Duit duit duit. Ujung-ujungnya DUIT atau UUD. Pernah dengar ?
Sering. Saya kira banyak orang yang sering mendengar istilah tersebut. Lalu umumnya akan membayangkan bahwa tindakannya adalah semata-mata demi duit. Kadang disikapi sinis: “He, he, paling UUD”. Gitu khan.
Berbicara tentang UUD yang berkesan negatif seringkali dikaitkan dengan profesi tertentu. Kadang profesi politikus banyak kena getahnya, maklum saja seperti ibarat pepatah “nila setitik, rusak susu sebelangga”. Jadi karena ada oknum politikus tertentu maka orang awam selanjutnya akan menganggap demikian. Apalagi tempo hari di gedung perwakilan rakyat ditunjukkan dengan sederetan mobil sangat mewah yang tentu saja untuk itu perlu duit. Bayangkan saja dari mana mereka mendapatkannya. Juga hal-hal yang lain, yaitu ketika ada kasus gembar-gembor, seakan-akan membela rakyat awam, eh ternyata ketika ditunggu-tunggu mereka yang sebelumnya terlihat berseberangan ternyata duduk nonton konser bersama dan terlihat akrab. Kenapa bisa gitu, maka rakyat yang awam pasti hanya sekedar bergumam, pasti sudah kena lobby dan akhirnya UUD. Meskipun tentu saja kebenarannya masih bisa diperdebatkan.
Pada profesi yang lain yang sering kena getahnya adalah pak polisi. Tentang ini aku sendiri punya pengalaman pribadi yang mungkin juga dialami orang lainnya. Ketika itu saat lampu nyala kuning berganti merah, dipertigaan jalan dekat kampusku di Karawaci. Saat itu sih masih kuning, agak macet sedikit jadi ketika terlihat kosong langsung nyodok padahal lampu ternyata telah ganti warna merah. Memang salah sih, tapi gimana lagi terlihat tanggung, ya sudah gas sodok saja. Eh ketika terus, diujung jalan lainnya telah berdiri polisi di tengah jalan menghadang dan memintaku menepikan kendaraan. Caranya sih elegan bukan seperti preman, memberi hormat lagi dan kemudian memintaku memperlihatkan SIM dan STNK. Untung aku nggak sewot, dengan senyum pula aku kasih sim dan dibawahnya aku selipin duit kalau tidak salah 50 rb, aku berikan sambil senyum cengengesan sambil minta maaf. Ternyata manjur, pak polisinya menerima sim tersebut sebentar dan mengembalikannya padaku dan menyilahkan untuk meneruskan perjalanan.
Duitnya juga dikembalikan pak ?
Kamu itu koq ya nanyanya kayak itu. Ya jelas tidak dong. Kan yang penting UUD. Beres, dari pada urusan lama. 🙂
Contoh-contoh seperti itu di atas mungkin ada yang pernah mengamati atau mengalami langsung, tetapi kebanyakan masih terbatas rumor. Nggak ada yang mau bilang langsung bahwa sebenarnya memang seperti itu hidup di Jakarta, kalau tidak mau dibilang di Indonesia. Jadi ternyata faktor duit dapat menjadi motivasi orang untuk bertindak macam-macam. Dari politikus, polisi dan juga mungkin kita semua.
Bagaimana dengan guru dan dosen pak. Apa juga terpengaruh dengan UUD ?
Menarik juga pertanyaan anda, yang jelas tempo hari pernah terdengar kabar adanya guru honorer yang melakukan demo. Tahu untuk apa itu. Ya jelas dong minta agar tidak honorer lagi. Untuk apa itu, agar mutu pelajarannya bagus. Ya bisa ya, bisa tidak, yang penting kalau tidak honorer lagi adalah agar pendapatannya pasti tiap bulannya. Jadi itu khan juga sebenarnya UUD juga bukan.
Gimana dengan dosen. Banyaknya dosen yang masih ngamen, atau mengajar di sana-sini, apa yang dicari. Ingin berpengaruh ?
