Jangan dianggap bahwa judul di atas tidak lengkap, memang sengaja sih dibikin seperti itu. Maklum, jika aku menggunakan kata “Daerah Istimewa Yogyakarta”, kata-kata itu khan sudah sangat populer. Nanti tulisan ini dibilang tidak kreatif, hanya niru doang. Bahkan kalau kata seperti itu yang dipakai, maka bisa-bisa nanti ada yang bilang bahwa aku ingin numpang populer saja. Padahal tulisan-tulisanku ini memang populer khan. 🙂

Maklum wong Jogya (ning lagi nang paran). Jadi kalaupun terikut menjadi Istimewa, toh itu bukan sesuatu yang  mengherankan. Maklum darah asli dari Nagari Ngayojakarto Hadiningrat  sih, he, he . . . katimbang mati ngantuk mending mati umuk.

Psst , pasti ada lho yang nggak suka jika saya menyebut Yogyakarta itu Istimewa. Tahu sendiri bukan.

Coba kita sedikit berhitung dan berlogika tentang Yogyakarta. Dari Wikipedia kita bisa tahu dengan cepat bahwa luas daerah pemerintahan Yogyakarta tercatat adalah 3,186.0 km2, kemudian dari Wikipedia juga dapat diketahui bahwa luas daerah pemerintahan NKRI keseluruhan adalah 1,904,565.0 km2.

Jadi daerah Jogja itu kalau ditinjau dari luas daerahnya hanya sekitar 0.17% dari luas NKRI. Ingat, satu prosen saja tidak nyampai. Kecil banget khan. Jadi logikanya karena sangat kecilnya maka Jogja itu mau jumpalitan kaya apapun mestinya nggak ngaruh ke NKRI. Benar nggak.

Lalu kita coba lihat NKRI ini, yang wilayahnya dikurangi dengan wilayah Jogja masih ada sekitar 99.83% lagi lho. Itu khan mayoritas sekali bukan.

Tetapi itulah yang terjadi saat ini, karena Jogja itu memang istimewa, maka pemimpin wilayah yang mayoritas itupun masih belum puas jika belum ikut juga memikirkan wilayah yang minoritas ini. Itu merupakan pertanda jelas tentang istimewanya Yogyakarta. Memangnya ada daerah lain seperti itu.

Bahkan kalau mau melihat-lihat sejarah dahulu kadang-kadang terpikir, bahwa pemimpin besar NKRI kalau mau disebut istimewa maka harus pula mengikut sertakan Yogyakarta dalam sejarah kegiatannya.

Coba ingat, jaman Presiden RI yang pertama, yaitu Soekarno dulu. Bahkan beliau jugalah yang melegalkan kata-kata Istimewa bagi daerah Yogyakarta lho. Ingat saja dengan PP Nomor 32 Tahun 1950, itu adalah keputusan pemerintah yang mengukuhkan secara resmi keistimewaan Yogyakarta. Meskipun keistimewaan yang dimaksud sekedar dalam pemilihan gubernur & wakil gubernurnya dan tidak secara langsung kena ke orang-orang Jogja-nya, tetapi yang jelas dengan adanya hal tersebut maka presiden Soekarno di mata orang Jogja menjadi istimewa juga. Aku saja yang tidak pernah melihat langsung pak Karno dapat melihat keistimewaannya lho.

Juga jaman Presiden RI yang ke-2, yaitu Soeharto. Ingat tidak, di jaman itu pula beliau memberi kehormatan orang Jogja, yang notabene gubernur Jogja, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadi wakil presidennya. Mungkin karena beliau dulu pernah mengenal langsung Jogja, karena kecilnya disana, maka beliau dapat melihat keistimewaannya. Bayangkan saja setelah 30 tahun lebih malang melintang di pusat kekuasaan di ibukota raya NKRI maka ketika meninggalpun nggak mau jauh-jauh dari kota Jogja yang istimewa itu, beliau khan ketika meninggal dikebumikan di daerah sekitar Solo, di Mangadek.

Presiden kita yang lain yang ke 3, 4 dan 5 pun rasa-rasanya mengetahui ke istimewaan kota Jogja, atau minimal bisa berpikir rasional bahwa sedikit memberi pernyataan keistimewaan bagi wilayah yang hanya 0.17% dari luas wilayah kekuasannya itu adalah bukan sesuatu yang menjadi masalah.

Tetapi apa yang terjadi dengan yang sekarang. Ah males deh ngomonginnya, ndak ada yang istimewa. Kita ngomong lain ya. 😦

Yogyakarta dari sisi alam juga hebat lho. Ingat tidak di tahun 2004, yaitu ketika tsunami melanda Aceh sehingga berita-beritanya tersebar kemana-mana. Ternyata beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 2006, Yogyakarta juga tidak mau ketinggalan, gempa hebat juga menghampirinya sehingga beritanya juga kemana-mana. Bahkan yang tidak kalah istimewanya pada saat yang sama, gunung Merapi juga ikut-ikutan erupsi (meskipun kecil). Jadi di tahun-tahun itu berita tentang Yogyakarta juga menjadi head-line dimana-mana.

