Tidak tahu kenapa, sudah beberapa hari ini sejak kepulanganku dari Jogja, dalam rangka mengantar si bungsu berlibur di rumah kakek dan neneknya, maka aku ingin sekali aku menulis topik ini, yaitu tentang JODOH dan KEHIDUPAN. Ini jelas topik umum, dimana setiap orang awam, baik yang muda dan tua bisa saja merasa sudah MASTER tentang hal itu. Jadi tidak heran jika nanti ada pendapat yang mantap mendukung maupun menentangnya.
Ide tentang topik tulisan ini terus terang sudah lama ada. Awal mulanya kalau saya renungkan adalah berasal dari keprihatinanku terhadap kondisi kehidupan berkeluarga dari banyak tokoh-tokoh yang diberitakan di media-media elektronik maupun cetak. Tokoh-tokoh yang menjadi berita itu ternyata sangat luas spektrumnya, mulai dari selibriti sinetron yang masih mudah-muda, juga tokoh-tokoh tua yang dulunya hanya dikenal karena statusnya yang pejabat.
Intinya yang aku dapat adalah bahwa tokoh-tokoh yang diberitakan adalah sebagian besar sukses, kalau dilihat dari kaca mata materi kekayaan, selibritas, atau jabatan yang disandang, tetapi tidak sukses kalau dipandang dari sisi berkehidupannya berkeluarga. Tentu saja yang terakhir tersebut berasal dari penilaianku yang bersifat subyektif. Maklum, kawin-cerai terus terang tidak ada di dalam kamus keluarga besarku, kalaupun ada itu dianggap sebagai suatu hal yang buruk dan tidak dapat dibanggakan. Juga ketika ada anak yang berani melawan orang tua, pastilah itu akan menimbulkan keprihatinannya.
Adanya dua keping fakta yang melekat pada tokoh-tokoh tersebut, yang menurutku saling bertolak belakang tentu akan menimbulkan kebingungan kepada anak-anak muda yang saat ini sedang mencoba mencari jati diri kehidupannya tersebut. Jika mereka melihat berita-berita tersebut, bahkan bisa timbul suatu pendapat bahwa untuk memperoleh atau tepatnya mempertahankan kesuksesan materi dll-nya itu maka kalaupun kehidupannya berkeluarga terganggu, adalah suatu kewajaran saja. Kawin dan cerai bisa menjadi suatu hal yang biasa, yang penting telah disahkan oleh pengadilan, atau memenuhi syarat hukum pemerintahan dan hukum agama. Yang penting tidak melakukan zinah, itu yang biasa saya dengar dari pendapat orang-orang tentang para tokoh tersebut dalam membenarkannya.
Sebagai orang tua yang mempunyai anak gadis menjelang dewasa, maka jelas aku benar-benar tidak sependapat dengan pernyataan-pernyataan tersebut, meskipun mungkin yang berbicara itu tokoh terkenal sekalipun. Aku akan mengatakan dengan mantap kepada anakku tadi, bahwa “kehidupan orang atau tokoh tersebut jangan kamu contoh, itu tidak baik !”
Informasi tentang kehidupan berkeluarga yang aku anggap tidak baik tersebut, kelihatannya menjadi salah satu topik berita yang sering ditayangkan televisi. Itu pasti akan merasuk ke semua kalangan masyarakat, menjadi konsumsi mereka, baik orang-orang tua maupun orang-orang muda. Jelas itu suatu proses pendidikan massal ke masyarakat tentang kehidupan yang sedang terjadi. Jadi bagi mereka yang menjumpai kasus yang sama, akan mendapatkan pembenaran “toh saya khan tidak sendirian yang mengalami seperti ini“. Akhirnya apa yang terjadi, apa yang terus menerus ditayangkan di televisi, yang mula-mula hanya terjadi pada sebagian kecil orang, sebagai komoditi berita, maka pada akhirnya menjadi fakta mayoritas masyarakat secara luas.
Itulah dampak globalisasi informasi yang terjadi saat ini. Apakah anda menyadari bahwa hal itu akan berdampak juga pada kehidupan anda dan keluarga anda nantinya.