Nggak juga, mungkin ada yang seperti itu pikirannya, tetapi cara itu tidak signifikan. Ngamen di sana-sini motivasi utamanya adalah cari tambahan duit. UUD lagi. Jadi dosen juga seperti itu.
Pak Wir ngamen nggak ?
Kamu ini nanyanya aneh-aneh. Emangnya aku mengajar di tempat lain selain di Jurusan Teknik Sipil UPH secara rutin. Jika demikian bisa-bisa kosong nanti tempatku bekerja, maklum dosen tetap di jurusan , yang benar-benar tetap, nggak pindah-pindah hanya ada empat (4) dan satu asisten dosen. O ya, dari empat itu bahkan satu tempatnya lain karena kebetulan mengurusi lembaga penelitiannya UPH. Jadi kalau ke jurusan hanya tiga yang benar-benar aktif. Dosen yang lain kebanyakan adalah dosen UPH umum, atau dosen tidak tetap. Jadi aku harus ikut bertanggung-jawab meramaikan tempatku bekerja.
Koq hanya empat pak yang tetap, apa nggak repot itu ?
Di bilang repot ya repot, dibilang tidak ya tidak. Maksudku, kalau berkaitan dengan kompetensi pengajaran maka nggak ada, tetapi kalau berkaitan dengan proses administrasi atau kegiatan yang seperti itu maka agak repot juga.
Kompetensi pengajaran, emangnya dosen-dosen tersebut mengampu berapa mata kuliah pak. Jika memegang banyak mata kuliah apa tidak diragukan itu kompetensinya. Emangnya ada dosen yang bisa seperti itu.
Waduh kalau diragukan, aku juga tidak tahu. Bisa juga begitu. Orang kalau bisa memegang banyak mata kuliah maka akan ada kesan orangnya tidak fokus. Maklum saja seperti S1 itu bisa umum, lalu S2 lebih sempit, misalnya struktur, transportasi atau lainnya, lalu S3 akan lebih sempit lagi kalau ambil struktur maka akan fokus lagi baja atau beton atau kayu, dsb.
Jadi benar juga jika dosen UPH yang sedikit itu, tetapi yang memegang mata kuliah yang banyak itu maka bisa-bisa diragukan kualifikasinya. Benar nggak.
Pak Wir sendiri apa juga banyak megang mata kuliah ?
Yah, aku sih sedang-sedang saja, nggak banyak sih. Ini lho daftar mata kuliah yang aku pegang atau pernah aku pegang di Jurusan Teknik Sipil UPH, yaitu:
- Fisika Mekanika (3 sks) – semester 1
- Bahasa Pemrograman (2 sks) – semester 1
- Analisa Struktur I (2 sks) – semester 2 (sekarang tidak lagi)
- Analisa Struktur III (3 sks) – semester 4 (sekarang tidak lagi)
- Mekanika Rekayasa V (2 sks) – semester 5 (sekarang tidak lagi)
- Struktur Beton I (2 sks) – semester 4 (membantu prof Har)
- Struktur Beton II (3 sks) – semester 5 (membantu prof Har)
- Komputer Rekayasa Struktur (2 sks) – semester 5
- Struktur Baja I (2 sks) – semester 4
- Struktur Baja II (3 sks) – semester 5
- Struktur Baja III (2 sks) – semester 6
- Kerja Praktek (2 sks)
- Skripsi – semester akhir
Banyak nggak sih itu menurutmu. Jadi kalau pernah ambil mata kuliah tersebut di UPH maka pasti akan ketemu aku. Menurut anda apakah aku cukup layak untuk memegang mata kuliah tersebut untuk bersaing dengan perguruan tinggi lain , yang umumnya dosennya hanya berfokus satu atau dua mata kuliah saja.
