Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keruntuhan jembatan Kutai Kartanagara (Kukar) di Kalimantan merupakan bencana buatan manusia (man made disaster) terdahyat. Jika sebelumnya bencana-bencana memang telah silih berganti di negeri ini, yang menelan korban jauh lebih banyak, tetapi semua itu selalu dapat dikaitkan dengan kondisi alam, yang memang tidak dapat diduga. Untuk yang seperti itu, biasanya sudah tersedia satu jawaban ampuh untuk menerangkannya, yaitu dengan satu kata “nasib“.
Biasanya kalau sudah kata “nasib” disampaikan, maka rasanya tidak akan timbul banyak pertanyaan. Penanya sungkan, karena pasti nasehat selanjutnya selalu dikaitkan dengan himbauan untuk lebih rajin beribadah, mohon ampun dosa-dosa. Padahal kalau mau jujur, di tempat lain, di negeri yang disebutnya sekuler, kondisinya bisa lebih baik. Padahal penduduknya banyak yang mengaku tidak beragama. Jadi kalau beragama hanya sekedar ingin nasib baik, bisa kecewa.
Nah sekarang dengan adanya kejadian di Kutai Kartanagara, ada fakta bahwa buatan manusia ternyata bisa menjadi bencana tidak terduga. Untuk itu, apakah kita masih dapat dengan mudah mengatakan bahwa itu adalah nasib ?
Jika demikian adanya, malang nian rakyat negeri ini.
Buatan manusia, ini yang ingin saya ulas lebih lanjut.
Manusia siapa yang pertama-tama bertanggung-jawab sampai bisa menghasilkan bencana sebegitu dahyat seperti di atas itu. Apakah itu adalah tanggung jawab si kriminal jahat, atau koruptor yang sekarang ini dikejar-kejar KPK. Jelas tidak bukan.
Bayangkan saja, yang menjadi korban, yang mati tentunya tidak sedikit. Profesi yang digeluti manusia yang bisa menghasilkan kondisi seperti itu hanyalah tentara dalam peperangan. Kalau selain tentara, siapa hayo ?
Insinyur !
Percayakah anda bahwa profesi insinyur bisa menjadi sumber bencana dahyat. Jika demikian maka insinyur tidak jauh juga dari kata keselamatan, tidak berbeda dibanding profesi dokter, yaitu mengusahakan keselamatan.
Dengan melihat bencana Kukar, selain jatuh korban yang banyak, juga mempengaruhi ekonomi daerah tempat bencana itu terjadi maka terlihatlah bagaimana pentingnya kompetensi insinyur yang terlibat pada bangunan tersebut. Insinyur juga suatu profesi mulia sebagaimana dokter, yaitu mengusahakan keselamatan jiwa, juga keselamatan perekonomian suatu daerah.
Tetapi apakah penghargaan yang diterimanya juga sama seperti halnya dokter. He, he ini tentu merupakan suatu pertanyaan menarik.
Yang jelas, jika anda hanya berkutat pada ke ilmuan teknik, master dalam menguasai perilaku struktur, juga pengetahuan tentang tegangan dan regangan pada bahannya, kemudian bekerjanya hanya sebagai pegawai bukan pimpinan konsultan rekayasa (yang tidak tampil ke depan), dapat dipastikan tidak terlalu membanggakan (gajinya). Kecuali jika anda membuka sendiri konsultan rekayasa tersebut atau menjadi pimpinannya (berani tampil ke depan). Tentunya untuk itu anda harus tahu aspek bisnis atau manajerialnya. Jika tidak, maka profesi insinyur jelas kalah jauh daripada dokter spesialis. Itulah mengapa para insinyur kita lebih suka bekerja di perusahaan kontraktor, yang sekedar mengerjakan gambar yang dibuat insinyur dari konsultan rekayasa, dan berfokus mengatur sumber daya manusia dan alat serta manajemennya untuk segera menyelesaikan proyek dan mendapatkan keuntungan materi yang besar, tanpa harus menguasai keilmuan teknik yang mendalam, yang susah, tetapi duitnya kecil.
Memangnya ilmunya itu penting sekali pak.