Jelas itu pasti akan berpengaruh. Meskipun aku telah menempuh pendidikan secara tuntas, pada setiap tahapan pendidikan juga dilakukan di sekolah yang tidak memalukan, kalau tidak mau disebut sebagai sekolah favorit di lingkungannya, tetapi dari itu semua aku merasa bahwa pengetahuan atau tepatnya hikmat tentang jodoh dan kehidupan tidak aku peroleh secara tuntas dari sekolah-sekolah formal seperti itu. Memang sih, dari sekolah-sekolahku dulu itu aku mendapatkan pengetahuan yang banyak, yang mengantarku sampai pada tingkat pendidikan yang sekarang aku raih, tetapi tentang jodoh dan juga kehidupan ternyata sekolah saja tidak cukup.
Lalu dari mana pak ?
Selain dari sekolah, dari buku-buku literatur juga dari masyarakat maka pendidikan dalam keluarga adalah sangat penting.
Di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah, saya tidak tahu apakah masih diajarkan pelajaran tentang budi pekerti. Moga-moga masih ada. Meskipun demikian, saya kuatir cara mengajarnya akan dilakukan sama seperti materi-materi pengetahuan lain, yaitu dihapalkan, lalu diuji melalui multiple-choice. Wah kalau begitu caranya, pasti hanya menempel untuk keperluan ujian saja, setelah itu akan hilang jika mendapatkan informasi bertubi-tubi dari televisi yang tidak sesuai. Jadi saya berpendapat bahwa sekolah lebih cenderung mempersiapkan anak didiknya untuk pendidikan tingkat lanjut bukan tentang “jodoh dan kehidupan”. Lihat saja sekarang, kriteria SMA yang baik adalah yang dapat mengantar lulusannya masuk di jurusan dan universitas yang favorit. Itu saja sudah cukup.
Oleh karena itulah maka ketika ketika setiap pagi mengantar anak gadisku ke sekolah, maka di setiap pagi itulah aku menyampaikan “ular-ular” (jawa=petuah/nasehat) panjang lebar ke anakku. Untuk keluarga maka biasa aku gunakan waktu hari Minggu, setelah pulang dari gereja yang umumnya aku gunakan untuk pergi jalan makan bersama di luar. Di saat bersama-sama itulah maka sambil menyopiri kendaraan aku biasanya menceramahi istri dan anak-anakku. Ini aku lakukan rutin, menjadikannya sebagai suatu kebiasaan, sebagai suatu hak dan kewajibanku berkeluarga, bahwa kawin eh berkeluarga itu tidak hanya sekedar agar terhindar dari zinah. Berkeluarga itu juga sebagai usaha untuk mengantar anak menjadi manusia dewasa. “Ular-ular” yang aku berikan itu diharapkan dapat menjadi penambah bekal untuk kehidupan anak-anakku nantinya. Semoga.
Agar anakku dapat tertarik untuk mendengar setiap “ular-ular” yang aku sampaikan, maka biasanya aku memulai dari melihat contoh kehidupan nyata, yang ada di televisi-televisi itu. Jadi berita-berita tentang keluarga yang buruk di televisi itu aku olah menjadi “permasalahan” yang perlu diselesaikan. He,he ini kayak penelitian saja yah. Ini misalnya, “Kamu khan tahu ya tokoh pengkhotbah agama yang tempo hari populer di kalangan anak-anak muda dan keluarga-keluarga, yang khotbahnya dirasakan cukup sejuk, sehingga banyak diminta kemana-mana berbicara “. Ini aku sampaikan ke anakku untuk mengetahui apakah dianya punya perhatian tentang tokoh yang dimaksud. “Itu lho yang tempo hari di televisi“. Ketika anakku mulai tune dan paham dengan yang aku maksud, yang biasa dijawab dengan ” O ya, aku ingat pa. Populer sekali dianya pa, tetapi sekarang koq jarang lihat muncul di televisi ya pa. Ada apa sih pa“. Nah kalau sudah seperti ini maka dialog bisa masuk: “Kamu tahu, anaknya banyak lho, yang gede sudah sebesar kamu“. Respond anak kadang tak terduga, maklum mereka belajar juga dari mana-mana, faktor media televisi dan teman-teman sekolah sangat berpengaruh. Bisa saja jawabannya seperti ini:” Ah masa pa, khan kelihatan masih muda“. Berarti anak ini sudah memahami dan terlihat memberi kesan positip. Bagus. Ketika sianak tadi membayangkan tokoh yang dimaksud, dengan segala atribut positip yang melekat, maka kita masukkan fakta aktual yang berbeda sekali. “Kamu tahu, dia sekarang khan sudah punya istri ke dua, yang lebih muda dan lebih cantik lagi. Istri tuanya sekarang akan dicerai, istri yang telah melahirkan banyak anak-anak bagi pengkhotbah tersebut !“. Tanggapan anakku tentang fakta itu membuatnya berang. Jika sebelumnya menganggap tokoh itu dapat dijadikan panutan selanjutnya pasti akan berbeda, maklum dianya dapat memposisikan sebagai sama-sama wanita, tentu kalau menjadi wanita di posisi istri pertama pengkhotbah itu pasti dianya akan sedih dan marah.
