Umum

Telah diungkapkan opini dan argumentasi prospek, pemakaian serta perkembangan konstruksi kayu di Indonesia. Hal ini tentu akan menimbulkan pertanyaan mendasar, adakah motivasi positip lain untuk dijadikan alasan: “mengapa kita (calon insinyur) tetap perlu belajar dan bahkan mengembangkan ilmu struktur kayu itu sendiri”.

Bila tidak dapat dijawab secara mantap pertanyaan di atas, maka penyusunan materi baru tentang struktur kayu di level perguruan tinggi ini akan sia-sia. Jika dipaksa dan hanya karena mengikuti silabus yang sudah ada, maka bisa-bisa dianggap sebagai tidak up-to-dated, kuno dan ketinggalan jaman. Bahkan jika hanya mencoba mencari jawaban dari sumber-sumber dalam negeri, maka diduga hasilnya tidak akan menggembirakan. Arus pendapat umum di dalam negeri menyatakan sebagaimana diulas di depan tadi. Padahal informasi dari luar negeri, pemakaian struktur kayu semakin berkembang dan bahkan banyak diterbitkan buku-buku tentang struktur kayu yang baru (FPL 2010, Kolb 2008, Breyer et. al. 2007, Aghayere dan Vigil 2007, Porteous and Kermani 2007, Ozelton dan Baird 2006, Thelandersson dan Larsen 2003, Kermany 1999).

Jadi tentunya ada sesuatu yang menyebabkan ”mereka” tetap produktif bertekun dan mengembangkan kayu sebagai material konstruksi pada abad modern ini. Sesuatu itu tentunya patut diketahui terlebih dulu, bahkan penting dan utama. Dapat diduga bahwa ”sesuatu” itu tentunya belum ada pada materi kuliah struktur kayu yang ada (lama). Untuk itulah patut untuk meninjau kayu dari sudut pandang lain yang berbeda.

Ulasan tentang struktur kayu yang dibuat, didasarkan pada pemahaman umum tentang bahan material bangunan, yaitu tinjauan dari segi kekuatan, kekakuan, keawetan dan segi ekonomi. Dari itu semua, tidak ada yang menonjol dibanding bahan material baja atau beton bertulang, yang saat ini telah mendominasi industri konstruksi Indonesia maupun dunia, khususnya untuk pembangunan gedung bertingkat tinggi dan jembatan bentang panjang. Tetapi jika dikaitkan faktor kepedulian “keberlanjutan lingkungan dan ketersediaan energi”, maka cerita akan menjadi lain. Jika hal itu tidak diperhatikan dari mulai sekarang, maka itu semua dapat menjadi pemicu terjadinya krisis bagi negara tersebut. Dari sisi ini juga diketahui bahwa pemilihan material konstruksi dapat terkait dengan faktor kerusakan lingkungan dan krisis enerji. Untuk memahaminya diperlukan pengetahuan terlebih dahulu tentang “pemanasan global” atau “efek rumah kaca”.

Efek Rumah Kaca dan Pemanasan Global

Efek rumah kaca pertama kali disampaikan oleh Joseph Fourier (1824), adalah proses pemanasan permukaan bumi yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfer. Pada dasarnya efek rumah kaca adalah kejadian alami. Ini pula yang menyebabkan mengapa suhu pada siang hari dan malam hari tidak terjadi perubahan yang drastis.

