Guru, tenaga ahli, nara sumber atau selibriti, kadang pada suatu kondisi tertentu sukar dibedakan perannya. Bayangkan saja, dalam beberapa hari ini, sejak terjadinya tragedi jembatan bentang panjang di Tengarong yang rubuh, ternyata kalau mau dihitung ada lebih dari tiga rekan wartawan yang menghubungi. Via hp lagi, padahal rasa-rasanya saya tidak pernah mencantumkannya secara terbuka di blog atau facebook. Maklum, komunikasi melalui hp sifatnya pribadi. Jadi yang biasa ditanggapi adalah yang pernah melakukan kontak langsung secara personal.
Bagaimanapun juga saya menganggap siapapun yang mengkontak saya, tanpa saya tahu secara pribadi maka saya anggap anonim. Secukupnya saja dan kemudian jangan dipikirkan serius. Meskipun dalam hal ini, mereka biasanya ketika mengkontak selalu menyebutkan nama dan institusi tempat bekerjanya. Boleh-boleh saja itu menurutku, tetapi bagaimana tahu bahwa itu benar. Jadi bisa saja benar atau bisa saja salah, dan saya selalu berpikir pada kondisi terburuk. Jadi jangan terlalu ditanggapi serius lha. Artinya kita jangan terlalu berharap bahwa apa yang dinyatakan kepada mereka nantinya juga akan keluar di media seperti itu. Oleh karena itu jawaban klise menanggapi orang bertanya, seperti kasus jembatan yang rubuh itu adalah bahwa “saya tidak punya komentar“. Titik.
Saya bilang bahwa bidang rekayasa tidak sama seperti politik, yang dapat dengan mudah dijawab dengan satu dua kata. Ilmu mereka yang utama khan retorika. Kalau bidang engineering, retorika itu nggak laku. Paling juga ilmu itu bisa dipakai untuk ngejual ide kepada pemilik modal, atau dipakai untuk memanipulasi semangat orang untuk mengerjakan suatu proyek tertentu.
Pada prinsipnya, untuk bisa mengambil keputusan ilmiah di bidang rekayasa, haruslah ditunjang data, bahkan untuk memahaminya juga memerlukan suatu latar belakang keilmuan tertentu. Nggak sembarang orang awam dapat mengerti apa yang dimaksud. Jadi kalau misalnya, wartawan yang bertanya tersebut berlatar belakang sosial, maka tentu uraian yang dapat kita sampaikan adalah yang bersifat umum saja. Uraian yang lebih mendalam tentu tidak mudah dipahami, jadi mengapa harus berpanjang-panjang bercerita jika tidak akan akan dimengerti.
Lho koq bisa begitu pak. Bapak khan guru, jadi wajar khan kalau menjadi tempat bertanya.
Betul, jika yang bertanya adalah muridnya. Jadi dalam hal ini mereka yang bertanya itu dalam kapasitas apa.
Jika diamati, pertanyaan mereka yang disampaikan via telpon hampir tipikal. Pertama-tama disampaikan suatu cerita atau berita, kemudian saya disuruh menanggapi cerita atau berita tersebut. Ini khan perlu dicermati, seperti misalnya: “menurut si A, tiang jembatan yang ambruk itu bergeser“. Lalu si penanya telpon tersebut bertanya kepada saya: “Pak Wir, memang tiang jembatan tersebut bisa bergeser“. Saya bertanya, kata siapa. Jawabnya, kata orang di Media A gitu pak. Wah ini, rekursif khan. Jadi jika masuk ke media dianggapnya sebagai suatu kebenaran. Maklum masyarakat kita sekarang juga bingung, wong yang ambil beritanya juga asal ambil pendapat orang.
Pak Wir, yang diwawancara itu gelarnya sudah hebat lho pak. Apa nggak bisa dipercaya omongannya.
Inilah yang terjadi di Indonesia itu. Orang punya gelar tinggi, misalnya doktor, apakah itu berarti tahu semuanya. Coba lihat, dokter dan dokter spesialis, yang terakhir itu khan kesannya lebih tinggi, tetapi tidak berarti dia tahu semua penyakit. Soal itu tentu bagi seorang dokter akan tahu, karena kalau sok tahu maka akibatnya akan berbahaya, dan akhirnya membahayakan karirnya juga.