Belajar dari uraian di atas, aku hanya ingin mengatakan atau membukakan wawasan anakku, bahwa seseorang yang menguasai ayat-ayat kitab agama bahkan menjadikannya sebagai mata pencaharian kehidupannya ternyata tidak mampu membuat damai dan sejahtera bagi seseorang yang terdekat sekalipun dalam kehidupannya, yaitu wanita yang menjadi istri pertamanya. Apa artinya itu, jangan terkecoh dengan orang yang berkedok di belakang ilmu agama yang kuat. Terlepas dari tidak adanya unsur ketentuan agama yang dilanggar, tetapi bagi anakku yang juga seorang wanita, yang suatu saat nanti akan menjadi ibu pasti tidak akan mau ketika sudah melahirkan anak banyak bagi suaminya lalu dicerai, lalu ditinggal sendirian. Mana ada wanita yang mau seperti itu. Sorry ini adalah pendapat pribadiku, yang mana harapannya juga tidak akan terjadi pada anak-anakku nantinya. Oleh karena itu maka aku menyampaikan pendapatku itu ke anak-anakku. Aku mengatakan dengan tegas, jangan pilih suami yang seperti pengkhotbah itu. Dia orang munafik !
Bapak suka menilai orang ya ?
Belajar dari pengalaman orang lain itu baik, agar kita bisa memilih yang terbaik. Jadi bukan asal menilai. Tentang menilai, itu adalah suatu kewajiban kita dalam berkehidupan, tidak asal terjang. Kemampuan menilai secara tepat itulah yang terpenting dalam menempuh kehidupan, aman dunia dan akhirat.
Ah masa pak, kalau sudah punya harta tujuh turunan seperti yang dikejar para politisi dengan kekuasaannya itu. Bukankah itu yang menjamin pak ?
Yah begitulah. Tidak banyak yang tahu tentang apa sebenarnya yang paling penting dicari dalam kehidupan ini. Apakah wanita muda rupawan (bagi cowok) atau pemuda gagah perkasa (bagi cewek), juga kekayaan yang tidak habis sampai tujuh turunan dan juga kekuasaan (ini cowok dan cewek juga punya keinginan seperti ini). Ternyata bukan itu, meskipun kalau mendapatkannya maka itu perlu disyukuri.
Jadi masih ada yang lain pak, wah ternyata bapak nggak puas-puas, ha-ha-ha.
Itu semua khan kenikmatan dunia. Kalau mendapatkannya maka tentu patut disyukuri dan dimanfaatkan dengan baik. Tapi masih ada yang lebih penting dari itu semua, yaitu hikmat yang ada di pikiran kita. Itulah yang paling penting yang perlu dicari dalam kehidupan ini. Adanya hikmat di pikiran kita maka sesuatu yang kelihatan umum sebagai kenikmatan dunia itu dapat diubahnya menjadi suatu yang berguna tidak hanya bagi kita, juga sesama dan kemuliaan nama-Nya.
Mungkin ada yang belum paham dengan istilah hikmat, mengapa itu menjadi sangat penting. Hikmat yang dimaksud adalah kemampuan pikiran kita, tidak sekedar ilmu, tetapi sudah masuk pada tahap wisdom dalam pengambilan keputusan sehingga dapat dihasilkan kebaikan, baik dalam jangka pendek (saat ini) maupun jangka panjang atau nantinya (masa depan). Untuk mendapatkan hikmat maka kita tidak bisa sekedar mengandalkan nalar atau logika atau bahkan ilmu pengetahuan semata. Karena begitu kompleksnya maka banyak orang menyebut hikmat itu ada akibat campur tangan Tuhan juga.
