Duit duit duit. Ujung-ujungnya DUIT atau UUD. Pernah dengar ?

Sering. Saya kira banyak orang yang sering mendengar istilah tersebut. Lalu umumnya akan membayangkan bahwa tindakannya adalah semata-mata demi duit. Kadang disikapi sinis: “He, he, paling UUD”. Gitu khan.

Berbicara tentang UUD yang berkesan negatif seringkali dikaitkan dengan profesi tertentu. Kadang profesi politikus banyak kena getahnya, maklum saja seperti ibarat pepatah “nila setitik, rusak susu sebelangga”. Jadi karena ada oknum politikus tertentu maka orang awam selanjutnya akan menganggap demikian. Apalagi tempo hari di gedung perwakilan rakyat ditunjukkan dengan sederetan mobil sangat mewah yang tentu saja untuk itu perlu duit. Bayangkan saja dari mana mereka mendapatkannya. Juga hal-hal yang lain, yaitu ketika ada kasus gembar-gembor, seakan-akan membela rakyat awam, eh ternyata ketika ditunggu-tunggu mereka yang sebelumnya terlihat berseberangan ternyata duduk nonton konser bersama dan terlihat akrab. Kenapa bisa gitu, maka rakyat yang awam pasti hanya sekedar bergumam, pasti sudah kena lobby dan akhirnya UUD. Meskipun tentu saja kebenarannya masih bisa diperdebatkan.

Pada profesi yang lain yang sering kena getahnya adalah pak polisi. Tentang ini aku sendiri punya pengalaman pribadi yang mungkin juga dialami orang lainnya. Ketika itu saat lampu nyala kuning berganti merah, dipertigaan jalan dekat kampusku di Karawaci. Saat itu sih masih kuning, agak macet sedikit jadi ketika terlihat kosong langsung nyodok padahal lampu ternyata telah ganti warna merah. Memang salah sih, tapi gimana lagi terlihat tanggung, ya sudah gas sodok saja. Eh ketika terus, diujung jalan lainnya telah berdiri polisi di tengah jalan menghadang dan memintaku menepikan kendaraan. Caranya sih elegan bukan seperti preman, memberi hormat lagi dan kemudian memintaku memperlihatkan SIM dan STNK. Untung aku nggak sewot, dengan senyum pula aku kasih sim dan dibawahnya aku selipin duit kalau tidak salah 50 rb, aku berikan sambil senyum cengengesan sambil minta maaf. Ternyata manjur, pak polisinya menerima sim tersebut sebentar dan mengembalikannya padaku dan menyilahkan untuk meneruskan perjalanan.

Duitnya juga dikembalikan pak ?

Kamu itu koq ya nanyanya kayak itu. Ya jelas tidak dong. Kan yang penting UUD. Beres, dari pada urusan lama. 🙂

Contoh-contoh seperti itu di atas mungkin ada yang pernah mengamati atau mengalami langsung, tetapi kebanyakan masih terbatas rumor. Nggak ada yang mau bilang langsung bahwa sebenarnya memang seperti itu hidup di Jakarta, kalau tidak mau dibilang di Indonesia. Jadi ternyata faktor duit dapat menjadi motivasi orang untuk bertindak macam-macam. Dari politikus, polisi dan juga mungkin kita semua.

Bagaimana dengan guru dan dosen pak. Apa juga terpengaruh dengan UUD ?

Menarik juga pertanyaan anda, yang jelas tempo hari pernah terdengar kabar adanya guru honorer yang melakukan demo. Tahu untuk apa itu. Ya jelas dong minta agar tidak honorer lagi. Untuk apa itu, agar mutu pelajarannya bagus. Ya bisa ya, bisa tidak, yang penting kalau tidak honorer lagi adalah agar pendapatannya pasti tiap bulannya. Jadi itu khan juga sebenarnya UUD juga bukan.