Nah disinilah bedanya. Ilmu teknik sipil, atau lebih spesifiknya ilmu struktur baru kelihatan begitu pentingnya jika telah terjadi bencana. Jika tidak, maka hasil ilmu struktur tadi bisa-bisa dianggapnya sekedar jumlah gambar yang dihasilkan. Nggak terlalu berharga. Karena itulah maka orang yang sudah terjun mendalami ilmu struktur tersebut, dan ketika dia punya potensi, ingin kenaikan karir maka yang didalami lagi bukan ilmu tersebut, tetapi lebih ke ilmu manajemen-nya sehingga harapannya bisa memimpin bisnis perusahaannya. Jadi kalau fokusnya sudah bercabang, bagaimana bisa lebih baik. Memang sih, ada yang menonjol, satu atau dua.
Bahkan dapat dikatakan pula bahwa ahli struktur kalah populer dibanding arsitek. Maklum, ahli struktur bekerja mendukung ide arsitek, itu kalau di gedung. Kalau di jembatan bahkan tidak ketahuan siapa ahli struktur yang utama. Bandingkan, seorang arsitek bisa dengan bangga mencantumkan nama di depan desain bangunannya, mana ada ahli struktur yang seperti itu. Kondisi seperti ini jelas akan membedakan pada hasil desainnya. Masih nggak mengerti dengan uraian saya tersebut. Baik, kalau begitu bayangkan saja suatu lukisan, yang satu dilukis oleh Affandi,yang satunya oleh pelukis kampung. Apa yang anda rasakan dengan lukisan tersebut. Tanpa anda harus melihat lukisan itu sendiri, tentu anda akan tahu lukisan mana yang harus anda lihat terlebih dahulu. Betul khan.
Dalam kondisi seperti itu, maka seorang arsitek jelas mempunyai kebanggaan lebih daripada seorang ahli struktur, bagaimanapun karyanya dapat dengan mudah di apresiasi oleh masyarakat awam. Bagaimana dengan ahli struktur. Pasti orang awam akan sulit memahaminya. Baru paham jika ada kejadian besar. Tul khan. Itu kondisi umum di Indonesia.
Karena kerja insinyur dianggapnya saja sebagai tukang gambar (dihitung bobotnya berdasarkan jumlah gambar yang dibuat) dan juga fee yang diterima tidak terlalu besar (relatif terhadap nilai proyek secara keseluruhan), bahkan kontraktor besar berani menerima proyek dan menggratiskan biaya perencanaan, maka para insinyur juga punya strategi, yaitu kerja secukupnya saja, yang penting saja yang dihitung dan langsung digambar. Kira-kira kayak tukang jahit kodian gitulah, nggak usah pusing-pusing gambar modenya, contoh saja yang ada, jika belum ada tembak ditempat sajalah. Ngawur toh nggak ketahuan.
Insinyur indonesia biasanya lemah di proses detailingnya. Itu terjadi karena perhitungan perencanaan elemen struktur dapat dengan mudah dikerjakan oleh komputer, sedangkan detail hubungan antara elemen struktur karena sifatnya non-standar maka biasanya tidak banyak program komputer yang menyelesaikannya.
Ah masa pak Wir.
Coba saja sendiri lihat, jembatan Kukar itu yang gagal khan bukan element stuktur utamanya, tetapi detail sambungannya khan. Nggak usah begitu (selain jembatan Kukar), saya juga menemukan proses detailing yang ngawur dilaksanakan. Ini contohnya.
Gambar 1. Detailing yang dipertanyakan kinerjanya
Gambar 1. di atas adalah interprestasi gaya-gaya yang bekerja pada suatu detail pembengkokan tulangan balok-perangkai pada dinding berangkai. Itu mungkin satu-satunya detail yang ada di dunia ini lho. Itu sudah pernah saya bahas di salah satu tulisan di blog ini. Jangan bayangkan bahwa itu melalui penelitian yang intensif, bisa-bisa insinyur perencananya tidak paham falsafah detail yang dimaksud, sehingga dapat dengan mudah melakukan modifikasi seperti itu. Maklum, “baju yang dijahit‘ terlalu banyak, sampai-sampai tidak sempat memikirkan bentuknya. Iya khan.