Informasi ini jelas tidak biasa diungkapkan dalam sekolah-sekolah formal, para guru pasti dapat dengan mantap mengatakan bahwa untuk sukses maka cukup dengan mendapat nilai atau IP yang cum-laude. Jika demikian adanya maka dapat dipastikan hidupnya akan sukses.
Tidak salah memang, mendapatkan IP yang cum-laude adalah baik adanya, tetapi itu bukan tujuan, itu sarana untuk menggapai kesuksesan. Kita jangan terkecoh dengan itu, itu penting, tapi tidak semata-mata itu. Tetap hikmat yang paling utama, dengan hikmat maka tentu saja IP yang cum-laude tentu dapat dengan mudah diperoleh, karena dengan hikmat kita dapat memutuskan langkah-langkah apa yang perlu kita ambil untuk mencapainya, dan sebagainya. Hikmat adalah yang utama dalam kehidupan ini.
He, he mungkin masih ada orang yang tidak setuju dengan pendapatku di atas. Ada saja yang masih ngotot bahwa yang paling penting dalam kehidupan ini adalah menegakkan perintah-perintah agama. Tidak mengapa, itu adalah hak dia. Tetapi aku mengatakan pada anakku tadi, bahwa hikmat itulah yang paling penting. Itu ada sebelum adanya perintah-perintah agama itu. Tentang hikmat ada baiknya aku sedikit kutipkan dari kitab segala kitab, yaitu dari kitab Amsal tentang Wejangan Hikmat [Amsal 8:1-36] sbb:
Hai orang yang tak berpengalaman, tuntutlah kecerdasan, . . .
Dengarlah, karena aku akan mengatakan perkara-perkara yang dalam dan akan membuka bibirku tentang perkara-perkara yang tepat.
Karena lidahku mengatakan kebenaran, . . .
Segala perkataan mulutku adalah adil, . . .
Semuanya itu jelas bagi yang cerdas, lurus bagi yang berpengetahuan.
Terimalah didikanku, lebih daripada perak, dan pengetahuan lebih daripada emas pilihan.
Karena hikmat lebih berharga daripada permata, apapun yang diinginkan orang, tidak dapat menyamainya.
Aku, hikmat, tinggal bersama-sama kecerdasan, dan aku mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan.
. . .
Padaku ada nasihat dan pertimbangan, akulah pengertian, padakulah kekuatan.
Karena aku para raja memerintah, dan para pembesar menentapkan keadilan.
Karena aku para pembesar berkuasa juga para bangsawan dan semua hakim di bumi.
Aku mengasihi orang yang mengasihi aku, dan orang yang tekun mencari aku akan mendapatkan daku.
Kekayaan dan kehormatan ada padaku.
. . .
Tuhan menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala.
Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, sebelum bumi ada.
. . .
Karena siapa mendapatkan aku, mendapatkan hidup, dan Tuhan berkenan akan dia.
Luar biasa. Itulah sedikit tentang hikmat, yaitu kemampuan pikiran kita dalam memutuskan suatu perkara. Itulah alasan utama mengapa Solomo ketika dalam doanya memohonkan tentang hikmat, dan bukan yang lainnya [1 Raja-raja 3].
Jadi karena adanya hikmat itulah maka pengetahuan ilmu agama yang kuat dapat diterapkan secara tepat dalam kehidupan real ini. Ini pula yang mendasari aku memberi tahu anakku tentang adanya pengkhotbah yang aku ceritakan di atas, bahwa benar dia ahli kitab, punya pengetahuan yang kuat dan hebat, tetapi belum tentu dapat menerapkannya secara tepat karena tidak dilengkapi hikmat. Itu pula yang mengakibatkan loyalitas, kesetiaan seorang wanita yang telah memberikan rahimnya untuk kelahiran anak-anaknya dapat dengan mudah ditinggalkanya hanya karena alasan yang berkaitan dengan ilmu agama yang dikuasainya. Benar, bahwa secara ilmu agamanya munkgin memang tidak ada yang dapat disalahkan, tetapi secara hati nurani manusia, jelas ada sesuatu yang kita sendiri pasti tidak mau mengalaminya, khususnya jika kita menjadi wanita istri pertamanya itu.
Wah tentang hal itu aku jadi ingat ini:
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. [Matius 7:12]
Saya yakin penerapan ilmu agama yang tepat tentunya akan menghasilkan hati yang dipenuhi damai dan sejahtera, karena bagaimanapun juga itulah esensi orang ingin mendalami suatu agama.