Gimana dengan dosen. Banyaknya dosen yang masih ngamen, atau mengajar di sana-sini, apa yang dicari. Ingin berpengaruh ?

Nggak juga, mungkin ada yang seperti itu pikirannya, tetapi cara itu tidak signifikan. Ngamen di sana-sini motivasi utamanya adalah cari tambahan duit. UUD lagi. Jadi dosen juga seperti itu.

Pak Wir ngamen nggak ?

Kamu ini nanyanya aneh-aneh. Emangnya aku mengajar di tempat lain selain di Jurusan Teknik Sipil UPH secara rutin. Jika demikian bisa-bisa kosong nanti tempatku bekerja, maklum dosen tetap di jurusan , yang benar-benar tetap, nggak pindah-pindah hanya ada empat (4) dan satu asisten dosen. O ya, dari empat itu bahkan satu tempatnya lain karena kebetulan mengurusi lembaga penelitiannya UPH. Jadi kalau ke jurusan hanya tiga yang benar-benar aktif. Dosen yang lain kebanyakan adalah dosen UPH umum, atau dosen tidak tetap. Jadi aku harus ikut bertanggung-jawab meramaikan tempatku bekerja.

Koq hanya empat pak yang tetap, apa nggak repot itu ?

Di bilang repot ya repot, dibilang tidak ya tidak. Maksudku, kalau berkaitan dengan kompetensi pengajaran maka nggak ada, tetapi kalau berkaitan dengan proses administrasi atau kegiatan yang seperti itu maka agak repot juga.

Kompetensi pengajaran, emangnya dosen-dosen tersebut mengampu berapa mata kuliah pak. Jika memegang banyak mata kuliah apa tidak diragukan itu kompetensinya. Emangnya ada dosen yang bisa seperti itu.

Waduh kalau diragukan, aku juga tidak tahu. Bisa juga begitu. Orang kalau bisa memegang banyak mata kuliah maka akan ada kesan orangnya tidak fokus. Maklum saja seperti S1 itu bisa umum, lalu S2 lebih sempit, misalnya struktur, transportasi atau lainnya, lalu S3 akan lebih sempit lagi kalau ambil struktur maka akan fokus lagi baja atau beton atau kayu, dsb.

Jadi benar juga jika dosen UPH yang sedikit itu, tetapi yang memegang mata kuliah yang banyak itu  maka bisa-bisa diragukan kualifikasinya. Benar nggak.

Pak Wir sendiri apa juga banyak megang mata kuliah ?

Yah, aku sih sedang-sedang saja, nggak banyak sih. Ini lho daftar mata kuliah yang aku pegang atau pernah aku pegang di Jurusan Teknik Sipil UPH, yaitu:

  1. Fisika Mekanika (3 sks) –  semester 1
  2. Bahasa Pemrograman (2 sks) – semester 1
  3. Analisa Struktur I (2 sks)  – semester 2 (sekarang tidak lagi)
  4. Analisa Struktur III (3 sks) – semester 4 (sekarang tidak lagi)
  5. Mekanika Rekayasa V (2 sks) – semester 5 (sekarang  tidak lagi)
  6. Struktur Beton I (2 sks) – semester 4 (membantu prof Har)
  7. Struktur Beton II (3 sks) – semester 5 (membantu prof Har)
  8. Komputer Rekayasa Struktur (2 sks) – semester 5
  9. Struktur Baja I (2 sks) – semester 4
  10. Struktur Baja II (3 sks) – semester 5
  11. Struktur Baja III (2 sks) –  semester 6
  12. Kerja Praktek (2 sks)
  13. Skripsi – semester akhir

Banyak nggak sih itu menurutmu. Jadi kalau pernah ambil mata kuliah tersebut di UPH maka pasti akan ketemu aku. Menurut anda apakah aku cukup layak untuk memegang mata kuliah tersebut untuk bersaing dengan perguruan tinggi lain , yang umumnya dosennya hanya berfokus satu atau dua mata kuliah saja.

