Jangan dianggap bahwa judul di atas tidak lengkap, memang sengaja sih dibikin seperti itu. Maklum, jika aku menggunakan kata “Daerah Istimewa Yogyakarta”, kata-kata itu khan sudah sangat populer. Nanti tulisan ini dibilang tidak kreatif, hanya niru doang. Bahkan kalau kata seperti itu yang dipakai, maka bisa-bisa nanti ada yang bilang bahwa aku ingin numpang populer saja. Padahal tulisan-tulisanku ini memang populer khan. 🙂
Maklum wong Jogya (ning lagi nang paran). Jadi kalaupun terikut menjadi Istimewa, toh itu bukan sesuatu yang mengherankan. Maklum darah asli dari Nagari Ngayojakarto Hadiningrat sih, he, he . . . katimbang mati ngantuk mending mati umuk.
Psst , pasti ada lho yang nggak suka jika saya menyebut Yogyakarta itu Istimewa. Tahu sendiri bukan.
Coba kita sedikit berhitung dan berlogika tentang Yogyakarta. Dari Wikipedia kita bisa tahu dengan cepat bahwa luas daerah pemerintahan Yogyakarta tercatat adalah 3,186.0 km2, kemudian dari Wikipedia juga dapat diketahui bahwa luas daerah pemerintahan NKRI keseluruhan adalah 1,904,565.0 km2.
Jadi daerah Jogja itu kalau ditinjau dari luas daerahnya hanya sekitar 0.17% dari luas NKRI. Ingat, satu prosen saja tidak nyampai. Kecil banget khan. Jadi logikanya karena sangat kecilnya maka Jogja itu mau jumpalitan kaya apapun mestinya nggak ngaruh ke NKRI. Benar nggak.
Lalu kita coba lihat NKRI ini, yang wilayahnya dikurangi dengan wilayah Jogja masih ada sekitar 99.83% lagi lho. Itu khan mayoritas sekali bukan.
Tetapi itulah yang terjadi saat ini, karena Jogja itu memang istimewa, maka pemimpin wilayah yang mayoritas itupun masih belum puas jika belum ikut juga memikirkan wilayah yang minoritas ini. Itu merupakan pertanda jelas tentang istimewanya Yogyakarta. Memangnya ada daerah lain seperti itu.
Bahkan kalau mau melihat-lihat sejarah dahulu kadang-kadang terpikir, bahwa pemimpin besar NKRI kalau mau disebut istimewa maka harus pula mengikut sertakan Yogyakarta dalam sejarah kegiatannya.
Coba ingat, jaman Presiden RI yang pertama, yaitu Soekarno dulu. Bahkan beliau jugalah yang melegalkan kata-kata Istimewa bagi daerah Yogyakarta lho. Ingat saja dengan PP Nomor 32 Tahun 1950, itu adalah keputusan pemerintah yang mengukuhkan secara resmi keistimewaan Yogyakarta. Meskipun keistimewaan yang dimaksud sekedar dalam pemilihan gubernur & wakil gubernurnya dan tidak secara langsung kena ke orang-orang Jogja-nya, tetapi yang jelas dengan adanya hal tersebut maka presiden Soekarno di mata orang Jogja menjadi istimewa juga. Aku saja yang tidak pernah melihat langsung pak Karno dapat melihat keistimewaannya lho.
Juga jaman Presiden RI yang ke-2, yaitu Soeharto. Ingat tidak, di jaman itu pula beliau memberi kehormatan orang Jogja, yang notabene gubernur Jogja, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadi wakil presidennya. Mungkin karena beliau dulu pernah mengenal langsung Jogja, karena kecilnya disana, maka beliau dapat melihat keistimewaannya. Bayangkan saja setelah 30 tahun lebih malang melintang di pusat kekuasaan di ibukota raya NKRI maka ketika meninggalpun nggak mau jauh-jauh dari kota Jogja yang istimewa itu, beliau khan ketika meninggal dikebumikan di daerah sekitar Solo, di Mangadek.
Presiden kita yang lain yang ke 3, 4 dan 5 pun rasa-rasanya mengetahui ke istimewaan kota Jogja, atau minimal bisa berpikir rasional bahwa sedikit memberi pernyataan keistimewaan bagi wilayah yang hanya 0.17% dari luas wilayah kekuasannya itu adalah bukan sesuatu yang menjadi masalah.
Tetapi apa yang terjadi dengan yang sekarang. Ah males deh ngomonginnya, ndak ada yang istimewa. Kita ngomong lain ya. 😦
Yogyakarta dari sisi alam juga hebat lho. Ingat tidak di tahun 2004, yaitu ketika tsunami melanda Aceh sehingga berita-beritanya tersebar kemana-mana. Ternyata beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 2006, Yogyakarta juga tidak mau ketinggalan, gempa hebat juga menghampirinya sehingga beritanya juga kemana-mana. Bahkan yang tidak kalah istimewanya pada saat yang sama, gunung Merapi juga ikut-ikutan erupsi (meskipun kecil). Jadi di tahun-tahun itu berita tentang Yogyakarta juga menjadi head-line dimana-mana.