Mungkin tahun 2006 kalah heboh dibanding gempanya, maka di tahun 2010 ini gunung Merapi menyalak dengan keras, ingin menarik perhatian bahwa Yogyakarta itu ada. Bayangkan saja meskipun di tempat lain, yaitu di Mentawai juga terjadi bencana yang hebat, tetapi berita erupsi gunung di Jogja ternyata lebih mendominasi berita-berita di media. Itu kalau nggak istimewa khan nggak mungkin. Betul tidak.

O ada yang lupa pak Wir. Itu lho presiden-nya khan juga ikut nginap di sana untuk membantu mengurusi bencana letusan gunung Merapi ketika itu.

O iya ya. Artinya ternyata kejadian di tempat yang hanya 0.17% daripada wilayah kekuasaannya ternyata menjadi perhatiannya pula. Wah terima kasih kalau begitu, pantas itu dikirim kendaraan seperti tank untuk mengevakuasi pengungsi gunung tersebut.

Wah itu mah bukan dari presidennya pak Wir, itu sih kendaraan serbaguna yang dikirim PMI. Saat ini yang memimpin PMI khan bapak Jusuf Kalla, bekas Wakil Presiden kita, yang asli Makasar itu.

O itu tho. Jadi yang mbantu Jogja dikala bencana itu pak Jusuf Kalla tho. Saya pikir itu dari presidennya khan sudah menginap di sana tempo hari. Jadi kalau begitu pak Presiden itu ngapain saja di sana.

Wah kalau itu, saya nggak tahu pak Wir.

Ya sudah, itu tidak penting. Kalau begitu jangan lupa untuk berterima kasih kepada bapak Jusuf Kalla yang telah mengusahakan itu, perbuatan beliau itu perlu kita ingat bersama, bahwa ternyata tidak duduk di kursi pemerintahan saja ternyata bisa berbagi untuk rakyat Jogja. Meskipun mungkin kelihatannya oarang Jogja itu pada diem, tidak ada yang heboh, tetapi orang Jogja itu seperti orang Jawa pada umumnya yaitu selalu niteni. Jadi meskipun tidak terlihat, tetapi dalam hati selalu memikirkannya, mendoakan agar tetap slamet & rahayu.

Papan petunjuk seperti di atas kayaknya hanya ada di Jogja lho.

Konsep diem tapi bekerja, yaitu “sepi ing pamrih lan rame ing gawe” jelas dapat dibuktikan itu benar-benar terjadi. Lihat saja, meskipun kena gempa tahun 2006 dan juga erupsi merapi tahun 2010 ini, tetapi orang jogja terlihat tetap optimis. Kemarin ketika sepuluh hari di Jogja, rasa-rasanya tidak terlihat bahwa Jogja baru saja mengalami bencana besar. Memang sih, bagi orang yang terkena langsung, itu memang menimbulkan masalah, tetapi secara mayoritas penduduk jogja itu berbeda. Semangat hidupnya tinggi. Lihat saja beberapa komentar yang aku dengar : “Wah nggih, matur nuwun maring gusti ingkang moho kuasao, kulo tasih dipun paringi slamet“. Meskipun yang bicara tersebut rumahnya habis terbawa lahar dingin. 😦

Sikap optimis dan tidak banyak mengeluh itu salah satu bentuk sikap hidup yang istimewa dari masyarakat Jogjya.  Memang sih itu tidak semuanya, ada-ada juga yang satu dan dua yang ndleo (berbeda sendiri).

Jogja itu istimewa bagi orang-orang yang pernah tinggal disana. Banyak dari mereka ketika tua ingin kembali ke kota tersebut dan menghabiskan sisa hidupnya disana. Ayahku yang sudah sepuh pernah bercerita tentang teman-teman barunya yang ternyata adalah para pensiunan pegawai BUMN dari kota-kota lain. Dari cerita orang-orang seperti itu, maka ayahku juga tahu, jika orang-orang BUMN itu dalam bekerjanya sering dirotasi keliling Indonesia, dan dari pengalaman seperti itu jadi tahu bahwa kota Jogjakarta adalah tempat yang nyaman untuk ditinggali bahkan ketika sudah pensiun sekalipun. Jadi berbeda dengan di Jakarta, jika punya duit dan kuasa, memang enak tinggal di Jakarta, tetapi jika sudah pensiun dan sudah tidak punya kuasa, apakah masih enak juga. Jadi kalau sudah tua , sudah tidak punya duit, juga sudah nggak punya kuasa, masih saja tinggal di Jakarta, wah itu sih namanya kepepet.

Ada yang istimewa lagi nggak dari kacamata teknik. Takutnya yang istimewa cuma gudeg-nya doang, yang lain kalah .

O begitu ya. Kamu orang teknik sih jadi melihatnya dari sisi teknis. Kalau dari bangunan teknik sipil, jelas deh bangunan tingginya kalah sama jakarta, jembatannya juga iya, nggak ada tuh yang seperti Suramadu. Nggak terlalu ada yang dibanggakan. Tetapi ketika di jaman sebelum NKRI dulu, di Yogyakarta ada juga lho konstruksi yang hebat, yaitu jembatan gantung di atas sungai Progo, ini gambarnya.