He, he memang meniti kehidupan ini gampang-gampang susah. Gampangnya adalah bahwa pengetahuan tentang hal itu, yaitu kehidupan sebenarnya telah banyak tercakup pada kitab-kitab hukum agama, yang telah ditulis ribuan tahun lamanya. Susahnya adalah mengaplikasikannya dalam kehidupan ini sehingga tepat hasilnya. Itulah peran hikmat.
<<up-dated 30 Jun 2011>>
Tinjauan di atas, meskipun tidak secara langsung membahas tentang perjodohan tetapi sebenarnya telah mengandung hal itu. Tentang perjodohan adalah suatu hal yang rumit, bahkan banyak hal yang tak terduga. Ada yang bilang itu merupakan suatu rahasia ilahi. Meskipun demikian saya tidak setuju bahwa jodoh hanya dipasrahkan saja kepada Tuhan, kitapun juga harus berusaha. Yah seperti pepatah, manusia berusaha Tuhan-lah yang menentukan. Kita harus berusaha sebesar-besarnya, tetapi karena sadar Tuhan juga berperan maka kita juga tidak lupa untuk berdoa memohon kepadanya.
Suatu hal yang penting bagi anak-anak muda tentang jodoh adalah bahwa jangan bayangkan bahwa ketika sudah mendapatkan istri (jodoh) maka semua masalah akan terselesaikan. Masalah dalam kehidupan itu pasti ada, jadi pastikan dulu bahwa istri yang dipilih adalah yang terbaik, yang dapat dianggap sebagai pendamping yang telah Tuhan berikan dalam hidup ini.
Tentang pernyataan tersebut saya yakin banyak yang tidak sependapat. Itu gampang ngomongnya, tetapi tidak mudah melaksanakan. Bayangkan saja, bagaimana memastikan bahwa wanita atau pria yang kita pilih itu adalah yang paling baik, yang ada dalam kehidupan ini. Padahal kita juga tahu bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya kepastian, kecuali hanya kematian adanya. Jadi bagaimana menerapkan hal di atas. Ngomong atau nulis gampang, tetapi melaksanakan wah, susah . . .
Tentang pernyataan saya di atas ternyata tidak perlu berlaku general. Itu saya ungkapkan hanya berlaku bagi manusia-manusia penganut ajaran Kristiani, khususnya yang ingin mengikuti Kristus, Tuhan-nya.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. [Matius 19:6]
Sebagai seorang yang mencoba hidup atas dasar iman kristiani, maka wajarlah saya mengamini pernyataan di atas. Apalagi ditambah dengan lingkungan sewaktu kecilku dulu yang hidup dalam kebudayaan Jawa, di Jogja, bahwa yang namanya istri atau bahasa jawanya adalah “garwa” yang merupakan kependekan sigaraning nyawa (bagian kehidupan) maka jelaslah jika aku dapat memahami dengan mudah nats di atas.
Jadi yang namanya seorang istri, adalah benar-benar seorang pasangan hidup. Jadi selama hidupnya itu maka pasangan laki-wanita, yaitu itu tadi. Tidak mudah untuk diubah, kecuali kematian yang memisahkannya. Jadi memilih istri hanya sekedar untuk menghindari zinah adalah benar-benar tidak dapat terbayangkan kebenarannya.
Jadi jelaslah hubungan antara jodoh – kehidupan adalah tidak bisa dilepaskan terhadap keyakinan yang dimiliki, dan umumnya keyakinan sangat terkait dengan agama yang dianutnya. Dianut dalam arti tidak sekedar agar KTP-nya tidak kosong.
Uraian-uraian seperti ini adalah bagian pendidikan keluarga yang aku sampaikan pada anak gadisku. Jadi meskipun dalam imanku dapat mengatakan bahwa di luar agama Katolik yang aku anut dapat saja terjadi keselamatan, atau dengan kata lain kehidupan beragama lain juga sama-sama baiknya dengan agama yang aku anut, tetapi kalau dalam memilih jodoh tidak bisa seperti itu. Itu lain. Dalam hal memilih jodoh maka harus dipastikan untuk seiman, yaitu yang mempunyai keyakinan sama.
Wah rumit juga ya pak. Lalu apa peran bapak selaku orang tua dari anak agar mendapatkan jodoh sesuai kriteria yang bapak sampaikan itu ?