Itu tadi di profesi kedokteran, adapun di profesi rekayasa kelihatannya sikap seperti itu belum ada. Kebanyakan kalau sudah bergelar doktor, dianggapnya tahu semuanya. Kondisi tersebut ditunjang oleh sikap media kita, yang kadang sembarang saja mengajukan wawancara dan meminta pendapat orang yang mempunyai gelar. Tanpa menyadari bahwa bidang yang dijadikan topik pertanyaan tersebut sebenarnya tidak pernah dipelajari secara mendalam oleh doktor tersebut. Bagi orang awam, kesannya wah, masuk media dan bangga merasa menjadi nara sumber. Bagi si wartawan atau pembuat media, juga puas punya berita untuk ditayangkan. Meskipun di kalangan profesional yang lain akan tahu bahwa pernyataan yang disampaikan orang, yang dianggap nara sumber oleh media tersebut, sebenarnya abal-abal. Maunya jadi selibriti (begitu pikirnya mungkin), kenyataannya adalah seperti “tong kosong berbunyi nyaring“.
Akhirnya siapa yang dirugikan. Pasti saja masyarakat awam yang akan bertambah bingung. Betul nggak.
Tentang jembatan di Tengarong itu bagaimana sih pak. Sehingga masyarakat minimal bisa tahu sedikit dengan apa yang terjadi.
Wah, wah dik. Jangan memancing-mancing juga seperti wartawan ya. Terus terang saya juga belum mendapat kabar yang pasti tentang kondisi jembatan tersebut, kecuali tentunya dari media. Seperti anda juga lha kondisinya. Fakta penting yang dapat digali dari berita Kompas hari Senin 28 November 2011 menyatakan bahwa pada saat runtuh, jembatan dalam kondisi dilakukan rehabilitasi. Lalu lintas di jembatan pada saat itu ditutup separo, dan kondisi lalu-lintasnya macet.
Bayangkan saja, itu panjang jembatan 710 m, dengan bentang tengah 270 m (gambar di Kompas). Macet lagi, jadi apakah berita di koran yang menyebut korban 5 tewas, 33 hilang dan 40 luka-luka dapat dipercaya. Eh sebentar, kompas hari ini memberitakan sesuatu yang lebih baru, perhatikan headline berikut:
Nah ada data atau informasi baru yang lebih mengerucut tentang penyebab rubuhnya jembatan tersebut, yaitu pegangan putus. Itulah berita-berita yang terjadi.
Berangkat dari fakta di atas, ada baiknya saya mencoba memasukkan hal-hal yang saya ketahui tentang jembatan tersebut dan juga dugaan yang mungkin menjadi bahan pertimbangan untuk penilaian tentang sumber penyebab bencana tersebut terjadi. Ini penting bukan karena keinginan jadi selibriti, tetapi untuk menunjukkan bahwa bidang rekayasa pada dasarnya bisa dijelaskan secara ilmiah, dan jika hal-hal tersebut dapat diantisipasi maka tentunya suatu kondisi yang fatal dapat dihindari. Juga penting untuk menunjukkan bahwa para profesional di bidang rekayasa perlu dihargai, dan diberi remunasi yang mencukupi. Jika demikian adanya, mereka akan punya kebanggaan dengan profesinya, mereka akan selalu mengembangkan diri. Bayangkan saja, bidang rekayasa kita saat ini khan memprihatikan, mereka dihargai seperti halnya tukang, bisa diganti seenaknya. Maklum, posisinya masih seperti dokter umum, belum seperti dokter spesialis. Pekerjaan sekedar sebagai rutinitas mencari sesuap nasi, sehingga apa-apa dikerjakan.
Data tentang jembatan tersebut aku punyai ketika aku menulis buku tentang jembatan dengan ibu Lanny dan pak Herry dari Dept. PU. Buku tersebut nantinya akan terbit berbahasa Inggris, aku sudah menunggu-nunggu lama, lebih dari dua tahun lho. Doain ya agar buku yang dimaksud betul-betul terbit. Terus terang buku tentang jembatan Indonesia berbahasa asing rasa-rasanya belum ada. Jadi jika itu betul terbit maka itu adalah yang pertama.
Jembatan yang ambruk di atas menurut data yang aku tulis, adalah jembatan Kartanagara (714 m) terletak di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Tampak samping adalah sebagai berikut:
Jadi sebenarnya bentang tengah jembatan di atas hanya sekitar 270 m, meskipun demikian ternyata menjadi jembatan gantung terpanjang ke-3 setelah jembatan Mamberamo (235 m) di Papua, dan jembatan Barito (240) di Kalimantan. Truss pengaku dari jembatan gantung tersebut dibuat dengan memodifikasi jembatan rangka baja standar Bina Marga kelas A45 dengan panjang totalnya 470 m, lebar jalur 7 m.
Mengapa koq jembatan gantung pak, itu mungkin yang menjadikannya ambruk.