Efek tersebut terjadi karena adanya kandungan karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lain tertentu di atmosfir. Komposisi gas-gas tersebut menghasilkan efek pemanasan seperti yang terjadi pada rumah kaca (lihat Gambar 1).

efekrumahkaca-large

Gambar 1. Efek rumah kaca (http://www.sekolahalamdigital.org)

Dalam hal ini, kondisi dalam rumah kaca sebagaimana halnya dengan kondisi atmosfir dengan komposisi gas-gasnya yang ada. Meskipun pada kondisi sebenarnya, tak semua radiasi panas matahari akan diteruskan ke bumi, karena sekitar 25% akan dipantulkan awan dan partikel di atmosfir dan sekitar 25% lagi akan diserap oleh awan. Itu pula sebabnya mengapa jika kondisi langitnya tidak berawan maka udara terasa lebih panas. Dari 50% yang jatuh di permukaan bumi, sekitar 45% diserap sedangkan sekitar 5% akan dipantulkan kembali. Namun sebagian radiasi inframerah yang dipancarkan bumi akan tertahan oleh ”rumah kaca” , dalam hal ini awan, gas CO2 dan gas lainnya untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dampaknya terjadi pemanasan & perubahan iklim.

Pada kondisi alami, efek pemanasan yang dimaksud memang diperlukan sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, yaitu mencegah terjadinya suhu ekstrim siang dan malam. Permasalah yang terjadi saat ini, akibat perilaku manusia modern yaitu sejak revolusi industri telah menyebabkan terjadi peningkatan komposisi gas CO2 dan lain-lain di atmosfir yang mengakibatkan efek rumah kaca yang berlebihan. Konsentrasi yang lebih tinggi dari gas CO2 dan lainnya, menjebak lebih banyak energi inframerah di atmosfer daripada yang terjadi secara alami, sehingga panas tambahan yang ada tidak sekedar menghangatkan atmosfir permukaan bumi, tetapi terjadi pemanasan global.

Terjadinya pemanasan global alami (natural warming) dan yang tidak alami (amplifed warming) dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

40fde7f02bd9b58ee2dd2211a0d924cc-science-museum-climate-change

Gambar 2. Efek pemanasan alami dan non-alami (https://www.pinterest.jp)

Pada Gambar 2 dapat diungkapkan bahwa sinar matahari memberikan enerji pada sistem iklim yang ada [1] , sebagian besar akan diserap oleh laut dan permukaan tanah.

Pengaruh rumah kaca:

Panas (infrared energy) akan memancar ke luar [2] dari permukaan bumi yang hangat. Sebagian enerji panas tersebut akan diserap oleh gas-gas ”efek rumah kaca” di atmofir yang tentunya akan tersebar kembali ke segala arah [3]. Itu berarti ada yang kembali ke bumi menjadi tambahan panas [4] dan ada yang hilang [5] ke luar angkasa.

Efek rumah kaca yang terlalu ekstrim:

Terjadinya peningkatan kandungan gas CO2 dan gas-gas “rumah-kaca” akan menyerap lebih banyak enerji panas di atmosfir daripada kondisi alami. Terjadilah peningkatan suhu bumi secara global yang berlebihan. Itulah yang disebut pemanasan global. Menurut hitungan simulasi, efek rumah kaca meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5 °C. Bila kecenderungan terjadi peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1.5 – 4.5 °C sekitar tahun 2030.

Terjadinya peningkatan suhu permukaan bumi, menyebabkan perubahan iklim yang ekstrem. Akibatnya hutan dan ekosistem akan terganggu, fungsinya dalam menyerap karbon dioksida di alam akan berkurang. Pemanasan global akan mencairkan gunung-gunung es di kutub sehingga menimbulkan kenaikan permukaan air laut. Kondisi ini akan berakibat buruk pada negara-negara kepulauan dimana wilayah negaranya sangat terpengaruh oleh ketinggian air laut, dimana pulau-pulau yang ada bisa tenggelam.

Kesadaran akan adanya bahaya pemanasan global, tidak mudah dicerna berdasarkan panca inderawi semata. Apalagi bagi yang tidak memahami bahwa perbuatan manusia nun jauh di sana, juga mengakibatkan dampaknya di sini. Lihat saja bagi penduduk di pulau Jawa, tentu tidak merasakan dampak secara langsung adanya kebakaran hutan di pulau Sumatera atau Kalimantan. Maklum, asap yang ditimbulkannya hanya dirasakan oleh wilayah disekitarnya, penduduk yang berada di pulau Jawa hanya tahu adanya kebakaran hutan tersebut akibat berita-berita yang beredar. Padahal adanya kebakaran hutan tersebut menimbulkan peningkatan kadar CO2 di atmofir yang merupakan pemicu terjadinya pemanasan global semakin intensif.