Terima kasih atas pertanyaan anda. Kesannya bahwa anda bisa memahami apa yang saya sampaikan. Apa-apa yang saya sampaikan di atas mungkin dapat dengan mudah saya ucapkan atau tuliskan, karena saya sudah mendapatkan jodoh seperti yang saya uraikan tersebut, bahwa istri yang mendampingi saya saat ini adalah juga jodoh, garwa dan pasangan hidup. Istri yang mendampingi saya sekarang ini jelas tidak sekedar seorang wanita yang halal sehingga nantinya tidak disebut berzinah. Kami berdua telah menyatu, tidak sekedar raga tetapi juga visi dan misi yang kita punyai dalam menyikapi hidup. Tetapi itu semua belum berlaku bagi anak gadisku yang menjelang dewasa, sebagai orang tua maka adalah kewajibanku untuk mengantarnya untuk mendapatkan jodoh sesuai dengan kriteria yang telah aku sampaikan. Itu tidak mudah, dan aku tidak bisa menyatakan dengan tegas bahwa itu pasti bisa, hanya aku dapat berdoa kepada Allah Bapak di surga agar anak-anakku kelak mendapatkan jodoh seperti yang aku harapkan.
Kecuali doa, maka aku juga perlu mengusahakan, mengarahkan dan mendukungnya baik dengan moril maupun materiil. Hal pertama yang aku usahakan adalah mengikuti kitab Amsal di atas, yaitu mengusahakan mereka untuk mengenal hikmat. Langkah nyatanya adalah menyekolahkannya pada sekolah-sekolah yang terbaik yang dapat diusahakan.
Membekali anak-anak sekolah yang terbaik. Itu adalah hal praktis yang dapat diusahakan oleh orang tua. Terus terang saya adalah salah satu orang tua yang tidak setuju dengan home schooling. Bagi saya, sekolah tidak hanya sekedar mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi juga belajar untuk berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hidup itu relatif, tergantung orang-orang lain disekitarnya.
Kalau anak bapak seorang gadis, ngapain harus sekolah tinggi-tinggi pak, yang penting khan dapat jodoh yang kaya. Beres deh.
Nah itulah yang berbeda dengan prinsipku. Aku tidak seperti itu, aku bahkan mendukung anak-anak gadisku nanti bersekolah setinggi-tingginya. Kenapa begitu, karena itu tadi yaitu keyakinanku tentang yang namanya jodoh = garwa = belahan hidup = pasangan hidup. Selama hidup, maka jodohnya hanya satu, tidak ada yang lain.
Itu semua hanya bisa dilakukan oleh seorang (wanita atau pria) yang mempunyai kelebihan, tidak hanya tubuh fisik sekedar memenuhi keinginan agar terhindar dari zinah. Pasangan tersebut harus bisa saling menghormat, tidak sekedar takut dosa, tetapi memang saling membutuhkan. Ingat orang itu membutuhkan orang lain jika dia bisa membantu bukan. Untuk bisa membantu maka orang tersebut khan harus mandiri.
Jadi langkah kita yang utama adalah mendidik dan mengusahakan anak-anak kita agar bisa mandiri. Jadi motivasi sekolah tinggi-tinggi itu agar si anak gadis bisa mandiri. Tidak tergantung orang lain.
Wah, nanti kalau sekolah tinggi-tinggi anak gadis bapak, maka cowok-cowok pada takut dong.
Siapa bilang. Pikiran seperti itu ada karena kamu meyakini bahwa seorang istri hanya akan menuruti suami, jika dianya merasa tergantung suaminya. Prinsip itu kuno, dan sudah tidak sesuai dengan prinsip emansipasi yang disampaikan Kartini.
Tentang hal istri harus tunduk pada suami adalah suatu hal yang mutlak, minimal dalam pikiran suami bahwa istrinya tunduk kepadanya. Itu mutlak, karena kalau itu tidak ada maka si suami bisa impoten dibuatnya. Konsep seperti itu dulu juga aku terapkan pada istriku, yah dua puluh tahun lebih dulu. Intinya, adalah istri boleh saja sekolah setinggi-tingginya, berkarir apa saja sehingga mungkin di kantornya dia direktur atau bos, tetapi kalau di rumah maka suami adalah kepala rumah tangga. Suami harus dihormati. Adapun suaminya akan memperlakukan istri, dengan pemahaman bahwa istrinya yang penurut itu bukan karena merasa tergantung pada suami, tetapi memang karena kodratnya atau tepatnya hormatnya dia (wanita) karena telah memilihnya (pria) sebagai seorang suami. Dari situ akan terjadi sikap saling menghormati dengan perannya masing-masing.