Jembatan Gantung Bantar di atas sungai Progo, Yogyakarta

Itu ada di daerah Jogja, pada jamannya dulu jembatan seperti itu jelas luar biasa, bisa-bisa tingkatnya seperti Suramadu di jaman sekarang. Jadi Jogja di jaman dulu itu sudah maju lho, jadi ketika Sultan memutuskan bergabung dengan NKRI bukan karena semata-mata “takut mati penghidupannya”. Situasinya jelas berbeda dengan kasus partai-partai politik kecil yang rame-rame gabung seperti sekarang ini. Wah berbeda itu, Jogja dulu ketika memutuskan bergabung dengan NKRI benar-benar punya martabat. Itu pula yang mendasari mengapa seorang pemimpin besar seperti Soekarno memutuskan untuk memberikan gelar “Istimewa” bagi Yogyakarta. Soekarno itu tahu, untuk memberi orang yang bermartabat itu nggak perlu harus berupa materi, memberi pengakuan saja itu pasti sudah disyukuri, dan akan diuri-uri.

Juga jangan terlalu disepelekan, Jogja dulu juga pernah jadi ibukota republik. Kenapa koq bisa begitu. Kota Yogyakarta dulu adalah salah satu kota besar di jaman sebelum NKRI. Coba lihat saja infrastruktur yang mendukung, yang hanya ada jika kota itu direncanakan dengan baik. Apa hayo, itu lho drainasi perkotaannya. Nggak kalah lho dengan Jakarta.

Kamu pernah dengar nggak ketika banjir lebih dari lima jama di Jakarta, dapat dipastikan khan kalau jalan-jalan utama ibukota seperti Thamrin akan banjir. Kenapa itu, karena drainasinya nggak memadai. Jelek.

Kondisi itu jelas tidak akan terjadi di Yogyakarta, maklum infrastruktur drainasi di jaman sebelum NKRI memang masih baik dan terawat. Maklum karena gubernurnya Sultan, yang jelas tidak akan ngejer materi seperti gubernur atau bupati lain yang pemilihannya heboh, yang harus mengeluarkan duit dulu agar dapat dipilih. Jadi ketika terpilih khan artinya harus mengembalikan modal. 🙂

Masih nggak percaya cerita saya tentang drainasi Jogya yang memang istimewa. Lihat saja kutipan berikut:

Para pakar tata kota sepakat drainase yang baik bisa meminimalkan banjir. Prinsip itu dipraktekkan betul di Kota Yogyakarta. Selain terawat, ukuran gorong-gorong di kota pelajar ini tergolong besar, dari setinggi satu hingga 4,5 metersaluran serupa di Jakarta cuma berukuran sekitar dua meter. Dengan panjang 316 kilometer menjalar di “perut” kota, sistem drainase itu menjadi pengering yang sangat efektif ketika hujan turun. Air yang masuk melalui inlet disalurkan ke Kali Code, Winongo, dan Gadjah Wong.
[Tempo Interaktif – 8 Januari 2011]

Wah setelah menulis artikel ini, aku jadi benar-benar tahu jika Yogya itu memang istimewa, tidak hanya sekedar dari cara pemilihan gubernurnya saja. Wah bangga juga jadi orang Jogja. 🙂

<up-dated 15 Jan 2011>

Inilah pernyataan awal dari Sri Soeltan HB IX pada bulan September 1945, langsung menanggapi adanya pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945. Jadi Negeri Jogjalah yang pertama-tama memberi tanggapan positip akan lahirnya negeri ini, dan mendukung secara penuh dengan memberikan kekuasaannya dibawah koordinasi presiden RI.

Pernyatan yang dibuat menjadi prasasti di atas itulah yang nantinya ditindaklanjuti secara resmi oleh Presiden RI pertama, Soekarno dengan membuat PP Nomor 32 Tahun 1950, tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta.

.

Artikel lain yang patut di baca untuk lebih memahami artikel di atas:

19 tanggapan untuk “Istimewa Yogyakarta”

  1. Agung Rangga Avatar
    Agung Rangga

    wah, jadi kangen sama yogya…

    silakan berkunjung…
    http://popnote.wordpress.com

    Suka

  2. threeas Avatar

    setuju pak.. jogja banyak sekali istimewanya yang tidak bisa kita jumpai dari daerah lain.

    waktu merapi meletus kemarin, begitu cepatnya informasi di lapangan disampaikan ke masyarakat lewat radio amatir (jalin merapi). hingga bisa di dengarkan tidak hanya oleh warga jogja sendiri, namun sudah terkenal sampai ke dunia maya hingga kami warga jogja yang sedang jauh dari jogja bisa mengetahui keadaan jogja sebenarnya.

    salah satu teman saya yang kebetulan asli Padang heran, ko berita merapi bisa cepat kami terima tapi kalau berita gempa mentawai serasa sulit dia peroleh. saya hanya bilang, itulah Jogja. satu kena musibah, semua merasakan dan saling membantu.

    it make me proud of my hometown Jogja.

    Suka

  3. anang nurcahyo Avatar

    keutuhan NKRI tetep yg paling utama..

