Judul di atas merupakan judul artikel di sini. Tidak saya rubah agar sesuai aslinya. Terus terang sebagai dosen yang juga mulai terlibat dengan kegiatan penelitian maka membaca judul di atas tentu saja tergelitik untuk menanggapi.

Apa betul tak semua hasil penelitian harus diungkap ?

Jika tidak diungkap, lalu apa gunanya penelitian tersebut dilakukan. Itu namanya menghabis-habiskan duit.

Dua pernyataan di atas, yang satu mengutip LIPI kemudian yang ke dua adalah komentar saya selaku dosen, maka itu saja sudah akan menimbulkan pro dan kontra. Saya yakin tidak semua pembaca akan mengamini, baik pernyataan pejabat LIPI maupun komentar tanggapan saya di atas. Untuk itu baiklah dilihat latar belakang argumentasi mengapa ke dua pernyataan tersebut timbul. Jika hal-hal seperti ini dapat dipahami masyarakat secara baik maka rasa-rasanya permasalahan tentang polemik hasil penelitian yang telah terjadi sejak tahun 2008 khususnya tentang tercemarnya susu formula pasti telah mendapat penyelesaiannya. Bayangkan saja, tentang tercemarnya susu tadi saya telah menuliskannya di blog ini, di sini. Tetapi ternyata sampai sekarang masih saja ada polemik di berita-berita  yang bermunculan.

Kita bahas komentar pertama, yaitu yang dari Pejabat LIPI. Saya yakin bahwa pejabat tersebut melihat penelitian adalah dari sisi general, bahwa yang disebut penelitian adalah kegiatan ilmiah untuk menyelidiki sesuatu masalah untuk mengungkapnya. Kegiatan penelitian di sini tidak terbatas pada penelitian bagi seorang dosen tetapi yang lebih luas sehingga penelitian seperti itu dapat dilakukan oleh setiap orang yang berkompeten dan yang memang menginginkannya. Tujuannya bisa macam-macam, orang itu saja yang tahu. Kalaupun ada orang lain yang tahu biasanya itu adalah penyandang dananya. Maklum peneltiian khan biasanya nggak gratis dan perlu biaya. Sebagai contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh intelijen negara. Jika telah selesai tentu hasilnya adalah untuk mereka sendiri dan tidak akan disebar luaskan ke orang lain. Jika itu terjadi maka namanya bukan intelejen negara, betul nggak.

Pak Wir, emangnya intelijen melakukan penelitian ?

Ah kamu ini jangan terlalu under estimate, jangan bayangkan bahwa intelijen itu hanya mengintip saja tugasnya. Untuk penyadapan misalnya, ketika akan membeli peralatan penyadap yang sangat mahal, tentu dianya perlu meneliti terlebih dahulu teknologi alat-alat penyadap yang tersedia untuk dibeli, kemampuan (kelebihan dan kelemahan), apakah perlu ketrampilan khusus untuk memakianya, cocok tidak jika diterapkan di sini, dsb-nya. Agar keputusan pembelian alat-alat penyadap yang efektif dan membuang-buang uang negara maka tentu perlu dilakukan penelitian, biasa kecil bisa juga besar, tergantung siapa yang meneliti dan kelengkapan data yang dipunyainya. Hasilnya jelas tidak perlu dipublikasikan ke luar, karena untuk kepentingan sendiri. Jika diungkap, maka bisa-bisa yang akan disadap akan mempersiapkan diri menghadapinya. Itu maksudku.

Adanya contoh seperti itu maka  pernyataan pejabat LIPI tersebut adalah benar adanya, bahwa tidak semua hasil penelitian harus diungkap.

Jadi kalau kemudian ada pejabat negara lain yang mempublikasikan hasil penelitian si intelejen bahwa negara akan membeli alat penyadap A yang sangat canggih, sehingga setiap tiap HP dapat dimonitor keberadaannya, lalu kemudian terjadi heboh di masyarakat karena apa yang dipikir dapat disembunyikan ternyata dapat direkam karena alat sadap tersebut. Lalu ada pendapat bahwa kebebasan berpendapat di negera ini ternoda. Kalau begitu yang salah siapa, si pejabat yang mempublikasikan atau intelejen yang meneliti.

Sudah tahu khan, jadi tentunya tentang masalah bakteri pencemar susu tersebut masalahnya dapat langsung dilokalisir. Betul bukan.

Mari kita bahas pendapat ke dua, yaitu dari saya bahwa “kalau penelitian tidak dipublikasi lalu apa gunanya”.