Setahu saya, di tempat perguruan tinggi lain jarang ada dosen yang memegang mata kuliah sebanyak itu, bukan karena dosennya tidak mampu tetapi agar terjadi pemerataan. Maklum dosen di PTN mana ada yang hanya empat, umumnya lebih dari sepuluh, bahkan lebih. Jadi kalau satu dosen ambil mata kuliah sebanyak itu maka yang lain bisa-bisa nggak kebagian. Jika tidak kebagian khan itu kaitannya dengan honor yang diterima. UUD lagi. Kalau ada yang ngaku dosennya sedikit pasti PTS, maklum efisiensi (duit).

Kalau begitu bapak begitu sibuk mengajar ya, nggak sempat penelitian atau cari obyekan di tempat lain. Duitnya cukup ya.

Duit, mana ada duit itu cukup. He, he, bercanda nih. Untuk hidup sih yang cukuplah. Tetapi untuk yang namanya penelitian ternyata butuh biaya banyak. Jadi kami di UPH pun harus mutar otak agar dapat melakukan penelitian yang baik. Harus cari duit gitu lho.

Ah masa, masih perlu duit juga ya pak. Jadi dosen atau peneliti juga perlu duit.

Jelas dong. Kualifikasi penelitian yang kami lakukan di UPH sudah mulai membaik, padahal untuk baik itu perlu dana yang tidak sedikit. Jelas kalau hanya mengandalkan dukungan institusi pasti akan keberatan (itu kalau ada). Oleh karena itu sejak tahun kemarin kita grup peneliti UPH dibawah pengarahan Prof Harianto (Direktur LPPM UPH) mulai nyari duit di luar UPH. Adapun bahasa kerennya adalah mendapatkan dana HIBAH.

Hibah yang dimaksud jelas berbeda dengan istilah hibah yang banyak digunakan pejabat yang diperiksa KPK. Adapun hibah di sini adalah dana HIBAH Penelitian yang diberikan pemerintah melalui DIKTI agar membantu mewujudkan Tridharma Perguruan Tinggi yang harus dilakukan para dosen di PTN/PTS.

Jadi mulai setahun yang lalu Prof Harianto selaku direktur LPPM UPH mulai melakukan kegiatan untuk nyari duit dari luar institusi, yaitu dengan mengikuti HIBAH BERSAING, salah satu variasi HIBAH yang ditawarkan DIKTI. Dari hibah tersebut diharapkan akan diperoleh dana maks 50 juta pertahun untuk penelitian dosen yang disetujui proposalnya, jangka waktu penelitian maksimum dua (2) tahun. Jadi prof Harianto meminta dosen-dosen UPH untuk membuat proposal penelitian agar dapat dikompetisikan di DIKTI.

Wah bagus dong pak, dosen UPH khan terkenal hebat-hebat kayak gedungnya. Jadi ada berapa proposal yang diajukan. Pasti banyak ya pak.

Gitu ya. Emangnya dosen UPH terkenal.  Dosen UPH di Lippo Karawaci (maklum sekarang khan ada juga UPH yang di Surabaya) ada sekitar 300 – 400 dosen. Banyak ya. Kalau begitu coba terka ada berapa proposal penelitian yang diperoleh prof Har untuk diajukan DIKTI. Berapa hayo.

Banyak juga ya pak, ratusan ?

Ratusan, boro-boro ratusan, ternyata puluhan saja tidak. Dari sejumlah dosen tersebut  yang berminat mengirimkan proposal untuk penelitian hanya sebelas (11). Jadi anggap hanya 300 dosen UPH maka itu hanya sekitar 3.7 % -nya saja yang berminat dengan penelitian.  Di tempat anda, ada berapa yang mengirimkan judul proposal untuk nyari duit seperti itu. Ada nggak ?