Setahu saya, di tempat perguruan tinggi lain jarang ada dosen yang memegang mata kuliah sebanyak itu, bukan karena dosennya tidak mampu tetapi agar terjadi pemerataan. Maklum dosen di PTN mana ada yang hanya empat, umumnya lebih dari sepuluh, bahkan lebih. Jadi kalau satu dosen ambil mata kuliah sebanyak itu maka yang lain bisa-bisa nggak kebagian. Jika tidak kebagian khan itu kaitannya dengan honor yang diterima. UUD lagi. Kalau ada yang ngaku dosennya sedikit pasti PTS, maklum efisiensi (duit).
Kalau begitu bapak begitu sibuk mengajar ya, nggak sempat penelitian atau cari obyekan di tempat lain. Duitnya cukup ya.
Duit, mana ada duit itu cukup. He, he, bercanda nih. Untuk hidup sih yang cukuplah. Tetapi untuk yang namanya penelitian ternyata butuh biaya banyak. Jadi kami di UPH pun harus mutar otak agar dapat melakukan penelitian yang baik. Harus cari duit gitu lho.
Ah masa, masih perlu duit juga ya pak. Jadi dosen atau peneliti juga perlu duit.
Jelas dong. Kualifikasi penelitian yang kami lakukan di UPH sudah mulai membaik, padahal untuk baik itu perlu dana yang tidak sedikit. Jelas kalau hanya mengandalkan dukungan institusi pasti akan keberatan (itu kalau ada). Oleh karena itu sejak tahun kemarin kita grup peneliti UPH dibawah pengarahan Prof Harianto (Direktur LPPM UPH) mulai nyari duit di luar UPH. Adapun bahasa kerennya adalah mendapatkan dana HIBAH.
Hibah yang dimaksud jelas berbeda dengan istilah hibah yang banyak digunakan pejabat yang diperiksa KPK. Adapun hibah di sini adalah dana HIBAH Penelitian yang diberikan pemerintah melalui DIKTI agar membantu mewujudkan Tridharma Perguruan Tinggi yang harus dilakukan para dosen di PTN/PTS.
Jadi mulai setahun yang lalu Prof Harianto selaku direktur LPPM UPH mulai melakukan kegiatan untuk nyari duit dari luar institusi, yaitu dengan mengikuti HIBAH BERSAING, salah satu variasi HIBAH yang ditawarkan DIKTI. Dari hibah tersebut diharapkan akan diperoleh dana maks 50 juta pertahun untuk penelitian dosen yang disetujui proposalnya, jangka waktu penelitian maksimum dua (2) tahun. Jadi prof Harianto meminta dosen-dosen UPH untuk membuat proposal penelitian agar dapat dikompetisikan di DIKTI.
Wah bagus dong pak, dosen UPH khan terkenal hebat-hebat kayak gedungnya. Jadi ada berapa proposal yang diajukan. Pasti banyak ya pak.
Gitu ya. Emangnya dosen UPH terkenal. Dosen UPH di Lippo Karawaci (maklum sekarang khan ada juga UPH yang di Surabaya) ada sekitar 300 – 400 dosen. Banyak ya. Kalau begitu coba terka ada berapa proposal penelitian yang diperoleh prof Har untuk diajukan DIKTI. Berapa hayo.
Banyak juga ya pak, ratusan ?
Ratusan, boro-boro ratusan, ternyata puluhan saja tidak. Dari sejumlah dosen tersebut yang berminat mengirimkan proposal untuk penelitian hanya sebelas (11). Jadi anggap hanya 300 dosen UPH maka itu hanya sekitar 3.7 % -nya saja yang berminat dengan penelitian. Di tempat anda, ada berapa yang mengirimkan judul proposal untuk nyari duit seperti itu. Ada nggak ?
Kalau ada, patut disyukuri lho, berarti perguruan tinggi anda level penelitiannya sudah lebih baik. Maklum ada dukungan dana (duit) gitu lho. Khan kadang-kadang (bahkan umumnya) mutu itu juga dikaitkan dengan duit. He, he UUD lagi. Coba aja handphone yang baik khan mahal, mana ada yang murah. Lihat saja iPhone 4, mahal khan. Psst jangan bilang-bilang, istriku punya lho.
