Membaca judul di atas, bagi sebagian besar orang tentu cukup mengherankan “mengapa dibahas ya“, bukankah semua orang sudah tahu bahwa sekolah itu penting, yaitu agar orang yang bersekolah itu mendapat kesempatan belajar yang baik sehingga nantinya dapat mandiri, mempunyai kompetensi yang mencukupi untuk bekerja sehingga hidupnya menjadi sejahtera. Syukur-syukur bisa membantu orang lain di sekitarnya.

Yah mestinya begitulah, saya yakin itu merupakan pendapat mayoritas, meskipun tentu saja ada juga yang berbeda, seperti misalnya agar nanti jodohnya juga orang-orang dari kalangan tertentu, sehingga yang tidak pandaipun nanti dapat menjadi ibu dokter, atau nyonya jenderal. Yah, nggak salah juga. Meskipun itu tidak mesti selalu berhasil, tetapi khan kemungkinannya cukup besar. O ya, bagi yang sudah kaya dan sejahtera, maka sekolah bisa juga dimaksud untuk mencari lingkungan pergaulan, mencari status, agar dikenal dan berpengaruh, sehingga dianya dapat masuk pada kalangan elite tertentu. Ada pengakuan pribadi !

Hal-hal di atas adalah untuk kepentingan individu / pribadi. Tetapi jika setiap individunya dapat mandiri, tidak tergantung orang lain dan sejahtera, maka akan berpengaruh pada masyarakatnya, bahkan bangsa atau negaranya.

Pada proses pendidikan, langsung atau tidak langsung akan terjadi suatu kompetisi pribadi satu dengan pribadi yang lain, itu merupakan sarana latihan menuju suatu keunggulan tertentu. Jadi dengan menjalankan pendidikan di sekolah-sekolah maka dampaknya tentu positip bagi suatu bangsa. Tahu khan untuk maju itu perlu unsur keunggulan.

Alasan untuk mencapai suatu keunggulan itu pula yang menjawab, mengapa suatu negara maju, di sekolahnya, khususnya di level universitas, mereka menyediakan beasiswa-beasiswa bagi mahasiswa asing untuk belajar dan menimba ilmu secara gratis di sana, bahkan dibayari. Mengapa ? Tentu itu adalah langkah mereka untuk mendapatkannya mahasiswa unggul, pintar. Kenapa ? Itu tadi, agar sekolahnya menjadi unggul, karena ada yang tetap dapat berkompetisi satu sama lain dan berprestasi.

Salah satu keuntungan adanya mahasiswa-mahasiswa beasiswa tersebut adalah tersedianya pelaksana-pelaksana penelitian yang ideal. Relatif murah dan punya idealisme, masih muda lagi. Toh keputusan penting di tangan profesor-profesornya, jadi kalau ada penemuan hebat yang dapet khan institusi tempat penelitian itu berlangsung. Kondisi ini aku amati ada di Jerman, di Uni Stuttgart (2002) , di Singpore (2009), pada tahap tertentu juga sudah diberikan oleh universitas di Malaysia, UTM (2009), maupun yang terakhir di Taiwan, di NTU (2010).

Beasiswa untuk mendapatkan pegawai peneliti yang ideal, rasa-rasanya tidak ada atau sangat jarang terjadi di Indonesia. Kalau anda tahu, mohon ya di-sharing.

Beasiswa untuk meraih keunggulan, yaitu agar terjadinya kompetisi di antara siswa sudah mulai banyak di sini. Contohnya di UPH, sampai sekarang ada itu beasiswa bagi siswa berprestasi. Bahkan di awal-awal dulu berdirinya, UPH mendatangi sekolah-sekolah unggulan dan menawarkan beasiswa full bagi siswa berprestasi. Mereka dibayari untuk bersekolah di UPH asalkan mampu berprestasi pada skala IP tertentu. Jadi win-win, mahasiswa dapat bersekolah gratis bahkan dibayari, sedangkan sekolah mendapat nama dari prestasi siswa tersebut. Kondisi ini tentu akan berimbas terhadap siswa lain (yang bukan beasiswa), dan akhirnya dapat menuju suatu keunggulan tertentu. Jika nanti sudah mendapat nama, maka menarik orang-orang pintar itu gampang. Jadi itulah alasannya mengapa sekolah-sekolah yang punya nama, maka hasilnya juga baik. Jadi meraih reputasi itu sangat penting sekali bagi suatu sekolah, demikian juga bersekolah pada sekolah yang bereputasi itu juga sangat penting. Jangan asal dapat bersekolah.

Jika di luar negeri, di negara maju. Beasiswa untuk meraih keunggulan berani ditawarkan ke seluruh dunia (international). Sehingga dengan demikian dapat menarik minat mahasiswa unggul dari segala penjuru dunia untuk bergabung. Sebagai contoh, misalnya Jerman, Perancis, Amerika. Untuk Taiwan atau juga Singapore rasa-rasanya baru merambah pada kawasan Asia saja.

