Istilah “devaluasi” umumnya merujuk pada kondisi terjadinya penurunan nilai mata uang suatu negara terhadap nilai mata uang negara yang lain. Jadi devaluasi juga berarti degradasi. Dengan arti seperti itu maka judul di atas akan merujuk pada kondisi dimana IPK sarjana tidak bisa lagi dijadikan sebagai rujukan yang akurat untuk menilaimutu sarjana tersebut.
Lucu juga ya, ternyata yang mengalami devaluasi tidak hanya rupiah kita, tetapi produk sarjana kita khususnya sarjana teknik sipil.
Tentang pernyataaan di atas tentunya masih berupa pendapat pribadi, yang dihasilkan dari adanya pertanyaan teman-teman sejawat yang disampaikan kepadaku langsung maupun tidak langsung (seperti pada FB). Bahkan kalau dipikir-pikir, itu kelihatannya bukan pertanyaan, tetapi suatu complaint kepadaku. Maklum aku khan menyatakan diri sebagai guru dari mereka tersebut. Jadi kalau produk lulusannya tidak bermutu, maka itu tentu dihasilkan dari mutu gurunya juga.
Oleh karena itu, jika ada pertanyaan seperti itu yang disampaikan kepadaku, maka buru-buru aku juga akan bertanya : “Anak UPH ya ?“.
Tentu saja itu basa-basi, karena kalau yang menyatakan itu langsung kepadaku, tentunya bukan anak-anak didikku. Selanjut perbincangan akan diakhir dengan permintaan seperti ini: “Kalau begitu ya pak Wir, nanti mohon disampaikan ya lowongan pekerjaan di tempat kami kepada murid-murid Bapak.“.
Kita kembali ke IPK lulusan.
Jaman saya dulu, yang namanya IPK > 3.00 adalah sesuatu yang istimewa. Maklum, nggak banyak yang punyai nilai seperti itu, akupun dulu nggak sampai seperti itu. Jadi kalau sekarang bisa lulus S3, itu adalah suatu anugrah. Tapi jaman berubah, sekarang kelihatannya berbeda. Sangat banyak dijumpai lulusan sarjana dengan IPK > 3.0, bahkan kalau kurang dari itu dikatakan tidak afdol. Memang sih, itu akan baik jika nilainya memang merujuk pada kondisi seperti yang aku alami dulu. Maklum, banyak teman-teman yang kecewa ketika dihadapannya adalah anak-anak dengan IPK tinggi-tinggi, tetapi ternyata oon. 😦
Nggak percaya, coba deh kita amati perbincangan saya dengan teman, manajer di suatu perusahaan besar ketika akan merekrut calon pegawai barunya:
Manajer: “wah… ikut konsensus sni ya p..
p kemarin sy wawancara orang lebih parah lagi…
sy tanya peraturan beton, baja, beban yang dipakai di Indonesia apa saja, dia gak tahu…
simbol sendi, rol, jepit saja gak tahu….”
Guru: “lulusan sipilkah ?”
Manajer: “tapi lulusan dari univ di ja*ar*a IPK 3,04 ..”
iya… bahkan ketika ditanya : sendi rol, beban terpusat, momen max berapa ? eh dia nyebut angka . . . , padahal sy kan gak ngasih angka . . . .E beton gak tau, E baja juga nggak tahu, katanya besaran E beton 3 x Inersia, … maksudnya apa, saya juga gak tahu…
wah parah p…, kayak bukan berhadapan sama orang sipil….
p sni yg di bp, yg lama2 kalo mo download, kok website eror p….
yg ACI terbaru, bgs juga…
Guru: itu yang Univ. ***** itu ya.
Manajer: “iya pak . . .
Guru: “itu dosennya aja mungkin juga nggak tahu apa itu sendi dan rol. dia bayangkan harus persis rol dan semacamnya itu.
Manajer : “sekarang mungkin lulusan dipermudah p…., karena lihat di ecc u*m, lulusan2 yg daftar di ecc u*m …juga IPK-nya tinggi-tinggi…, tapi kalau ditest belum tentu …
Guru : itu *n*g*r* semua ya.
Manajer: “ntar sy cek lagi pak. .
oo, yg saya cek yang nglamar di tempat saya pak, lewat ecc u*m… IPK-nya tinggi-tinggi dari berbagai universitas…, mungkin sekarang dipermudah agar persaingan lebih mudah ya pak ?
ok p… mau berangkat dulu.
gbu”06:51
Artikel lain yang terkait :
- sekolah itu untuk apa sih ? – 20 DESEMBER 2010 · 07:00
Tinggalkan komentar