Jadi penelitian yang bermutu juga dapat dianalogikan dengan jumlah biaya yang besar. Meskipun tentu saja ada juga yang tidak seperti itu. Jika ada maka biasanya kita menyebutknya luar biasa (istimewa).
Karena peneliti juga ingin agar penelitiannya bermutu, maka mereka berusaha mencari sponsor penelitian. Itulah motivasi kami para peneliti secara umum jika ternyata banyak yang rame-rame ingin mendapatkan dana HIBAH tersebut.
Kondisi itu aku ketahui ketika ternyata dari 11 judul proposal yang dikirim ke DIKTI ternyata mendapat tanggapan. Tahap pertama disebut DESK evaluation. Dari informasi yang ada ternyata dari seluruh Indonesia telah diterima sekitar 6000 proposal ke DIKTI. Dari jumlah tersebut tahap awal dilakukan sortir administrasi sehingga dapat diperkecil jadi separonya, yaitu 3000. Dari jumlah tersebut kemudian dievaluasi oleh para assesor dan dipilih yang dianggap pantas untuk maju pada tahapan ke dua, yaitu presentasi. Jumlahnya ada sekitar 839 judul proposal. Banyak juga ya. Nah dari sejumlah 800 tersebut maka dari 11 judul proposal yang UPH kirim ternyata dipanggil sejumlah 7 judul proposal. Lumayan juga khan, padahal peluang dipanggilnya adalah 839/6000 *100% = 14 % . Sedangkan peluang keberhasilan team uph adalah 7/11*100%= 63%. Berarti cukup bagus khan.
Tahap selanjutnya adalah tahapan presentasi dan pembahasan. Jadi seperti ujian oral begitu. Itu dilakukan di empat lokasi yang berbeda, di Jakarta (267 judul), di Surabaya (288 judul), di Medan (91 judul) dan di Yogyakarta (193 judul).
Sejumlah 267 judul proposal yang lolos desk evaluation di uji di Jakarta pada hari Rabu dan Kamis ini di Sheraton Media Hotel and Towers. Tertarik mau tahu siapa-siapa yang berpotensi dapat duit hibah itu, ini daftar judul proposal yang diundang presentasi di Jakarta.
Adanya tujuh (7) peserta dari UPH yang mendapat kesempatan untuk mempresentasikan proposalnya ke DIKTI adalah suatu peristiwa luar biasa, bagi kami tentunya di UPH. Kenapa, karena selama 14 tahun lebih insitusi kami berdiri di bumi ini, belum pernah mengusahakan dana hibah penelitian dari DIKTI sekalipun. Kalaupun ada dana penelitian maka biasanya itu dari institusi yang relatif kecil, kalau besar harus dari kantong sendiri. Hibah bersaing memang relatif tidak besar, yaitu tadi hanya 50 juta (maks) pertahun, tetapi bagi kami di UPH dana sebesar itu tentu besar, relatif tentunya karena dibandingkan dengan dana penelitian yang diperoleh dari institusi. Karena baru pertama kali dipanggil, meskipun kepemimpinan LPPM UPH sudah berganti sampai empat kali, maka keberhasilan ini tentu saja merupakan keberhasilan prof Harianto selaku direktur LPPM yang saat ini sedang menjabat. Bravo pak.
O ya, dari tujuh judul proposal UPH yang dipanggil DIKTI, maka tiga diantaranya disumbangkan oleh dosen-dosen tetap di Jurusan Teknik Sipil. Padahal tahu sendiri jurusan di UPH ada sekitar 23, itu khan berarti . . .
Yah meskipun demikian, final-nya belum tahu, moga-moga wakil UPH lolos dari evaluasi secara oral tersebut (presentasi proposal dan tanya jawab) dan berhasil menerima hibah. Semoga ini menjadi milestone yang baik untuk berkembang dari sekedar teaching university menjadi research universty. Semoga.
Ada 7 dosen UPH calon penerima HIBAH dari antara 267 orang-orang di atas.
Tinggalkan komentar