Jika dihitung-hitung, tidak terasa sudah lebih dari dua puluh tahun aku sejak menyelesaikan sarjanaku. Selama itu pula aku hidup sebagai orang yang digaji. Bahkan kalau tidak salah , jika mau dihitung-hitung sudah ada sekitar lima atau enam perusahan yang pernah aku sambangi dan mendapatkan gajinya. Di semua perusahaan tersebut aku belum pernah bermasalah. Jadi mestinya aku bisa dianggap tahu : bagaimana memperankan diri selaku orang gajihan. Dengan latar belakang seperti itu maka cukup valid jika aku berbicara tentang mental orang gajihan . Mari kita bahas.
Salah satu ciri dari orang gajihan adalah harus penurut. Kepada siapa, tentu kepada orang-orang atau aturan-aturan yang menetapkan bagaimana sebaiknya dia bekerja. Mengabaikan hal tersebut maka akan berpengaruh pada keberlanjutan gajinya. Bisa saja tidak dipecat, tapi bertahun-tahun bisa-bisa tidak naik-naik.
Penurut disini tidak mesti berbentuk merunduk-runduk kalau ketemu muka, tetapi yang penting apa-apa yang dikerjakannya harus mengikuti “kemauan” yang diingini perusahaan atau institusi tempatnya bekerja. Jadi kasarnya, bahwa jika ingin tetap mendapat gaji, maka harus bisa bikin senang atau dapat memberi keuntungan kepada orang yang menentukan pemberian gaji tersebut.
Jadi pada prinsipnya jadi orang gajihan itu adalah tidak bebas. Apapun yang dia pikirkan atau dia kerjakan harus diusahakan membuat atasannya mengganggap dia tidak bermasalah, bahkan kalau bisa membuatnya senang. Sebagai orang gajihan, itu pula yang membuatku harus masuk setiap hari pukul 7.00 dan baru boleh meninggalkan tempat bekerja setelah pukul 16.00. Itulah salah satu ketentuan yang harus diikuti, nggak boleh seenaknya saja.
Mental seorang gajihan seperti di atas, tidak dibatasi oleh besarnya gaji yang diterimanya. Apakah itu sopir atau pemimpin perusahaan, selama dia hanya berpikir tentang gaji tiap bulannya, maka ya seperti itu yang harus diusahakannya, yaitu : membuat senang atau puas, orang-orang yang mempunyai kuasa menetapkan atau mengevaluasi gajinya.
Bagaimana pak dengan presiden yang juga berbicara tentang gajinya, di sini, di sini dan di sini.
Wah masak. Masih juga mikiran gaji seperti aku. Wah kalau begitu caranya dia berpikir, pasti juga sama. Saya yakin dalam setiap pikiran dan tindakan yang dia lakukan harus mengikuti koridor, yaitu membuat senang atau minimal tidak membuat masalah orang-orang yang mempunyai kewenangan mengevaluasi haknya menerima gaji tersebut. Siapa itu. Pasti para elite di atas.
Lho pak, tapi khan presiden yang milih rakyat.
Betul. Beliau pasti tahu tentang hal tersebut, tetapi khan akses rakyat untuk mengevaluasi secara langsung tidak ada. Sudah diserahkan kepada wakil rakyat yang sekarang ini sedang duduk di kursi-kursi elite tersebut. Jadi yang penting harus dilakukan bagi rakyatnya adalah bahwa dia harus memberi kesan telah dapat membuat senang mereka. Dia dimata (sebagian) rakyat harus terkesan positip. Citra positip. Sehingga jangan sampai ada hal-hal yang dapat diangkat oleh wakilnya di elite. Selanjut dia harus berupaya agar setiap tindakannya akan membuat senang wakil rakyat atau minimal tidak mengganggu kepentingannya.
Jadi selama dia memikirkan tentang gajinya, atau hak-haknya yang diterima secara materiil maka sebenarnya cara berpikirnya juga masih terbatas. Yah cara kerjanya seperti manajer perusahaan gitu, tapi belum menjadi pemilik perusahaan. Jadi jangan harap diperoleh hal-hal yang tak terduga jika menyangkut para elite, apalagi seperti harapan rakyat banyak dan untuk kepentingan mereka pula. 🙂
Antrian orang-orang yang ingin dapat gaji (ingin jadi orang gajian)
.
.
Berita-berita tentang orang gajihan dan yang terkait :
- Demokrat Usulkan Gaji Presiden Naik
Kompas – Rabu, 26 Januari 2011 | 04:04 WIB - Rencana Kenaikan Gaji Presiden, Cermin Pemerintah Tak Peka
detikNews- Rabu, 26/01/2011 03:08 WIB - Pengamat: Gaji Presiden Sebaiknya Rp 100-120 Juta Per Bulan
detikNews – Selasa, 25/01/2011 22:24 WIB
Tinggalkan komentar