Ingat, pendapat di atas hanya dapat dibenarkan jika yang mengungkapkan adalah seorang dosen. Jika bukan dosen tentu pernyataan tersebut tidak valid, mengapa ?

Penelitian bagi seorang dosen adalah juga suatu kewajiban. Saat sekarang ini, ketika pemerintah membuat profesi dosen diakui secara profesional, sampai-sampai membuat sertifikat pendidik yang ditanda-tangani pejabat berwenang, sehingga secara formal diakui negara dan negara memberikan haknya maka dosen sudah tidak tepat lagi disebut sebagai staf pengajar. Maklum, tugas dosen yang diakui negara adalah tidak hanya mengajar saja, jadi jika anda melihat bahwa seorang yang menyebut dirinya dosen, dan kegiatan waktunya hanya habis untuk mengajar saja dan kegiatan lain mencari duit (jadi makelar atau pedagang misalnya) maka itu jelas bukan dosen seperti yang diharapkan pemerintah. Itu dosen tidak berkualifikasi sempurna, meskipun mungkin dianya kaya, itu tidak patut dicontoh, kecuali tentunya jika dia tidak mengaku sebagai dosen tetapi mengaku saja sebagai pebisnis sukses yang kadang-kadang sebagai pengajar di perguruan tinggi, memberikan kuliah ilmu bisnis / wirausaha kepada mahasiswa yang memerlukannya. Nah itu baru bagus namanya, saya akan respect, pokoknya jangan ngaku diri dosen, sekarang sudah tidak tepat lagi.

Koq gitu pak Wir, kalau begitu bapak masuk yang mana, jika tidak mengajar lalu apa saja kegiatannya ?

Belum tahu ya. Pemerintah sekarang sudah mengakui pekerjaan profesional seorang dosen, yaitu orang yang bekerja yang melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, apa itu, yaitu [1] Pendidikan dan pengajaran; [2] Penelitian dan publikasi ilmiah; [3] Pengabdian kepada masyarakat.

Jelas. Jadi tugas dosen tidak hanya mendidik dan mengajar, tugas dosen juga melakukan penelitian. Untuk apa penelitian tersebut, agar dapat dimanfaatkan untuk pengajaran dan juga untuk dipublikasikan ke masyarakat ilmu (jurnal atau majalah ilmiah). Adanya syarat agar digunakan untuk pengajaran atau dipublikasikan menunjukkan bahwa hasil penelitian seorang dosen adalah harus diungkap.

Kalau tidak mau diungkap pak, gimana dong ?

Yah masalah diungkap atau tidak memang itu adalah urusan dosen yang bersangkutan. Tetapi yang jelas, jika tidak diungkap ke masyarakat ilmiah maka sebenarnya penelitian si dosen tersebut belum dapat dianggap selesai. Bahkan kum-nya tidak ada. Tidak ada nilainya gitu. O ya, yang dimaksud diungkap di sini adalah dibuatkan laporan tertulisnya. Kalau ada laporan tertulis ke lembaga penyedia dana, maka dianggap sudah diungkap tetapi terbatas. Kum-nya juga relatif kecil. Jika dapat diungkap ke ranah yang lebih luas, misalnya nasional atau international maka kum-nya juga besar. Bahkan riset di luar negeri (negara maju) bahkan lebih dari itu, suatu riset yang bernilai tinggi adalah jika sudah dipublikasikan dan bahkan jika telah dijadikan referensi (cite) oleh ilmuwan lain. Itu namanya riset yang hebat.

Apa mungkin tidak diungkap pak.

Ya bisa saja, misalnya metodenya masih salah. Jadi kalau diungkap bahkan akan ketahuan jika penelitinya belum canggih, masih amatiran. Jadi disimpan dulu, kalau ketahuan khan bisa malu. Bahkan kalau perlu dilakukan penelitian lagi. Atau bisa juga bikin argumentasi, tidak diungkap karena mau didaftarkan patent. Jadi agar dianggap orisinil jangan dipublikasikan luas terlebih dahulu. Ini alasan yang paling elegant ketika suatu hasil penelitian tidak dipublikasikan. 🙂

Jadi kalau begitu, penelitian tentang bakteri di susu tersebut juga begitu ya pak.

Wah aku tidak tahu.

5 tanggapan untuk “LIPI: Tak Semua Hasil Penelitian Harus Diungkap”

  1. Josia Avatar
    Josia

    Pak Wir,
    Sehubungan dengan susu yang tercemar bakteri, jika yang dimaksud tidak diungkap adalah merk susu yang tercemar bakteri, dalam hal ini saya setuju.