Padahal kalau mau jujur, perancangan detail pada desain struktur itu adalah masalah yang paling sulit dan beresiko. Selama ini memang tidak menjadi masalah, maklum ilmu yang digunakan untuk mengatasi hal tersebut adalah ilmu nukang, yaitu meniru saja dari yang sudah ada. Syukurlah, banyak kasus memang dapat diselesaikan dengan mudah dengan cara meniru dari kasus yang sama yang telah sukses dikerjakan sebelumnya. Jika ketemu desain yang baru, maka baru ketahuan bahwa menguasai ilmu detailing itu adalah level tertinggi, dan biasanya hanya insinyur-insinyur “senior” yang bisa membahasnya. Kalau baru punya ilmu menjalankan program SAP2000 atau ETABS, wah bisa-bisa nggak dong sama sekali. Maklum, dalam program SAP2000 dan ETABS setiap hubungan element struktur khan dibuat smooth, baik yang monolith atau ada yang di release. Gampang memodelkan sambungan dalam komputer, tetapi tidak gampang mewujudkannya dalam kasus nyata. Detailnya itu lho.
Kondisi itu berbeda dengan di barat. Profesi ahli struktur di sana terkesan lebih terhormat, mereka lebih berani tampil menunjukkan kerjanya, dan masyarakat menghargainya. Kalau di sini, mana ahli struktur yang suka tampil untuk menunjukkan karya dan ide-idenya, bisa dihitung jari, jumlahnya kalah jauh dengan profesi arsitek. Lihat saja sampai-sampai ada nama arsitek yang jadi iklan.
Untuk menunjukkan ahli struktur yang menjelaskan kerjanya, saya akan kutip dari karyanya prof. Jorg Schlaich (The Art of Structural Engineering – The Work of Jorg Schlaich and his Team, Edition Axel Menges), ahli struktur dari Uni-Stuttgart, yang juga promotor dari senior saya, yaitu Prof. Harianto Hardjasaputra (UPH). Proyek yang ditangani adalah Munich Olympich Stadium sekitar tahun 1972. Waktu itu prof Jorg Schlaich membantu seniornya Prof Fritz Leonhardt dan Prof Frei Otto. Ini struktur yang dimaksud.
Gambar 2 adalah struktur yang aku maksud, yaitu struktur tenda pada stadium Munich Olympic, yang dapat menaungi ribuan penonton. Dapat dibayangkan jika sedang ada permainan bola disana, dan atapnya roboh, seperti apa itu akibatnya. Jadi meskipun itu bukan jembatan tetapi tingkat bahaya yang ditimbulkan oleh kecerobohan perencana struktur atap tersebut tentu tidak bisa disepelekan. Mau lihat detail atapnya seperti apa. Ini lihat :
Bisa dibayangkan sekarang tentunya pada Gambar 3, bagaimana besarnya atap tersebut. Jika anda sedang asyik nonton bola, lalu atap tiba-tiba ambruk. Apa yang terjadi. Jadi bisa mengetahui bagaimana proses perencanaan struktur atap tersebut khususnya detail-detailnya tentu sesuatu yang menarik bukan.
Jika di sini, yang namanya perencanaan struktur umumnya akan terkait dengan pekerjaan pemodelan struktur di depan komputer, lalu menulis di lembar kerja proses-proses yang perlu dihitung, sedikit corat-coret sini, mungkin ditambah diskusi (jika ada yang dianggap ahli yang lain), lalu hasilnya dituangkan di gambar. Proses seperti inilah yang orang awam melihatnya sebagai jumlah gambar yang berhasil dibuat. Untuk proses pekerjaan yang lain umumnya nggak ada, maklum fee yang diterima untuk perencanaan seperti itu hanya habis untuk membayar insinyur, anggaran yang lain umumnya tidak ada, riset misalnya. Coba bandingkan dengan tahapan perencanaan yang dibuat pada stadium di atas. Lihat ini.
