer merasa mempunyai kelebihan dibanding arsitek, bahkan bisa mempunyai kekuasaan untuk mendikte kemauannya. Maklum banyak bukti yang dapat diajukan kepada arsitek, bahwa jika tidak dipakai ilmu gempa maka bangunan yang megah dan indahpun menjadi tidak ada apa-apanya. Betul bukan.
Adanya faktor-faktor seperti itu pula yang menyebabkan dokumen SNI untuk perencanaan bangunan tahan gempa mempunyai otoritas paling tinggi untuk dituruti. Saya yakin, jika ada perencanaan bangunan tinggi di Jakarta yang tidak mengikuti persyaratan SNI gempa kita (lebih kecil dari yang disyaratkan) maka bisa-bisa ijin bangunannya tidak akan dikeluarkan atau dengan kata lain bangunan tersebut tidak bisa dibangun. Saya kira argumentasi itu pula yang mendasari ketua HAKI, bapak Davy Sukamta yang dalam pidato penutupan seminar kemarin menyatakan dengan tegas bahwa “HAKI mendukung dengan dikeluarkannya Peta Gempa Indonesia yang terbaru itu“.
Jika SNI gempa mempunyai otoritas yang tinggi dan akan dituruti oleh seluruh engineer yang bekerja di Indonesia, maka SNI-SNI standar perencanaan yang lain kelihatannya berbeda. Mari coba kita membahasnya.
SNI standar perencanaan yang cukup banyak diikuti adalah SNI standar perencanaan untuk bangunan beton bertulang dan pratekan, selanjutnya kita sebut saja SNI Beton. Materinya saya kira paling banyak dimengerti dan dipakai oleh para engineer di Indonesia, meskipun dalam sesi tanya jawab kemarin tersirat di daerah-daerah masih saja ada yang menggunakan peraturan beton yang lama yaitu PBI-71. Itu tentu berbeda dengan materi SNI untuk standar perencanaan bangunan baja atau juga kayu, yang umumnya hanya sekedar diketahui tetapi tidak banyak yang mengaplikasikannya.
Bagi teman-teman dosen, pernyataanku bahwa SNI Baja tidak banyak yang mengaplikasikannya tentu menimbulkan pertanyaan besar. Apa memang betul begitu ?
Jelasnya pernyataan saya diatas memang menimbulkan pro-kontra, tapi bagi praktisi maka itu dapat dipahami. Seperti diketahui, materi yang ada di SNI Baja menurutku tanggung, mau mengikuti AISC LRFD tetapi koq rumus-rumusnya tidak persis sama. Memang sih tempo hari aku melakukan kajian rumus SNI dan AISC, sebagai hasilnya SNI lebih aman sedikit dibawah AISC. Maksudnya lebih aman, adalah bahwa kapasitas nominal yang dihasilkannya relatif lebih kecil dibanding kapasitas nominal yang dihitung pakai AISC.
Dengan rumus-rumus yang berbeda dari AISC, dan juga karena jumlah halamannya juga terbatas maka tentunya apabila ketemu kasus-kasus yang agak tidak standar maka tentunya petunjuk dari SNI sangat terbatas. Terus terang, sudah beberapa tahun sejak SNI baja kita ditetapkan, untuk mencari literatur pendukungnya saja sangat kesulitan. Memang ada sih, bukunya pak Agus, yang diterbitkan penerbit Erlangga yang tertera didepannya mengikut SNI tetapi setelah membaca lebih dalam ternyata isinya tidak persis sama dengan SNI, kebanyakan masih merujuk pada textbook baja yang ada, yang notabene bukan SNI.