Itulah kalau awam. Jembatan gantung itu dipilih karena kondisi sungai yang mengharuskannya, bayangkan saja sungai lebar dan mempunyai kedalaman sekitar 30-40 m, jadi tentu saja akan menyulitkan jika mempunyai pondasi di tengah sungai. Dengan jembatan gantung maka cukup dibangun pilon atau tower jembatan di pinggir, selanjutnya dibentangkan kabel dan baru disusul oleh rangkaian truss pengaku. Ini mungkin ada gambaran tentang proses pelaksanaan jembatan tersebut.
Nah sekarang kelihatan jelas khan yang dimaksud dengan sistem truss pengaku, yaitu rangka batang, yang mana setiap segmen digantung ke kabel di atasnya. Jadi yang dimaksud pegangan pada berita Kompas di atas adalah sebagaimana yang terlihat pada gambar di atas. Proses pelaksanaan secara bertahap dan akhirnya ketika jadi adalah sbb:
Nah itulah kondisi gambar ketika belum runtuh.
Adapun sekarang yang patut ditanyakan adalah mengapa pegangan kabel vertikal bisa putus. Apakah desainnya buruk atau bagaimana. Inilah yang patut dicari jawabannya.
Untuk mencari jawaban yang benar, dapat dimulai dengan membuat dugaan-dugaan atau istilah ilmiahnya adalah hipotesis. Selanjutnya untuk mendapatkan kebenarannya, maka hipotesis yang diajukan perlu dibuktikan dengan temuan fakta-fakta yang mendukungnya. Karena aku secara fisik tidak mendapatkan data atau bukti pendukung, maka yang bisa aku buat hanyalah dugaan atau tepatnya hipotesis itu saja. Jadi untuk masalah kebenaran maka diperlukan peranan pihak yang berwenang untuk mendapatkan fakta empirisnya. Ok, begitu:
Dugaan pertama: bahwa kabel yang putus, meskipun kesannya terjadi pada waktu yang singkat, dapat dipastikan dimulai dari satu kabel terlebih dahulu yang kemudian memicu terjadinya keruntuhan progresif berikutnya.
Dugaan kedua: Mengapa ada satu kabel yang putus, adakah karena karat (korosi), kerusakan akibat tertabrak benda asing, atau bisa juga diakibatkan sabotase, atau ada yang lain.
Nah yang lain itu apa, ini mungkin yang perlu dicari tahu.
Dengan memperhatikan sistem rangka sistem pengaku jembatan gantung, maka dapat dipahami bahwa rangka tersebut sangat kaku. Karena proses perakitannya secara bertahap sebagaimana terlihat pada gambar di atas maka dapat dipahami bahwa pembebanannya dapat dianggap sebagai merata pada kabel atau batang tariknya. Kondisi seperti inilah yang terjadi selama bertahun-tahun, dan karena selesai dibangun tahun 2001 maka tentu sekarang (2011) telah berumur 10 tahun. Suatu usia muda bagi suatu konstruksi jembatan.
Inti dari pernyataan di atas adalah meskipun konstruksi rangka batang sangat kaku (seperti balok menerus di atas banyak tumpuan) jadi merupakan struktur statis tak tentu, tetapi reaksi ke kabel utama di atas dapat berlangsung mulus sebagai beban merata akibat proses pelaksanaannya yang bertahap. Tetapi ketika kemudian dilakukan katakanlah pengangkatan deck jembatan , karena kekakuan rangka tadi maka tentulah bukan sesuatu yang sederhana.
Kalau pelaksanaan pengangkatannya asal-asalan, seperti misalnya melakukan stressing atau mengangkat bagian jembatan dengan memendekkan kabel tarik vertikal di satu tempat saja, misalnya di tengah bentang, maka skenarionya akan berubah.
Konstruksi kabel akibat beban merata (desain) akan menghasilkan geometri kabel seperti persamaan kuadrat. Ketika di stressing, dimana rangka pengaku lebih kaku dibanding kabel di atasnya, maka bukannya deck jembatan yang naik, tetapi cenderung kabel utamanya yang berubah bentuk, yang dulu seperti persaman kuadrat maka akibat stressing setempat akan menyebabkan bentuk kabel utama seperi inverted-V. Untuk penjelasannya ada baiknya saya beri sketch berikut.