Kalau ada, patut disyukuri lho, berarti perguruan tinggi anda level penelitiannya sudah lebih baik. Maklum ada dukungan dana (duit) gitu lho. Khan kadang-kadang (bahkan umumnya) mutu itu juga dikaitkan dengan duit. He, he UUD lagi. Coba aja handphone yang baik khan mahal, mana ada yang murah. Lihat saja iPhone 4, mahal khan. Psst jangan bilang-bilang, istriku punya lho.

Jadi penelitian yang bermutu juga dapat dianalogikan dengan jumlah biaya yang besar. Meskipun tentu saja ada juga yang tidak seperti itu. Jika ada maka biasanya kita menyebutknya luar biasa (istimewa).

Karena peneliti juga ingin agar penelitiannya bermutu, maka mereka berusaha mencari sponsor penelitian. Itulah motivasi kami para peneliti secara umum jika ternyata banyak yang rame-rame ingin mendapatkan dana HIBAH tersebut.

Kondisi itu aku ketahui ketika ternyata dari 11 judul proposal yang dikirim ke DIKTI ternyata mendapat tanggapan. Tahap pertama disebut DESK evaluation. Dari informasi yang ada ternyata dari seluruh Indonesia telah diterima sekitar 6000 proposal ke DIKTI. Dari jumlah tersebut tahap awal dilakukan sortir administrasi sehingga dapat diperkecil jadi separonya, yaitu 3000. Dari jumlah tersebut kemudian dievaluasi oleh para assesor dan dipilih yang dianggap pantas untuk maju pada tahapan ke dua, yaitu presentasi. Jumlahnya ada sekitar 839 judul proposal. Banyak juga ya. Nah dari sejumlah 800 tersebut maka dari 11 judul proposal yang UPH kirim ternyata dipanggil sejumlah 7 judul proposal. Lumayan juga khan, padahal peluang dipanggilnya adalah 839/6000 *100% = 14 % . Sedangkan peluang keberhasilan team uph adalah 7/11*100%= 63%. Berarti cukup bagus khan.

Tahap selanjutnya adalah tahapan presentasi dan pembahasan. Jadi seperti ujian oral begitu. Itu dilakukan di empat lokasi yang berbeda, di Jakarta (267 judul), di Surabaya (288 judul), di Medan (91 judul) dan di Yogyakarta (193 judul).

Sejumlah 267 judul proposal yang lolos desk evaluation di uji di Jakarta pada hari Rabu dan Kamis ini di Sheraton Media Hotel and Towers. Tertarik mau tahu siapa-siapa yang berpotensi dapat duit hibah itu, ini daftar judul proposal yang diundang presentasi di Jakarta.

Adanya tujuh (7) peserta dari UPH yang mendapat kesempatan untuk mempresentasikan proposalnya ke DIKTI adalah suatu peristiwa luar biasa, bagi kami tentunya di UPH. Kenapa, karena selama 14 tahun lebih insitusi kami berdiri di bumi ini, belum pernah mengusahakan dana hibah penelitian dari DIKTI sekalipun. Kalaupun ada dana penelitian maka biasanya itu dari institusi yang relatif kecil, kalau besar harus dari kantong sendiri. Hibah bersaing memang relatif tidak besar, yaitu tadi hanya 50 juta (maks) pertahun, tetapi bagi kami di UPH dana sebesar itu tentu besar, relatif tentunya karena dibandingkan dengan dana penelitian yang diperoleh dari institusi. Karena baru pertama kali dipanggil, meskipun kepemimpinan LPPM UPH sudah berganti sampai empat kali, maka keberhasilan ini tentu saja merupakan keberhasilan prof Harianto selaku direktur LPPM yang saat ini sedang menjabat. Bravo pak.

O ya, dari tujuh judul proposal UPH yang dipanggil DIKTI, maka tiga diantaranya disumbangkan oleh dosen-dosen tetap di Jurusan Teknik Sipil.  Padahal tahu sendiri jurusan di UPH ada sekitar 23,  itu khan berarti . . .