Pemanasan global adalah kenyataan yang saat ini sedang berlangsung. Hanya karena pengaruh kejadiannya adalah sedikit-demi sedikit dan tak terasakan, maka perlu suatu pengamatan yang bahkan perlu waktu bertahun-tahun untuk mencari bukti-buktinya. Gambar 3 memperlihatkan terjadinya perubahan kondisi gletser yang dulu disebut es abadi di puncak gunung di Washington, USA, yang berhasil direkam oleh para ilmuwan.

tobogganglacier_0
Toboggan Glacier, Alaska, pictured in 1905 and 2008. Images from US Geological Survey.
plateauglacier_0
Plateau Glacier, Alaska, pictured in 1961 and 2003. Images from US Geological Survey

Gambar 3. Bukti nyata pemanasan global (www.koshland-science-museum.org)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemanasan Global

Perubahan iklim dapat disebabkan faktor alam dan faktor manusia. Sayangnya faktor yang terakhir, yaitu manusia dalam beberapa dekade ini menjadi semakin besar saja pengaruhnya. Adapun faktor-faktor tersebut secara keseluruhan adalah:

  • CO2 dan variasi gas-rumah-kaca yang lain
  • Aktifitas manusia dan gas-rumah-kaca
  • Pengurangan gas-rumah-kaca yang lain
  • Sirkulasi aliran samudra
  • Letusan gunung berapi
  • Variasi solar (matahari)
  • Variasi orbit
  • Perubahan tata guna lahan

Kecuali faktor di atas, ada faktor yang fungsinya akan meningkatkan atau mengurangi pengaruhnya, yang disebut “feedbacks”, dimana prosesnya saling terkait satu dengan lainnya. Jika salah satu mengalami perubahan atau terpengaruh menyebabkan bagian lain juga terimbas. Masalahnya, perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi penyebab yang pertama kali, sehingga kompleks sifatnya. Adapun faktor-faktor tersebut adalah :

  • Aerosols (kandungan material di udara)
  • Kondisi awan
  • Kandungan air
  • Refleksi permukaan bumi yang tertutup es.

Aktifitas manusia dan gas-rumah-kaca (Wikipedia)

Aktivitas manusia sejak terjadinya revolusi industri (1760-1830) telah meningkatkan jumlah kandungan gas-rumah-kaca di atmosfer, yaitu CO2, metana, ozon troposfer, CFC dan asam nitrat. Konsentrasi CO2 dan metana telah meningkat sebesar 36% dan 148% masing-masing sejak 1750. Tingkat ini jauh lebih tinggi dari kondisi apapun selama 800.000 tahun terakhir, periode yang datanya dapat diandalkan telah diekstraksi dari inti es. Bukti geologi secara langsung menunjukkan bahwa nilai-nilai CO2 yang lebih tinggi dari ini, terakhir terlihat sekitar 20 juta tahun lalu. Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan sekitar tiga perempat peningkatan CO2 dari aktivitas manusia selama 20 tahun terakhir. Sisanya sebagian disebabkan oleh perubahan tata guna lahan, terutama penggundulan hutan (deforestasi).