Kalau maket perencanaan seperti di atas kelihatannya masih menjadi andalan para arsitek, khususnya untuk mendapatkan persetujuan dari owner tentang proyeknya. Tapi dalam proyek di atas maket seperti itu digunakan untuk mempelajari konsep desain yang dibuat, perhatikan model atap tenda yang realistis. Apakah strategi seperti itu juga digunakan oleh engineer kita untuk memvisualisasikan idenya. Tidak heran, fee-nya nggak nutup. 🙂
Ternyata maket di atas tidak cukup, dibikin lebih detail lagi tentang rencana atap tenda, dalam bentuk model. Lihat.
Coba lihat, bagaimana usaha-usaha para insinyur di Jerman dalam mengusahakan suatu struktur yang baru (tahun 1972 lho) yang mana belum ada komputer secanggih jaman sekarang. Saya sangat yakin sekali, insinyur kita tidak akan familiar dengan model eksperimen seperti di atas. Jadi selain di atas kertas, di coba buat model skala kecil dan di uji eksperimen. Belajar dari pengalaman saya dulu ketika jadi engineer di konsultan, rasa-rasanya engineer kita ini bisanya hanya analitik, tidak terbiasa dengan penyelesaian secara eksperimen seperti di atas. Umumnya sudah merasa jago jika dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di lapangan, dianggapnya paham baik teori maupun praktek. Kondisi ini yang umumnya membuat insinyur-insinyur kita merasa pede, apalagi ditunjang bukti sudah menyelesaikan beberapa proyek. Padahal kerjanya adalah tukang insinyur, ibarat sudah bisa membuat berpuluh-puluh baju, tapi bukan ahli mode busana, hanya sekedar tukang jahit baju.
Keuntungan penggunaan skala model seperti di atas adalah mengembangkan sisi “rasa” dalam proses desain. Kalau hanya mengandalkan hitungan di atas kertas umumnya sisi “rasa” tersebut tidak berkembang. Sisi “rasa” dalam proses perencanaan struktur adalah penting, maklum kita ini khan disebut insinyur bukan saintis. Ada sisi seni, tidak sekedar hasil perhitungan rumus matematik atau analisa numerik saja.
Ok kita berlanjut, mari kita lihat proses pelaksanaan atap tenda yang memperlihatkan bagaimana ukuran struktur dan pekerjanya. Ini terdokumentasi secara baik oleh prof Jorg Schlaich. Tentang hal itu apakah kita punya dokumentasi yang baik, yang terakses secara mudah oleh publik.
Selanjutnya kita melihat bagaimana sambungan kabel di bagian pinggir di atas direncanakan dan dibuat. Ternyata detail sambungan kabel di bagian pinggir dipikirkan secara matang. Tentang hal ini tentu ada yang akan berdebat, bahwa untuk kitapun juga demikian, yaitu pastilah akan dipikirkan secara matang. Hanya saja sarana berpikir matang itu tentu lain, ada harga ada rupa, dengan fee yang terbatas maka tentu cara mikirnya akan berbeda, bisa-bisa memikirnya dengan cara semedi (merenung menunggu insting dari langit). Maklum yang namanya riset di negeri ini khan dikecilkan artinya, nggak penting. Tentang hal itu maka politik adalah yang teratas. Nggak percaya, mana ada periset bisa pakai mobil impor mewah, kalau politikus khan umum. Itu menunjukkan kesejahteraan materi politikus lebih tinggi. 🙂
Adapun di sana, Jerman tentunya, riset telah menjadi bagian hidup para insinyurnya, dihargai dan tentunya ada dukungan dana. Ini yang paling penting. Kalau hanya sekedar diberi penghargaan seperti jaman dulu, yaitu guru tanpa tanda jasa, wah gawat. Syukur sekarang guru (dan dosen) sudah mulai diperhatikan. Itu lho guru / dosen bersertifikasi. Maklum kalau nulis dengan perut kenyang, sekolah anak tercukupi, maka tentunya pikiran yang dapat difokuskan akan menghasilkan karya yang baik. Betul nggak. Sedangkan jika pikiran masih terkungkung untuk bagaimana mencari tambahan penghasilan, wah isi-isinya khan tidak jauh dari “ngobyek” yang kadang tidak terkait dengan ilmu yang digelutinya. Betul nggak.