Yah meskipun demikian, final-nya belum tahu, moga-moga wakil UPH lolos dari evaluasi secara oral tersebut (presentasi proposal dan tanya jawab) dan berhasil menerima hibah. Semoga ini menjadi milestone yang baik untuk berkembang dari sekedar teaching university menjadi research universty. Semoga.

Ada 7 dosen UPH calon penerima HIBAH dari antara 267 orang-orang di atas.

17 tanggapan untuk “para peneliti juga nyari DUIT”

  1. Feri H Avatar
    Feri H

    faktanya memang banyak dosen cari duit melalui penelitian, yang dananya dari pemerintah(rakyat), tapi sayangnya etika penelitian seorang guru/dosen/peneliti hampir tidak pernah dijunjung tinggi alias penelitiannya tidak berbobot,tidak bermanfaat,plagiat dll. Daripada dana pemerintah dibuang seperti itu lebih baik digunakan untuk kesejahteraan dosen yang ada di desa, luar pulau yang masih membutuhkan.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Komentar anda mungkin ada benarnya, tetapi jelas itu tidak bisa berlaku umum, hanya oknum-oknum tertentu. Bahkan kalau ketahuan benar plagiat maka karirnya bisa hancur, lihat saja dosen di Bandung tempo hari. Jadi pernyataan anda sebenarnya bahkan bisa dipertanyakan, fakta yang mana. Tentang adanya oknum, maka rasa-rasanya disetiap profesi juga ada, jadi selama itu manusia maka rasa-rasanya bukan sesuatu yang mengherankan. Lihat saja yang bertameng agamapun ada yang berbuat tidak baik untuk dicontoh. Yah, santai sajalah.

      O ya, tentang dosen yang ada di desa. Saya bahkan jadi heran, yang kita bicarakan dosen lho pak, bukan guru. Pertama-tama ada apa sehingga kita perlu memikirkan dosen yang di desa, memangnya mereka tidak sejahtera sehingga perlu dikasihani. Setahu saya dosen kalau ke desa, maka adalah untuk mencari ketenangan atau mencari sesuatu untuk dinikmati, bukan karena tidak sejahtera, bahkan bisa-bisa dosen tersebut di desa adalah tuan tanah. Jangan jangan mengecilkan dosen yang tinggal di desa gitu. Maklum saya kalau pulang kampung juga di desa, dan ternyata nikmat juga.

      Mungkin anda menyamakan dosen dengan guru ya. Ya jelas beda dhong. Dosen adalah produk perguruan tinggi, bahkan DIKTI mensyaratkan minimal harus punya gelar S2, juga agar diterima mestinya punya prestasi khusus, yang dipilih dari mahasiswa-mahasiwi yang relatif menonjol. Intinya profesi dosen setahu saya tidak bisa dijadikan profesi pelarian, karena nggak diterima kemana-mana ya jadi dosen saja. Ini berlaku untuk dosen pada universitas yang bereputasi, atau institusi yang mampu menghargai dosen secara baik. Jika demikian maka tentunya jika bisa mengatur keuangan dengan baik, maka tentunya tidak akan kekurangan. Bahkan kalau bisa membantu yang lain.

      Yah, jangan mengecilkan dosen lha pak. Nggak semua dosen seperti yang anda pikirkan. Ingat pemerintah saja sekarang mengakui adanya Dosen Profesional, mereka mendapat bantuan dana tambahan dari pemerintah disamping gaji mereka yang diterima oleh insitutisnya, baik swasta atau negeri. Jadi kedepannya, profesi tersebut prospeknya cerah koq.

      Suka

  2. Nunu Avatar
    Nunu

    Wah lumayan banyak juga dari UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) yang di panggil untuk presentasi. pak kalau di diknas/pemerintah ada dana penelitian untuk guru gak yah?

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Proficiat juga untuk UPI, jadi gurunya banyak meneliti. Guru di UPI maksudnya, jadi gurunya guru begitu, maklum di kampus itu khan memang untuk mencetak guru.