Sikap yang aku ambil itu juga mirip dengan prinsip jawa, dadhio wong lanang, ala-ala tur menang, yang artinya jadilah orang lelaki jelek-jelek tetapi dihormati. Jadi kasarnya, seorang suami mungkin ditempat kerja disepelekan, tetapi kalau dirumah dia akan dihormati istrinya.
Tentang hal itu, bahkan saya dapat memahami sikap kumpulan istri-istri di Malaysia tempo hari yang menyatakan bahwa (katanya) mereka kalau perlu akan melayani seperti halnya pelacur bagi suaminya. Ingat, memahami belum tentu mengamini. Pada satu sisi, saya paham maksudnya, yaitu memberi servis seperti halnya pelacur, begitu menurut info yang aku baca. Tentang sumber pastinya, agak kurang jelas, tapi ini ada blog yang menulis ttg hal itu.
PEREMPUAN MALAYSIA : ISTRI HARUS BISA JADI PELACUR BAGI SUAMI
Berita ini sepintas bagi seorang laki-laki tentu bisa membesarkan hati, tetapi jika ditelaah lebih lanjut, maka ungkapan pada kalimat tersebut tidak lebih dari pernyataan bahwa punya istri itu hanya sekedar untuk menghindar dari zinah (kata yang lebih vulgar adalah sebagai pemuas nafsu). Jadi kalau konsep saling menghormati, saling membahagiakan satu sama lain antara suami-istri yang aku ungkapkan di atas dapat diterapkan maka tentunya pernyataan seperti yang disampaikan oleh ibu-ibu di Malaysia tersebut tidak perlu terjadi. Maklum sudah saling terpuaskan , iya khan. 🙂
Adanya sikap saling menghargai dan menghormati antara suami dan istri apabila keduanya mempunyai “kemampuan” yang setara, atau tepatnya keduanya merasa mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan seyogyanya dapat saling mengisi sehingga gabungan antara keduanya, suami dan istri menghasilkan sinergi yang positip.
Jadi tugas orang tua dalam mengantar anak-anaknya adalah membimbing mereka mendapatkan “kemampuan” tersebut, seperti tadi misalnya memberikan sekolah yang terbaik, memberi asupan makana yang bergizi dan merawat kesehatan mereka sehingga dapat tumbuh fisik secara sempurna.
Jadi langkah kita adalah mempersiapkan anak-anak menjadi manusia yang sebaik-baiknya, dari sisi fisik jasmani, rohani juga intelektual yang cukup.
Pada tahap ini ketika berbicara memilih jodoh, maka perlu dipastikan dulu bahwa yang memilih ini juga mempunyai posisi tawar yang baik.
Jika sudah, maka tahap selanjutnya adalah memilih jodoh.
Meskipun di atas aku telah kemukakan bahwa jodoh itu adalah rahasia illahi, tapi adalah kewajiban kita untuk mengusahakan. Kita telah diberi akal-budi, dengan dibantu hikmat dari Allah maka usahakan untuk mengejar jodoh tersebut. Sekali lagi, manusia berusaha maka Tuhan pula yang menentukan.
Banyak orang atau tepatnya anak-anak muda ketika ditanya bagaimana memilih jodoh, umumnya hanya mengucapkan yang penting perhatian dan baik hati (ini biasanya yang mengatakan perempuan), sedangkan kalau cowok umumnya akan bilang, yang penting cantik dan seksi. He, he lagi-lagi cara pandangnya beda.
Itu tidak salah, tapi jika itu ingin dijadikan jodoh maka perlu yang lain. Seperti tadi yang telah aku ungkapkan yaitu satu visi-misi hidup dalam hal ini adalah keyakinan atau kasarnya adalah seagama. Itu penting, karena itu menyangkut cara berpikir.