O ya, adanya mahasiswa asing yang ikut belajar di negeri maju, langsung atau tidak langsung dapat digunakan untuk menanamkan pengaruhnya di masa mendatang. Apa yang menjadi nilai-nilai umum di negeri maju tersebut akan dapat dibawa oleh mahasiswa asing tersebut ketika kembali kenegerinya. Jadi ketika sekolah dulu, katakanlah mahasiswa asing tersebut berkeyakinan bahwa produk A, produk negara maju tersebut baik, maka tentu ketika pulang dan ternyata produk A tersebut ada dinegaranya, maka tentu itu pula yang dipilih.

Indonesia bagaimana ya, memang sih ada beasiswa yang diberikan Dikti bagi mahasiswa untuk menempuh S3 di dalam negeri, tapi itu rasa-rasanya hanya sekedar pengganti biaya hidup khususnya bagi mahasiswa S3 yang bekerja sebagai dosen. Itupun nantinya harus kembali lagi ke institusi pengirimnya. Yah jangan dibandingkan dengan situasi di negera lain. Sektor pendidikan di sini belum dianggap penting. Kalah sama sektor demokrasi, yang diglontori dana puluhan milyar. Kita ini baru pada tahap eforia demokrasi. Tunggu saja sampai masyarakat jenuh, ketika melihat meskipun katanya sudah demokrasi tetapi kesejahteraan belum tercapai juga.

Sekolah seperti ini masih ada di Indonesia (Sumber Kompasiana.com)

Nah itulah pemahamanku tentang sekolah, tidak hanya penting bagi individu agar kita sejahtera tetapi juga dapat dipahami bahwa pendidikan bagi anak-anak muda  suatu bangsa adalah salah satu strategi bangsa tersebut untuk maju. Bangsa yang maju kehidupannya tentu lebih sejahtera dibanding yang belum.

Wah pak Wir ini idealis banget !

Idealis ya. Wah apa iya, menurutku itu bukan idelisme, tetapi fakta hasil mengamati (ngelmu titen). Juga kelihatannya tidak hanya aku saja, temanku dosen lain juga demikian. Ini aku mau cerita tentang temanku itu yang berbincang tentang pendidikan.

Begini ceritanya. Temanku itu seorang dosen, sepantaranku, pendapatnya tentang pendidikan kira-kira sejalan. Nggak tahu apa itu disebut idealis, tetapi baginya menjadi dosen itu tidak sekedar untuk sesuap nasi, tetapi ada hal lain yang perlu diperjuangkan. Oleh karena itulah maka dia juga berhasil menyelesaikan S3-nya dari salah satu PTN  terkenal, bahkan atas biaya sendiri. Yah, hebat lah, maklum dianya kaya secara finansial, jadi uang bukan menjadi masalah baginya. Pada waktu sekolah S3 dulu, dia punya janji, jika lulus doktor nanti dianya akan berbagi ilmu dengan masyarakat bangsa ini,maklum dia pikir pendidikan itu sangat penting, langkah utama untuk mendapatkan kesejahteraan. Jadi dengan memberikan pendidikan bagi yang tidak mampu maka tentu sama saja dengan mengusahakan mereka kesejahteraan. Tul nggak.

Lho khan dianya dosen pak, jadi khan memang itu tugasnya ?

Betul memang dianya dosen di kampusku, dan dia digaji untuk itu. Jadi ketika dianya bermaksud memberikan pendidikan bagi yang tidak mampu,  maka dianya berinisiatip mengajar di tempat lain, di perguruan tinggi lain yang dosennya belum bergelar S3. Dia mau mengajar gratis di sana.

Cara pikir dia adalah bahwa dosen dengan latar belakang pendidikan S3 umumnya dapat memberikan pendidikan dengan kualitas tinggi. Jadi ketika ada perguruan tinggi yang belum mempunyai dosen dengan latar belakang S3 maka pendidikan yang dberikan belum berkuliatas tinggi pula. Jadi jika dia dapat mengajar di tempat yang belum ada S3-nya maka diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di sana. Logis bukan.

Wah hebat dong pak, jadi dosen teman bapak tersebut sampai sekarang masih mengajar di sana ?

Itulah, saya pikir juga demikian. Jadi ketika tempo hari aku ketemu lagi, aku juga bertanya demkian, bagaimana dengan murid-murid di perguruan tinggi tempat mengajarnya yang gratis itu.