Gambar sketch paling atas adalah kondisi jembatan pada kondisi standar, yaitu setiap batang tarik vertikal akan menerima beban merata yang berasal dari lantai jembatan itu sendiri (rangka pengaku). Batang tarik vertikal pada kondisi itu hanya menerima beban untuk tiap tributari luasan yang ditinjaunya (sesuai dengan jarak antar batang tarik vertikal). Relatif kecil tentunya. Tetapi kondisi akan berubah total ketika dilakukan, katakan pengencangan kabel vertikal dengan maksud agar lantai jembatan dapat naik. Jadi ketika kabel di stressing dan dilakukan pengamatan kenaikan deck jembatan maka dapat dipastikan bahwa karena rangka pengaku lebih kaku dibanding kabel di atasnya, maka yang berubah bentuk adalah pada kabel utamanya. (lihat skecth diatas). Kabel utama berubah bentuk, bukan sebagai catenary lagi, tetapi seperti bentuk V (gambar sketch bawah).
Pada kondisi seperti itu, ini mungkin yang tidak diduga oleh insinyur yang bertugas melakukan pengencangan, yaitu karena kabel berubah bentuk, maka kabel-kabel di dekatnya akan mengendor.
Lho apakah itu berbahaya pak ?
Itulah. Batang tarik yang langsing, atau kabel, maka jika mengendor maka akan terjadi distribusi gaya ke komponen yang kaku, dalam hal ini adalah kabel yang di stressing. Jadi jika dulu beban yang diterima penggantung adalah beban tributari, maka dengan adanya perbedaan stressing kabel tersebut akan menerima gaya-gaya reaksi yang seharusnya diterima oleh kabel-kabel lain yang kendor. Overstress !
Semakin memendek itu kabel, dan semakin kendor kabel yang lain, maka gaya reaksi yang diterima kabel yang di stressing itu akan semakin membesar, jauh di atas kapasitas daya dukung kabel tersebut.
Kalau jauh diatas kapasitas rencana, lalu apa yang terjadi hayo ?
Ya putus dong pak.
Betul dik. Itu bisa terjadi. Masalahnya adalah, ketika kabel utama berdeformasi menjadi bentuk V diatas, maka ketika kabel putus maka geometri kabel akan kembali ke posisi semula. Jika prosesnya cepat maka terjadilah percepatan arah vertikal. Padahal lantai jembatan relatif berat, ada massanya. Jadi ketika ada massa dan ada percepatan arah vertikal, dan jika berlangsung cepat (tiba-tiba) maka sifatnya dinamik. Ingat rumus newton F = m * a.
Jadi ketika kabel atau pegangannya putus (yang mana yang paling lemah) timbullah gaya dinamik arah vertikal yang besarnya sebanding dengan berat deck jembatan yang merata karena kekakuan elemen truss tersebut. Nah, tentu saja kondisi seperti itu jarang dipertimbangkan dalam perencanaan jembatan. Jadi bisa-bisa besarnya gaya F itulah yang menyebabkan kabel vertikal secara serentak terhentak dan rontok semua.
Wah sudah terlalu panjang, untuk sementara hipotesis-nya itu dulu ya. Tentang kebenarannya perlu didukung data-data empiris lapangan. Mungkin teman-teman mempunyai hipotesis yang lain.
Ini perlu diungkapkan agar kalau benar itu yang terjadi, dapat dijadikan bahan pembelajaran lebih lanjut dan dilakukan tindakan pencegahan. Juga penting untuk diingatkan, bahwa melibatkan ahli yang berkompeten untuk urusan rekayasa yang besar adalah penting. Ingat, ahli yang berkompenten itu bukan tukang insinyur lho, tetapi memang insinyur yang dihargai bukan karena otot atau tenaga fisiknya tetapi dari buah pikirannya.
Fakta-fakta yang perlu dibaca :
- Jembatan Itu Runtuh Saat Diperbaiki
Kompas.com – I Made Asdhiana – Sabtu, 26 November 2011 | 22:19 WIB - Jembatan Mahakam Runtuh : Jembatan Sedang Diperbaiki
Kompas.com – Harry Susilo, Agus Mulyadi – Sabtu, 26 November 2011 | 21:02 WIB - Jembatan Mahakam Runtuh : Jembatan Runtuh Hanya dalam 30 Detik
M Clara Wresti | Agus Mulyadi | Sabtu, 26 November 2011 | 19:32 WIB
.
<< up-dated 7 Desember 2011>>
Ini ada kajian berdasarkan fakta di lapangan, kelihatannya yang membuat teman-teman dari UGM (karena ada alamat emailnya). Terus terang informasi ini beredar dari milis. Moga-moga berguna.
.
.
<<<< up-dated 14 Jan 2012 >>>>>
Mulai banyak dijumpai informasi tentang mengapa dan bagaimana jembatan Kutai Kertanagara runtuh. Ini saya menjumpai satu video yang skenarionya mirip dengan yang aku sampaikan sesaat setelah keruntuhan terjadi.
Tinggalkan komentar