Cara yang menurut aku sangat efektif untuk membantu menentukan jodoh, selain hal-hal di atas adalah menggunakan cara orang Jawa kuno, yaitu bibit-bobot-bebet. Cara itu dapat dilakukan dengan lebih dahulu mengenal lingkungan pasanganmu. Siapa orang-tuanya, kakek-neneknya, siapa teman-temannya, semakin mendapat banyak jaringan maka cara itu akan semakin efektif.
Jadi terus terang aku sendiri heran, jika masih ada orang yangsudah kawin tetapi tidak tahu bahwa istrinya itu adalah laki-laki, menurutku itu bodoh sekali. Seekor kambing saja mungkin tidak akan sampai melakukan kesalahan seperti itu. Apalagi jika strategi-strategi di atas diterapkan. Tapi di abad internet ini saja sampai ada yang seperti itu, itu menunjukkan bahwa pendidikan yang terjadi telah mengalami kemunduran. Pendidikan dalam memaknai kehidupan. Saya yakin di keluarganya pastilah tidak ada pendidikan yang terjadi.
Terkait dengan falsafah bibit-bobot-bebet. Terus terang setelah lebih dari 20 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, kemudian bertemu dengan orang-orang seusiaku dulu, yang ternyata kehidupannya macam-macam, ada yang baik dan ada yang buruk, maka bercermin dari itu semua kami berdua saling mensyukuri. Bagaimana tidak, adanya falsafah bibit-bobot-bebet ternyata mengurangi masalah yang dapat terjadi.
Falsafah bibit, ini mengharuskan kita mempelajari jalur-jalur keturunan calon pasangan kita, adakah saudara dekatnya yang punya penyakit, adakah yang cacat, kenapa itu terjadi. Ingat ketidak sempurnaan itu bisa karena kecelakaan tetapi bisa karena keturunan. Adanya pemahaman seperti ini tentu saja kita dapat mempersiapkan diri, jika mampu diteruskan dan jika tidak, ya tidak diteruskan. Adanya pemahaman tentang bibit, maka kita bisa tahu apakah kita beresiko tinggi kena penyakit gula, buta warna dan sebagainya.
Falsafah bobot, ini terkait dengan mutu calon pasangan kita. Cantik atau ganteng dapat dikategorikan ini, juga potensi intelektual atau kepemimpin yang dia punyai. Jadi bobot terkait dengan potensi yang dipunyai calon pasangan kita. Ini biasanya relatif mudah untuk dievaluasi karena melekat pada pribadi pasangan kita. Bahkan umumnya karena faktor ini pula yang menyebabkan kita tertarik.
Sebagai orang tua maka kewajiban yang utama kepada anak-anaknya adalah membuatnya berbobot. Maklum kalau bibit khan sudah dari sononya.
Falsafah bebet. Nah ini yang mungkin bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Ada yang mengartikan jika bibit diidentikkan dengan benih, bobot dengan besarnya, sedang bebet diidentikkan dengan jenis benihnya tersebut. Mengartikan ini mungkin agak membingungkan, maklum kita khan manusia. Jadi bagaimana dengan yang dimaksud dengan jenis.
Ketika pulang kemarin, aku berdiskusi dengan ayahku, saat ini beliau berumur lebih dari 70 tahun. Sudah sepuh. Pengalaman hidupnya luar biasa. Terus terang beliau adalah salah satu guru spritualku tentang jawa-katolik. Banyak falsafah hidupnya yang aku kutip dan terapkan, ternyata berguna. Aku bisa seperti sekarang juga karena pendidikan beliau yang diterapkan di keluargaku dulu. Tanpa itu tentu aku tidak bisa membayangkan. Berkaitan dengan bebet beliau menjelaskan bahwa itu terkait dengan faktor martabat seorang manusia.
Jadi mungkin saja dari sisi bibit-bobot sudah ok, orangnya kaya raya, cantik /ganteng, tetapi ternyata kekayaannya adalah hasil dari korupsi atau tindakan yang tidak halal. Juga seperti keluarga yang suka kawin-cerai. Jelas hal-hal seperti itu di mata keluarga besarku adalah orang yang tidak bermartabat. Bukan pilihan. Jadi jika mengabaikan hal itu, mungkin pada saat nanti kawin memang bisa besar-besaran pestanya, tetapi beberapa tahun kemudian bisa-bisa harta semuanya disita karena ketahuan korupsi. Mau itu.
Saya kira tulisanku ini sudah terlalu panjang ya. Sampai di sini dulu. Semoga Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Tinggalkan komentar