      O ya, tentang dana penelitian tersebut yang megang khan DIKTI (Pendidikan Tinggi) sedangkan guru khan bukan tanggung-jawabnya. Mungkin ada juga tetapi bukan DIKTI. Ada yang tahu ?

      Suka

  3. Feri H Avatar
    Feri H

    Pak, yang saya katakan ini RATA-RATA Lho? ( seperti komentar dibait pertama bapak ) ? bahwa yg baik seperti bapak prosentasenya sangat kecil, ini masalahnya bukan oknum tapi super banyak oknum……hahaha?buktinya apa hasil riset cuma sedikit aja..pak!!.Kasihan deh, uang rakyat dihampur-hampurkan.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Yah saya dapat memaklumi, dan anda mewakili betul kondisi Indonesia saat ini, yaitu ada keluhan, terkesan ada masalah tetapi tidak atau sulit untuk ditindak-lanjuti. Kenapa, karena masalahnya masih abstrak.

      Bayangkan saja, yang dipanggil kemarin adalah sekitar 237 proposal, dari sekitar 6000 proposal yang masuk. Artinya itu khan sudah pasti dapat disebut pilihan. Tapi yang namanya proposal pilihan saja, saya melihat sendiri banyak yang mempresentasikan sesuatu masalah yang kesannya ideal, tetapi masih abstrak, tidak membumi dan kalaupun dilaksanakan maka hasilnya tidak jelas.

      Kecuali hal tersebut saya tidak sependapat dengan “hasil riset cuma sedikit”. Pernyataan anda itu mudah sekali dipatahkan, coba saja ke dikti, pasti mereka punya data hasil riset dari peneliti yang mendapatkan hibah. Kenapa, karena itu bukti terhadap duit yang sudah dikeluarkan.

      Pernyataan anda mungkin benar jika dikaitkan, banyak penelitian tetapi masalah kesejahteraan negeri ini koq terkesan tidak terkait. Kalau ketemu pernyataan seperti ini nggak mudah menjawabnya, bahkan bagi orang-orang tertentu dapat dibuat penelitian untuk dicari sponsornya.

      Masalah yang ada, yang umum ditemui adalah bahwa riset yang dilakukan peneliti tidak terkait dengan kondisi kebutuhan masyarakat. Tentang hal ini jelas dapat saya akui. Kenapa, karena motivasi peneliti berbeda dengan kebutuhan masyarakat. Mengapa hal ini juga terjadi, karena tujuan utama peneliti di perguruan tinggi ada dua, yaitu [1] sebagai bagian peningkatan KUM, dan [2] untuk penelitian itu sendiri.

      Bagi yang pertama, maka peneliti tidak peduli dengan apa yang diteliti, yang penting dengan biaya yang ada dapat dihasilkan suatu hasil pekerjaan (umumnya berupa publikasi di jurnal) sehingga dapat diperoleh KUM yang tinggi. Sebagai misal, apapun judul penelitian (publikasi) jika dapat diterbitkan di jurnal tidak terakreditasi nilai KUM=10, jika di jurnal terakreditasi nilai KUM=25. Apakah lalu ini ada kaitannya dengan masalah masyarakat, bisa ya, bisa tidak, karena memang itu bukan tujuannya.

      Motivasi penelitian yang ke-2, yaitu bagi penelitian itu sendiri sehingga harapannya prosesnya dapat dinikmati dan juga mengangkat martabat penelitinya. Meskipun demikian karena penelitian juga memerlukan duit dan juga butuhnya pengakuan dari luar tentang penelitiannya, maka apa-apa yang diteliti adalah hal-hal yang menjadi trend diantara peneliti itu sendiri. Jadi jika demikian kata kuncinya, adalah siapa pemberi dana penelitian tersebut dan juga apa yang menjadi trend peneliti yang ada. Nah tentang pemberi dana tersebut maka kondisinya bisa juga penelitian pesanan, karena permintaan pemberi dana atau bisa juga tanpa pesanan. Peneliti dibebaskan untuk mengambil topik apa saja, ini yang terjadi di DIKTI, hanya saja mereka mensyarakat bahwa penelitian itu harus dipublikasikan . Artinya itu masuk pada kategori yang pertama tadi.