    Suka

  4. klikinet Avatar

    Yang menjadi pertanyaan saya, kenapa Yogyakarata bisa begitu istimewa sedangkan daerah lain tidak? Jogja itu dilihat istimewa dari apanya sie? Apakah Yogyakarta menyumbang APBN terbesar? atau orangnya hebat-hebat kah? Bandingkan dengan papua, aceh, pulau sumbawa yang memiliki kekayaan alam besar dan menyumbang pendapatan negara yg tidak sedikit.

    Kalo menurut saya, yogyakarta hanya istimewa dalam pengertian simbolik, gensi dan kejayaan. Itu pendapat saya pribadi loh. Bolehkan. Demokrasi kan menjamin kebebasan berpendapat

    Suka

  5. wir Avatar
    wir

    @kliknet

    Apakah Yogyakarta menyumbang APBN terbesar?

    Saya sudah menduga, pertanyaan atau mungkin bisa juga disebut pernyataan yang seperti ini pasti akan muncul.

    Maklum, cara berpikir masyarakat kita khan memang begitu. Selalu nilai materil yang diutamakan. Itu pula yang menjadi motivasi mengapa ketika ada anggota masyarakat yang diberi kesempatan duduk di ranah kepemimpinan, maka bukannya amanah yang menjadi motivasi utamanya, tetapi “aji mumpung”. Ngumpulin sangu buat anak cucu, bahkan kalau bisa sampai tujuh turunan.

    Saya juga yakin, cara pemimpin-pemimpin kita juga seperti itu. “Mana sumbangannya bagiku”, begitu pikirnya. Jadi kalau tidak ada “upeti”, ngapain disebut-sebut istimewa. Yang istimewa itu khan bisa memberi upeti banyak kepadanya.

    Cara berpikir yang sama juga terjadi pada oknum yang katanya adalah tokoh agama, yang katanya pula dapat menjadi panutan masyakat. Dulu ketika tokoh eh oknum tersebut sedang berusaha untuk mencari nama, mendapatkan pengikut, maka terlihatlah begitu sayangnya dia dengan istri tuanya. Tetapi apa yang terjadi, ketika sudah sukses, sudah dikenal dimana-mana, dan kemudian ada wanita cantik yang mau. Apa yang terjadi, istri tua lalu dimadu. Komitmen lama untuk setia dalam suka dan duka ditinggalkan. Alasannya dia bisa adil begitu setiap ada orang yang mempertanyakannya. Tapi buktinya, yang tua sekarang minta cerai. Itu artinya apa.

    Konsep yang mirip, tapi tentu tidak dalam hubungan suami istri, ketika Soekarno dulu menyatakan kemerdekaan negara Indonesia, suasana saat itu tentulah tidak dapat dibayangkan akan seperti saat ini. Bisa sukses terus atau gagal. Yah, seperti deklarasi suami istri, bisa terus atau pisah. Jadi kondisinya pada waktu itu pastilah tidak ada yang dapat dipastikan, adanya hanya “Insya Allah”. Begitu bukan. Jadi ketika Sri Soeltan HB IX menyatakan bergabung dengan NKRI dan diterima bahkan kemudian akhirnya diberikan mandat “Keistimewaan” khan berarti ada sesuatu yang sangat berharga khan di mata Presiden Soekarno saat itu.Bayangkan itu terjadi 60 tahun yang lalu, ketika kepastian keberlanjutan kemerdekaan tersebut masih diperjuangkan. Jadi jangan seperti oknum yang ngaku sebagai tokoh agama itu, yaitu setelah mendapatkan wanita muda yang lebih cantik lalu yang tua dinomor duakan. Jadi ketika “keistimewaan Yogyakarta” kemudian dipertanyakan dengan alasan demokrasi, itu khan artinya komitmen lama di nomor duakan.

    Kondisi itu juga menunjukkan semangat NKRI yang dulu dapat mempersatukan, mulai terlihat tidak kuat lagi. Kalaupun itu masih dipertahankan maka itu hanya sekedar mempertahankan “materi” yang dapat “diperah”.

    Dengan adanya cara berpikir seperti itulah maka timbullah pertanyaan di atas.

    Terus terang, saya sebagai orang Jogja tidak perduli dengan pengakuan Istimewa itu atau tidak, karena bagaimanapun juga saya merasa, jika Jogja memang Istimewa maka cukup yang mempunyai hubungan dengan daerah itu yang merasakan istimewa, yang lain nggak perduli, nggak masalah. Tetapi yang saya pedulikan itu adalah bahwa yang mempermasalahkan itu adalah orang yang dulunya saya anggap terbaik yang memimpin negeri ini, yang dipilih dengan anggapan dapat mempersatukan negeri ini dengan semangat yang sama ketika waktu didirikan dulu. Tetapi yang terjadi bukannya semangat “bersatu kita bisa”, tetapi semangat untuk menjadi mandiri (sendiri-sendiri) saja.

    Jadi kesimpulannya, jika Soekarno dulu dikenal sebagai presiden yang dapat mempersatukan, sampai-sampai seorang Soeltan Jogja dengan rela menyatakan bergabung, maka yang sekarang tentu akan dikenal sebaliknya.

    Yah, mungkin kejadian yang tidak diharapkan itu tidak terjadi dengan segera, tetapi jika itu ternyata benar-benar terjadi, maka jelas awal mulanya ide ada padanya. Sejarahlah yang akan mencatat.