Jawabannya ternyata tidak terduga. Murid-muridnya disana ternyata tidak welcome. Bagaimana tidak, ketika dia memberikan banyak literatur dalam bentuk pdf, mereka mengeluh, susah untuk akses komputer. Selanjutnya ketika mereka dipinjami buku-buku teks tebal berbahasa inggris untuk di foto copy, mereka juga mengeluh lagi, tentang biaya foto copy. Juga meminta kalau bisa bukunya berbahasa Indonesia. Selanjutnya ketika diminta membuat tugas-tugas penulisan laporan ilmiah, ternyata banyak yang tidak membuatnya. Bahkan yang membikin kesal hatinya ketika dia mendapat teguran masukan dari ketua jurusannya, intinya dia (si kajur) mendapat keluhan dari mahasiswa, kenapa dosennya sekarang (si temanku tadi yang mengajar secara gratis) ngasih kuliahnya terlalu ‘berat’, nggak kayak dosen yang sebelumnya.

Jelaslah, temanku tersebut sangat tersinggung, harapannya mereka pada bersyukur dapat diajar oleh dosen berkualitas (bergelar S3) eh, nggak tahunya bukannya mensyukuri, tetapi bahkan berkeluh kesah. Selidik punya selidik, temanku tadi akhirnya tahu, bahwa di perguruan tinggi yang diajar gratis tersebut, mahasiswanya kebanyakan adalah para pekerja yang meluangkan waktu untuk sekolah lagi. Jadi waktu mereka juga terbatas, yang utamanya adalah mencari duit, artinya mereka sekolah itu hanya sekedar untuk mendapatkan ijazah.  Mereka berpendapat bahwa bersekolah itu penting, tetapi prosesnya nggak penting. Jadi kalau bisa itu ijazah dibeli, maka dibeli sajalah.

Mendengar itu semua, aku tertawa, temanku juga akhirnya tertawa. Yah, itulah sedikit tentang Indonesia, yang di atas (pejabatnya) maupun di bawah (mahasiswa di tempat temanku mengajar gratis tsb) ternyata hampir sama cara berpikirnya tentang pentingnya bersekolah, yang penting ijazah boo. Kalau bisa gampang, ngapain dipersulit. Gitu lho pikirnya. : )

Sebagai dosen, yang memang bergerak di bidang pendidikan, akunya hanya bisa tersenyum kecut. Tetapi itu adalah fakta, yang tidak bisa aku pungkiri. Jadi ketika hari Jumat lalu ada sekelompok mahasiswa mendatangi mejaku, memprotes hasil penilaian dosennya, aku sedikit terhibur.

Lho, diprotes koq terhibur pak.

Begini ceritanya. Kajur di tempatku sedang pergi, karena aku termasuk dosen senior di institusiku, maka mereka mengadu kepadaku. Ada sekitar lima sampai enam mahasiswa yang datang. Sambil menunjukkan kertas ujian yang telah dinilai mereka mengadu. “Seperti ini lho pak, ujiannya !“.

Yah, yah, aku ingat beberapa minggu sebelumnya, sebelum ujian itu diadakan. Intinya mereka complaint, dosen itu (yang diprotes) kalau memberi ujian adalah seperti hapalan, harus persis, kalau beda titik dan komanya maka akan disalahkan. Pada kasus ini mahasiswaku nggak terima, karena menurutnya cara pengerjaannya sudah sesuai prosedur, logis. Jadi si mahasiswa tadi sudah merasa benar, tetapi mengapa akhirnya dianggap salah. Lalu ketika si mahasiswa tersebut datang ke dosennya untuk meminta penjelasan. Jawaban si dosen tidak memuaskan, terkesan nggak mau disalahkan.

Wah, wah berabe juga ini mahasiswa, bisa-bisa dosen diadu dosen.  Jadi aku harus menanggapinya secara bijak, untuk itu aku berpikir keras. Pertama-tama aku melihat nilai yang diberikan dosen tersebut, biasa, umumnya mahasiswa akan protes jika nilai jelek, dan senang-senang saja jika diberi nilai baik. Maklum, khan ada mahasiswa seperti ditempat temanku mengajar di atas, yang penting ijazah, proses nggak peduli. Jadi dengan pikiran sama aku mencoba mengevaluasi mahasiswaku yang protes tersebut.

Eh, ternyata nilainya, nggak jelek-jelek amat, dianya dapat 70 lebih sedikit. Kalau di score dengan huruf sudah dapat nilai B. Tetapi koq masih protes ya. Jadi akunya bertanya: “Kamu ini khan bersyukur, udah dikasih nilai seperti itu”. Bukankah itu nilai yang cukup baik“. Ternyata dia menjawab tidak sesuai dengan perkiraanku, “Memang sih pak, nilainya nggak jelek-jelek amat. Bahkan lebih baik dibanding teman-teman yang lain. Tapi masalahnya, saya tidak paham kenapa disalahkan, karena saya merasa yakin itu betul. Jadi kalau nggak tahu salahnya, khan saya akan menjawab hal sama, tidak ada perubahan. Yang menjadi masalah adalah bahwa dosennya tidak bisa memberi penjelasan yang logis kenapa saya salah dan yang benar harus bagaimana. ” .