Sebagai orang yang mengenal struktur baja, bahkan mengajarkan materi tersebut di Jurusan Teknik Sipil UPH, ternyata dalam pengajarannya saya tidak mempunyai kepercayaan diri untuk menggunakan SNI-baja sebagai rujukan utama, tetapi beraninya hanya merujuk pada AISC. Itu saya lakukan karena kebetulan mata kuliah yang saya ampu adalah Struktur Baja 1, 2 dan 3. Semuanya. Jadi karena semua materi baja menjadi tanggung jawabku, maka menurutku materi SNI Baja kita, yang hanya tipis itu pastilah tidak cukup lengkap. Itu tentu berbeda, jika saya mengajarkannya memakai acuan AISC, yang literatur asing (asli) maupun terjemahannya sangat melimpah, bahkan tersedia banyak sekali ebook yang mendukungnya.
Dari pengalaman tentang materi struktur baja di atas maka aku juga berpendapat bahwa keberhasilan penggunaan SNI Beton adalah dikarenakan materi yang dipilihnya adalah mengacu pada ACI (American Concrete Institutes). Kalaupun ada penyesuaian relatif cukup jelas, seperti pada nilai phi atau beban terfaktornya. Team penyusun SNI Beton juga cukup bertanggung-jawab, minimal berani mencantumkan nama-namanya di peraturan tersebut. Kelihatannya sederhana tetapi ini penting, yaitu jika ada yang kurang jelas maka langsung dapat merujuk ke nama-nama tersebut.
Kondisi di atas sangat berbeda dengan yang terjadi pada SNI Baja kita, coba perhatikan dengan baik buku tersebut, tidak disebutkan nama-nama orang yang duduk terlibat pada penyusunan materi SNI tersebut. Jadi bisa timbul pertanyaan: “apakah SNI Baja tersebut disusun oleh orang-orang yang memang mengerti tentang struktur baja“.
Saya tidak tahu alasannya, mengapa tidak disebutkan. Bagi orang-orang awam, maka mudah saja dicarikan alasannya misalnya “itulah orang Indonesia yang low-profile, bekerja tanpa pamrih, tidak suka menonjolkan diri“. Jawaban seperti itu bagi orang awam yang lain, tentu sudah cukup memuaskan, dan membuat manggut-manggut. Iya ya. Tetapi bagi orang yang tahu, tentu tidak demikan adanya. Menyebutkan nama seseorang adalah tidak berarti narsis, atau suka menonjolkan diri. Jika dilakukan secara proporsional, berani menyebutkan nama secara lengkap adalah suatu bentuk pertanggung-jawaban diri kepada publik. Dengan namanya ditampilkan maka bila terjadi sesuatu maka saya yakin yang namanya disebutkan secara moril akan merasa bertanggung jawab, dan jika itu terjadi maka pada akhirnya masalah yang ada akan dapat dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak ada yang disebutkan, maka jika ada kesalahan, lalu siapa yang dimintai untuk bertindak.
Hal yang aneh dari SNI Baja kita adalah tidak disebutkan literatur yang digunakan dalam menyusun materi SNI tersebut. Apakah benar para panitianya memakai literatur AISC sebagai dasar penyusunan materi atau bukan. Untuk suatu dokumen ilmiah, daftar rujukan literatur yang digunakan adalah sesuatu yang mutlak. Bahkan suatu makalah yang tidak ada rujukan ilmiah, bisa-bisa tidak dianggap ilmiah.
Tiadanya daftar literatur rujukan tentu menyulitkan para engineer yang tidak mengetahui sejarah bagaimana SNI tersebut dibuat, contohnya seperti saya ini. Bahkan sampai sekarangpun saya tidak tahu, atas dasar apa literatur SNI itu dapat berbeda dibanding materi yang ada di buku-buku teks yang saya pelajari. Aku jadi ingat kata temanku: “itulah pak Wir, kita ini khan di Indonesia, jadi budaya klenik yang dominan. Jadi itu mungkin juga hasil nglenik“.
Jadi kalau begitu materi yang digunakan untuk SNI baja apa dong pak ?