    Yah memang nasib negeri yang selalu dirundung nestapa.

    “Que Sera, Sera (Whatever Will Be, Will Be)”

    Suka

    1. KlikInet Avatar

      Okelah jika itu alasannya. Tetapi bukan hanya yogyakarta yang saat itu meyatakan diri bergabung dengan NKRI tetapi ada sumatera, sunda kecil, sulawesi dan berbagai wilayah yang ada di Nusantara. Dari segi wilayah geografis, mereka juga jauh lebih luas dengan yogyakarta.

      Melihat dari sudut pandang materi adalah salah satu atau bagian kecil dari pembandingan dengan wilayah lain.

      yang jadi pertanyaan saya lagi, apa sie yang di dapat oleh rakyat yogyakarta atas status istimewa yang disandang oleh provinsi DI Yogyakarta?

      Suka

      1. wir Avatar
        wir

        @KlikInet:

        apa sie yang di dapat oleh rakyat yogyakarta atas status istimewa yang disandang oleh provinsi DI Yogyakarta?

        Lho koq begitu saja masih ditanyakan. Apa anda tidak tahu ?

        Apakah yang anda bayangkan dengan adanya status istimewa itu akan berupa materi, seperti dapat gaji ekstra dibanding PNS lain di luar Jogja. Atau juga dapat perumahan gratis ?

        Begitu ya yang ada dalam pikiran anda.

        Sorry nak, kita bukan pada level itu. Yang jelas dengan adanya pengakuan istimewa itu kita orang Jogja merasa dihargai, diapresiasikan, diakui kontribusinya oleh orang lain, dsb. Jadi yang kita dapatkan adalah pemenuhan akan “Kebutuhan akan harga diri“.

        Itu adalah hal yang minimal kita pikirkan, dan itu sudah di level empat dari hirarki Maslov. Hirarki satu adalah sandang pangan, hirarki dua adalah keamanan. Ingat dulu ketika 1998, ketika Jakarta Solo dan juga kota-kota lain terjadi kerusuhan. Kondisi itu tidak terjadi di Jogja. Level masyarakatnya lain mas. Juga dalam hal korupsi, nggak ada itu seperti bupati yang sampai-sampai di panggil KPK. Bagi orang Jawa khususnya Jogja, materi itu penting, tetapi bukan utama. Martabat itu adalah sesuatu yang perlu diraih. Kaya tetapi tidak bermartabat itu tidak terhormat. Bukan itu yang ingin dituju.

        Ingat visi dan misi ketika merdeka dulu, contohnya saja adalah Sultan Jogja, dia waktu itu sudah kaya, nggak ada kemerdekaan saja dia bisa hidup enak. Tapi mengapa dia ikut NKRI yang jelas pada waktu itu tidak jelas apakah lebih enak atau tidak, dan tidak mau dengan Belanda. Jika orang-orang dulu, cara berpikirnya seperti orang sekarang, yang berorientasi pada meteri, pokoknya dapat tunjangan yang baik, maka jelas hasilnya akan berbeda.

        Sultan sadar, bahwa meskipun makan, minum, rumah, keamanan pada waktu hidup dengan Belanda dapat dijamin, tetapi dia merasa tidak punya harga diri, maklum dijajah begitu.

        Semangat yang mendorong Sultan Jogja bersatu dengan NKRI adalah bersama-sama dengan bangsanya sendiri, mampu mandiri bekerja sama untuk nantinya menjadi bangsa besar yang dihargai oleh bangsa lain. Bukan menjadi bangsa penakut. Dengan demikian maka mestinya tidak ada itu masalah perbatasan dengan negara tetangga, yang berani seenaknya sendiri menangkap petugas kita. Juga ketika diundang ke luar negeri, nggak takut itu kalau ditangkap. Kenapa, karena bangsa kita secara keseluruhan akan bersatu padu membela.

        Tetapi apa yang terjadi dengan sikap yang diambil pemimpin kita terhadap kasus-kasus tersebut di atas. Jika anda punya perhatian dengan sepak terjangnya pasti anda akan tahu. Apakah itu semua menunjukkan sikap-sikap seorang bangsa yang percaya diri.

        Jadi ketika kebanggaan sebuah daerah yang mendukung NKRI sejak awal masih ada, apakah itu lalu akan dilibas, dihapus, ditekan. Jika itu terjadi, saya yakin dan hanya waktu yang akan membuktikan, lama-lama tidak ada kebanggaan orang dibawah NKRI. Semuanya hanya akan memikirkan diri sendiri. Dan jika demikian, saya sih tidak akan kuatir dengan kondiri Jogja, atau orang-orangnya. Orang-orang istimewa itu tidak akan tergantung situasinya, mereka akan tetap survive.

        Ingat Jogja itu kota tua, berbagai jaman telah dilalui, demikian juga jaman NKRI pasti dapat dilalui dengan baik. Amin.

        Suka

    2. KlikInet Avatar

      Satu hal lagi. Bahwa pemimpin-pemimpin yang anda sebutkan diatas adalah sebagian besar masih dijabat oleh orang-orang dari jawa. Dari presiden pertama hingga presiden sekarang adalah saudara-saudara kita dari jawa. Jadi wajar ada penghormatan terhadap feodalisme dikalangan sesama suku bangsa jawa.