Laporan tahun 2001 dari Intergovernmental Panel on Climate Change (www.ipcc.ch) membuat kesimpulan bahwa suhu udara global meningkat 0.6 Degree Celsius (1 Degree Fahrenheit) sejak 1861. IPCC juga mengemukakan bahwa pemanasan tersebut terjadi terutama oleh sebab aktivitas manusia yang meningkatkan gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan suhu rata-rata global sekitar 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Peringatan yang perlu mendapatkan perhatian, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer pada tahun 2100 itu tidak bertambah lagi, tetapi iklim tetap akan menghangat terus selama beberapa periode lagi, karena emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. Dalam hal ini, karbon dioksida akan tetap ada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih, sampai alam mampu menyerapnya lagi.

Jika emisi gas-rumah-kaca terus meningkat, tidak ada usaha real untuk menguranginya maka para ahli juga memprediksi bahwa konsentrasi karbondioksioda atmosfer akan meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22, bila dibandingkan masa sebelum era industrialisasi. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi. Manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang sangat besar.

Kayu sebagai material ramah lingkungan

Meskipun telah disadari bahwa aktifitas manusia di era setelah revolusi industri inilah yang memberi sumbangan terbesar terjadinya peningkatan CO2 dan yang kemudian akhirnya memicu pemanasan global. Tetapi untuk menghindari dengan jalan menutup kegiatan industri tersebut tentu tidaklah mudah. Bencana sosial nanti menghadangnya. Jadi sikap seperti itu bukan suatu keputusan bijak. Adapun langkah negara-negara di dunia yang peduli, adalah melakukan kebijakan yang berorientasi ramah lingkungan atau ecolabel, yaitu suatu pemilihan kebijakan untuk menghasilkan emisi gas CO2 yang rendah. Seperti misal kapanye kegiatan Lembaga Ekolabel Indonesia (www.lei.or.id).

Jika faktor yang berorientasi ramah lingkungan dipakai untuk tolok ukur mengevaluasi material bahan konstruksi, tidak sekedar tolok ukur yang biasanya, seperti kekuatan, keawetan dan faktor ekonomis, maka kayu akan menonjol dibanding material lainnya. Tentu saja material kayu yang dipakai bukan dari hasil produk deforestasi atau penebangan hutan untuk diambil kayunya. Tetapi harus dari hasil budidaya industri tanaman kayu yang terencana. Jika kayu untuk material konstruksi tersebut diambil dari hutan alam dan tidak dilakukan penghutanan kembali, maka jelaslah kalau kayu seperti itu tidak bisa digolongkan sebagai produk yang ecolabel. Material kayu hasil pembalakan hutan secara illegal tidak patut dipromosikan untuk industri konstruksi.

Bagaimanapun juga, hutan kayu tanaman industri untuk bahan material konstruksi masih jarang atau bahkan belum ada di Indonesia. Umumnya hutan buatan yang ada dipakai untuk industri kelapa sawit, pulp dan kertas.

forestry7

Gambar 4. Hutan tanaman industri di New Zealand (www.forestlands.co.nz)

Usaha membudidayakan tanaman kayu secara berkesinambungan merupakan sumber daya alam yang terbarukan. Itu semua itu, hanya memerlukan ketersediaan lahan dan sedikitnya sinar matahari serta curah hujan. Itu berarti kayu hanya memerlukan sedikit energi dibandingkan produksi bahan bangunan yang lain (beton dan baja).

Menurut John Kissock (2012), produksi baja perlu sekitar 24 kali energi yang diperlukan untuk menghasilkan produk kayu, sedangkan beton membuang sekitar 140 kg CO2 per meter kubik yang dihasilkannya. Bahkan ketika sedang memproduksi kayu, pohon juga menghasilkan oksigen untuk kita bernafas, hampir ¾ dari satu ton oksigen dihasilkan untuk tiap pertumbuhan kayu setiap meter kubiknya. Suatu kondisi dimana tidak ada bahan material lain yang dapat menyamainya Saat tumbuh, pohon juga menyerap CO2 . Hal itu berarti kayu merupakan bahan material yang bebas emisi gas karbon.