    Sama seperti jika saya meneliti misalkan besar susut pada berbagai merk ready mix, pasti tidak akan saya ungkap merk ready mix apa yang kualitasnya paling jelek, yang susutnya paling besar. Wah… bisa dituntut saya nanti. Paling banter saya ungkap merk readymix nya sebagai A,B,C,D,E dan F saja misalnya.

    Jadi kalau yang dimaksud tidak diungkap merk dagangnya saya setuju.

    Salam,
    Josia

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Betul pak Josia, apa dan bagaimana mengungkapkannya juga perlu hati-hati. Juga tidak boleh pada forum sembarangan, karena bila berbeda komunitas akan berbeda pula interprestasinya.

      Oleh karena itu pada artikel di atas saya merujuk bahwa mengungkapkan hasil penelitian sebaiknya ditujukan juga pada komunitas masyarakat ilmu atau ilmiah. Kenapa begitu, karena setiap penelitian pasti mempunyai keterbatasan, batasan ilmiah maksudnya. Jadi kesimpulan yang dihasilkannya juga tentunya bersifat terbatas, tidak bisa digeneralisasi atau lalu dijadikan komoditi politik.

      Jadi jelaslah bahwa pernyataan hasil penelitian tentang bakteri pada susu yang tempo hari diungkapkan oleh seorang rektor itu merupakan suatu pernyataan politik, bukan pernyataan ilmiah. Jadi pantes saja jika membuat heboh.

      Kalau begitu bagaimana hayo, masyarakat resah karena timbul keragu-raguan tentang kualitas susu yang beredar. Masyarakat khan tidak mau menerima resiko tersebut. Kenapa itu terjadi karena ada kesan dari pernyataan rektor tadi bahwa hasil penelitian yang hanya melibatkan sampel kecil, dan dalam waktu yang tertentu itu kemudian dijadikan pengetahuan umum tentang kondisi susu di Indonesia. Ini khan yang nggak benernya.

      Jadi sekarang biar aman semua, ada baiknya si rektor tersebut diminta untuk membuktikan benar nggak kesimpulannya tersebut.

      Suka

  2. jahol Avatar
    jahol

    kerena kita hidup di negara hukum (bukan negara riset) mungkin keputusan untuk membekukan kasus bakteri susu formula sudah melibatkan pertimbangan intelejen mas, penelitian lipi (atau ipb dan PT yang lain) kalau dipublikasikan semua berpotensi menimbulkan gejolak sosial dikalangan cendekia/intelectual karena banyak kasus milking APBN oleh banyak institusi pemesan riset yang akan konangan kebagian susunya.

    mungkin ada kehawatiran terjadi efek domino bila kalangan cendikia kecewa dipojokan nanti malah pada ramai-ramai nulis blog yang aneh-aneh dan berimbas termuat dalam social network atau di twit yang akhirnya menggerakkan mahasiswa turun ke jalan lagi….mungkin itu pertimbangannya….piiissss yo

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      efek domino bila kalangan cendikia kecewa dipojokan nanti malah pada ramai-ramai nulis blog yang aneh-aneh

      He, he, menurut anda, tulisan saya di atas termasuk yang aneh-aneh nggak. Ini penting karena khan katanya rambut sama hitam, isi kepala bisa berbeda-beda.

      O ya tentang hal yang aneh maka bisa saja orang lain menganggapnya begitu. Tapi bagi yang memberikan ide tersebut mungkin biasa saja, bahkan anggapannya adalah yang terbaik. Gimana kalau begitu. Tentang hal tersebut menurut saya biasa-biasa sajalah, yang jelas suatu pernyataan yang diikeluarkan oleh masyarakat ilmiah harus dapat dipertanggung-jawabkan (secara ilmiah tentunya) sehingga bukan asal cuap (kadang itu khan seperti politikus), juga sesuai kata hati. Jangan sampai dianggap melacurkan karena adanya suatu pesanan. Kalau itu mah namanya bukan ilmuwan, itu mah seperti tukang intip eh neliti. Gawat itu.

      Kembali ke yang aneh, kadang-kadang sesuatu yang aneh pada saat ini ternyata bisa saja nantinya dapat menjadi suatu keunggulan di masa yang lain. Tentang hal itu rasanya sudah banyak buktinya, misal Galileo Galilei yang sampai-sampai dihukum gereja tetapi 200 tahun kemudian gereja meminta maaf. Bayangkan itu saja terjadi di gereja, apalagi yang lain.

      Suka

  3. yohandi Avatar

    tampaknya memang kita harus lebih banyak berfikir lagi, agar tindakan yang kita lakukan tidak terus menerus memunculkan polemik yang berkepanjangan tanpa menemukan jalan keluar

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com