      Suka

      1. wir Avatar
        wir

        oleh orang-orang dari jawa

        Yah memang begitulah orang jawa, ada yang baik dan ada yang buruk. Ada yang berani dan ada juga yang penakut bahkan pengecut. Yah, seperti manusia biasa saja, seperti yang lainnya.

        Ingat tidak sejarah kerajaan-kerajaan jawa di jaman dulu, yang kadang tertulis di materi pelajaran sejarah di sekolah SMP atau SMA, misalnya sejarah tentang keris empu Gandring. Ken Arok yang nota bene nenek moyang raja-raja jawa ternyata mempergunakan taktik licik yaitu dengan memfitnah temannya Kebo Ijo untuk membunuh bupati Tunggul Ametung dan merebut istrinya Ken Dedes. Itu adalah contoh tidak terpuji yang tertulis dalam sejarah. Meskipun demikian ada juga yang hebat yang gagah berani dengan satria melawan penjajah seperti Pangeran Diponegoro, yang juta tercatat dengan tinta emas sepak terjangnya dulu.

        Demikian pula dengan pemimpin-pemimpin NKRI yang ada, kita lihat nanti, bagaimana sejarah mencatatnya.

        Suka

  6. Sanny Khow Avatar
    Sanny Khow

    Something to say about Yogyakarta that it is the best city to live in Indonesia.

    So the Sultan must have been doing good things to the city and its people.

    The three highest-scoring cities were Yogyakarta at 65.34 percent, Manado at 59.9 percent and Makassar at 56.52 percent. Jakarta ranked 11th at 51.9 percent, below Palangkaraya at 52.04 percent and above Pontianak at 43.65 percent.

    http://www.thejakartaglobe.com/home/jakarta-needs-better-planning-experts-argue/402241

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      O ternyata ada juga pakar lain yang berpandangan sama tentang Jogja. Berarti orang itu ngelmu-nya setingkat atau lebih baik dibanding saya. 🙂

      Suka

  7. alyassar Avatar
    alyassar

    Seharusnya suatu daerah yang tenang dan hampir tidak pernah punya masalah tidak perlu dikotak-katik oleh pak SBY karena mengingat sudah terlalu banyak daerah2 lain yang bermasalah.

    Saya ndak tahu pak SBY itu sadar dengan ucapan dan tindakannya atau tidak, sebab pada akhirnya hanya membuat polemik-polemik baru. Seharusnya pak SBY fokus pada penyelesaiaan masalah dan bagaimana membuat Indonesia menjadi negara yang maju.

    Sehingga saya jadi berkeyakinan jika pak SBY itu tidak 100% memikirkan penyelesaian masalah dan membangun negara, tetapi hanya membangun basis partainya, mumpung masih jadi orang nomor satu.

    Suka

  8. Riza-Arief Putranto Avatar
    Riza-Arief Putranto

    betul pak, saya pengen ketika pensiun nanti kembali ke kota yang membesarkan saya. yah, tidak usah membicarakan kenapa presiden kita yg skr tidak ‘faham’ keistimewaan jogja atau pura-pura tidak faham. saya juga tidak ingin mengkritisi, nanti dikatakan ‘jawasentris’ lagi. kita ini kan orang indonesia.

    sudah diberi bencana alam dan politis masih bisa tersenyum. jadi, saya juga bangga menjadi bagian dari mereka, meskipun saya bukan orang jogja sekalipun, saya tetap bangga dan selayaknya mencontoh semangat seperti itu. saya yakin ini akan menjadi contoh yang baik…

    Suka

  9. Made Pande Avatar
    Made Pande

    Maaf Pak Wir, saya malah belum balas artikel sebelumnya, tapi gatel mau nanggapin yg ini dulu. he2..

    Saya mau menanggapi debat bapak dengan Saudara Klikinet.

    Mungkin saudara Klikinet belum pernah tinggal di jogja atau mungkin juga sudah pernah tapi akibat keterbatasan akhirnya tidak dapat merasakan “keistimewaan” jogjakarta yang tidak dapat dinilai dari sisi materi saja. Jadi, mungkin bisa dimaklumi kenapa dia berpikir seperti itu. Saya sendiri adalah salah satu pendatang yang pernah tinggal di Jogja selama 10 tahun. Saya bukan orang asli Yogyakarta, tapi saya merasa sangat beruntung dan bahagia pernah menjadi bagian dari kehidupan yogyakarta. Apakah perasaan ini ada hanya karena adanya perasaan sentimentil tentang pengalaman pribadi saya yang berkesan selama tinggal di jogja? mungkin saja bisa begitu. Ataukah karena keadaan jogja yang sangat kondusif (oleh karena keistimewaannya) yang membuat saya dan orang lainnya sehingga dapat meraih kesan2 yang sangat mendalam pada setiap pengalaman hidupnya selama tingal di jogja? bisa jadi. tetapi yang pasti, dari sekian banyak teman saya (pendatang) yang pernah tinggal di jogja, mereka merasa sangat betah dan nyaman bahkan banyak dari mereka yang hingga berpikir apakah bisa untuk selamanya tinggal di jogja.