Pohon memang bermanfaat bagi lingkungan hidup selama siklus pertumbuhannya, karena dapat menyerap C02 dan menghasilkan O2. Meskipun demikian keuntungannya tidak berakhir setelah pohon ditebang. Sebagai material bahan bangunan, kayu juga memiliki sifat insulasi thermal yang terbaik dibanding bahan konstruksi utama yang lain, kira-kira lima (5) kali lebih baik dari beton, sepuluh (10) kali lebih baik dari batu bata, dan bahkan 350 kali lebih baik dari baja.

Itu terjadi karena kayu mempunyai massa termal yang rendah, yang berarti memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam menghantarkan termal (panas atau dingin). Jadi jika dipakai kayu untuk bahan bangunan, jika dipakai di daerah beriklim dingin akan mampu mempertahankan panas lebih lama, berarti penghematan enerji pemanas. Jika di daerah beriklim panas, akan mampu membuat ruangan lebih sejuk karena pelindung yang baik dari panas matahari. Tentu akan dapat mengurangi energi untuk pendingin udara. Berarti, jika dipakai bahan material kayu untuk bangunan, enerji untuk penyesuaian suhu dapat lebih dihemat (dikurangi). Padahal enerji umumnya dihasilkan dari pembakaran bahan bakar organik yang cenderung menghasilkan emisi gas CO2 yang tinggi.

Dari penjelasan tentang pemanasan global dapat dipahami jika dapat diusahakan budi daya kayu secara berkesinambungan dan digunakan secara mayoritas pada bahan material bangunan akan berdampak positip pada pengurangan emisi gas CO2.

Jadi sosialisasi pemakaian kayu dan juga struktur kayu pada berbagai aspek kehidupan di dunia ini merupakan langkah strategi yang berorientasi pada kelestarian alam dan juga untuk menghindari terjadinya bencana akibat pemanasan global.

Makalah yang terkait :

5 tanggapan untuk “Struktur Kayu dan Dampak Lingkungan”

  1. nuki Avatar
    nuki

    Saya sangat setuju pak Dewo kalau pengetahuan membangun dengan struktur kayu masih harus dilestarikan, karena bagaimanapun juga kayu masih merupakan material yang unggul karena bisa dibudidayakan dengan segala kemudahannya dan keuntungan di bumi Indonesia, bisa dikerjakan dengan siapa saja dengan mudah dan murah, dan sampai hari ini kayu masih merupakan material yang masih digunakan sebagian besar penduduk Indonesia .

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Maaf pak Nuki, ide yang saya sampaikan rasanya tidak seperti itu. Argumentasi anda adalah argumentasi masa lalu, bahkan jika tetap dipertahankan saya rasa tidak akan ada perubahan. Maklum semangat untuk tetap melestarikan “pengetahuan membangun dengan struktur kayu” dapat menjadi faktor pemicu Deforestation.

      Jadi kalau dari ide yang saya sampaikan, penggunaan kayu dapat unggul jika dimulai dari budidaya tanaman kayu sebagai industri bahan material konstruksi. Ini tentu saja kebijakan pemerintah, tidak bisa sekedar individu satu-satu. Itu berarti harus dimulai dari hulu, nah hilirnya adalah sosialisasi penggunanya. Jadi terus terang, hal yang disampaikan masih berupa wacana, khususnya di Indonesia ini. Adapun di negara maju yang sudah memahami betul dampak emisi gas CO2 maka hal di atas telah menjadi fakta. Itulah mengapa literatur tentang pemanfaatan kayu industri untuk bahan material rekayasa, meningkat dengan cepat.

      Suka

  2. zona berita Avatar

    waduh baya donk ne gan…

    Suka

  3. persamaankuadrat Avatar

    kerajinan kayu kayu memeng memiliki dampak yang luar biasa terhadap lingkungan . Ayo, perbanyak menanam pohon, biar tambah sehat lingkungan kita

    Suka

Tinggalkan Balasan ke edison manurung Batalkan balasan

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com