Mungkin tahun 2006 kalah heboh dibanding gempanya, maka di tahun 2010 ini gunung Merapi menyalak dengan keras, ingin menarik perhatian bahwa Yogyakarta itu ada. Bayangkan saja meskipun di tempat lain, yaitu di Mentawai juga terjadi bencana yang hebat, tetapi berita erupsi gunung di Jogja ternyata lebih mendominasi berita-berita di media. Itu kalau nggak istimewa khan nggak mungkin. Betul tidak.
O ada yang lupa pak Wir. Itu lho presiden-nya khan juga ikut nginap di sana untuk membantu mengurusi bencana letusan gunung Merapi ketika itu.
O iya ya. Artinya ternyata kejadian di tempat yang hanya 0.17% daripada wilayah kekuasaannya ternyata menjadi perhatiannya pula. Wah terima kasih kalau begitu, pantas itu dikirim kendaraan seperti tank untuk mengevakuasi pengungsi gunung tersebut.
Wah itu mah bukan dari presidennya pak Wir, itu sih kendaraan serbaguna yang dikirim PMI. Saat ini yang memimpin PMI khan bapak Jusuf Kalla, bekas Wakil Presiden kita, yang asli Makasar itu.
O itu tho. Jadi yang mbantu Jogja dikala bencana itu pak Jusuf Kalla tho. Saya pikir itu dari presidennya khan sudah menginap di sana tempo hari. Jadi kalau begitu pak Presiden itu ngapain saja di sana.
Wah kalau itu, saya nggak tahu pak Wir.
Ya sudah, itu tidak penting. Kalau begitu jangan lupa untuk berterima kasih kepada bapak Jusuf Kalla yang telah mengusahakan itu, perbuatan beliau itu perlu kita ingat bersama, bahwa ternyata tidak duduk di kursi pemerintahan saja ternyata bisa berbagi untuk rakyat Jogja. Meskipun mungkin kelihatannya oarang Jogja itu pada diem, tidak ada yang heboh, tetapi orang Jogja itu seperti orang Jawa pada umumnya yaitu selalu niteni. Jadi meskipun tidak terlihat, tetapi dalam hati selalu memikirkannya, mendoakan agar tetap slamet & rahayu.
Papan petunjuk seperti di atas kayaknya hanya ada di Jogja lho.
Konsep diem tapi bekerja, yaitu “sepi ing pamrih lan rame ing gawe” jelas dapat dibuktikan itu benar-benar terjadi. Lihat saja, meskipun kena gempa tahun 2006 dan juga erupsi merapi tahun 2010 ini, tetapi orang jogja terlihat tetap optimis. Kemarin ketika sepuluh hari di Jogja, rasa-rasanya tidak terlihat bahwa Jogja baru saja mengalami bencana besar. Memang sih, bagi orang yang terkena langsung, itu memang menimbulkan masalah, tetapi secara mayoritas penduduk jogja itu berbeda. Semangat hidupnya tinggi. Lihat saja beberapa komentar yang aku dengar : “Wah nggih, matur nuwun maring gusti ingkang moho kuasao, kulo tasih dipun paringi slamet“. Meskipun yang bicara tersebut rumahnya habis terbawa lahar dingin. 😦
Sikap optimis dan tidak banyak mengeluh itu salah satu bentuk sikap hidup yang istimewa dari masyarakat Jogjya. Memang sih itu tidak semuanya, ada-ada juga yang satu dan dua yang ndleo (berbeda sendiri).
Jogja itu istimewa bagi orang-orang yang pernah tinggal disana. Banyak dari mereka ketika tua ingin kembali ke kota tersebut dan menghabiskan sisa hidupnya disana. Ayahku yang sudah sepuh pernah bercerita tentang teman-teman barunya yang ternyata adalah para pensiunan pegawai BUMN dari kota-kota lain. Dari cerita orang-orang seperti itu, maka ayahku juga tahu, jika orang-orang BUMN itu dalam bekerjanya sering dirotasi keliling Indonesia, dan dari pengalaman seperti itu jadi tahu bahwa kota Jogjakarta adalah tempat yang nyaman untuk ditinggali bahkan ketika sudah pensiun sekalipun. Jadi berbeda dengan di Jakarta, jika punya duit dan kuasa, memang enak tinggal di Jakarta, tetapi jika sudah pensiun dan sudah tidak punya kuasa, apakah masih enak juga. Jadi kalau sudah tua , sudah tidak punya duit, juga sudah nggak punya kuasa, masih saja tinggal di Jakarta, wah itu sih namanya kepepet.