Jika dibudaya atau negara yang bidang riset dan penelitiannya sudah maju, maka yang dijadikan dasar untuk penyusunan code / peraturan adalah tentu dari publikasi riset yang dihasilkannya. Karena itu tentu dapat mewakili kondisi negara tersebut secara baik. Tetapi jika budaya riset dan penelitian belum dapat diandalkan atau belum memungkinkan karena risetnya masih terlalu sedikit maka langkah yang paling baik adalah pertama-tama mengakui hal itu. Nggak usah keminter atau merasa tersinggung karena tidak memakai produk dalam negeri. Ingat keminter atau mudah tersinggung adalah suatu bentuk kesombongan. Bisa-bisa pepatah “malu bertanya sesat di jalan“. Bisa juga materi SNI baja kita berbeda dengan isi textbook adalah karena didasari alasan di atas, jadi intinya pokoknya harus berbeda dengan negara lain. Berbeda kalau memang baik hasilnya sih tidak apa-apa, artinya itu istimewa, tetapi kalau berbeda dan tidak ada kelebihannya maka bisa-bisa ditinggal dan dilupakan.
Langkah kedua setelah mengakui kelemahan kita adalah mencari dan mempelajari code / peraturan negara lain yang memang bagus dan diakui, untuk akhirnya dapat ditiru atau dijadikan model rujukan bagi code kita.
Di dunia ini banyak dijumpai code / peraturan perencanaan yang baik-baik. Saat sekarang bahkan tidak terlalu pusing, seperti misalnya code negara-negara eropa sudah menyatukan diri dengan Eurocode-nya. Bayangkan dulu khan masih ada BS ada DIN dan lain sebagainya. Kecuali itu ada Australian Standard yang umumnya mengacu pada british, atau sekarang Eurocode tersebut. Negara-negara bekas persemakmuran, seperti Singapore dan Malaysia banyak menggunakan code yang mengacu British dan sekarang Eurocode. Code-code seperti itu tidak populer di Indonesia, yang umumnya banyak mengacu pada Amerika.
Mana yang sebaiknya kita pilih ?
Untuk peraturan beton (SNI Beton) maka jelas kita sudah mengacu ACI (Amerika), sedangkan untuk peraturan baja, bagaimana ?
Menurut temanku, yang engineer senior dan banyak terlibat pada proyek-proyek asing menjelaskan. Jika mau yang diakui secara luas, maka ambil saja code dari Amerika. Umumnya relatif sederhana dan praktis, selain itu buku-bukunya banyak dijumpai di toko-toko buku. Code beton kita telah sukses mengadopsi amerika. Jadi untuk baja agar selaras juga dengan beton bisa juga mengacu pada steel code Amerika yang dikeluarkan oleh AISC maupun AISI.
Tetapi jika ingin lebih teliti dan akurat, menurut temanku itu, maka code yang dipiih adalah Eurocode atau Australian Code. Memang sih, ketika aku keperpustakaan kantornya aku ditunjukkan buku-buku literatur dari Australian Code yang ternyata cukup lengkap juga, karena disediakan tabulasi yang terlihat detail. Penggunaan Australian code saya kira tidak perlu diragukan, lihat saja code untuk jembatan yang dikenal dengan BMS adalah sepenuhnya dulu adalah dari australia. Tetapi ingat BMS sukses karena didukung bantuan dana yang besar dari negara Australia. Jadi materi-materinya dicukupi. Jika tidak, maka tentu perlu dipikirkan lagi.
Kalau pak Wir sendiri bagaimana ?
Yah, kalau aku sendiri, karena pengalaman dan pengetahuan yang aku punyai maka tentu saja aku akan memilih AISC (Amerika). Kecuali tentu saja ada sponsor seperti yang terjadi pada pembuatan code untuk jembatan, maka situasi tentunya bisa lain. Alasan utama mengapa AISC yang dipilih adalah karena literatur yang tersedia sudah sangat banyak dan dapat dicari dinegeri ini. Jika code lain juga bisa seperti itu, mungkin bisa kita pikirkan juga, tetapi rasa-rasanya tidak demikian. Ini aku punya buku tentang baja cold-formed dari Australia juga karena dikasih teman, kalau nyari sendiri di sini dapat dipastikan tidak ada. Yakin deh.
Tinggalkan komentar