      Jadi jika anda mengharapkan bahwa penelitian itu bisa memberi masukan atau perubahan ke masyarakat maka mestinya inisiatif ini datang dari pemerintah dan bukan dari peneliti. Mereka punya uang, maka bikin saja sayembara siapa peneliti yang sanggup memberi solusi dari penelitian mereka tentang permasalahan yang terjadi di negeri ini. Jadi jangan harap peneliti sendiri membuat penelitian tentang hal tersebut, apalagi jika kasusnya tidak populer untuk dijual. Jika populer, maka bisa-bisa saja ada peneliti yang rela melakukannya, tetapi ingat itu biasanya akan pamrih agar penelitinya populer. Jika populer khan nanti bisa diangkat oleh pemerintah. Yah, ujung-ujung-nya duit juga ya. 🙂

      Suka

  4. Nunu Avatar
    Nunu

    kalau menurut saya sih dosen nyari duit buat penelitian ya gak masalah lha wong itu kerjaannya kok. kalau masalah bobot penelitian kan ada yang menilai. kalau masalah menghambur-hamburkan uang rakyat gak juga, karena menurut saya kegiatan penelitian adalah kegiatan yang positif baik bagi dosen tersebut, mahasiswanya dan juga untuk negara.

    Suka

  5. Feri H Avatar
    Feri H

    singkatan yang udah kedaluwarso: DOSEN : omongane sak Dos Duite sak Sen; Dosen LB mestinya Dosen BL Biasa di Luar, ha ha ha………

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Lucu juga ya. Tetapi kadang-kadang yang perlu kita tertawakan mungkin diri sendiri, mengapa. Karena jika tujuannya adalah duit, maka jelas memilih menjadi dosen adalah suatu kesalahan yang fatal. Kalau memang duit tujuannya, maka jadilah pengusaha atau pedagang, karena memang itu yang dicari, yaitu keuntungan.

      Dosen seperti manusia pada umumnya yang juga perlu duit, tetapi itu baru dihasilkan sebagai akibat karena sikap profesionalitasnya. Tujuan utamanya adalah profesionalitas keilmuannya sehingga diharapkan dapat menjadi rujukan. Dan sebagaimana umumnya profesional maka sebagai akibatnya itu berdampak pula pada duit yang diperolehnya.

      Suka

  6. Peluang Usaha Avatar

    Karena hampir semua hal didunia ini baru dapat diperoleh bila ditukarkan dengan duit makanya UUD mas. Cuma tinggal caranya untuk memperoleh duit tadi. Ada yang menggunakan cara yang tidak etis karena mau cepet tapi ada juga yang tidak. Sekarang pulang kepada manusianya masing2. Nilai apa yang dianutnya

    Suka

  7. Mifta Avatar

    inilah bukti kalo zaman sekarang tuh nggak ada duit nggak jalan…

    Suka

  8. asmunin Avatar

    Terus terang saya senang sekali dengan tulisan pak wir, salam kenal pak.

    menurut saya, memang harus diakui banyak dosen yang melakukan penelitian tujuan akhirnya lebih kum, duit sehingga penelitian tidak ubahnya seperti proyek. semakin banyak penelitian, berarti semakin besar pendapatan yang akan diperoleh. Karena seperti proyek tersebut, sehingga kualitas penelitian tidak jarang kurang diperhatikan, yang penting gool dan dapat duit.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Salam kenal juga pak Asmunin,
      Padahal jika kualitas penelitiannya semakin baik, jika itu dapat diketahui orang banyak, melalui publikasi tentunya, maka diyakini proyek penelitian yang baru akan semakin banyak.