Ada yang istimewa lagi nggak dari kacamata teknik. Takutnya yang istimewa cuma gudeg-nya doang, yang lain kalah .
O begitu ya. Kamu orang teknik sih jadi melihatnya dari sisi teknis. Kalau dari bangunan teknik sipil, jelas deh bangunan tingginya kalah sama jakarta, jembatannya juga iya, nggak ada tuh yang seperti Suramadu. Nggak terlalu ada yang dibanggakan. Tetapi ketika di jaman sebelum NKRI dulu, di Yogyakarta ada juga lho konstruksi yang hebat, yaitu jembatan gantung di atas sungai Progo, ini gambarnya.
Jembatan Gantung Bantar di atas sungai Progo, Yogyakarta
Itu ada di daerah Jogja, pada jamannya dulu jembatan seperti itu jelas luar biasa, bisa-bisa tingkatnya seperti Suramadu di jaman sekarang. Jadi Jogja di jaman dulu itu sudah maju lho, jadi ketika Sultan memutuskan bergabung dengan NKRI bukan karena semata-mata “takut mati penghidupannya”. Situasinya jelas berbeda dengan kasus partai-partai politik kecil yang rame-rame gabung seperti sekarang ini. Wah berbeda itu, Jogja dulu ketika memutuskan bergabung dengan NKRI benar-benar punya martabat. Itu pula yang mendasari mengapa seorang pemimpin besar seperti Soekarno memutuskan untuk memberikan gelar “Istimewa” bagi Yogyakarta. Soekarno itu tahu, untuk memberi orang yang bermartabat itu nggak perlu harus berupa materi, memberi pengakuan saja itu pasti sudah disyukuri, dan akan diuri-uri.
Juga jangan terlalu disepelekan, Jogja dulu juga pernah jadi ibukota republik. Kenapa koq bisa begitu. Kota Yogyakarta dulu adalah salah satu kota besar di jaman sebelum NKRI. Coba lihat saja infrastruktur yang mendukung, yang hanya ada jika kota itu direncanakan dengan baik. Apa hayo, itu lho drainasi perkotaannya. Nggak kalah lho dengan Jakarta.
Kamu pernah dengar nggak ketika banjir lebih dari lima jama di Jakarta, dapat dipastikan khan kalau jalan-jalan utama ibukota seperti Thamrin akan banjir. Kenapa itu, karena drainasinya nggak memadai. Jelek.
Kondisi itu jelas tidak akan terjadi di Yogyakarta, maklum infrastruktur drainasi di jaman sebelum NKRI memang masih baik dan terawat. Maklum karena gubernurnya Sultan, yang jelas tidak akan ngejer materi seperti gubernur atau bupati lain yang pemilihannya heboh, yang harus mengeluarkan duit dulu agar dapat dipilih. Jadi ketika terpilih khan artinya harus mengembalikan modal. 🙂
Masih nggak percaya cerita saya tentang drainasi Jogya yang memang istimewa. Lihat saja kutipan berikut:
Para pakar tata kota sepakat drainase yang baik bisa meminimalkan banjir. Prinsip itu dipraktekkan betul di Kota Yogyakarta. Selain terawat, ukuran gorong-gorong di kota pelajar ini tergolong besar, dari setinggi satu hingga 4,5 meter—saluran serupa di Jakarta cuma berukuran sekitar dua meter. Dengan panjang 316 kilometer menjalar di “perut” kota, sistem drainase itu menjadi pengering yang sangat efektif ketika hujan turun. Air yang masuk melalui inlet disalurkan ke Kali Code, Winongo, dan Gadjah Wong.
[Tempo Interaktif – 8 Januari 2011]
Wah setelah menulis artikel ini, aku jadi benar-benar tahu jika Yogya itu memang istimewa, tidak hanya sekedar dari cara pemilihan gubernurnya saja. Wah bangga juga jadi orang Jogja. 🙂
<up-dated 15 Jan 2011>
Inilah pernyataan awal dari Sri Soeltan HB IX pada bulan September 1945, langsung menanggapi adanya pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945. Jadi Negeri Jogjalah yang pertama-tama memberi tanggapan positip akan lahirnya negeri ini, dan mendukung secara penuh dengan memberikan kekuasaannya dibawah koordinasi presiden RI.
Pernyatan yang dibuat menjadi prasasti di atas itulah yang nantinya ditindaklanjuti secara resmi oleh Presiden RI pertama, Soekarno dengan membuat PP Nomor 32 Tahun 1950, tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta.
.
Artikel lain yang patut di baca untuk lebih memahami artikel di atas:
- Kesaksian Daoed Joesoef tentang DIY – 7 Oktober 2008
- Kota Yogyakarta – Wikipedia
- Daerah Istimewa Yogyakarta – Wikipedia
- Dokumen-Dokumen Yogyakarta – Wikisource
Tinggalkan komentar