    Jadi, jika anda belum pernah berlibur atau tinggal di Jogjakarta, cobalah untuk merasakannya terlebih dahulu. Perhatikan perbedaan2 yang mungkin tidak akan anda jumpai di kota besar lainnya. Suasana lingkungan, tata kota yg sangat teratur dan bersih, kebudayaan yg masih terpelihara dengan baik, ketenangan masyarakatnya, dll.

    Apakah ada di kota besar lainnya ketika kita keluar malam lebih dari jam 2 malam tetapi tetap merasa aman di jalan? Itu yang saya rasakan di jogja. jam berapapun keluar malam tidak menjadi masalah (asalkan kita tidak berbuat onar atau memancing emosi orang yg tengah mabuk di jalan.he2).

    yah, pada intinya, dari sekian banyak orang yang pernah merasakan hidup/tinggal/berlibur di jogja, banyak dari mereka yg merasa nyaman dan betah. jadi, keistimewaan jogja bagi saya adalah nuansa kenyamanan yang mungkin tidak dimiliki oleh kota lainnya. Nuansa ini bisa timbul menurut saya tidak lain karena Jogjakarta dipimpin oleh Sri Sultan dimana beliau mampu menetapkan kebijakan2 tanpa dipengaruhi oleh godaan materi. Dengan kata lain, Sri Sultan memiliki kualitas spiritual yang mumpuni yang tujuan hidupnya tidak lagi mengejar materi.

    Kebetulan saya memiliki teman yang bekerja sebegai sekretaris di Kesultanan, diamana dia dapat berhadapan langsung dengan Sultan Hamengkubuwono X di kantornya. Teman saya ini dapat merasakan kewibawaan yang luar biasa dan bukti kesederhanaan hidup yang dijalani beliau yang seharusnya dapat dijadikan panutan bagi pemimpin2 di negeri ini. Selama Jogjakarta ada di tangan beliau, saya yakin Jogjakarta akan menjadi kota yang “istimewa”. Tetapi jika Jogjakarta jatuh kepada orang pemerintahan yang kualitas manusianya seperti yg kita kenal beritanya di koran2 selama ini, yah menurut saya “keistimewaan” jogja akan hilang. Jika begitu, Jogjakarta akan menjadi seperti kota lainnya.

    Yang menjadi masalah adalah Sri Sultan tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus “tahta”nya. Lalu bagaimana jika Sri Sultan Hamengkubuwono X sudah tidak dapat memimpin Jogja lagi (akibat faktor umur/kesehatan)? Apakah penggantinya yang berada di luar garis keturunannya dapat memiliki kualitas spiritual sebaik beliau? Jika tidak, dan malah terjadi perebutan kekuasaan di dalam keluarga, maka tentunya hal ini juga dapat menjadi pukulan yang berat bagi rakyat Jogjakarta.

    Begitu menurut saya, terima kasih. 🙂

    Suka

  10. wir Avatar
    wir

    @ Pande
    Itu semua dimungkinkan karen kehidupan bagi orang jawa adalah sarat dengan makna dan penuh falsafah.

    Secara sederhana itu bisa dilihat dari bahasanya, yaitu bahasa jawa, yang saat ini mungkin sudah tidak banyak orang yang memperhatikan. Untunglah saya dulu kecil di Yogya, juga masih dapat bersanding dengan kakek dan nenek yang jika dirunut-runut masih ada darah priyayi. Jadi bisa merasakan dan juga mengetahui bahwa bahasa jawa adalah tidak sesederhana bahasa Indonesia. Itu pula saya kira yang menjadi alasan mengapa kongres 28 Oktober 2008 juga memutus menggunakan bahasa Indonesia.

    Bahasa Jawa memang bukan sekedar bahasa komunikasi, sebagai contoh coba kita ungkapkan kata “harta dunia”, artinya tahu khan, Itu lho yang sekarang dikejar-kejar oleh para penguasa dan akibatnya adalah korupsi. Itu coba kalau kita terjemahkan kepada bahasa jawa, sehingga menjadi “bandha ndonja”.

    Kata “bandha” dapat diartikan selain merujuk pada kata “harta” tetapi dapat diartikan sebagai “diikat tangannya”, misalnya: “maling kuwi wis kecekel lan wis dibondho”, artinya pencuri tersebut sudah tertangkap dan sudah diikat kaki dan tangannya”. Jadi “bandha ndonja” juga dapat diartikan sebagai hidup yang terikat ke urusan dunia saja, urusan ke atas di lupakan.

    Karena bahasa digunakan dalam kesehari-hariannya, maka jelas dalam setiap memaknai kehidupannya mereka, orang jawa yang memang mengetahui dan menyelami budaya jawa akan selalu teringat akan makna-makna tersebut, mereka selalu “eling lan waspada”.

    Itu pula yang menyebabkan mengapa anda melihat orang jawa yang kebetulan menjadi sultan bisa seperti itu. “Urip iku mung mampir ngombe”, artinya : hidup itu hanya sementara seperti orang bertamu yang sekedar mampir untuk minum.