He, he, ternyata masih ada juga mahasiswa yang berpikir tentang content pengajaran, dan tidak sekedar nilai yang didapat. Untungnya lagi itu ada di mahasiswa-mahasiswaku, ditempatku mengajar. Syukurlah kalau begitu, jadi aku tidak salah tempat untuk mengajar.

**semangat menjadi dosen menyala-nyala lagi**

Lho gimana pak penyelesaiannya ?

O iya belum tuntas ya tentang mahasiswa yang protes tersebut. Begini dik, kalau mahasiswanya protes kayak begitu maka penyelesaiannya relatif mudah. Kenapa, karena protesnya intelek, dengan argumentasi, dan juga terlihat bahwa mereka punya motivasi tinggi dalam bersekolah. Tidak sekedar dapat nilai bagus saja tetapi juga memperhatikan proses pembelajaran yang diberikan. Oleh karena itu menanggapinya juga dengan cara-cara intelek, yaitu diajak untuk berdiskusi, berargumentasi.

Jadi aku bilang saja demikian :” Wah, wah aku terus terang salute akan tindakanmu, bahwa kamu semuanya aktif. Mau memperjuangkan apa-apa yang kamu yakini betul. Tidak pasif, terima adanya. Saya kira itu adalah ciri-ciri orang yang mandiri dalam cara berpikir. Selanjutnya silahkan saja dapat diteruskan tentang sikapmu itu, yang penting adalah jaga emosi. Tentang penyelesaian terhadap kasus kamu, aku hanya ingin mengingatkan bahwa bersekolah itu tidak hanya ingin menambah ilmu, menjadi pandai saja, tetapi kamu juga perlu belajar tentang arti kegigihan, keuletan, bagaimana menahan emosi, juga bersabar. Jadi untuk itulah maka ada dosen yang seperti kamu jumpai itu. Bersekolah juga mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia di luar sana, yang mungkin tidak mesti 1 +1 = 2 tetapi bisa juga “1”+”1″=”11″. Jangan kaget. Ok !“.

Ternyata mereka puas. Senanglah mengajar mahasiswa-mahasiswa seperti itu.

10 tanggapan untuk “sekolah itu untuk apa sih ?”

  1. Rio Handoko Avatar
    Rio Handoko

    Mantap kali, artikel nya. Jadi malu sendiri.

    Suka

  2. Riza-Arief Putranto Avatar
    Riza-Arief Putranto

    saya sangat setuju dengan apa-apa yang dituliskan.. salam kenal.boleh saya share di blog saya?

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Silahkan saja mas, yang baik silahkan di share, yang jelek lupakan saja. 🙂

      Suka

  3. neil Avatar
    neil

    Selama “benar” dapat didefinisikan,
    Saya sangat setuju jika yang benar adalah dibenarkan, sedangkan yang salah dipersalahkan. Jadi tidak ada salah yang dibenar-benarkan ataupun benar yang disalah-salahkan.

    Berani membela kebenaran dan keadilan adalah perbuatan yang mulia.

    Suka

  4. Akbar Avatar

    Setuju pak, salam kenal pak saya dari UMY. Terimakasih.

    Suka

  5. andar Avatar
    andar

    setuju Pak Wir..
    esensi dari sekolah itu bukan hanya medapat ijazah, tapi benar-benar memahami apa yang diajarkan di sekolah dan mengamalkannya.. lebih-lebih bisa berbagi kepada sesama.. yang terpenting adalah menjadikan kehidupan ini sebagai sekolahan dengan belajar pada siapapun dan apapun..

    Suka

  6. Riza-Arief Putranto Avatar
    Riza-Arief Putranto

    saya 100% beropini sama dengan bapak. artikel ini sungguh mengena, bagi mereka yang paham esensinya. terima kasih telah mempublish pak, sukses selalu kedepannya.

    Suka

  7. Riza-Arief Putranto Avatar
    Riza-Arief Putranto

    Ternyata saya sudah komen diatas Pak Wir, monggo silahkan mau di confirm apa di delete saja gpp 🙂

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Ya betul. Itu berarti pak Riza sudah membaca artikel itu dua kali ya. Nggak apa-apa, yang jelas Bapak mendapatkan pencerahan lagi. Itu berarti tulisan itu memang ada “isinya”, mestinya juga bisa menginspirasi orang lainnya juga.

      Suka

  8. devaluasi IPK sarjana | The works of Wiryanto Dewobroto Avatar

    […] sekolah itu untuk apa sih ? – 20 DESEMBER 2010 · 07:00 […]

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com