      Penelitian khan mirip dengan tulisan. Jadi jangan hanya sekedar banyak menulis tetapi menulislah dengan baik sehingga akhirnya banyak yang membaca. Jika banyak yang membaca dan terkesan, wah banyak itu kesempatan yang pada akhirnya akan berdampak pada uud itu. Meskipun untuk hal yang seperti ini tidak bisa secara khusus ditunggu, bisa-bisa nggak sabar, “mana uud-nya”. Sambil mrengut.

      Suka

  9. […] Duit duit duit. Ujung-ujungnya DUIT atau UUD. Pernah dengar ? Sering. Saya kira banyak orang yang sering mendengar istilah tersebut. Lalu umumnya akan membayangkan bahwa tindakannya adalah semata-mata demi duit. Kadang disikapi sinis: “He, he, paling UUD”. Gitu khan. Berbicara … Continue reading → […]

    Suka

  10. Abi Avatar
    Abi

    Good buat Pak Wir, seharusnya saling memotivasi bukan mematahkan semangat teman yang suka riset,bila perlu bersaing ini yang di harapkan oleh pemerintah kita.kalau duit rakyat di gunakan untuk meningkatkan kualitas SDM bagi saya sangat setuju, yang harus di kritisi adalah anggota DPR yang kinerjanya untuk rakyat nol.cobalah untuk selalu menanamkan pemikiran yang positif,benar juga sebelum memberikan penilain terhadap orang lebih indah bila menilai diri kita sendiri dlu.

    Suka

  11. Bambang Avatar

    Dosen memang luar biasa, untuk mendapatkan duit harus kerja luar biasa. Memang gampang pak bikin penelitian? Penelitian itu sulit, putar otak dan uangnya pun tidak banyak. Coba dihitung dengan anggaran 5o juta per tahun dan honor 30% atau 15 juta setahun? Dibagi bbrp orang lagi, tidak material dibanding UMR buruh. Jika mau negara makmur penelitiannya berbobot, sejahterakan dosen. Dosen tdk sejahtera, generasi penerus tidak dijamin kualirasnya ke depan. Dosen itu sdh kerja tanpa pamrih uangnya dikir pula, tidak pantas untuk disalahkan. Banyak pihak yg bebas ambil yang negara di sana, kritiklah dia biar negara lbh baik.

    Suka

  12. gunawanm1000 Avatar

    Salam kenal yah Pak Wir

    Saya mahasiswa kelas paralel di PTS swasta teknik sipil di Tangerang (Serpong),yaaa saya juga mahasiswa yang sambilannya adalah nyari duit-duit-duit pak, maklum kuliah nya hanya di hari sabtu dan minggu saja hehehe (kan kelas paralel).

    Oh iya semenjak saya mempunyai buku Struktur Baja – Perilaku, Analisis & Desain – AISC 2010 (Edisi ke-2) karya Pak Wir, saya semakin penasaran sebenarnya siapa dan seperti apa pak Wir ini, setiap hari sambil bekerja, saya tidak ketinggalan untuk melihat blog tulisan bapak, (The Work of Wiryanto Dewobroto) karena apa ? karena saya saking kepo nya pak..hehehe..,kok ada seorang dosen yang ternyata kesehariannya sangat sibuk, bisa menciptakan dan sempat-sempatnya bisa menciptakan tulisan-tulisan yang enak untuk dibaca , bahkan bapak bisa menciptakan karya yang luar biasa seperti buku Struktur Baja yang begitu tebal (mantap). Bapak memotivasi saya untuk menjadi seorang engineer struktur, sekaligus pendidik yang sangat berkompeten.

    Semoga pak Wir sehat selalu dan terus berbagi ilmu khususnya di media sosial, dan berbagi tips-tips nya agar kita generasi muda bisa maju dan bisa berkarya seperti pak Wir, begitu pak.

    Terimakasih pak salam…

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com