    Suka

  11. Rifqi Muhammad Avatar

    polemik keistimewaan jogja membuat jogja tak jelas posisinya. kalau ini sampai mempengaruhi banyak hal, tentu rakyat juga yang kena. salam kenal..

    Suka

  12. Sanny Khow Avatar
    Sanny Khow

    Dikutip dari majalah Economist
    The king and SBY
    Dec 13th 2010, 9:34 by S.M. | YOGYAKARTA

    EVEN in the rush hour traffic on Jalan Solo, a central artery of the ancient Javanese city of Yogyakarta, no one honks. An increase in bank credit over the past year has meant an influx of cars and motorcycles, a development that has driven residents of Jakarta, Indonesia’s capital, into bloody incidents of road rage. But in “Jogja”, with its academic and artistic virtues—in the national consciousness, it occupies a place like Oxford’s in Britain or Kyoto’s in Japan—one still finds a well-ordered, even peaceful city.

    Yet events of the past fortnight have sent the city seething. In the name of democracy, Indonesia’s president, Susilo Bambang Yudhoyono (usually called SBY), is pushing for direct elections of the Yogyakarta governor and vice-governor, offices traditionally held by the royal houses of Yogyakarta and Paku Alum respectively. A monarch would still head the province, retaining autonomy in cultural matters and leadership over a new, state-funded royal institution—the parardhya—but day-to-day affairs would pass to a democratically elected governor. Such a plan would come into effect after the childless sultan “is no longer able to serve”, as SBY put it.

    This has not gone over well in Yogyakarta. For many, the “bonsaification of the monarchy”—as a local newspaper has it—is an insult. Men in formal Javanese attire, complete with beautiful kris, ritualised broadswords, have camped outside vice president Boediono’s Jogja house in protest, and hundreds of provincial lurah, or village heads, have expressed support for the monarchy. The government has raised the issue every year since 2004, a show of unusual persistence from SBY; in 2008, 10,000 people rallied in Jogja. As the government prepared its draft bill, pamphlets and stickers in the city are demanding a referendum on the province’s future. Jogja’s mayor, Herry Zudianto, raised the flag at half-mast on December 12th, to protest the bill. The more conspiratorially inclined see SBY’s move as an attack on Sultan Hamengkubuwono’s political aspirations. The sultan is affiliated with the old-guard Golkar party and its spin-off, the National Democrats, could become a vehicle for the sultan’s own ambitions in the 2014 elections.

    There are historical reasons for Jogja’s hereditary privileges. The current sultan’s father, Hamengkubuwono IX, declared his support for the Indonesian republic in 1945, a vote of confidence during uncertain times. Later, he fought on the frontlines of the 1949 battle of Yogyakarta, and funded a bankrupt Indonesian state for three years during the tumultuous post-independence years. In return, Jogja’s special autonomy was twice affirmed by Indonesian law.

    Political scientists in Jakarta and Yogyakarta say that changes are needed: Yogyakarta’s legislative council does not “run normally” because the council dares not challenge the governor (who is, after all, the king). Therefore, there are no checks and balances. Yet a monarchy has its advantages: Yogyakartans cannot be faulted for revering their grand, incorruptible king in preference to some wheeler-dealer provincial governor. Sultan Hamengkubuwono’s stature also gives him a special sovereignty in national politics: he could support the Indonesian reform movement in 1998 without fear, and in during the violent days of May of that year, when Suharto came down, he calmed protesters in Jogja, thus saving the city from the looting and burning that affected other Javanese cities. The liberal sultan, who abolished polygamy when he rose to the throne in 1998, has also expressed concern that the new parardhya institution would add to existing royal privileges by conferring immunity from prosecution.

    As Mount Merapi nearby continues to spew ash into the city’s Code river, Yogyakartans will recall the poet Ranggawarsita’s famed lines, warning against “a time without order/ in which everyone is confused in his mind.” For most Yogyakartans, the confusion is all SBY’s. A regional passport with the royal crest began circulating online last week, courtesy of a local provocateur. If it turns out that a liberal democracy does indeed clash with their monarchy, Yogyakartans know which one must go

    Suka

  13. Alfin Avatar
    Alfin

    well..
    as a javanese living in central java..
    i absolutely agree with the wonderfulness of Yogyakarta.
    but i think it still worth nothing as long as the city were still inside
    a nation with capitalism-democracy as its ideology.
    gampangnya, musyawarah-mufakat mah bukan hanya paham
    demokrasi yg punya nilai kyk gitu, tata-nilai budaya Jawa pun ada,
    dan dlm budaya suku2 Indonesia yg lainnya juga ada.
    So..
    why we still try to maintain democracy?
    which in turn will bring capitalism values into our lifes.
    saya pikir orang2 Yogya klo hanya bisa menjalani hidup sebagai
    orang Jawa tanpa bisa mempelopori suatu perubahan tapi merasa
    sebagai bagian dari sebuah komunitas yg ‘istimewa
    yah.. itu sih chauvism aja namanya..
    fanatisme kedaerahan yg walaupun alasannya ada tapi kurang jelas
    prestasi atau gregetnya

    Suka

  14. Rifqi Muhammad Avatar

    Jogja memang istimewa. Kini memiliki nama baru :kota republik

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com