Eh koq nglantur, mari kembali ke perencanaan sambungan ujung. Dengan kebiasaan riset, mencoba memecahkan masalah dengan baik, maka pada perencanaan sambungan itupun demikian pula. Dalam perkembangan proyek tersebut ditemukan beberapa alternatif sambungan yang diajukan, yang bahkan telah dilakukan uji eksperimen. Ini gambarnya.
Dari berbagai alternatif desain akhirnya dapat dipilih yang terbaik untuk digunakan dalam proyek ini, sebagai berikut:
Gambar 10. Sambungan kabel ke bagian pinggir
Apakah sampai disini pesan pentingnya proses detailing dalam rekayasa struktur sudah terpenuhi. Pada porsi tertentu sudah bisa, yaitu bahwa detailing adalah sesuatu yang tidak sederhana tetapi sangat penting, sampai-sampai dibuat beberapa alternatif untuk diketahui yang paling baik. Itu khan memakan waktu, kalau fee perencanaan kecil, apa ya mau proses tersebut dikerjakan.
Proses yang dimaksud adalah tidak sekedar membuat atau menggambar detail sambungan seperti di atas. Kalau hanya itu, maka tukang-tukang logam di Indonesia sudah pintar-pintar. Proses perencanaan detail yang dimaksud mungkin dapat diringkas dari dokumentasi gambar berikut, yang saya yakin seorang tukang tidak bisa melaksanakan, harus insinyur yang mempunyai pengalaman riset yang baik. Perhatikan para perencana stadium Munich itu juga sekaligus akademisi andal lho. Lihat berikut.
Gambar 11. The cable-saddle fatigue testing machine at the Zurich ETH
Tidak tanggung-tanggung, meskipun detail sambungan yang dimaksud adalah untuk struktur bangunan yang tidak menerima beban bergerak seperti halnya di jembatan, tetapi untuk memastikan keandalannya maka dilakukan uji fatik sebagaimana terlihat pada gambar di atas. Maklum perilaku fatik belum dapat dianalisis secara tuntas dengan cara analitis biasa, jadi uji eksperimen sebagai jawabannya. Uji fatik biasanya penting pada struktur jembatan, tetapi jarang diterapkan pada struktur bangunan.
Pada tahun 70-an metode FEA (Finite Element Analysis) belum umum dipakai, maklum metode tersebut memerlukan teknologi komputer pendukung. Oleh karena itu untuk analysis tegangan dan regangan pada element solid digunakan cara eksperimental. Kalau sekarang sudah tersedia software yang bagus, yang bahkan jika memakainya pinter dapat bersaing dengan cara di atas. Software yang dimaksud misalnya adalah Abaqus, Adina dan sebagainya.
Dari ke tiga gambar di atas, rasanya sudah dapat diperoleh gambaran bahwa merencanakan detailing sambungan kabel adalah sesuatu yang tidak sederhana. Level tukang jelas tidak bisa mengatasi sendiri, di sinilah level insinyur yang berpengalaman riset berkontribusi bagi pembangunan proyek stadium Munich tersebut yang sampai sekarang yaitu lebih dari 40 tahun masih berdiri dengan megah. Maklum ada beberapa alternatif yang direncanakan seperti di atas, dan dapat dipilih satu yang terbaik untuk dipakai.
Bandingkan dengan jembatan kebanggaan negeri ini, Kukar, baru 10 tahun dipakai, sudah begitu dahyat akhirnya. Coba tanyakan, apakah detailing kabel yang sekarang hancur tersebut juga melalui proses sebagaimana yang di Jerman itu. Selanjutnya apakah kita masih saja bisa berteriak, bahwa insinyur kita juga tidak kalah dari mereka. Jujur sajalah, karena yang saya uraikan itu adalah kegiatan insinyur Jerman tahun 70-an.
Semoga tulisan kecil ini menggugah, bahwa riset di bidang rekayasa struktur di Indonesia perlu digalakkan. Untuk itu penulis siap berpartisipasi mendukung bagi kemajuan negeri ini.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Tinggalkan komentar